“Aku akan pulang terlambat sepertinya, enggak usah menunggu ya.” Gaza mendaratkan kecupan pada kening dan bibir istrinya sebelum berangkat bekerja. Natasya mengangguk dengan senyuman, kembali masuk untuk segera membuka laci nakas paling bawah di mana ia menyimpan sekotak penuh alat tes kehamilan semenjak mereka berdua memutuskan menjalani rangkaian promil yang sangat menyakitkan baginya. Gaza sepertinya lupa jika hari ini ia harus mengecek jika belum juga datang bulan. Natasya menarik nafas panjang, menghembuskan perlahan. Hingga tarikan nafas ke tiga kalinya baru ia membuka satu alat tes kehamilan, ia sudah memasukkan air seninya dalam cup yang ia sediakan bersama alat tes tersebut. Dengan nafas berat mulai meneteskan air seninya ke alat tes dari dalam cup, mendiamkan beberapa saat dengan tangan saling meremas dan mata yang tidak berkedip memandangi benda pipih yang ia letakan di atas wastafel kamar mandinya. Desah kecil
Gaza tidak menjawab pernyataan Natasya, melainkan mengangkat tubuh lunglai Natasya dan mendudukkan di sofa. Menghapus air mata menganak sungai tersebut dengan kedua telapak tangan besarnya. Isak pelan mulai terdengar memilukan di telinga Gaza. “Buang itu.” Natasya menunjuk testpack di meja. Gaza mengambil testpack dan masuk ke dalam kamar mereka mengambil sekotak besar testpack yang masih bersegel membawanya keluar apartemen turun hingga lantai bawah untuk membuangnya di tempat sampah paling jauh dari kediaman mereka. Naik kembali ke kamar dan dapati Natasya sudah tidak berada di sofa, melainkan meringkuk di kamar mereka memunggungi pintu masuk dengan getar bahu pelan menandakan ia belum selesai menangis. “Sini aku peluk.” Gaza membalikkan badan istrinya dan menenggelamkan pada pelukan eratnya. Pecah lepas semua yang Natasya tahan-tahan sedari pagi, walau berulang kali air matanya tumpah seharian ini, nam
Gaza memegangi kepalanya seketika sebelum memiting leher Natasya yang melepas tawa puas sekali mengerjai suaminya. Natasya sebenarnya hari ini akan menuju sebuah rumah namun tidak mengatakannya pada Gaza, melihat Gaza yang sedari bangun tidur sudah di depan PS membuat jiwa keisengannya meronta-ronta. “Mau ke mana cantik amat?” Gaza bertanya setelah istrinya meminta ampun dilepaskan. “Nengokin teman, kamu di rumah saja ya. Aku hanya sebentar,” papar Natasya.Gaza mengangguk kecil. “Aku mau tidur seharian juga nanti, mau dijemput pulangnya?” “Enggak usah, aku bawa mobil kok. Bye.” Natasya mendaratkan kecupan pada bibir Gaza dan beranjak dari kediaman mereka. Natasya menyambangi sebuah Mall besar sebelum mendatangi sebuah rumah dengan taman lebar dan teduh. Membawa kotak kado lumayan besar dengan wajah ceria. Gaza tidak pernah tahu jika Natasya selain menghabiskan waktu di klinik kecantikan miliknya, sering m
“Sya ada laki elu ini,” tutur Vallen pada pintu kamar putranya yang terbuka lebar. Gaza ikut bersandar di pintu berwarna krem tersebut dan memandang dua wanita yang berbaring mengapit seorang balita yang lelap terlentang dengan mulut sedikit terbuka. Naren dan Natasya langsung bangun perlahan agar sang balita tidak terbangun. “Ngapain kamu ke sini? Vallen yang ngadu ya aku di sini?” tanya Natasya begitu berada di hadapan Gaza.Valen tertawa kecil. “Enggak Sya sumpah, dia datang karena mau ambil dokumen dari papa yang dititipkan sama gua. Lihat mobil elu di garasi ya tahu langsung kalau kamu di sini.” “Kenapa enggak bilang kalau ngapeli si ganteng? Kan aku jadi cemburu,” tutur Gaza santai. “Kamu katanya mau tidur seharian, Shaka tidur juga. Sudah dokumennya?” Natasya menggandeng lengan Gaza yang mengenakan kaos lengan pendek untuk keluar dari kamar anak Naren agar tidak mengganggu dengan suara mereka.
“Aku tadi bertemu Mami,” tutur Natasya saat duduk di samping Gaza di teras rumah baru mereka. Setelah keputusan program hamil yang dilakukan mereka berdua, Gaza memutuskan pindah ke rumah dua lantai atas persetujuan sang istri. Semenjak itu, Gaza dapat melihat bahwa Natasya jauh lebih nyaman tinggal di sana. “Buat? kok baru bilang setelah bertemu?” Gaza menoleh ke arah Natasya dengan raut tidak senang. “Di rumah sakit, enggak bisa jalan, jatuh di kamar mandi. Aku bukannya enggak mau bilang sama kamu, tapi karena aku tahu kondisi mami tidak bisa melakukan apa-apa jadi aku menjenguk.” Natasya menjelaskan dengan tenang. “Hanya menjenguk?” Gaza masih menyipitkan mata memandang istri di sebelahnya yang terlihat santai. “Iya hanya menjenguk, bertanya kabar dan mengobrol ringan. Enggak ada percakapan mengenai pekerjaan masa lalu aku sumpah. Awalnya aku juga berpikir pasti ada yang mau dibicarakan
“Ya Tuhan suami aku sampai enggak sempat cukuran. Sini aku rapikan.” Natasya menarik lengan Gaza yang keluar dari kamar mandi kurang dari lima menit, kemungkinan besar tidak mandi dan hanya cuci muka serta gosok gigi kilat. “Sayang aku buru-buru, mandi saja enggak.” Gaza menolak pelan. “Tadi Olan telepon dan aku yang angkat, katanya minta kamu datang agak siang saja. Dia sedang melakukan interogasi mandiri. Dia juga bilang gantian kamu yang istirahat setelah berikan dia istirahat empat jam tidur pulas. Walau tidak bisa tidur lagi, tapi setidaknya kamu bersih-bersih dulu. Ayo ... berat amat sih melangkah.” Tarikan Natasya pada lengan suaminya tidak berpengaruh sedikitpun. “Aku akan telepon Olan dulu ya,” pungkas Gaza. Natasya berdecap, sungguh terlalu. Gaza tidak mempercayainya, baiklah untuk sekarang ia tidak akan mendebat karena mengingat bagaimana kacaunya sang suami minggu-minggu ini. Kurang dari lima m
Natasya memandangi langit sore dari balik jendela rumahnya, selepas dari Surabaya kemarin, suaminya lebih banyak sibuk di luar rumah mengurusi kantornya. Langit sudah mendung kala ia mengantar Gaza berangkat kerja pagi buta. “Sya kamu sudah tahu kalau mami digiring polisi?” Salah satu rekan kerja di rumah bordil menghubungi Natasya dan berkata dengan kepanikan “Bukannya mami sedang dirawat?” tanya Natasya. “Iya dibawa dalam keadaan masih berinfus pakai kursi roda tadi pagi dan baru saja aku dikabari kalau rumah merah sedang diruntuhkan. Astaga Sya ... ada banyak sekali kawan kita yang enggak punya tempat tinggal.” Kawan Natasya masih bercerita dengan nada panik yang pekat. “Lalu pada ke mana teman-teman yang lainnya?” Natasya menundukkan kepala dengan memijat kening, ia bisa tahu ini karena siapa. “Enggak tahu, ini aku sedang dalam perjalanan mau ke sana, kamu enggak tahu apa-apa Sya sama ma
“Papa enggak minta kalian ke sini, kenapa kes sini dan ngos-ngosan begitu kalian ini? dasar anak muda enggak sabaran,” dengus papa Gaza. “Jadi bagaimana, Pa? kok bisa hubungi Papa? tahu dari mana nomor Papa?” berondong Gaza. Papa bukannya menjawab, melainkan meminta Natasya duduk dan memanggil mbak rumah untuk membuatkan anak dan menantunya minuman dingin. “Pa,” tuntut Gaza. “Astaga anak ini, duduk dulu makanya. Kenapa masih berdiri di situ?” tegur papa. Natasya menarik lengan Gaza untuk duduk dan mendengarkan dengan baik penjelasan yang akan diberikan dari papa. “Papa tanya dulu, kamu masih berhubungan sama Grace atau ke rumahnya?” Papa memandang penuh tanya pada wajah menantunya. “Biar aku yang jawab, papa tanya aku.” Natasya kembali menyentuh lengan suaminya yang langsung hendak bangun saat mendengar istrinya mendapat pertanyaan berbau tuduhan.
“Kamu enggak bisa main ini, nanti kalau jatuh terus berdarah ... aku dimarahi papa kamu dan kamu akan dimarahi mama kamu,” seru suara anak laki-laki usia tujuh tahun. “Ih tapi aku mau ikut naik,” teriak suara anak perempuan. “Kamu pakai rok, Neta. Nanti kelihatan celana dalamnya,” timpal suara anak-anak lainnya. “Kan aku pakai celana pendek, enggak akan kelihatan,” bantah suara perempuan. Natasya terkekeh kecil, menjawil lengan suaminya yang asyik bermain ponsel dengan kaca mata melorot. “Apa?” tanya Gaza. “Itu putri kamu sedang beradu sama dua abangnya, sana samperi,” kekeh Natasya. “Biarkan saja, Shaka lebih keras kepala dibandingkan Neta. Mari kita hitung mundur berapa lama Neta menjerit panggil mama,” jawab Gaza. Tidak sampai hitungan lima setelah mendengar perdebatan di ruang bermain, jeritan melengking terdengar disusul tangisan merobek
“Heh gila! gua bilang pakai uang kantor. Wah pelanggaran.” Gaza berseru menggeplak punggung Olan yang datang bersama Vero dalam satu mobil membuntuti sebuah truk barang salah satu perusahaan elektronik besar. Gaza meminta nota pelunasan dan tidak diberikan oleh Olan dengan seringai menjengkelkan. Olan berkata lemari penyimpan asip hadiah dari mereka berdua untuk Yumna Zanneta Hernando. Putri kecil Gaza dan Diwang yang menggemparkan seantero perkantoran milik papa sang bayi. “Sudahlah Bro terima saja, elu saja gua tanya baik-baik ngelesnya bukan main. Elu menolak rezeki anak elu, hah?” Olan pura-pura melebarkan mata sementara Vero terkekeh akan dua manusia dewasa di sana yang hendak saling berkelahi. “Bukan enggak terima rezeki anak, tapi memang gua inginnya kebutuhan primer dia ya bapaknya yang belikan. Ya sudah karena gua tahu nomor rekening elu, gampanglah urusannya.” Gaza terkekeh merasa menang. “Gua ta
“Mari begadang, Papa,” kekeh Natasya. Yumna Zanneta Hernando telah diperbolehkan pulang dengan mamanya setelah dua hari pasca kelahirannya. Tidak ada sambutan mewah atau sejenisnya, keluarganya paham jika orang tua baru perlu istirahat dan diberikan ruang menikmati kebahagiaan kehadiran putri kecil ditengah-tengah mereka. Jadi saat Natasya dan bayinya pulang, tidak ada yang menjemput dan menyambut di rumah mereka. “Siap, Mama. Kamu duduk dulu sana, akunya masih ngilu lihat kamu jalan saja masih pelan begitu.” Gaza masih menggendong putri kecilnya begitu masuk ke kamar mereka. Natasya mengangguk, menunjuk boks bayi yang menempel pada tepi ranjang mereka di sebelah kanan agar Neta yang lelap dalam gendongan Gaza diletakan di sana. Gaza menurut, meletakan bayi mereka dengan sangat amat perlahan cenderung masih takut dan kaku. Melihatnya membuat Natasya tersenyum, ia hanya diperbolehkan memegang Neta saat perjalanan di mobil d
“Mandi,” bisik Natasya. Gaza terkekeh kecil dengan menatap lembut manik mata wanita dengan mata bengkak dan seluruh wajah bengkak. Membelainya dengan senyuman lebar tanpa suara. Setelah tiga jam pasca melahirkan, Natasya terlelap setelah bayi perempuan mereka menerima asi pertama darinya. Kelahiran yang tidak mudah dan sempat membuatnya ingin menyerah setelah satu jam lebih pembukaan lengkap namun tidak jua lahir. Saat berhasil dilahirkan, suara tangisannya merobek ruang persalinan hingga kedua orang tuanya tergugu dalam kebahagiaan tiada terkira. Natasya langsung terlelap kelelahan dan dibangunkan saat harus kembali menyusui putrinya. “Kusut banget ya?” Gaza menimpali perkataan istrinya yang memintanya mandi. “Iya, kusut sekali. Nanti anaknya cium bau asem pas digendong,” kelakar Natasya.Gaza terkekeh kecil mengangguk. “Iya nanti sebentar lagi mandi, kamu benar sudah enggak sakit duduk begini?”
“Sayang ... kamu lihat tas yang isinya pembalut melahirkan? Perasaan aku taruh dekat tas yang mau dibawa ke rumah sakit nanti deh,” tanya Natasya. “Ada di situ aku lihat tadi. Yang warna biru kan?” Gaza mendekati Natasya yang memakai daster tanpa lengan berjalan mondar-mandir. “Enggak ada kok aku cari dari tadi, kamu buang?” tanya Natasya.Gaza berdecap. “Ya masa aku buang Sayang, kan aku yang beli. Kepintaran amat.” Natasya terkekeh kecil kembali mencari, tarikan nafas Natasya yang tertangkap oleh telinga Gaza membuat Gaza berhenti bergerak. “Sayangku cintaku manisku, bisa tolong kamu duduk manis saja? kamu ngos-ngosan sekali aku dengar. Biarkan suami kamu ini yang cari,” papar Gaza. Natasya menyeringai, memasuki bulan delapan Natasya mulai sering kelelahan padahal hanya berjalan-jalan sebentar. Nafas sering ngos-ngosan dan kegerahan setiap saat padahal pendingin ruangan menyala nonstop 24
“Ya Tuhan ... aku pikir kenapa sampai jongkok di depan kulkas menangis, nanti kita beli lagi ya, aku akan ke sana hari ini buat lihat apa sudah buka atau belum. Sudah Sayang sudah ayo bangun.” Gaza membantu Natasya bangun setelah mbak di rumah berlarian menghampiri dirinya yang sedang duduk menonton film, mengatakan bahwa istrinya menangis di pojok dapur. Gaza pikir istrinya kenapa-kenapa, saat ia hampiri ternyata tangan Natasya sedang memegang mangkok puding karamel dengan saos karamel yang sisa sedikit. Gaza menahan tawa sekaligus meringis saat istrinya bercerita bahwa ia tidak rela karamelnya tumpah. “Tapi bapaknya masih di rumah sakit, dan ini puding terakhir. Enggak tahu kapan bisa buat lagi.” Natasya terisak penuh kesedihan dengan tangan memegang mangkuk erat-erat. “Nanti aku akan cek ya Sayang, semoga sudah buka. Sudah jangan menangis lagi ya, semoga lekas berlalu ya fase sensitif ini.” Gaza memutuskan memeluk istr
“Oh maaf saya tidak buka, Bu. Saya hanya mau mengambil sesuatu di dalam,” jawab sang pemilik toko kue. “Iya maaf Pak, kami memang ke sini mau beli awalnya eh ternyata tutup. Ayo Sayang kita pulang saja ya.” Gaza segera menggandeng Natasya untuk kembali ke mobil mereka yang terparkir di depan toko tersebut. “Apa masih lama Pak, bukanya?” tanya Natasya. “Saya tidak bisa pastikan, Bu. Anak saya sedang di rawat, dan saya hanya mau ambil puding untuk anak saya yang minta. Nanti kalau sudah sehat kembali, baru saya buka.” Pemilik toko menjawab dengan tangan membuka gembok pada pintu kacanya. “Apa puding karamel siram fla, Pak?” Natasya bertanya dengan mata berbibar-binar.Gaza menunduk dengan menghela nafas panjang. “ Sayang, kamu mengganggu bapaknya sedang buru-buru mau kembali ke rumah sakit. Maaf ya, Pak.” “Ibu mau beli puding karemel fla? Ibu sedang hamil?” terka pemilik toko.
Gaza melepas tawa lebar dengan meraba celana belakangnya, masih dengan tertawa, Gaza menganggukkan kepala dan kembali duduk di samping istrinya yang kebingungan mengapa ia tertawa selebar itu. “Tahu kok, ya ampun tadi pagi aku sangat malu, Sayang. Aku enggak tahu dari kapan robeknya, apa dari rumah apa di mobil. Pas turun mobil di tegur sekuriti depan, dan langsung tarik tangan aku untuk mepet tembok lobi. Aku pikir kenapa ini sekuriti kurang ajar sekali main tarik-tarik eh tahunya mau membisiki kalau celana aku robek.” Gaza kembali tertawa “Ya ampun,” kekeh Natasya. “Aku enggak bisa pulang lagi karena ada meeting dengan dua orang penting dan enggak bawa celana ganti juga. Alhasil aku minta Olan selalu jalan belakang aku dan agak mepet biar enggak dilihat orang, Olan sampai tertawa puas sekali dia, kurang ajar memang. Kecangkol apa ya kira-kira?” Gaza masih geli sekali mengingat ia tidak tenang takut tiba-tiba bangun dari k
“Ibu ... Ibu ... jangan Bu, aduh,” seru salah satu karyawan Natasya di klinik. Natasya berada di klinik kecantikannya karena datang stok barang dalam jumlah banyak. Seluruh karyawan sudah tahu jika sang owner tengah hamil dan sudah diberi pesan tegas oleh Gaza bahwa Natasya hanya mengawasi dan menerima laporan. Tidak ada mondar-mandir dan tidak ada angkat barang sekecil apa pun. Natasya kena seruan karyawannya saat menyentuh sebuah serum dalam kardus yang masih tertutup rapat. Karyawannya mengira jika ia akan mengangkatnya. “Aruna ... aku mau baca saja, ok,” kekeh Natasya. “Aduh Ibu pokoknya duduk saja sudah. Kan aku ada di samping Ibu, tinggal tunjuk mana yang mau dibawa dan mana mau digeser. Nanti saya kena pecat bapak,” rengek Aruna.Natasya tergelak. “Aku yang gaji kamu, bukan bapak.” “Iya tapi laporan yang ditunggu bapak dari saya macam militer, Bu. Katanya kalau sampai bapak lihat di cctv Ibu pegang-