“Sebenarnya aku mau tanya kalau job pak Lando itu aku ambil, kamu keberatan tidak? Kita tahu peraturan tidak tertulis di rumah mami tidak ada curi mencuri tamu yang sudah datang,” jelas Eve singkat.
“Iya ambil saja aku tidak ada masalah.” Natasya menghembuskan nafas lelah. “Ok thanks Sya, selamat istirahat,” kekeh ceria si penelepon. “Hem.” Di lempar ponsel ke nakas samping ranjang.Beberapa hari ini memang mami terus menghubunginya, mengatakan pak Lando ingin menemuinya lagi namun Natasya tolak. Apa lagi yang akan membuatnya lebih malu menemui Gaza. Karena pertemuan terakhir mereka seminggu lalu itu Natasya menolak semua tamu yang datang.Di tatap langit kamar putihnya, mengingat pertemanan mereka semasa sekolah dahulu. Walaupun kesal dan menggerutu, Gaza selalu menyampaikan salam dan hadiah serta surat dari teman sekolah mereka. Gaza yang judes luar biasa kadang di jadikan tameng Natasya menolak keluar dengan teman-teman lelaki mereka. Namun ada sedikit rasa ingin tahu Natasya bagaimana Gaza selama ini. Gaza adalah pria baik seingat Natasya, apakah ada niatan lain yang Gaza rencanakan.Jengah karena terus menerus mami menghubungi meminta Natasya menemui tamu Lando, akhirnya Natasya menyetujui. Ia akan membuat Gaza berhenti menemuinya. Natasya menunggu di jemput di sebuah cafe, ia sengaja menunjukkan tampilan tanpa make up dan hanya mengenakan celana bahan panjang serta jaket hitam. Masihkah Gaza tetap akan membawanya. Sebuah mobil hitam terparkir di sana, tidak lama ponselnya berdering. Gaza meminta Natasya keluar cafe untuk segera masuk ke mobil. Pada akhirnya Natasya mengizinkan mami memberikan nomornya pada Gaza.Natasya langsung masuk ke mobil tanpa menyapa Gaza, sedangkan pria di samping tidak menanyakan apapun. Begitu Natasya duduk, mobil langsung meninggalkan pelataran parkir cafe tersebut. Mereka berdua saling diam sampai Natasya sendiri yang tidak tahan hanya berdiam.“Mau kemana sih kenapa masuk tol? Kamu tidak lihat penampilan aku? Enggak usah jauh-jauhlah sekitar sini saja. Toh cuma mau mengobrolkan?” ujar Natasya memancing obrolan.Gaza menoleh sejenak. “Aku bahkan pernah lihat kamu lebih jelek dari ini Di, pas tengah malam kebersamaan di SMA. Kamu enggak berani ke kamar mandi sekolah. Pas lihat aku di lorong kelas main tarik saja minta di temani. Percayalah malam itu kamu belekan, rambut berantakan, dan baju tidur yang miring sebelah. Sampai tali dalaman kamu kelihatan, merah lagi warnanya.” “Sialan kamu Ga! Jangan mengarang cerita.” Natasya pukul Gaza dengan dompet yang ia pegang. “Aku enggak mengarang cerita Di, betulan separah itu sampai enggak bisa di lupakan. Coba dulu mereka si cupu-cupu yang katanya suka kamu lihat kamu kaya begitu. Putar balik semua pasti.” Gaza tertawa terbahak-bahak akan reaksi Natasya yang memukulinya membabi buta. “Kenapa sih kamu harus mengingat hal memalukan kaya begitu, itu dulu bangun karena kebelet. Mana sempat rapikan rambut sama membersihkan mata. Lagian siapa yang mau lihat tengah malam begitu, kamu doang sepertinya.” Melipat tangan Natasya kesal di ingatkan akan kejadian itu. “Jam itu aku tugas jaga keliling sama Roman,” ucap Gaza setelah selesai tertawa. “Berarti Roman juga lihat?” keluh terdengar dari Natasya. “iyalah dia sampai bengong lama banget, terus berkali-kali bilang itu tadi betulan Diwang Ga?” Gaza menjelaskan dengan terkekeh. “Ya ampun.” Natasya menutup muka malu membayangkan. “Memang kenapa, terlihat berantakan bukannya wajar. Kamu belum lihat saja seberantakan apa aku kalau lagi malas mandi.” Gaza menaikkan suhu pendingin, tiba-tiba ia merasa panas mengingat Natasya dahulu. “Enggak ingin lihat juga,” lirih Natasya. “Terima kasih Di sudah mau menemui aku walau dengan tampang senggol bacok.” Kembali Gaza terkekeh puas. “Siapa yang bisa tolak duit banyak begitu kan? salah satunya tentu aku,” sindir Natasya.Gaza menoleh ke arah Natasya, menatap wanita di sana dalam. Begitu mendengar jawaban yang terlontar dari mulutnya. “Kenapa kaget begitu Ga? wanita yang kamu panggil ini bukan wanita dengan tali merah berantakan yang kamu ingat dahulu. Aku adalah Natasya wanita malam yang doyan mengencani pria hidung belang berkantong tebal. Ayolah tidak perlu sekaget itu,” sindir Natasya sengaja mengatakan itu agar Gaza paham ia sudah berubah. Senyum Gaza membuat Natasya mengerutkan kening, Gaza benar gila sepertinya. “sepertinya kamu tidak bisa di ajak ngomong baik-baik ya Di. Padahal kamu malu seperti tadi lebih baik dari pada melotot mengajak ribut begitu. Nanti saja ributnya aku pasti bisa berantem mulut sama kamu. Buat sekarang tolong jangan tarik urat leher dulu ya. Kepala aku lagi berasa mau meledak jadi dari pada kita ribut kalau sudah mulai buka suara lebih baik kita sama-sama diam,” tukas Gaza tanpa menatap Natasya. Sekali lagi Natasya perhatikan wajah pria di samping, benar ia dapat lihat raut lelah dengan rambut berantakan di sana yang luput dari pengamatannya. Apakah Gaza baru pulang kerja, sepertinya tidak karena ia hanya mengenakan jeans dan kaos hitam. Akhirnya Natasya diam memandang jalanan di depannya. Sesampainya di daerah puncak, rupanya hanya ada beberapa vila besar di sana. Lumayan jauh ke dalam dari kebanyakan vila yang biasa di sewa ke pengunjung untuk berlibur. Gaza memasukkan mobil setelah menghubungi seseorang yang Natasya yakin pasti pengurus vila. “Kita mau menginap? aku tidak bawa ganti Ga.” Natasya berkata dengan mata menelisik sekitar yang sepi. “Tidak, tenang saja. Sore balik lagi, aku cuma mau tidur saja kok. Ayo masuk kamu mau berdiri saja di situ?” Gaza berjalan meninggalkan Natasya yang terpesona pada pemandangan di sana.Pohon besar rindang berjejer mengelilingi vila itu, kicauan burung samar terdengar di telinga Natasya. Ada jalan setapak batu terlihat di sisi kanan taman indah terawat di sana. Ingin Natasya ke arah sana, namun kedatangannya ke sini bukan untuk berlibur.Memasuki pintu vila di sambut potret keluarga yang berbingkai besar berwarna emas, tiga pria dewasa memakai jas hitam. Dua pria berparas hampir sama duduk di depan pria paruh baya yang memegang ke dua bahu mereka dengan senyuman teduh. Senyuman bahagia penuh kebanggaan terpancar dari pria paruh baya tersebut. Dapat Natasya kenali itu adalah Gaza dan kakak kembar serta ayahnya. Mereka berdua sangat mirip jika diperhatikan sekilas, namun jika di telisik lebih cermat Gaza memiliki mata lebih kecil dari sang kakak. Tidak ada lesung pipi seperti yang di miliki kakaknya. Dan rambut Gaza sedikit ikal dengan senyuman persis keduanya bagai pinang di belah dua.“Jangan terpesona begitu sama Valen Di, dia mau menikah akhir bulan ini dengan mantan calon istri aku,” tukas Gaza.“Hah bagaimana? menikah dengan calon istri kamu?” pekik Natasya.“Mantan calon istri,” keluh Gaza.“Maksudnya bagaimana?” tambah Natasya masih tidak mengerti.Seorang bapak tiba-tiba datang membawa nampan minuman. Mengangguk menyapa Natasya yang di jawab anggukan pula oleh Natasya. “Terima kasih Mang, Mamang boleh pulang saja. Nanti sore saya hubungi kalau mau balik Jakarta.” Gaza menerima nampan itu sebelum ia berikan pada Natasya yang sudah duduk di kursi rotan panjang di ruang tamu. “Baik Den, Aden butuh apalagi sebelum Mamang pergi? makanan sudah di buat sama bibi tapi kalau Aden ingin yang lain bilang saja Mamang carikan nanti.” Bapak yang di panggil mamang menerima kembali nampan dari Natasya. “Nanti kalau saya perlu yang lain akan telepon Mamang. Tolong bilang sama istri Mamang terima kasih ya nanti kita makan.” Gaza memutar bahu bapak itu mengantar masuk ke dalam. Dapat Natasya lihat Gaza memaksa si bapak mengantongi amplop yang Gaza masukan tiba-tiba ke saku jaket bapak itu. A
Tatap ingin membunuh dari Natasya menjadikan Gaza salah tingkah kemudian menggaruk rambut kepala hingga semakin berantakan. Beberapa saat setelah kejadian bodoh yang Gaza lakukan, ia langsung tersadar dan mengejar Natasya segera. Meminta maaf yang tentu saja tidak mudah ia dapatkan dari wanita angkuh di depannya sekarang, yang melipat tangan dan mengangkat dagu tinggi. “Maaf Di sungguh aku .... ““Kalau mau bodoh jangan melibatkan aku Ga!” Natasya mengambil bantalan sofa di samping dan ia lempar kuat ke Gaza. Menyisakan tawa kecil dari Gaza tanpa perlawanan.“Iya maaf banget sumpah tadi kaya yang keterlaluan saja kata-kata kamu. Berasa enggak terima jika kenyataannya Naren seperti itu. Sudah kita tutup saja masalah mereka biar jadi urusan ku. Mana coba lihat tangan kamu yang tadi aku tarik, luka?” Gaza berpindah tempat duduk ke samping Natasya. Menarik tangan Natasya pelan, lalu meringis menatap merah pekat di sana. Sekuat itukah tadi perlakuan kasarnya
Malam semakin larut ketika Natasya sudah mampu mengendalikan tangis hebatnya, begitu menyadari ia masih dalam pelukan Gaza dalam posisi yang amat memalukan jika terlihat orang. Di dorong dada Gaza agar ia bisa bangun dari sana. Bagaimana bisa ia berada di atas Gaza yang masih memeluk erat sesekali membelai rambut berantakannya yang terlentang di atas sofa hitam. “Jangan mencari kesempatan Ga!” sentak Natasya.Natasya sudah berdiri dan menghapus jejak basah di wajah dan merapikan rambutnya. Menolehkan wajah entah kemana asalkan tidak menatap mata teduh di sana. Gaza tidak menghiraukan emosi Natasya yang mudah berubah-ubah. Setelah bangun dari posisi tidur, di tarik pelan Natasya untuk kembali duduk.Gaza belai wajah merah sembab itu dengan senyum kecil. “Masih lebih jelek wajah bangun tidur kamu dulu kok Di.” “Apasih pegang-pegang. Awas!” Kembali Natasya jauhkan tangan Gaza dari wajahnya. “it’s ok Diwang ... terima kasih ya sudah mau cerit
Dunia malam adalah gambaran ketidakadilan bagi sebagian orang, banyak yang memandang negatif pekerjaan mereka. Si kaya yang merasa senang akan adanya kupu-kupu malam, dan si miskin yang selalu mencemooh, menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan lain sebagainya. Natasya sendiri tidak peduli bagaimana orang memandang serta menilai dirinya, ia tidak peduli alasan apa yang membawa tamunya datang dan bersedia merogoh kantong dalam-dalam. Natasya hanya peduli akan kenyamanan hidupnya yang dahulu ia susah dapatkan. Cela dari orang lain dianggap angin lalu saja bagi Natasya.Di ruangan bernuansa putih seorang wanita paruh baya duduk menumpukan kakinya, mengenakan gaun panjang biru laut, dengan tatanan rambut selayaknya wanita sosialita masa kini. Berdandan cantik hingga tidak tampak banyaknya usia yang sudah di habiskan wanita tersebut. Natasya memasuki ruangan itu dengan santai.“Hai Cantik.” Mami mencium pipi Natasya setelah di peluk erat oleh Natasya. Kemudian menggerutu saat Natasya mengam
“Dasar brengsek! laki-laki tidak tahu diri! laki-laki kurang ajar! beraninya membawa wanita ke hotel. Sialan kamu Pa!” Membabi buta Gio di pukul oleh wanita itu menggunakan tas yang ia bawa. Tidak memberikan waktu Gio menangkis sekalipun.“Dengar Ma dengar dulu.” Gio berusaha menahan tangan-tangan itu yang terus menghujaninya dengan pukulan dan umpatan-umpatan. Namun tidak di dengarkan oleh wanita yang sudah di penuhi emosi dan amarah itu.Natasya hanya mengamati dengan masih bersandar di dinding, ia tidak tertarik akan perkelahian suami istri, walaupun tidak bisa di tutupi ia turut andil dalam masalah itu sendiri. Lalu wanita dengan nafas memburu itu menoleh ke arah Natasya, matanya sudah menyala-nyala menatap Natasya yang tidak bergeming. Kemudian melayang juga sebuah tamparan di pipi kiri Natasya dengan suara nyaring. “Wanita murahan! bisa-bisanya mau di ajak tidur sama suami orang. Dasar sampah!” umpatan demi umpatan dari istri Gio di tunjukan untuk Natasya, tidak ada balas umpat
Menggunakan kruk di kedua ketiaknya di bantu seorang wanita memasuki ruangan kerja Gaza. Saat melihat siapa yang datang, Gaza yang tengah lelah baru saja ke lapangan tempat proyek barunya langsung bertambah mendidih kepalannya. Bagaimana bisa mereka berdua berani mendatangi kantornya.“Tunggu Ga tunggu tolong jangan langsung marah, kita ke sini mau ngomong baik-baik. Setelahnya boleh lo menghajar gua lagi.” Valen datang bersama Naren.Tampak jelas ada raut ketakutan di mata Naren saat bertatapan dengan Gaza. Hanya sekian detik, sebelum Gaza pindahkan pandangan ke wajah Valen dengan masih terlihat jelas jejak amukannya waktu itu. Tidak menjawab perkataan Valen, Gaza justru mengangkat gagang telepon di meja. Menghubungi seseorang.Dengan suara berat Gaza berkata. “Sudah gua bilang, lo gua pecat jika Valen bisa masuk ke ruangan gua Lan.”“Sory bro sory banget, tapi tadi Valen mohon-mohon. Mana tega gua,” jawab Olan di seberang telepon.“Gua tunggu surat pengunduran diri lo sebelum ja
“Dia enggak pernah suka sama gua Lan, asal lo tahu saja. Dulu gua dekil jaman masih sekolah.” Natasya masih tertawa membayangkan rupa wajahnya dahulu.“Hem ... berarti lo enggak peka Sya, Gaza suka lo dari masih dekil.” Olan menunjuk Gaza dengan dagunya.Menggelengkan kepala Gaza kembali berkata. “Obrolan macam apa ini bahas masalah dekil.”“Yang ada di kepala Gaza jaman sekolah isinya pelajaran Lan, mana pernah dia naksir cewek. Nilai turun saja takut pulang di marahi ayahnya. Saingan berat masalah nilai kita itu dulu,” pungkas Natasya.Olan mengangguk-angguk dengan senyuman penuh arti, membalas tatap dari Gaza lewat kaca di tengah mereka. Lalu menyibukkan diri dengan ponsel saat sudah tidak ada lagi obrolan lanjutan.Setelah menurunkan Olan, memutar kemudi Gaza kembali menyusuri jalanan malam Ibu Kota untuk mengantar Natasya pulang. Hanya ada kesunyian, tidak ada yang bersuara. Natasya letakan ponsel di dasboard sebelum menolehkan wajah ke arah Gaza.“Benarkan enggak pernah suka dul
“Aku memang wanita panggilan Ga, semua orang tahu akan hal itu,” gumam Natasya.“Berarti kamu tidak benar-benar mengenalku Diwang .... ““Maksud kamu?” tanya Natasya.Meletakan sendok yang hanya ia suap sekali, Gaza kembali menatap mata indah itu. “Pernah aku memanggil kamu sebagai wanita panggilan sebelum barusan? Pernah aku memperlakukan kamu hanya sebagai alat pemuas pria-pria brengsek seperti yang selama ini tamu kamu lakukan? Pernah aku bertanya mengapa kamu bisa berada di lingkungan seperti sekarang Di? tidak pernah Diwang ... sekalipun tidak pernah aku seperti itu.”“Karena apa? meskipun kamu bekerja demikian, kamu tetap Sahaya Diwangkari yang sama seperti tujuh tahun silam. Dimata aku, kamu tetap sama sekalipun kamu berdandan luar biasa cantik, enggak akan bisa menghapus ingatan aku kalau kamu pun bisa sangat jelek. Dan yang terjadi di puncak itu bukan semata karena aku menganggap kamu wanita panggilan Diwang, tapi .... “Jeda panjang di sana hanya di isi saling tatap antara
“Kamu enggak bisa main ini, nanti kalau jatuh terus berdarah ... aku dimarahi papa kamu dan kamu akan dimarahi mama kamu,” seru suara anak laki-laki usia tujuh tahun. “Ih tapi aku mau ikut naik,” teriak suara anak perempuan. “Kamu pakai rok, Neta. Nanti kelihatan celana dalamnya,” timpal suara anak-anak lainnya. “Kan aku pakai celana pendek, enggak akan kelihatan,” bantah suara perempuan. Natasya terkekeh kecil, menjawil lengan suaminya yang asyik bermain ponsel dengan kaca mata melorot. “Apa?” tanya Gaza. “Itu putri kamu sedang beradu sama dua abangnya, sana samperi,” kekeh Natasya. “Biarkan saja, Shaka lebih keras kepala dibandingkan Neta. Mari kita hitung mundur berapa lama Neta menjerit panggil mama,” jawab Gaza. Tidak sampai hitungan lima setelah mendengar perdebatan di ruang bermain, jeritan melengking terdengar disusul tangisan merobek
“Heh gila! gua bilang pakai uang kantor. Wah pelanggaran.” Gaza berseru menggeplak punggung Olan yang datang bersama Vero dalam satu mobil membuntuti sebuah truk barang salah satu perusahaan elektronik besar. Gaza meminta nota pelunasan dan tidak diberikan oleh Olan dengan seringai menjengkelkan. Olan berkata lemari penyimpan asip hadiah dari mereka berdua untuk Yumna Zanneta Hernando. Putri kecil Gaza dan Diwang yang menggemparkan seantero perkantoran milik papa sang bayi. “Sudahlah Bro terima saja, elu saja gua tanya baik-baik ngelesnya bukan main. Elu menolak rezeki anak elu, hah?” Olan pura-pura melebarkan mata sementara Vero terkekeh akan dua manusia dewasa di sana yang hendak saling berkelahi. “Bukan enggak terima rezeki anak, tapi memang gua inginnya kebutuhan primer dia ya bapaknya yang belikan. Ya sudah karena gua tahu nomor rekening elu, gampanglah urusannya.” Gaza terkekeh merasa menang. “Gua ta
“Mari begadang, Papa,” kekeh Natasya. Yumna Zanneta Hernando telah diperbolehkan pulang dengan mamanya setelah dua hari pasca kelahirannya. Tidak ada sambutan mewah atau sejenisnya, keluarganya paham jika orang tua baru perlu istirahat dan diberikan ruang menikmati kebahagiaan kehadiran putri kecil ditengah-tengah mereka. Jadi saat Natasya dan bayinya pulang, tidak ada yang menjemput dan menyambut di rumah mereka. “Siap, Mama. Kamu duduk dulu sana, akunya masih ngilu lihat kamu jalan saja masih pelan begitu.” Gaza masih menggendong putri kecilnya begitu masuk ke kamar mereka. Natasya mengangguk, menunjuk boks bayi yang menempel pada tepi ranjang mereka di sebelah kanan agar Neta yang lelap dalam gendongan Gaza diletakan di sana. Gaza menurut, meletakan bayi mereka dengan sangat amat perlahan cenderung masih takut dan kaku. Melihatnya membuat Natasya tersenyum, ia hanya diperbolehkan memegang Neta saat perjalanan di mobil d
“Mandi,” bisik Natasya. Gaza terkekeh kecil dengan menatap lembut manik mata wanita dengan mata bengkak dan seluruh wajah bengkak. Membelainya dengan senyuman lebar tanpa suara. Setelah tiga jam pasca melahirkan, Natasya terlelap setelah bayi perempuan mereka menerima asi pertama darinya. Kelahiran yang tidak mudah dan sempat membuatnya ingin menyerah setelah satu jam lebih pembukaan lengkap namun tidak jua lahir. Saat berhasil dilahirkan, suara tangisannya merobek ruang persalinan hingga kedua orang tuanya tergugu dalam kebahagiaan tiada terkira. Natasya langsung terlelap kelelahan dan dibangunkan saat harus kembali menyusui putrinya. “Kusut banget ya?” Gaza menimpali perkataan istrinya yang memintanya mandi. “Iya, kusut sekali. Nanti anaknya cium bau asem pas digendong,” kelakar Natasya.Gaza terkekeh kecil mengangguk. “Iya nanti sebentar lagi mandi, kamu benar sudah enggak sakit duduk begini?”
“Sayang ... kamu lihat tas yang isinya pembalut melahirkan? Perasaan aku taruh dekat tas yang mau dibawa ke rumah sakit nanti deh,” tanya Natasya. “Ada di situ aku lihat tadi. Yang warna biru kan?” Gaza mendekati Natasya yang memakai daster tanpa lengan berjalan mondar-mandir. “Enggak ada kok aku cari dari tadi, kamu buang?” tanya Natasya.Gaza berdecap. “Ya masa aku buang Sayang, kan aku yang beli. Kepintaran amat.” Natasya terkekeh kecil kembali mencari, tarikan nafas Natasya yang tertangkap oleh telinga Gaza membuat Gaza berhenti bergerak. “Sayangku cintaku manisku, bisa tolong kamu duduk manis saja? kamu ngos-ngosan sekali aku dengar. Biarkan suami kamu ini yang cari,” papar Gaza. Natasya menyeringai, memasuki bulan delapan Natasya mulai sering kelelahan padahal hanya berjalan-jalan sebentar. Nafas sering ngos-ngosan dan kegerahan setiap saat padahal pendingin ruangan menyala nonstop 24
“Ya Tuhan ... aku pikir kenapa sampai jongkok di depan kulkas menangis, nanti kita beli lagi ya, aku akan ke sana hari ini buat lihat apa sudah buka atau belum. Sudah Sayang sudah ayo bangun.” Gaza membantu Natasya bangun setelah mbak di rumah berlarian menghampiri dirinya yang sedang duduk menonton film, mengatakan bahwa istrinya menangis di pojok dapur. Gaza pikir istrinya kenapa-kenapa, saat ia hampiri ternyata tangan Natasya sedang memegang mangkok puding karamel dengan saos karamel yang sisa sedikit. Gaza menahan tawa sekaligus meringis saat istrinya bercerita bahwa ia tidak rela karamelnya tumpah. “Tapi bapaknya masih di rumah sakit, dan ini puding terakhir. Enggak tahu kapan bisa buat lagi.” Natasya terisak penuh kesedihan dengan tangan memegang mangkuk erat-erat. “Nanti aku akan cek ya Sayang, semoga sudah buka. Sudah jangan menangis lagi ya, semoga lekas berlalu ya fase sensitif ini.” Gaza memutuskan memeluk istr
“Oh maaf saya tidak buka, Bu. Saya hanya mau mengambil sesuatu di dalam,” jawab sang pemilik toko kue. “Iya maaf Pak, kami memang ke sini mau beli awalnya eh ternyata tutup. Ayo Sayang kita pulang saja ya.” Gaza segera menggandeng Natasya untuk kembali ke mobil mereka yang terparkir di depan toko tersebut. “Apa masih lama Pak, bukanya?” tanya Natasya. “Saya tidak bisa pastikan, Bu. Anak saya sedang di rawat, dan saya hanya mau ambil puding untuk anak saya yang minta. Nanti kalau sudah sehat kembali, baru saya buka.” Pemilik toko menjawab dengan tangan membuka gembok pada pintu kacanya. “Apa puding karamel siram fla, Pak?” Natasya bertanya dengan mata berbibar-binar.Gaza menunduk dengan menghela nafas panjang. “ Sayang, kamu mengganggu bapaknya sedang buru-buru mau kembali ke rumah sakit. Maaf ya, Pak.” “Ibu mau beli puding karemel fla? Ibu sedang hamil?” terka pemilik toko.
Gaza melepas tawa lebar dengan meraba celana belakangnya, masih dengan tertawa, Gaza menganggukkan kepala dan kembali duduk di samping istrinya yang kebingungan mengapa ia tertawa selebar itu. “Tahu kok, ya ampun tadi pagi aku sangat malu, Sayang. Aku enggak tahu dari kapan robeknya, apa dari rumah apa di mobil. Pas turun mobil di tegur sekuriti depan, dan langsung tarik tangan aku untuk mepet tembok lobi. Aku pikir kenapa ini sekuriti kurang ajar sekali main tarik-tarik eh tahunya mau membisiki kalau celana aku robek.” Gaza kembali tertawa “Ya ampun,” kekeh Natasya. “Aku enggak bisa pulang lagi karena ada meeting dengan dua orang penting dan enggak bawa celana ganti juga. Alhasil aku minta Olan selalu jalan belakang aku dan agak mepet biar enggak dilihat orang, Olan sampai tertawa puas sekali dia, kurang ajar memang. Kecangkol apa ya kira-kira?” Gaza masih geli sekali mengingat ia tidak tenang takut tiba-tiba bangun dari k
“Ibu ... Ibu ... jangan Bu, aduh,” seru salah satu karyawan Natasya di klinik. Natasya berada di klinik kecantikannya karena datang stok barang dalam jumlah banyak. Seluruh karyawan sudah tahu jika sang owner tengah hamil dan sudah diberi pesan tegas oleh Gaza bahwa Natasya hanya mengawasi dan menerima laporan. Tidak ada mondar-mandir dan tidak ada angkat barang sekecil apa pun. Natasya kena seruan karyawannya saat menyentuh sebuah serum dalam kardus yang masih tertutup rapat. Karyawannya mengira jika ia akan mengangkatnya. “Aruna ... aku mau baca saja, ok,” kekeh Natasya. “Aduh Ibu pokoknya duduk saja sudah. Kan aku ada di samping Ibu, tinggal tunjuk mana yang mau dibawa dan mana mau digeser. Nanti saya kena pecat bapak,” rengek Aruna.Natasya tergelak. “Aku yang gaji kamu, bukan bapak.” “Iya tapi laporan yang ditunggu bapak dari saya macam militer, Bu. Katanya kalau sampai bapak lihat di cctv Ibu pegang-