“Papa mau kami pulang lagi?” Gaza menjawab pertanyaan papanya dengan sebuah ancaman.Papa Gaza mendengus. “Kamu sudah cukup tua untuk tidak bisa menjawab pertanyaan Papa.” Natasya menyentuh lengan Gaza pelan, memberikan sebuah senyuman kecil pada papa Gaza sebelum ia menjawab. “Kami sedang mengurusnya Om, semoga Om berkenan datang ke acara resepsi kami nanti,” tutur Natasya ramah. “Syukur kalau sedang di urus, jangan keasyikan diam nanti dikira yang tidak-tidak sama kolega papa,” tandas papa Gaza. “Papa ... sudah jangan diajak berantem terus, syukur mereka mau ke sini. Masuk Ga, Sya.” Vallen menepuk bahu Gaza dan memberikan senyuman pada Natasya. “Mereka mau adakan resepsi, tagih tanggalnya.” Papa Gaza masuk ke dalam meninggalkan kedua putra kembarnya dan Natasya. “Jangan terus dibalas darah tinggi juga dong Ga. Kamu tahu sifat papa seperti itu,” tambah Vallen.
“Yuk pulang.” Gaza berdiri di luar pintu kamar Vallen dan Naren sedangkan Vallen masuk menghampiri istri dan anaknya. Natasya mengangguk bangun dari kursi rias Naren dan memberikan bayi dalam gendongannya pada sang mama sebelum keluar dari kamar bernuansa putih tersebut. “Aku pulang ya, bye Shaka. Tunggu hadiah dari aku ya,” bisik Natasya pada bayi mungil yang menggerak-gerakan kedua tangan dan kaki kecilnya. “Iya Tante, Shaka tunggu ya. Nanti bilang Om Gaza biar beli pesawat sungguhan bukan mainan,” timpal Naren. Mereka semua keluar dari kamar tanpa ada yang menyadari kerutan dalam kening Gaza melihat interaksi Natasya dengan bayi Shaka. Ia langsung memutuskan pulang saat pembicaraannya dengan sang papa selesai. Dalam perjalanan pulang Natasya lebih banyak diam, bahkan beberapa kali kedapatan memejamkan mata. “Jangan pura-pura tidur ya Diwang, kita belum selesai bicara,” te
“Kenapa menangis?” tuntut Gaza setelah mereka berada di dalam apartemen. Natasya tersenyum, melepas pakaian tanpa rasa malu di depan suaminya meninggalkan sepasang pakaian dalam dan hot pants senada warna kulit. “Aku terharu ... kamu sadar enggak kalau papa kamu ternyata perhatian di balik sikap dinginnya sama aku. Walau mungkin sebetulnya masih kurang menyetujui, tapi beliau memikirkan masalah hunian bahkan meragukan kemampuan finansial kamu memenuhi kebutuhan resepsi.” Natasya menjelaskan dengan memakai pakaian tidurnya berupa kaos gombrong lusuh milik Gaza. Gaza terdiam beberapa saat memikirkan ucapan istrinya, memikirkannya untuk tidak lama kemudian tertawa kecil menerima uluran baju ganti dari Natasya. “Benar juga apa kata kamu ya, pantas saja aku di cecar masalah kantor apakah sedang baik atau enggak. Aku tidak berpikir sampai sana,” tukas Gaza. “Kamu sudah under estimate dulu ke papa
“Jangan pegang-pegang!” seru Natasya kala Gaza membelai kepalanya usai memberikan suntikan hormon yang dilakukan setiap hari sudah jalan dua minggu semenjak pemeriksaan terakhirnya. Suntik hormon begitu menyakitkan bagi Natasya, sekujur tubuhnya bagai di serang. Mood yang jadi sangat jelek bahkan ia sangat kesal jika mendengar Gaza menghela nafas hingga menyebabkan ia marah dan menangis. “Iya-iya maaf, love you.” Gaza menunduk mendaratkan kecupan pada kepala Natasya yang terbenam di bantal dengan air mata menganak sungai menahan sakit. “Jika bukan karena kamu yang mengotot, aku enggak akan tega melihat kamu setiap hari seperti itu,” gumam Gaza setelah meletakan semua peralatan suntik menyuntik setelah ia belajar dengan baik. “Memang kamu enggak mau punya anak?” seru Natasya kencang. “Mau ... tapi bukan memaksa harus sekarang dengan kamu kesakitan seperti ini,” jawab Gaza. “K
“Antar aku ke Dokter,” pinta Natasya setelah duduk di depan Gaza. “Sakit Sya?” tanya Olan, ia masih berada di ruangan Gaza guna mengemban tugas berat mengambil alih kemudi perusahaan saat Gaza melangsungkan resepsi. “Iya Lan, sakit kepala karena jarang ditemani di rumah,” kekeh Natasya. “Aku melembur juga buat bayar gaun pengantin kamu. Lan menabung sebanyak-banyaknya dari sekarang, sumpah biaya resepsi enggak sedikit.” Gaza menimpali dengan tawa kecil.Olan meringis dengan anggukan. “Percaya Bro, makanya sekarang gua enggak masuk klub lagi. Gila harga WO sekarang.” “Wah sudah mengambil jalan lurus sepertinya ya, siapa Lan siapa calonnya?” tanya Natasya semangat. “Belum ada Sya astaga ... masih lama, tabungan masih seujung kuku. Calon belum ada, gua menabung karena kemarin sepupu gua nikahan dan habis hampir satu Milyar gila enggak itu.” Olan menggelengkan kepala menatap Natasya horor.
“Aku capek senyum,” bisik Gaza di antara antrean panjang tamu yang terasa tiada ujungnya. “Sabar,” lirih Natasya dengan senyum tak lekang dari wajahnya. Tidak satupun dari tamu yang Natasya kenal sejauh ini. Ia berharap terus seperti itu sampai tidak ada sisa tamu lagi. Di samping kanan Gaza sang papa berdiri, di samping kiri Natasya berdiri Vallen dan Naren dengan senyuman lebar pula. Meninggalkan Shaka di rumah bersama suster dan orang tuanya. “Bisa kali kita honey moon habis ini, jadi makin terasa pengantin barunya.” Gaza kembali berbisik. “Iya tenang saja, aku sudah siapkan kejutan untuk kamu.” Natasya menoleh ke arah Gaza dan mengedipkan sebelah matanya. Gaza menyeringai lebar melihat bagaimana Natasya menggodanya. Padahal jelas-jelas mereka sedang diatur dalam berhubungan badan oleh dokter yang menangani program hamil. “Papa kuat sekali berdiri berjam-jam.” Kini Natasy
“Aku akan pulang terlambat sepertinya, enggak usah menunggu ya.” Gaza mendaratkan kecupan pada kening dan bibir istrinya sebelum berangkat bekerja. Natasya mengangguk dengan senyuman, kembali masuk untuk segera membuka laci nakas paling bawah di mana ia menyimpan sekotak penuh alat tes kehamilan semenjak mereka berdua memutuskan menjalani rangkaian promil yang sangat menyakitkan baginya. Gaza sepertinya lupa jika hari ini ia harus mengecek jika belum juga datang bulan. Natasya menarik nafas panjang, menghembuskan perlahan. Hingga tarikan nafas ke tiga kalinya baru ia membuka satu alat tes kehamilan, ia sudah memasukkan air seninya dalam cup yang ia sediakan bersama alat tes tersebut. Dengan nafas berat mulai meneteskan air seninya ke alat tes dari dalam cup, mendiamkan beberapa saat dengan tangan saling meremas dan mata yang tidak berkedip memandangi benda pipih yang ia letakan di atas wastafel kamar mandinya. Desah kecil
Gaza tidak menjawab pernyataan Natasya, melainkan mengangkat tubuh lunglai Natasya dan mendudukkan di sofa. Menghapus air mata menganak sungai tersebut dengan kedua telapak tangan besarnya. Isak pelan mulai terdengar memilukan di telinga Gaza. “Buang itu.” Natasya menunjuk testpack di meja. Gaza mengambil testpack dan masuk ke dalam kamar mereka mengambil sekotak besar testpack yang masih bersegel membawanya keluar apartemen turun hingga lantai bawah untuk membuangnya di tempat sampah paling jauh dari kediaman mereka. Naik kembali ke kamar dan dapati Natasya sudah tidak berada di sofa, melainkan meringkuk di kamar mereka memunggungi pintu masuk dengan getar bahu pelan menandakan ia belum selesai menangis. “Sini aku peluk.” Gaza membalikkan badan istrinya dan menenggelamkan pada pelukan eratnya. Pecah lepas semua yang Natasya tahan-tahan sedari pagi, walau berulang kali air matanya tumpah seharian ini, nam
“Kamu enggak bisa main ini, nanti kalau jatuh terus berdarah ... aku dimarahi papa kamu dan kamu akan dimarahi mama kamu,” seru suara anak laki-laki usia tujuh tahun. “Ih tapi aku mau ikut naik,” teriak suara anak perempuan. “Kamu pakai rok, Neta. Nanti kelihatan celana dalamnya,” timpal suara anak-anak lainnya. “Kan aku pakai celana pendek, enggak akan kelihatan,” bantah suara perempuan. Natasya terkekeh kecil, menjawil lengan suaminya yang asyik bermain ponsel dengan kaca mata melorot. “Apa?” tanya Gaza. “Itu putri kamu sedang beradu sama dua abangnya, sana samperi,” kekeh Natasya. “Biarkan saja, Shaka lebih keras kepala dibandingkan Neta. Mari kita hitung mundur berapa lama Neta menjerit panggil mama,” jawab Gaza. Tidak sampai hitungan lima setelah mendengar perdebatan di ruang bermain, jeritan melengking terdengar disusul tangisan merobek
“Heh gila! gua bilang pakai uang kantor. Wah pelanggaran.” Gaza berseru menggeplak punggung Olan yang datang bersama Vero dalam satu mobil membuntuti sebuah truk barang salah satu perusahaan elektronik besar. Gaza meminta nota pelunasan dan tidak diberikan oleh Olan dengan seringai menjengkelkan. Olan berkata lemari penyimpan asip hadiah dari mereka berdua untuk Yumna Zanneta Hernando. Putri kecil Gaza dan Diwang yang menggemparkan seantero perkantoran milik papa sang bayi. “Sudahlah Bro terima saja, elu saja gua tanya baik-baik ngelesnya bukan main. Elu menolak rezeki anak elu, hah?” Olan pura-pura melebarkan mata sementara Vero terkekeh akan dua manusia dewasa di sana yang hendak saling berkelahi. “Bukan enggak terima rezeki anak, tapi memang gua inginnya kebutuhan primer dia ya bapaknya yang belikan. Ya sudah karena gua tahu nomor rekening elu, gampanglah urusannya.” Gaza terkekeh merasa menang. “Gua ta
“Mari begadang, Papa,” kekeh Natasya. Yumna Zanneta Hernando telah diperbolehkan pulang dengan mamanya setelah dua hari pasca kelahirannya. Tidak ada sambutan mewah atau sejenisnya, keluarganya paham jika orang tua baru perlu istirahat dan diberikan ruang menikmati kebahagiaan kehadiran putri kecil ditengah-tengah mereka. Jadi saat Natasya dan bayinya pulang, tidak ada yang menjemput dan menyambut di rumah mereka. “Siap, Mama. Kamu duduk dulu sana, akunya masih ngilu lihat kamu jalan saja masih pelan begitu.” Gaza masih menggendong putri kecilnya begitu masuk ke kamar mereka. Natasya mengangguk, menunjuk boks bayi yang menempel pada tepi ranjang mereka di sebelah kanan agar Neta yang lelap dalam gendongan Gaza diletakan di sana. Gaza menurut, meletakan bayi mereka dengan sangat amat perlahan cenderung masih takut dan kaku. Melihatnya membuat Natasya tersenyum, ia hanya diperbolehkan memegang Neta saat perjalanan di mobil d
“Mandi,” bisik Natasya. Gaza terkekeh kecil dengan menatap lembut manik mata wanita dengan mata bengkak dan seluruh wajah bengkak. Membelainya dengan senyuman lebar tanpa suara. Setelah tiga jam pasca melahirkan, Natasya terlelap setelah bayi perempuan mereka menerima asi pertama darinya. Kelahiran yang tidak mudah dan sempat membuatnya ingin menyerah setelah satu jam lebih pembukaan lengkap namun tidak jua lahir. Saat berhasil dilahirkan, suara tangisannya merobek ruang persalinan hingga kedua orang tuanya tergugu dalam kebahagiaan tiada terkira. Natasya langsung terlelap kelelahan dan dibangunkan saat harus kembali menyusui putrinya. “Kusut banget ya?” Gaza menimpali perkataan istrinya yang memintanya mandi. “Iya, kusut sekali. Nanti anaknya cium bau asem pas digendong,” kelakar Natasya.Gaza terkekeh kecil mengangguk. “Iya nanti sebentar lagi mandi, kamu benar sudah enggak sakit duduk begini?”
“Sayang ... kamu lihat tas yang isinya pembalut melahirkan? Perasaan aku taruh dekat tas yang mau dibawa ke rumah sakit nanti deh,” tanya Natasya. “Ada di situ aku lihat tadi. Yang warna biru kan?” Gaza mendekati Natasya yang memakai daster tanpa lengan berjalan mondar-mandir. “Enggak ada kok aku cari dari tadi, kamu buang?” tanya Natasya.Gaza berdecap. “Ya masa aku buang Sayang, kan aku yang beli. Kepintaran amat.” Natasya terkekeh kecil kembali mencari, tarikan nafas Natasya yang tertangkap oleh telinga Gaza membuat Gaza berhenti bergerak. “Sayangku cintaku manisku, bisa tolong kamu duduk manis saja? kamu ngos-ngosan sekali aku dengar. Biarkan suami kamu ini yang cari,” papar Gaza. Natasya menyeringai, memasuki bulan delapan Natasya mulai sering kelelahan padahal hanya berjalan-jalan sebentar. Nafas sering ngos-ngosan dan kegerahan setiap saat padahal pendingin ruangan menyala nonstop 24
“Ya Tuhan ... aku pikir kenapa sampai jongkok di depan kulkas menangis, nanti kita beli lagi ya, aku akan ke sana hari ini buat lihat apa sudah buka atau belum. Sudah Sayang sudah ayo bangun.” Gaza membantu Natasya bangun setelah mbak di rumah berlarian menghampiri dirinya yang sedang duduk menonton film, mengatakan bahwa istrinya menangis di pojok dapur. Gaza pikir istrinya kenapa-kenapa, saat ia hampiri ternyata tangan Natasya sedang memegang mangkok puding karamel dengan saos karamel yang sisa sedikit. Gaza menahan tawa sekaligus meringis saat istrinya bercerita bahwa ia tidak rela karamelnya tumpah. “Tapi bapaknya masih di rumah sakit, dan ini puding terakhir. Enggak tahu kapan bisa buat lagi.” Natasya terisak penuh kesedihan dengan tangan memegang mangkuk erat-erat. “Nanti aku akan cek ya Sayang, semoga sudah buka. Sudah jangan menangis lagi ya, semoga lekas berlalu ya fase sensitif ini.” Gaza memutuskan memeluk istr
“Oh maaf saya tidak buka, Bu. Saya hanya mau mengambil sesuatu di dalam,” jawab sang pemilik toko kue. “Iya maaf Pak, kami memang ke sini mau beli awalnya eh ternyata tutup. Ayo Sayang kita pulang saja ya.” Gaza segera menggandeng Natasya untuk kembali ke mobil mereka yang terparkir di depan toko tersebut. “Apa masih lama Pak, bukanya?” tanya Natasya. “Saya tidak bisa pastikan, Bu. Anak saya sedang di rawat, dan saya hanya mau ambil puding untuk anak saya yang minta. Nanti kalau sudah sehat kembali, baru saya buka.” Pemilik toko menjawab dengan tangan membuka gembok pada pintu kacanya. “Apa puding karamel siram fla, Pak?” Natasya bertanya dengan mata berbibar-binar.Gaza menunduk dengan menghela nafas panjang. “ Sayang, kamu mengganggu bapaknya sedang buru-buru mau kembali ke rumah sakit. Maaf ya, Pak.” “Ibu mau beli puding karemel fla? Ibu sedang hamil?” terka pemilik toko.
Gaza melepas tawa lebar dengan meraba celana belakangnya, masih dengan tertawa, Gaza menganggukkan kepala dan kembali duduk di samping istrinya yang kebingungan mengapa ia tertawa selebar itu. “Tahu kok, ya ampun tadi pagi aku sangat malu, Sayang. Aku enggak tahu dari kapan robeknya, apa dari rumah apa di mobil. Pas turun mobil di tegur sekuriti depan, dan langsung tarik tangan aku untuk mepet tembok lobi. Aku pikir kenapa ini sekuriti kurang ajar sekali main tarik-tarik eh tahunya mau membisiki kalau celana aku robek.” Gaza kembali tertawa “Ya ampun,” kekeh Natasya. “Aku enggak bisa pulang lagi karena ada meeting dengan dua orang penting dan enggak bawa celana ganti juga. Alhasil aku minta Olan selalu jalan belakang aku dan agak mepet biar enggak dilihat orang, Olan sampai tertawa puas sekali dia, kurang ajar memang. Kecangkol apa ya kira-kira?” Gaza masih geli sekali mengingat ia tidak tenang takut tiba-tiba bangun dari k
“Ibu ... Ibu ... jangan Bu, aduh,” seru salah satu karyawan Natasya di klinik. Natasya berada di klinik kecantikannya karena datang stok barang dalam jumlah banyak. Seluruh karyawan sudah tahu jika sang owner tengah hamil dan sudah diberi pesan tegas oleh Gaza bahwa Natasya hanya mengawasi dan menerima laporan. Tidak ada mondar-mandir dan tidak ada angkat barang sekecil apa pun. Natasya kena seruan karyawannya saat menyentuh sebuah serum dalam kardus yang masih tertutup rapat. Karyawannya mengira jika ia akan mengangkatnya. “Aruna ... aku mau baca saja, ok,” kekeh Natasya. “Aduh Ibu pokoknya duduk saja sudah. Kan aku ada di samping Ibu, tinggal tunjuk mana yang mau dibawa dan mana mau digeser. Nanti saya kena pecat bapak,” rengek Aruna.Natasya tergelak. “Aku yang gaji kamu, bukan bapak.” “Iya tapi laporan yang ditunggu bapak dari saya macam militer, Bu. Katanya kalau sampai bapak lihat di cctv Ibu pegang-