Sesuai permintaan Mohan, pria itu-sungguh datang menemui Inka. Tersenyum ke arah Inka seraya membuka pintu mobilnya, Inka langsung masuk dan duduk di kursi sebelah kemudi.
Bu Ina menatap kepergian putrinya bersama pria yang sangat di bencinya. Tadi malam Inka sudah meminta izin padanya untuk pergi bersama Mohan satu harian penuh. Awalnya, bu Ina sangat marah sekali apalagi mendengar ucapan Inka selanjutnya yang mengatakan menyetujui ajakan Mohan.
Mau tak mau akhirnya bu Ina pasrah dan mengalah pada keputusan putrinya. Toh, putrinya juga mengatakan jika setelah itu Mohan akan menjauh dari kehidupan mereka. Yang artinya, selanjutnya Inka akan terbebas dari mahluk yang bernama Mohan itu.
Di dalam mobil...
"Kita mau kemana?" tanya Inka bingung dan khawatir akan di bawa kemana dirinya oleh Mohan.
"Kemana saja. Bukankah hari ini kita akan menghabiskan satu harian penuh?" Inka mengangguk.
"Ehmm, kalau begitu aku akan menelpon temanku dulu. Agar dia
"DERRRRR!"Inka terlonjak kaget saat Kanz dengan sengaja mengaggetinya. Inka mendengkus seraya memegangi dadanya yang bergemuruh kencang."Kanz!! Kau sengaja ya, ingin buat aku jantungan." protes Inka kesal."Maaf, habisnya kamu dari tadi aku lihatin melamun terus." sesal Kanz yang merasa tak enak hati karena sudah mengaggeti Inka.Inka tak menanggapi, ia lebih memilih mengelus pelan dadanya yang masih berdetak kencang, efek di kagetin Kanz."Memikirkan apa sih, huh?" tanya Kanz penasaran."Uhm, tidak ada.""Yakin?""Iya," jawab Inka bohong."Kau bohong!""Ti-tidak." tergagap Inka mengatakannya saat Kanz begitu pintar menebak ekspresi raut wajahnya."Ya sudahlah, aku tak akan memaksa. Tapi, kalau kau butuh teman curhat. Maka aku dengan senang hati akan menjadi pendengar yang baik, dan kedua tanganku terbuka lebar untuk menerima pelukanmu, hehehe." jelas Kanz terkekeh di akhir kalimatnya.Inka tergelak mendengarn
Kanz menatap sebuah kotak beludru warna merah yang baru saja ia beli dari uang hasil jerih payahnya selama ini. Sudah di pastikan apa isi di dalamnya, yang pasti selalu membuat Kanz tersenyum-senyum.Jujur, ia pun tak pernah kepikiran untuk membeli benda seperti ini. Hatinya tergerak karena Inka, gadis itu mampu menggetarkan hati, jiwa dan pikiran Kanz secara pelan-pelan.Awalnya Kanz mengira jika apa yang ia rasa pada Inka hanyalah ketertarikan semata. Tapi Kanz salah, ketika hati dan pikirannya di kuasai Inka.Kanz mau makan ingat Inka, Kanz mau minum ingat Inka. Bahkan Kanz mau ke kamar mandi pun ingat Inka.Apa Kanz jatuh cinta? Cinta? Ya, Kanz jatuh cinta pada Inka.Untuk itu ia harus bertindak cepat menyatakan cintanya pada Inka, sebelum Inka di tikung pria lain.Senyuman di wajah Kanz tak pernah surut kala ia memikirkan segala rencana yang telah ia susun. Besok malam, dia akan mengatakannya pada Inka. Dan semoga gadis i
Kanz mengucap syukur pada sang kuasa karena bisa kembali berkumpul dengan keluarganya. Sarapan bertiga di satu meja yang sama membuat ketiganya bahagia, sesekali di iringi canda tawa di setiap obrolan yang mereka bicarakan.Selesai sarapan pak Hans mengajak Kanz untuk ke ruang santai di rumah mewahnya yang sangat luas. Seakan mengerti, bu Seana membiarkan ayah dan anak itu saling melepas rindu, meskipun ia sendiri jauh sangat merindukan Kanz.Pak Hans dan Kanz duduk saling menatap di sofa yang ada di ruangan santai itu. Senyuman kebahagiaan tak pernah hilang di wajah tua pak Hans."Papa tidak bekerja?" tanya Kanz melihat papanya yang tampak santai."Kan, ada kau yang akan menggantikannya." pancing pak Hans ingin melihat ekspresi putranya itu.Tak di duga, Kanz kali ini yang mendengar hal itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya."Katakan, siapa gadis itu?""Gadis siapa, yang papa maksud?" balik tanya Kanz bingung."Wanit
Mohan tampak kacau beberapa hari ini, terlihat ia begitu serius memandangi berkas-berkas di mejanya. Memfokuskan diri pada kerjaannya, tetapi sekuat apapun ia berusaha tetap saja ia tak bisa fokus.Pikirannya terus mengingat kejadian beberapa hari lalu, dimana ia menghabiskan satu harian penuh bersama Inka sekaligus menjadi hari terakhir mereka bertemu.Saat hari itu berakhir rasanya jiwa Mohan mati, semangat hidupnya menjadi redup. Lenyap, hilang tanpa jejak.Menangisi semua yang terjadi juga percuma, karena semua kesalahan memang berawal darinya. Mohan sedikit bersyukur, setidaknya Inka sudah memaafkannya dan itu sudah lebih dari cukup.Mohan melirik ke arah arlojinya, dia ingat hari ini ada janji temu kembali dengan pak Hans Laurent. Ayah dari Kanz, pria yang sekarang ini dekat dengan Inka.Mohan mendengus mengingat Kanz, betapa beruntung sekali pria itu selalu bisa berdekatan dengan Inka.Pak Hans mengatakan akan melakukan janji temu di tempat biasa
Selamat pagi!!! Adelle update nihAbaikan judul part-nya ya hihi, emang lagi syantiikkk.*****Inka menyesali hari ini, kenapa dari sekian banyaknya manusia di muka bumi ini. Inka harus berhadapan dengan satu orang yang sangat ia tak sukai, wanita yang telah mengambil lelaki di masa lalunya.Bukan benci, hanya saja Inka malas berurusan dengan kedua orang ini. Baik Dewi maupun Mohan, Inka sudah tak ingin ikut dalam urusan mereka."Jadi, kau bekerja disini?" tanya Dewi tersenyum sinis meremehkan.Rasanya sangat malas bagi Inka untuk menjawab pertanyaan wanita licik ini. Tapi, Inka masih sadar diri akan tempat dimana ia sekarang berada."Iya," jawabnya singkat."Mbak ingin pesan apa?" tanya Inka se-sopan mungkin."Sejujurnya Inka merasa sedikit curiga, dari sekian banyaknya penjual jus di kota ini. Kenapa Dewi malah membeli jus di tempatnya? Apakah ini memang murni karena ketidak sengajaan atau sengaja?Lagi-lagi Dew
"Inka!""Ya?" sahut Inka singkat dan santai."Nanti malam kau ada waktu tidak?" tanya Kanz sehati-hati mungkin."Kenapa?""Nanti malam aku ingin mengajak mu keluar, kau bisa kan?"Inka tampak diam berpikir dengan ajakan Kanz, cukup lama dan tak lama kepala Inka mengangguk."Dandan lah yang cantik, supirku yang akan menjemputmu." jelas Kanz tersenyum manis dan wajah berseri penuh kebahagiaan."Supir? Maksudmu?" tanya Inka bingung."Supir pribadi di rumahku Inka, mulai hari ini aku akan mencoba memulai kembali tinggal bersama kedua orang tuaku." jelas Kanz."Benarkah?" Kanz mengangguk."Syukurlah, aku ikut bahagia mendengarnya." lega Inka begitu bahagia."Semua berkatmu Inka, jika bukan kau yang selalu menasehatiku. Kemungkinan, saat ini aku masih berkeras hati."Inka tersenyum. "Kau terlalu memuji Kanz, aku hanya mengatakan apa yang menurutku benar. Aku ingin kau bahagia bersama kelu
"Inka, aku-""Kanz, tempat ini indah sekali!" ungkap Inka menjerit bahagia memotong ucapan Kanz.Kanz terdiam seketika, keberanian yang tadi sempat terkumpul hilang seketika. Tersenyum seraya mengulurkan tangannya ke arah Inka yang awalnya bingung namun setelahnya wanita itu menerima uluran tangan Kanz.Kanz membawa Inka untuk duduk di tempat yang sudah tersedia meja lumayan besar dengan dua kursi yang saling berhadapan. Indahnya lampu-lampu kecil yang terpasang di seluruh tempat ini menjadikan suasana terasa sangat romantis.Walaupun tidak ada musik yang mengiringi, tapi ini sudah jauh lebih indah dari Kanz bayangkan. Berduaan dengan Inka di tempat yang memang sudah di rancangnya ini pun ia sudah sangat bersyukur, setidaknya Inka tak menolak ajakannya.Inka tak perlu dan tak ingin repot-repot menanyakan ini tempat apa, karena ia tahu pastilah Kanz juga tak perlu repot akan menjawabnya. Cukup diam dan menikmati pada apa yang sudah Kanz berika
Tubuh Inka menegang dan menjadi kaku dengan semua yang Kanz utarakan. Pria itu mengungkapkan semua isi di dalam hatinya pada Inka, betapa Kanz jatuh cinta padanya pada pandangan pertama.Inka bisa melihat sendiri kelegaan yang terpancar di mata Kanz setelah pria itu menembak Inka dengan perasaan cintanya. Tinggallah sekarang Inka yang merasa tak berkutik bahkan bergerak, tubuhnya terasa kaku dan pikirannya belum bisa berpikir jernih."Kanz, aku-" jawab Inka tergugu setelah berhasil mengeluarkan suaranya dan kini malah menundukkan kepalanya menatap ke bawah meja.Kanz menunggu kalimat selanjutnya yang akan Inka keluarkan, namun sampai cukup lama ia menunggu, Inka tak kunjung juga membuka suaranya lagi.Kanz menghela napas sesaat pikirannya terlempar pada Inka yang bisa di pastikannya jika saat ini wanita itu luar biasa kagetnya."Jangan terlalu terburu-buru Inka, aku tidak langsung memaksa atau menagih jawaban darimu sekarang." lirih Kanz.Me
"Ciyeee, selamat sayangku!" teriak Kanz naik ke atas pelaminan untuk menyalami sepasang pengantin.Kanz langsung mendekatkan wajahnya mencium pipi kanan dan kiri Inka, kemudian Kanz memeluk Inka sambil kepalanya mengarah ke arah Mohan dan memeletkan lidahnya.Mohan melotot pada Kanz yang tengah mengejeknya, meskipun begitu Mohan tetap membiarkan Kanz yang memeluk Inka karena Mohan sekarang tak merasa cemburu pada pria itu, bahkan saat Kanz memanggil Inka dengan sebutan sayang sekali pun. Mohan sudah menganggap Kanz sebagai teman baiknya, sebab pria itu yang selama ini telah membantu memperbaiki hubungannya dengan Inka yang sempat terpisah."Bagaimana perasaanmu Inka?" tanya Kanz setelah melepaskan pelukannya.Inka tersenyum tersipu, "luar biasa, sangat bahagia!" kata Inka nyaris menjerit bahagia.Kanz tersenyum dan beralih menatap Mohan, matanya menyipit memperhatikan Mohan dari bawah ke atas. "Hmm, kau tampan juga ternyata kalau di dan
Hari yang dinanti akhirnya pun tiba, setelah menunggu beberapa hari yang waktunya terasa sangat lama berputar. Kini tiba saatnya Inka dan Mohan akan resmi menjadi suami istri setelah melewati hari ini.Semua orang tampak berbahagia menyambut suka cita hari pernikahan Mohan dan Inka. Tak terkecuali termasuk sepasang mempelai pengantin yang tampak menyambut antusias hari ini, raut keduanya pun tampak tegang kerena rasa gugup yang menjalari.Barusan Inka keluar dari ruangan rias khusus pengantin, Inka di dandani secantik mungkin dengan gaun pengantin yang sangat indah. Mohan benar-benar memberikan segala sesuatunya yang terbaik untuk hari pernikahannya yang kedua.Memang, ini pernikahan kedua bagi Mohan. Tetapi, pernikahan pertama yang dapat Mohan rasakan dengan perasaan bahagia yang membuat dadanya membuncah gembira.Inka keluar dengan di iringi iringan-iringan pengantin dan musik orkestra yang mengalun merdu yang mengiringi setiap langkah
Inka dan Mohan sama-sama sudah tidak sabar menunggu hari pernikahan mereka tiba. Tak perlu waktu lama bagi Mohan untuk mempersiapkan segala keperluan pernikahannya, kini tinggal menunggu seminggu lagi bagi mereka untuk melangsungkan pernikahan."Kau senang sayang?" tanya Mohan.Inka menggeleng, "aku bahkan sangat gugup menunggu hari itu tiba yang akan datang sebentar lagi. Huffftt!" desah Inka menenggelamkan wajahnya ke meja makan di rumah Mohan."Santai sayang, jangan merasa gugup." Mohan sebenarnya juga merasa tersiksa melihat Inka yang selalu merasa gugup apabila mengingat hari pernikahan mereka.Inka mengangkat kepalanya dari meja, "berapa tamu undangan yang akan hadir ke acara pesta pernikahan kita?" tanya Inka penasaran."Tak banyak, palingan banyak dari kalangan sesama pebisnis dan teman-temanku saja.""Hanya itu?" Mohan mengangguk."Kenapa?" tanya Mohan sembari merapikan anak rambut Inka.Inka mengigit bibir
"Sudahlah, mari kita mulai lupakan semua hal yang telah berlalu, melupakan semua hal yang menyakitkan. Dan mari kita mulai memikirkan masa depan, memikirkan hal baik yang akan kita lalui selanjutnya." kata Bu Ina tak ingin ada kesedihan lagi bagi keluarganya."Mulai pikirkan dari sekarang rencana pernikahan kalian." kata ayah Inka membuka suaranya yang tiba-tiba membahas soal pernikahan Inka dan Mohan."Pernikahan?" pekik Mohan dan Inka secara bersamaan.Ayah Inka mengangguk, "tentu kalian ingin hubungan ini sampai ke jenjang pernikahan, kan?" tanya ayah Inka.Inka dan Mohan kompak menganggukkan kepalanya lagi, "tentu ayah," Inka tersenyum bahagia."Makanya cepat mulai di pikirkan dari sekarang." kata ayah Inka lagi sebelum beranjak pergi dari situ."Benar apa kata ayahmu Inka, ibu setuju dan kalian mulailah memikirkan rencana pernikahan kalian." Bu Ina mengedipkan sebelah matanya menggoda dan ikut bangkit berdiri menyusul suaminya.I
Inka menggenggam tangan Mohan yang tampak sedikit gemataran karena gugup dengan malam ini. Sesuai dengan permintaan sang ibu yang menyuruhnya untuk mengundang Mohan agar datang malam ini ke rumahnya. Awalnya Mohan menolak dan syok mendengarnya, tapi Inka menjelaskan pada Mohan jika kedua orang tuanya sudah memaafkan dan merestui hubungan mereka.Meskipun begitu tapi tetap saja bagi Mohan rasanya sangat gugup dan canggung. Terlebih lagi beberapa waktu yang lalu kedua orang tua Inka menunjukkan sikap ketidak sukaan yang terkesan sangat membenci Mohan. Lalu dengan tiba-tibanya secara mendadak Inka mengabarkan kabar yang membahagiakan.Mohan tentu saja sangat bahagia, namun ia juga tak ingin jika kebahagiaannya itu hanya candaan dari orang tua Inka saja. Mohan tak ingin jika ini hanyalah sebuah mimpi yang indah.Kanz yang duduk di depan mereka berdua pun terkekeh melihat sikap gugup yang Mohan tunjukkan. Mohan bahkan sampai mendelikkan matanya agar Kanz berhen
"Ibu!" pekik Inka senang begitu membuka pintu kamarnya dan melihat sang ibu yang tengah berdiri di ambang pintu.Bu Ina menatap putrinya dengan tatapan sendu, melangkah mendekati Inka dan memeluknya. Mendapat perlakuan yang manis seperti itu dari ibunya, Inka sempat tertegun untuk beberapa saat dengan mata mengerjap berulang kali.Benarkah ini nyata? Benarkah ternyata saat ini yang tengah memeluk Inka adalah ibunya.Ragu-ragu tangan Inka bergerak ingin membalas pelukan Bu Ina. Syok saat mendengar suara isakan sang ibu yang terdengar sangat pilu."Ibu, tidak apa-apa?" Inka memberanikan dirinya bertanya pada Bu Ina.Beliau tidak menjawab pertanyaan putrinya dan lebih memilih semakin mengeratkan pelukannya. Suara isakan tangis Bu Ina pun semakin kuat, Inka tentu sangat kalut dengan ibunya yang menangis.Melepaskan pelukan, Inka menangkup kedua pipi ibunya. "Ibu, ada apa?" tanya Inka panik dengan mata berkaca-kaca.Bu Ina memegang k
Kanz baru sampai rumah yang langsung di sambut kedua orang tuanya, pak Hans dan bu Seina mengernyit melihat putra mereka yang pulang lebih lama dari biasanya."Lembur?" sapa pak Hans bertanya alasan mengapa Kanz pulang lebih lama hari ini."Tidak pa, aku habis dari rumah Inka." jawab Kanz jujur.Bu Seina dan pak Hans saling pandang setelah mendengar jawaban Kanz, kompak menggelengkan kepala melihat sikap Kanz yang pasti akan lupa waktu jika bersama Inka.Kanz melihat gelagat aneh dari kedua orang tuanya, "jangan salah paham, ke rumah Inka karena ada sedikit masalah jadi aku berusaha membantunya.""Masalah?" pekik sepasang suami istri itu kompak. "Masalah seperti apa?""Hanya sebuah kesalah pahaman saja antara Inka dan orang tuanya." tukas Kanz melirik secara bergantian ke arah mana dan papanya yang menatapnya dengan tatapan penasaran."Aku tidak mungkin menjelaskan secara detail kepada mama dan papa, intinya ini juga berka
Kanz melirik ke arah pintu utama rumah Inka yang terbuka sejak tadi, dimana berdiri ayah Inka yang hanya berdiam diri menyaksikan istri dan anaknya yang tengah bertengkar. Kanz tidak habis pikir dengan jalan pikiran ayah Inka, bukankah seharusnya pria itu melerai pertengkaran ini? Tapi, melihat keterdiaman ayah Inka Kanz sedikit berpikir jika kemungkinan saja ayah Inka termasuk suami takut istri."Ibu, tenangkan dirimu dulu, sebaiknya kita bicarakan ini secara baik-baik." bujuk Kanz sehati-hati mungkin."Diam kamu!" bentak ibu Inka. "Kenapa kamu masih disini juga? Bukankah saya sudah mengusirmu."Kanz kembali menelan air liurnya, sosok Bu ina malam ini benar-benar sangat tampak sangar dan mengerikan."Saya tidak akan pergi dari sini, saya tidak akan meninggalkan Inka menghadapi semua ini seorang diri. Bagaimana pun juga saya rasa ini hanya sebuah kesalah pahaman belaka Bu.""Berhenti memanggilku ibu!" seru Bu Ina marah mendengar K
"Kenapa diam saja?" tanya Kanz memperhatikan Inka yang sedari tadi hanya diam, bahkan saat sedang bersama Mohan pun Inka juga diam tak banyak bicara.Saat ini mereka berdua tengah di dalam mobil Kanz, seperti biasa Kanz menjemput Inka setiap pagi dan mengantarkan Inka pulang pada malam harinya."Entah kenapa perasaanku tak enak Kanz, aku merasa seperti sedang terjadi sesuatu hal yang buruk." ungkap Inka mengatakan hal yang meresahkan hatinya sejak dari tadi."Jadi, apakah karena itu kau hanya diam saja?" Inka mengangguk."Perasaan ku tak tenang Kanz." ungkap Inka lagi makin cemas.Kanz yang melihat kecemasan Inka pun ikut merasakan tak tenang, Kanz memberhentikan seraya menepikan mobilnya di pinggir jalan yang tak terlalu ramai."Jadi, bagaimana?" tanya Kanz menatap Inka."Entahlah, aku merasa takut ingin pulang ke rumah." lirih Inka yang juga menatap Inka dengan raut wajah memucat."Apa sebaiknya kau tidak usah pulang? B