Roda empat Christ akhirnya berhenti di depan pagar rumah Bening. Ada rasa hampa dan tidak terima jika hubungan yang sudah terjalin selam tujuh tahun lantas berakhir begitu saja. Sampai saat ini pun, hatinya masih terpaut pada Bening seorang.
Kendati sudah dua tahun ia mencoba menjalani semua dengan Chika, tapi Christ tidak mendapatkan chemistry sama sekali. Christ sudah mencoba dan mencoba, tapi hatinya tetap kembali pada Bening.
“Kita sama-sama tahu, kalau kita masih saling cinta, Ning,” ujar Christ mencoba kembali meyakinkan.
“Tapi, kita harus berhenti Christ,” balas Bening sudah membuka sabuk pengamannya. “Mama kamu benar, kalau hubungan kita nggak akan pernah maju kalau salah satu nggak ada yang mau mengalah.”
“Ada jalan lain, Ning.” Christ sudah menimbang semua hal, tinggal menunggu persetujuan Bening, maka semua akan terlaksana. “Kita bisa pergi ke Singapur, menikah di sana, Atau, kita bisa pindah dan tinggal di sana sekalian.”
Bening ya
Rating saia ubah 18+ yakk (Harusnya cerita saia semuanya memang18+, ekkeke...). Bukan karena ada konten 'Dewasa'nya di sini. Tapi, sudut pandang yang saia ambil adalah sudut pandang sekular. Sensitif, mungkin iya, karena hal seperti ini sebenarnya sudah terjadi di luar sana. So, happy reading Mba beb ...
Seberapa pun kerasnya Bening menahan senyumnya di depan Sinta, tetap saja wanita tua itu tahu, kalau perasaan sang cucu kini sedang berbunga-bunga. “Belum gajian, kan?” sindir Sinta. “Atau lagi dapat arisan?” Akhirnya, wajah yang masih terlihat pucat itu meringis lebar, dan meletakkan sendoknya sebentar untuk meminum air hangatnya. “Gimana suratnya tadi, Ti? Sudah dibaca semua?” Bening mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Sinta mengangguk kecil dengan penuh rasa curiga, jika Bening telah menyembunyikan sesuatu darinya. “Sudah oke. Jadi, nanti tolong hubungi pak Rohit, biar Uti bisa tanda tangan semuanya besok siang.” Bening balas mengangguk. “Oke, Ti, habis makan aku langsung telepon, pak Rohit.” Keduanya kembali menikmati makan malam dengan beberapa perbincangan kecil nan hangat. Namun, ketika makan malam telah selesai, Sinta melihat ada sesuatu yang terselip di jemari tangan kiri cucunya itu, ketika hendak membawa piring dan gelas
Bening hanya bersedekap di sofa. Menatap datar pada sang papa, dan ibu tiri yang sedang berada di samping ranjang pasien. Kedua orang itu tengah mencari berjuta perhatian dengan tidak tahu malu. Bening sampai muak karena mendengar kalimat-kalimat manis yang terlontar dari mulut keduanya yang sudah datang ke rumah sakit pagi-pagi sekali. Semalam, Bening langsung membawa Sinta ke rumah sakit dengan bantuan taksi. Ia tidak mau mengambil resiko, dengan hanya membiarkan wanita tua itu hanya berada di rumah setelah pingsan di pelukannya. Di saat-saat seperti ini, hanya satu yang Bening takutkan, yakni Sinta akan meninggalkannya untuk selamanya. Bening sama sekali tidak bisa membayangkan, kalau hal tersebut sampai terjadi di hidupnya. Kendati, semua hal itu pasti akan menimpa kepada semua mahkluk ciptaanNya. Tidak berapa lama kemudian, kedatangan Mala sedikit memecah perhatian Ilham dan istrinya. Mala tidak lupa menyapa sepasang suami istri itu terlebih dahu
Meskipun hanya beberapa kali melihat, tapi Aga sudah mengenal mobil yang terparkir tidak jauh dari pintu lobi kantornya dengan baik. Lantas, yang membuatnya semakin heran ialah, Aga melihat Bening keluar dari mobil tersebut. Sejurus kemudian, Aga juga melihat Bening melambai dengan senyum kecil, untuk melepas kepergian sedan berwana hitam yang meninggalkan area parkir gedung SM.Begitu mobil tersebut menjauh dan Bening pun terlihat berjalan pelan menuju pelataran kantor, Aga keluar dari roda empatnya. Membanting pintunya dengan kasar, lalu berjalan untuk menyusul Bening dan menyamakan langkahnya.“Diantar mantan pacar, Ning?”“Hm,” gumam Bening terus saja berjalan memasuki lobi dengan lesu dan juga menunduk pilu. Kepalanya terlalu penat karena memikirkan Sinta yang masih saja tidak memb
“Maksudnya … Bapak mau jadiin saya selingkuhan gitu?” tanya Bening lalu kembali menggigit bibir bawahnya begitu kuat, karena rasa gugup yang mendadak melanda dirinya. Wajah Aga yang masih berada tepat di depannya, membuat jantung Bening melonjak tidak karuan. “Nggak ingat, sama istrinya di rumah?” Aga menatap manik jernih itu untuk beberapa saat, kemudian mengerjap. Pertanyaan Bening barusan seolah menamparnya bolak balik dengan telak. Aga baru menyadari kalau dirinya saat ini masihlah memiliki seorang istri. Sudah terbiasa mengurus diri sendiri dan tidak pernah menghabiskan quality time bersama keluarga, membuat Aga seketika melupakan semuanya. Bahkan, putra satu-satunya yang dimiliki Aga pun, belakang ini lebih banyak menghabiskan waktu bersama kakek neneknya daripada bersama dirinya dan sang istri. “Atau, Bapa
Bening mengetuk kaca pintu mobil di sisi Christ, ketika pria itu menjemputnya sepulang kerja. Menunggu untuk beberapa detik hingga kaca hitam tersebut bergerak turun dengan perlahan.“Kenapa nggak masuk? Lembur?” tanya Christ setelah kaca mobilnya terbuka sempurna. Melihat Bening tanpa membawa tas sama sekali.“Keluar bentar, aku mau ngomong,” pinta Bening dengan wajah dan intonasi suara yang lesu. Christ mengangguk lalu keluar tanpa menutup kembali kaca mobilnya. Ia lalu bersandar pada badan mobil, seraya bersedekap. Menunggu sang kekasih untuk berbicara.“Lembur?” taya Christ sekali lagi karena Bening belum menjawab pertanyaannya.Bening menggeleng, lalu melepas cincin pember
Bening menggeleng pelan pada Christ, ketika ia berjalan di samping Aga menuju mobil pria itu. Mengisyaratkan, kalau Bening sudah tidak ingin lagi berbicara pada Christ. Aga pun hanya menatap Christ sekilas. Menampilkan wajah datar tanpa keramahan sama sekali. Aga terus berjalan menuju roda empatnya dan membukakan pintu mobil untuk Bening terlebih dahulu, sebelum akhirnya ia juga memasukinya. “Sudah selesai?” tanya Aga sudah melajukan mobilnya melewati Christ. “Ah?” Bening yang sempat melamun itu mendadak tersadar. Menoleh pada Aga dan bertanya, “Apanya yang sudah selesai, Pak?” “Kamu dengan dia,” ujar Aga memperjelas pertanyaannya. Bening tersenyum kecut. Mengalihkan tatapannya keluar jendela dan tidak menjawab Aga. Perasaannya benar-benar rumit. Berada di antara dua pilihan yang terlalu berat, hingga Bening lebih memilih untuk diam. “Kita ke rumah sakit?” Dengan melihat sikap Bening, sepertinya Aga bisa sedikit memahami, mengapa gadis
Vira menatap sang suami yang sudah terlihat rapi di pagi hari ini. Rapi dalam style Aga tentunya. Kemeja yang selalu tidak lepas dengan jaket apapun yang tersedia di lemari, celana jeans, dan sneaker yang selalu digunakannya untuk bekerja. Dahulu kala, Vira sangat menyukai penampilan Aga yang selalu kasual, energik, dan selalu terlihat lebih muda dari usianya. Namun, semakin ke sini, Vira menginginkan sosok yang selalu terlihat formal dan wibawa bersama jas dan dasi yang melingkar di pangkal leher. Sampai-sampai, Vira kerap membayangkan melilitkan dasi pada kemeja putih yang setiap pagi akan dipakai oleh sang suami. Hanya saja, Aga bukanlah pria seperti itu. Ditambah, profesinya yang tidak mewajibkan untuk berpakaian formal, membuat pria itu semakin betah dengan penampilannya saat ini. “Berangkat pagi?” tanya Vira yang baru saja menyuapkan serealnya sembari duduk santai di sebelah kitchen island. “Bukannya semalam juga pulang hampir pagi?” Semalam, se
Bening merasa bersalah dan tidak enak hati. Ia tidak tega menolak Aga karena pria itu sudah menemaninya hingga larut kemarin malam. Namun, apa yang telah terjadi di antara mereka saat ini, sungguh tidak bisa diteruskan. Aga sudah memiliki istri dan juga seorang anak, jika mereka larut seperti sekarang, tidak menutup kemungkinan kalau ketertarikan itu akan muncul nantinya. “Kenapa Bapak, nggak sarapan di rumah?” tanya Bening setelah menelan nasi kuning yang telah dibuat oleh Ruri di rumah. Sementara Aga, pria itu memesan soto ayam di kantin rumah sakit. Jika saja yang di depan Bening saat ini adalah Christ, maka ia tidak akan segan untuk makan sepiring berdua dan saling suap. “Tadinya mau sarapan di luar,” jawab Aga sesuai dengan kenyataan yang ada. “Tapi karena kamu nggak angkat telepon saya, jadi ya, saya langsung ke sini.” “Nggak sarapan di rumah?” pancing Bening merasa ada sesuatu yang aneh. Jika dirunut ke belakang, entah mengapa Bening memiliki firasat y
Haluu Mba beb ... Sang Sekretaris beneran tamat dund. Mas Telaga Cakrawala sama mba Bening Bhanuwati mohon pamit undur diri dulu. Mereka mau istirahat. Kan, mau buatin adek buat Awan. :D :D :D Nanti, kita ketemu sama mereka lagi di spin off-nya dengan judul SANG PENGACARA, dan kita tuntasin hil-hil yang masih menggantung di sana. Daaan, berikut ini daftar penerima koin GN dari saia untuk 5 top fans pemberi Gems terbanyak di Sang Sekretaris. Datanya diambil per tanggal 30 June 2022 tepat pukul 06.00 WIB. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Tralala : 750 koin GN + pulsa 150 rb Demigoddess : 500 koin GN + pulsa 100 rb Zee Sandi : 350 koin GN + pulsa 50 rb Lili Ning Mardani : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanietha_ Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi, saia bisa setor
“Ayo, keluar.” Bening merengek, sembari menggelengkan kepala. Ia belum siap dengan ajakan Aga, untuk menemui sang mertua yang meminta mereka datang pagi ini. Karena Bening tahu, yang akan dibahas oleh Arum, pasti masalah itu lagi, itu lagi. “Dulu, waktu sama bu Vira, mama begini juga nggak, sih?” “Nggak.” Aga langsung menjawab dengan pasti. “Kok, sama aku begini?” sambar Bening secepat mungkin, sambil meremas tali sabuk pengaman yang masih belum ia buka. “Tapi sama bu Vira, nggak?” “Karena kami dulu masih muda, Beb,” jawab Aga lalu mencondongkan tubuh untuk membuka sabuk pengaman sang istri. “Masih sibuk meniti karir, dan betul-betul merintis semua dari nol.” “Eh, aku juga masih muda.” Bening kembali berkilah seperti biasa. “Tapi aku?” Aga menjatuhkan satu kecupan hangat di pipi sang istri. “Sebentar lagi, aku sudah kepala empat. Mama sama papa juga nggak akan selalu fit seperti sekarang.” “Kamu, tuh, sepertinya udah mulai oleng, deh.” Bening mencibir lalu memanyunkan bibir. “I
“Mama itu ada ngomong apa, sih, sama Awan?” Bening membuka rumah pemberian Aga yang baru saja selesai di bangun. Masih kosong, dan belum diisi furniture sama sekali. Ini pertama kalinya, Bening dan Aga menghampiri rumah mereka ketika semuanya sudah bersih dan siap diisi berbagai perabotan dan ditempati. Jika mengingat resepsi pernikahan mereka yang akan digelar sebentar lagi, keduanya sudah bisa menempatinya setelah pulang dari bulan madu. “Mama? Ku?” Aga bertanya ragu, karena mereka pagi tadi sempat mengajak Awan pergi ke rumah Clara. Sudah dua hari Awan menginap di apartemen, dan waktunya mengembalikan bocah itu pada Vira. Jika tidak, mantan istrinya itu pasti akan menelepon Aga tanpa henti. “Atau, mamamu?” “Mamamulah.” Hentakan ujung high heels Bening menggema pada lantai marmer di seluruh ruang yang masih kosong itu. “Mama Arum.” “Mamaku, ada ngomong apa?” Aga dengan cepat menyusul langkah Bening yang terlihat kesal. Namun, tidak berniat untuk mensejajarkan langkahnya. Ke ruan
Arum membuang napas panjang. Meskipun masih setengah hati, tapi ia sudah tidak bisa berbuat apapun lagi. Mengingat, bagaimana putranya itu terlihat sangat jatuh cinta dengan Bening, pun dengan Awan yang tidak mempermasalahkan semuanya, Arum menyerah. Namun, menyerah di sini bukan berarti Arum setuju, karena ada sebagian dari hatinya masih tertinggal dengan Vira.Dalam diam, terkadang Arum masih memikirkan nasib mantan menantunya itu. Arum mengerti jika sikap Vira memang tidak bisa dibenarkan, tapi Aga pun ternyata sudah patah arang dan tidak ingin melanjutkan rumah tangganya kembali. Jadi, hanya perpisahan yang menjadi jalan keluar satu-satunya.“Jadi, bagaimana kalau resepsinya dipercepat saja?” usul Clara di tengah-tengah pertemuan kedua keluarga yang diadakan di rumahnya. Sudah dua bulan berlalu dari pembacaan surat wasiat Camila kala itu, tapi baik Aga, maupun Bening tidak kunjung menyinggung masalah resepsi pernikahan. Sampai akhirnya, Clara meminta Aga menghubungi kedua orang tu
“Telaga … Cakrawala.”Pria paruh baya yang duduk santai pada kursi taman di belakang rumah, mengangguk-angguk ketika melihat Aga muncul di hadapannya.“Awalnya saya sangsi kalau yang disebut mendiang ibu Camila adalah Aga yang sama, tapi, sangat kecil kemungkinannya kalau ada dua orang yang namanya sama persis seperti kamu,” tunjuk pria itu, lalu menatap gadis yang berada di samping Aga.Seluruh anggota keluarga yang sudah lebih dulu berkumpul, hanya bisa tersenyum canggung. Selain berprofesi sebagai pengacara keluarga, pria paruh baya yang duduk bersama putranya itu, juga merupakan sahabat dekat mendiang Camila.Aga memberi senyum ramah, lalu segera menghampiri pria tersebut bersama Bening. “Apa kabar, Be? Kita lama nggak ketemu.”Pria paruh baya dengan nama asli Rasyid Pamungkas itu, segera berdiri untuk menyambut uluran tangan Aga. “Saya kaget, waktu Abi bilang kamu sudah nikah lagi. Lebih kaget lagi, waktu tahu kamu menantu dari mendiang ibu Camila.”Setelah menjabat tangan Aga, R
“Percuma beli mobil baru.” Bening berdecak, dan selalu saja sibuk membeo setiap kali jalan bersama Aga. “Pergi ke mana-mana selalu disupirin gini. Buang-buang uang tahu, nggak!”“Kan, lebih enak disupirin gini.”“Terus ngapain beli mobil baru, kalau aku nggak boleh nyetir sendiri,” protes Bening.“Siapa bilang nggak boleh nyetir sendiri?” sanggah Aga tetap tenang tanpa melirik sang istri sama sekali. Ia hanya menatap lurus pada jalan raya, sembari menahan tawa. “Kebetulan aku punya waktu luang, jadi mending aku yang nyupiri, kan?”“Kenapa kamu selalu punya waktu luang pas aku mau jalan.” Bening kembali protes karena curiga dengan sikap Aga. Semakin ke sini, pria itu semakin posesif saja. Ke mana pun Bening pergi, Aga akan selalu punya waktu pergi menemaninya. “Pas jam kerja juga gitu. Pasti mendadak bilang kerjaan selesai, kalau aku izin mau jalan.” “Karena kerjaanku memang sudah selesai,” jawab Aga santai tanpa beban. “Lagian mobilmu ini juga kepake, kan? Jadi, kita belinya nggak si
Meskipun Camila sudah beristirahat dengan tenang di pembaringan terakhirnya, suasana rumah duka yang begitu megah itu masih saja terlihat ramai. Para tamu datang silih berganti, untuk menyampaikan duka mendalamnya.Yang Bening perhatikan, Fikalah yang justru terlihat sangat kehilangan atas kepergian sang oma. Gadis itu bahkan sempat tidak sadarkan diri, ketika tubuh beku sang oma diturunkan ke peristirahatan abadinya. Untuk satu hal itu, Bening bisa merasakan semua yang dialami Fika karena pernah berada di posisi yang sama.Clara terlihat lebih tegar, dan terus mencoba menguatkan putri kesayangannya atas kehilangan mereka. Sungguh sebuah pemandangan yang membuat hati Bening kembali tercubit perih.Bening … cemburu dengan kedekatan Clara dan Fika.“Hei.” Aga mengusap lengan Bening yang berada dalam rangkulannya. “I know what you’re thinking.”“No, you’re not.”“Ayolah, Beb. Kamu harus paham situasinya.” Sedari tadi, Aga memperhatikan ke mana tatapan sang istri tertuju. Pun dengan ekspr
Aga berbalik, ketika mendengar pintu kamar mandi terbuka. Menelan ludah, saat melihat kaki jenjang itu melangkah pelan, dan menampilkan tubuh segar yang hanya berbalut handuk. Senyum jahil yang disematkan oleh sang istri yang tengah mengusap surai basahnya, sungguh membuat Aga ingin menghempas tubuh Bening ke ranjang dan memasukinya.Namun, jadwal bulanan yang tengah didapatkan sang istri, membuat Aga hanya bisa menggigit jari. Bersabar, karena Aga tahu penantiannya nanti tidak akan sia-sia.“Jam sepuluh balik, lho, ya,” ujar Bening mengingatkan dengan wajah semringah. “Kita cari mobil baruuu.”“Aku cuma di bawah, Beb.” Aga meraih pinggang ramping sang istri yang sudah berhenti tepat di depannya. “Kamu bisa susul ke bawah, terus kita langsung jalan.”Bening mengangguk setuju dengan usul Aga. Ia lalu berjinjit, dan memberi satu kecupan singkat pada bibir bawah Aga yang terbuka. “Awan jadi nginap di sini? Atau masih ditahan sama omanya?”“Omanya masih mau nahan karena kesepian, tapi Aw
“Lama banget pulangnya.” Dengan memegang sepiring bihun goreng yang masih tersisa separuh, Bening sedikit merajuk menyambut kedatangan sang suami.Aga melepas jaket bombernya, sembari menghampiri Bening. Melemparnya ke sembarang arah, lalu menghempas bokongnya di samping sang istri. Aga memberi kecupan pada pipi Bening terlebih dahulu, barulah menanggapi protes istrinya.“Tadi ada om Romi di bawah.” Pulang ke apartemen dan disambut dengan pemandangan indah seperti sekarang, sungguh membuat semua lelah Aga hilang seketika. Satu setel baju tidur yang terdiri dari tanktop dan celana pendek itu, sungguh memberi sebuah energi tersendiri bagi Aga.“Om Romi?” Bening menoleh sambil mengunyah bihunnya. “Ngapain malem-malem dateng ke sini? Sendirian apa sama istrinya?”Aga langsung mencapit bibir istrinya itu dengan gemas. “Istrinya om Romi itu, mamamuuu,” decak Aga lalu sedikit menggeser bokongnya untuk merebahkan diri, dan meletakkan kepala di paha mulus sang istri. “Om Romi datang sama Dean.