“Hah?” seru Gaza. Terdengar ketukan di pintu dan masuklah seorang dokter dengan dua orang perawat. Menyapa Gaza, papa dan Natasya bersamaan. Akan tetapi separuh isi kepala Gaza sedang melayang-layang akan informasi yang belum lengkap disampaikan oleh istrinya. “Apa tadi?” Gaza berbisik menuntut kejelasan dari Natasya. “Nanti aku jelaskan lagi, kita dengarkan dokter dulu ya, Sayang.” Natasya menyentuh pipi Gaza dan membelai pelan. Gaza mengangguk dengan terpaksa, benar apa kata istrinya kalau saat ini ia harus fokus menemani pengobatan papanya. Akan tetapi tidak dipungkiri jika dadanya berdebar-debar hebat mendengar perkataan terakhir istrinya sebelum dokter memasuki ruangan. Dokter masuk untuk membacakan hasil laboratorium. Mengejutkan ternyata papanya memiliki benjolan di punggung kanan atas dan dianjurkan untuk pengangkatan atau operasi karena tergolong ganas. “Papa setuju kan kalau diope
“Jangan pakai sepatu tinggi lagi.” Gaza menegur kala Natasya masih berdiri di depan rak sepatu mereka berdua di dalam rumah, tampak kebingungan belum memutuskan memilih yang mana. “Tentu saja enggak. Aku sedang menyamakan dengan baju aku ini,” jawab Natasya. “Ya Tuhan ... warna netral saja sudah ayo cepat,” geram Gaza. “Astaga enggak sabaran sekali kamu ini,” kekeh Natasya. Natasya akan melakukan pemeriksaan kedua setelah menunggu papa Gaza keluar dari rumah sakit. Keputusan akhirnya adalah papa menolak tinggal di rumah Gaza maupun di rumah Vallen dengan mengatakan ia akan mempekerjakan perawat laki-laki untuk membantunya beraktivitas. Walau kedua putranya bersikeras ingin merawat tapi papa mengatakan jenguk saja sesekali. Akhirnya Gaza dan Vallen memutuskan akan bergantian menginap satu minggu satu minggu di kediaman papa sampai papa bisa beraktivitas sendiri. Natasya memasang wajah geli s
“Hallo Sayang, di klinik?” Gaza bertanya memalui panggilan video call saat waktu menunjukkan pukul dua siang. “Iya baru banget selesai pegang orang,” jawab Natasya. “Enggak ada pelanggan cowok kan?” tanya Gaza. “Enggak ada, awalnya memang niat buat cewek cowok tapi aku malas dicemburui kamu terus,” sindir Natasya. “Oh jelas tentu saja. Mana boleh kamu pegang-pegang badan laki-laki selain suami kamu ini. Jangan capek-capek ya Sayang. Kamu punya banyak anak buat dengan kualitas bagus-bagus aku tahu sekali saat kamu menyeleksi karyawan. Jadi pegang saja yang vip seperti bininya Olan,” papar Gaza. “Mereka belum menikah jadi sebut saja kekasih,” ralat Natasya.Gaza tertawa, mengangguk. “Kalian sudah makan?” “Kalian?” Natasya memicingkan mata mendengar pertanyaan tersebut. “Iya kalian, istri cantik aku sama anak aku. Eh anak kita maksudnya.” Gaza menyeringai lebar.
“Kamu enggak salah dengar, Rion mengajak aku menikah. Ya ampun Sayang ... mingkem.” Natasya bangun dari posisi tiduran di paha suaminya, merangkum wajah Gaza agar menutup mulut lebar syoknya. “Dia tidak tahu kamu sudah menikah? kamu enggak bilang sudah menikah?” tuntut Gaza. “Dengarkan dulu makanya ih, kamu main serobot saja,” dumel Natasya. “Ya kamu kasih bom depan muka aku,” gerutu Gaza.Natasya menghela nafas. “Maksud aku enggak seperti itu, memang mau aku kasih tahu kamu kok. Dia enggak tahu aku sudah menikah dan saat dia mengajak menikah ya aku kasih tahu kalau kalau aku sudah menikah. Begini ceritanya, Rion tahu aku dulu pernah tinggal di rumah merah dan bekerja di sana. Dia bukan salah satu pelanggan aku, kami hanya sungguhan berteman.” “Tidak ada pertemanan laki-laki dan perempuan yang tulus. Itu akhirnya mengajak menikah juga kan?” potong Gaza kesal. “Jangan memotong perkataan aku
“Ada?” Natasya berbisik saat kaki mereka memasuki sebuah hotel bintang lima di mana sang suami membawanya. “Ada pianisnya tapi enggak tahu bisa main mozart apa enggak, semoga bisa.” Gaza membelai tangan digenggaman dengan ibu jarinya. “Kalau enggak bisa jangan makan sini berarti,” bisik Natasya. Gaza terkekeh kecil membawa sang istri yang sudah pol berdandan demi menonton permainan mozart bukan untuk makan steak seperti saat ditanya olehnya ingin makan apa di hotel. Mereka disambut dengan ramah, ketika Gaza mengatakan telah observasi atas nama dirinya, sang waiters yang mengenakan jas hitam langsung membawa mereka menuju kursi yang telah dipesan. “Boleh tolong sampaikan sama Bapak Gilberto, kalau Gazalio ingin bertemu?” tanya Gaza pada sang waiters. Sang waiters awalnya mengerutkan kening namun dua detik kemudian langsung mengangguk dan permisi meninggalkan keduanya yang bahkan belum memesan
“Tidur, Sayang. Tidur yuk, kamu dan aku sama-sama capek.” Gaza mencari celah paling aman, ia sungguh tidak sanggup menghadapi emosi Natasya selarut ini setelah jungkir balik memikirkan semua cara sedari keinginan melihat live musik mozart hingga edamame. “Jawab dulu, kenapa kamu masih ingat? Atau jangan-jangan .... “ Gaza membungkam mulut Natasya dengan ciuman dalam nan panjang, menghentikan semua praduga sang istri yang sudah pasti tiada ujungnya. Hal paling menyebalkan saat Natasya hamil adalah semua logikanya seolah tidak berjalan. “Tidur atau aku buat enggak tidur sekalian sampai pagi, pilih yang mana?” Gaza mengancam setelah melepas bibir candu istrinya yang tersengal-sengal. “Tidur.” Natasya menjawab dengan wajah merah padam. “Good choice honey, kamu hanya butuh bilang ... sayang aku sangat senang, aku sangat cinta kamu .... “ Natasya tersenyum masih dengan sisa sengal
“Pakai mbak saja Ga, yang menginap. Biar tenang karena ada yang temani di rumah.” Vallen mengatakan dengan desah panjang. Vallen dan papa mereka mengunjungi Natasya yang langsung dirawat pasca Gallen temukan terkulai dilantai kamar mandi dengan peluh membasahi sekujur badannya. Pucat pasi dan dingin sekali tiap jengkal kulitnya. “Sudah sering aku usulkan pakai mbak, tapi Diwang enggak mau. Enggak nyaman katanya,” desah Gaza. “Enggak perlu menginap berarti, kamu kan malam pasti pulang. Kita enggak tahu berapa jam Diwang tadi di kamar mandi, sampai kedinginan kata dokternya,” tambah Vallen.Gaza mengangguk kecil. “Nanti aku paksa. Papa antar pulang saja, sudah larut mesti istirahat juga.” “Papa sudah sehat, Gaza.” Papa menolak diminta pulang. “Belum sepenuhnya sehat. Nanti aku akan kabari perkembangannya, Papa kan juga masih konsumsi obat.”Papa mendesah panjang. “Kabari kalau Diwang sudah ba
Gaza menelan ludah kasar, benar kata Olan jika istrinya jauh lebih sengsara cenderung hampir gila karena mual yang tidak berkesudahan. Tanpa bersuara segera diangkat badan istrinya dan ia pindahkan ke ranjang mereka, menghabis jejak basah di wajah yang sekarang tampak tirus tersebut. “Aku enggak mau dipeluk, aku lapar Gaza.” Natasya berseru mendorong bahu suaminya ketika hendak memeluknya. “Aku juga bingung, Sayang. Harus bagaimana lagi, semua makanan sudah dicoba dan tidak ada yang bisa masuk. Aku sudah minta dokter memberikan obat mengurangi mual tapi kata dokternya juga itu hanya mengurangi tidak ada sepuluh persennya. Kamu ingin makan apa? coba katakan, kita coba sekali lagi ya. Semoga bisa masuk,” bujuk Gaza lembut. “Enggak bisa, pasti keluar.” Natasya mengusap wajahnya penuh keputusasaan. “Coba dulu, ayo kita coba dulu.” Gaza membelai lembut paras pucat istrinya. Natasya menjatuhkan b
“Kamu enggak bisa main ini, nanti kalau jatuh terus berdarah ... aku dimarahi papa kamu dan kamu akan dimarahi mama kamu,” seru suara anak laki-laki usia tujuh tahun. “Ih tapi aku mau ikut naik,” teriak suara anak perempuan. “Kamu pakai rok, Neta. Nanti kelihatan celana dalamnya,” timpal suara anak-anak lainnya. “Kan aku pakai celana pendek, enggak akan kelihatan,” bantah suara perempuan. Natasya terkekeh kecil, menjawil lengan suaminya yang asyik bermain ponsel dengan kaca mata melorot. “Apa?” tanya Gaza. “Itu putri kamu sedang beradu sama dua abangnya, sana samperi,” kekeh Natasya. “Biarkan saja, Shaka lebih keras kepala dibandingkan Neta. Mari kita hitung mundur berapa lama Neta menjerit panggil mama,” jawab Gaza. Tidak sampai hitungan lima setelah mendengar perdebatan di ruang bermain, jeritan melengking terdengar disusul tangisan merobek
“Heh gila! gua bilang pakai uang kantor. Wah pelanggaran.” Gaza berseru menggeplak punggung Olan yang datang bersama Vero dalam satu mobil membuntuti sebuah truk barang salah satu perusahaan elektronik besar. Gaza meminta nota pelunasan dan tidak diberikan oleh Olan dengan seringai menjengkelkan. Olan berkata lemari penyimpan asip hadiah dari mereka berdua untuk Yumna Zanneta Hernando. Putri kecil Gaza dan Diwang yang menggemparkan seantero perkantoran milik papa sang bayi. “Sudahlah Bro terima saja, elu saja gua tanya baik-baik ngelesnya bukan main. Elu menolak rezeki anak elu, hah?” Olan pura-pura melebarkan mata sementara Vero terkekeh akan dua manusia dewasa di sana yang hendak saling berkelahi. “Bukan enggak terima rezeki anak, tapi memang gua inginnya kebutuhan primer dia ya bapaknya yang belikan. Ya sudah karena gua tahu nomor rekening elu, gampanglah urusannya.” Gaza terkekeh merasa menang. “Gua ta
“Mari begadang, Papa,” kekeh Natasya. Yumna Zanneta Hernando telah diperbolehkan pulang dengan mamanya setelah dua hari pasca kelahirannya. Tidak ada sambutan mewah atau sejenisnya, keluarganya paham jika orang tua baru perlu istirahat dan diberikan ruang menikmati kebahagiaan kehadiran putri kecil ditengah-tengah mereka. Jadi saat Natasya dan bayinya pulang, tidak ada yang menjemput dan menyambut di rumah mereka. “Siap, Mama. Kamu duduk dulu sana, akunya masih ngilu lihat kamu jalan saja masih pelan begitu.” Gaza masih menggendong putri kecilnya begitu masuk ke kamar mereka. Natasya mengangguk, menunjuk boks bayi yang menempel pada tepi ranjang mereka di sebelah kanan agar Neta yang lelap dalam gendongan Gaza diletakan di sana. Gaza menurut, meletakan bayi mereka dengan sangat amat perlahan cenderung masih takut dan kaku. Melihatnya membuat Natasya tersenyum, ia hanya diperbolehkan memegang Neta saat perjalanan di mobil d
“Mandi,” bisik Natasya. Gaza terkekeh kecil dengan menatap lembut manik mata wanita dengan mata bengkak dan seluruh wajah bengkak. Membelainya dengan senyuman lebar tanpa suara. Setelah tiga jam pasca melahirkan, Natasya terlelap setelah bayi perempuan mereka menerima asi pertama darinya. Kelahiran yang tidak mudah dan sempat membuatnya ingin menyerah setelah satu jam lebih pembukaan lengkap namun tidak jua lahir. Saat berhasil dilahirkan, suara tangisannya merobek ruang persalinan hingga kedua orang tuanya tergugu dalam kebahagiaan tiada terkira. Natasya langsung terlelap kelelahan dan dibangunkan saat harus kembali menyusui putrinya. “Kusut banget ya?” Gaza menimpali perkataan istrinya yang memintanya mandi. “Iya, kusut sekali. Nanti anaknya cium bau asem pas digendong,” kelakar Natasya.Gaza terkekeh kecil mengangguk. “Iya nanti sebentar lagi mandi, kamu benar sudah enggak sakit duduk begini?”
“Sayang ... kamu lihat tas yang isinya pembalut melahirkan? Perasaan aku taruh dekat tas yang mau dibawa ke rumah sakit nanti deh,” tanya Natasya. “Ada di situ aku lihat tadi. Yang warna biru kan?” Gaza mendekati Natasya yang memakai daster tanpa lengan berjalan mondar-mandir. “Enggak ada kok aku cari dari tadi, kamu buang?” tanya Natasya.Gaza berdecap. “Ya masa aku buang Sayang, kan aku yang beli. Kepintaran amat.” Natasya terkekeh kecil kembali mencari, tarikan nafas Natasya yang tertangkap oleh telinga Gaza membuat Gaza berhenti bergerak. “Sayangku cintaku manisku, bisa tolong kamu duduk manis saja? kamu ngos-ngosan sekali aku dengar. Biarkan suami kamu ini yang cari,” papar Gaza. Natasya menyeringai, memasuki bulan delapan Natasya mulai sering kelelahan padahal hanya berjalan-jalan sebentar. Nafas sering ngos-ngosan dan kegerahan setiap saat padahal pendingin ruangan menyala nonstop 24
“Ya Tuhan ... aku pikir kenapa sampai jongkok di depan kulkas menangis, nanti kita beli lagi ya, aku akan ke sana hari ini buat lihat apa sudah buka atau belum. Sudah Sayang sudah ayo bangun.” Gaza membantu Natasya bangun setelah mbak di rumah berlarian menghampiri dirinya yang sedang duduk menonton film, mengatakan bahwa istrinya menangis di pojok dapur. Gaza pikir istrinya kenapa-kenapa, saat ia hampiri ternyata tangan Natasya sedang memegang mangkok puding karamel dengan saos karamel yang sisa sedikit. Gaza menahan tawa sekaligus meringis saat istrinya bercerita bahwa ia tidak rela karamelnya tumpah. “Tapi bapaknya masih di rumah sakit, dan ini puding terakhir. Enggak tahu kapan bisa buat lagi.” Natasya terisak penuh kesedihan dengan tangan memegang mangkuk erat-erat. “Nanti aku akan cek ya Sayang, semoga sudah buka. Sudah jangan menangis lagi ya, semoga lekas berlalu ya fase sensitif ini.” Gaza memutuskan memeluk istr
“Oh maaf saya tidak buka, Bu. Saya hanya mau mengambil sesuatu di dalam,” jawab sang pemilik toko kue. “Iya maaf Pak, kami memang ke sini mau beli awalnya eh ternyata tutup. Ayo Sayang kita pulang saja ya.” Gaza segera menggandeng Natasya untuk kembali ke mobil mereka yang terparkir di depan toko tersebut. “Apa masih lama Pak, bukanya?” tanya Natasya. “Saya tidak bisa pastikan, Bu. Anak saya sedang di rawat, dan saya hanya mau ambil puding untuk anak saya yang minta. Nanti kalau sudah sehat kembali, baru saya buka.” Pemilik toko menjawab dengan tangan membuka gembok pada pintu kacanya. “Apa puding karamel siram fla, Pak?” Natasya bertanya dengan mata berbibar-binar.Gaza menunduk dengan menghela nafas panjang. “ Sayang, kamu mengganggu bapaknya sedang buru-buru mau kembali ke rumah sakit. Maaf ya, Pak.” “Ibu mau beli puding karemel fla? Ibu sedang hamil?” terka pemilik toko.
Gaza melepas tawa lebar dengan meraba celana belakangnya, masih dengan tertawa, Gaza menganggukkan kepala dan kembali duduk di samping istrinya yang kebingungan mengapa ia tertawa selebar itu. “Tahu kok, ya ampun tadi pagi aku sangat malu, Sayang. Aku enggak tahu dari kapan robeknya, apa dari rumah apa di mobil. Pas turun mobil di tegur sekuriti depan, dan langsung tarik tangan aku untuk mepet tembok lobi. Aku pikir kenapa ini sekuriti kurang ajar sekali main tarik-tarik eh tahunya mau membisiki kalau celana aku robek.” Gaza kembali tertawa “Ya ampun,” kekeh Natasya. “Aku enggak bisa pulang lagi karena ada meeting dengan dua orang penting dan enggak bawa celana ganti juga. Alhasil aku minta Olan selalu jalan belakang aku dan agak mepet biar enggak dilihat orang, Olan sampai tertawa puas sekali dia, kurang ajar memang. Kecangkol apa ya kira-kira?” Gaza masih geli sekali mengingat ia tidak tenang takut tiba-tiba bangun dari k
“Ibu ... Ibu ... jangan Bu, aduh,” seru salah satu karyawan Natasya di klinik. Natasya berada di klinik kecantikannya karena datang stok barang dalam jumlah banyak. Seluruh karyawan sudah tahu jika sang owner tengah hamil dan sudah diberi pesan tegas oleh Gaza bahwa Natasya hanya mengawasi dan menerima laporan. Tidak ada mondar-mandir dan tidak ada angkat barang sekecil apa pun. Natasya kena seruan karyawannya saat menyentuh sebuah serum dalam kardus yang masih tertutup rapat. Karyawannya mengira jika ia akan mengangkatnya. “Aruna ... aku mau baca saja, ok,” kekeh Natasya. “Aduh Ibu pokoknya duduk saja sudah. Kan aku ada di samping Ibu, tinggal tunjuk mana yang mau dibawa dan mana mau digeser. Nanti saya kena pecat bapak,” rengek Aruna.Natasya tergelak. “Aku yang gaji kamu, bukan bapak.” “Iya tapi laporan yang ditunggu bapak dari saya macam militer, Bu. Katanya kalau sampai bapak lihat di cctv Ibu pegang-