“Aku suka yang itu!” ucap Alea menunjuk sebuah jam tangan dengan tali berwarna silver, dipadu warna hitam bingkai kaca dan angka, juga jarum jam. Sangat elegan dan mewah.
“Yang itu?” tanya Lukman, mengulangi pertanyaan Alea.
“Hum!” jawab gadis itu dengan anggukan.
Penjaga toko pun mengambil jam tangan yang dimaksud Alea dari dalam etalase kaca dan menyerahkannya pada Lukman. Wajah Lukman terlihat berseri-seri, melihat jam tangan pilihan Alea. Merk Rolex, kelihatannya dia juga menyukai model jam itu.
“Bagus! Aku pesan yang ini!” seru Lukman, dan menyerahkan jam tangan itu kembali kepada penjaga toko, untuk di bungkus.
“Apakah bisa dibungkus dengan kertas kado? Itu untuk hadiah soalnya!” ucap Lukman, pada penjaga toko, ragu!
“Tentu saja, bisa Pak! Toko kami memang memberi pelayanan gratis untuk i
Pagi sekali, aku kembali menghubungi Paman Lukman. Beruntung, kali ini pria itu mengangkat tekeponku. “Halo, Leon! Ada apa pagi-pagi menelepon. Ini baru jam 6, apa terjadi sesuatu?” tanya pria di seberang sana. “Iya, Paman! Aku mau tanya hal penting!” “Hal penting? Baiklah! Aku akan segera kesana!” “Tidak perlu, Paman! Aku hanya mau tahu, hadiah dari Paman dua hari yang lalu, itu –“ tiba-tiba, aku merasa bodoh menanyakan hal itu pada Paman Lukman. Bukankah sudah jelas, jika kado itu darinya? Tapi aku penasaran. “Halo! Leon? Ada apa, sebenarnya kau mau menanyakan apa?” suara Paman Lukman di seberang terdengar sedikit tidak sabar. “Soal kado, yang Paman berikan,” aku mengulangi ucapanku. “Apakah, isi pesan di kartu itu, benar-benar dari Paman?” akhirnya aku mengubah pertanyaannya. “Iya! Kenapa? Apakah ada yang salah?” tanya Pa
“Saya permisi!” Alea pamit, dan segera berlalu dari tempat itu.Pria itu, Bagas, sepupu Leon memandang kepergian Alea tanpa berkedip, hingga punggung gadis itu semakin mengecil, dan akhirnya menghilang di balik barisan mobil yang berjejer di parkiran.“Cantik sekali!” gumamnya lirih, dia kemudian berdecak kesal, merasa bodoh, karena tidak sempat berkenalan dengan gadis tadi. Sejurus kemudian dia berbalik, dan masuk ke dalam gedung perkantoran milik Leon, sepupunya.Bagas punya perusahaan yang di pimpinnya sendiri, anak perusahaan Leon, lebih tepatnya. Jadi dia sering ke kantor pusat, untuk beberapa keperluan.“Kau lihat wanita dengan blouse warna kuning gading, dan bawahan berwarna coklat gelap, yang barusan keluar dari kantor ini?” tanya Bagas pada petugas receptionist di depan lobi kantor.Kening wanita muda itu, tampak sedikit berkerut. Beru
“Saya permisi!” Alea pamit, dan segera berlalu dari tempat itu. Pria itu, Bagas, sepupu Leon memandang kepergian Alea tanpa berkedip, hingga punggung gadis itu semakin mengecil, dan akhirnya menghilang di balik barisan mobil yang berjejer di parkiran. “Cantik sekali!” gumamnya lirih, dia kemudian berdecak kesal, merasa bodoh, karena tidak sempat berkenalan dengan gadis tadi. Sejurus kemudian dia berbalik, dan masuk ke dalam gedung perkantoran milik Leon, sepupunya. Bagas punya perusahaan yang di pimpinnya sendiri, anak perusahaan Leon, lebih tepatnya. Jadi dia sering ke kantor pusat, untuk beberapa keperluan. “Kau lihat wanita dengan blouse warna kuning gading, dan bawahan berwarna coklat gelap, yang barusan keluar dari kantor ini?” tanya Bagas pada petugas receptionist di depan lobi kantor. Kening wanita muda itu, tampak sedikit berkerut. Berusaha mengingat, orang-oran
Leon memandang Lukman, kemudian menunduk. Raut wajahnya berubah muram setelah mendengar cerita Lukman barusan. Rasa sesak memenuhi rongga dadanya. “Kenapa Paman tidak pernah bercerita?” sesal Leon. “Aku tidak pernah diperintahkan untuk mencari tahu. Lagipula, aku tidak tahu jika kamu masih mengingatnya. Padahal saat itu, Alea menangis karena mengingat sebentar lagi kamu ulang tahun.” Lukman membela diri, dan terus membuat Leon merasa bersalah, dan menyesal. “Sudahlah Paman! Aku mau pulang.” Ucap Leon, seraya bangkit dari tempat duduknya, dan meninggalkan Lukman. “Jam tangan itu, Alea yang memilihkannya untukmu!” seru Lukman, setelah Leon mengayunkan langkah, dan berhasil membuat pria muda itu berbalik dan menatap Lukman lekat-lekat. Leon tidak tahu lagi, harus berkata apa pada pria yang sudah dia anggap seperti ayahnya itu. Dia juga tidak mengerti apa yang sekarang dira
Semua orang yang hadir di ruangan itu bernafas lega, tapi tidak demikian halnya dengan Soraya. Wajah wanita setengah baya, dengan penampilan glamour itu terlihat kesal. Wajah itu langsung ditekuk, dengan bibir menyeringai, dia kembali duduk di kursinya.“Selamat pagi semua! Saya akan membuka rapat hari ini, membahas tentang strategi penjualan baru yang akan diterapkan mulai awal bulan ini di perusahaan kita. Bagaiman? Bisa saya mulai?”Leon menatap semua orang yang hadir di ruangan itu satu-persatu. Saat matanya secara tak sengaja beradu pandang dengan Soraya, Leon menyunggingkan senyum kemenangan, yang semakin membuat Soraya belingsatan, seperti cacing kepanasan.Soraya merasa heran, bagaimana Leon bisa berada disana, dan dengan penuh percaya diri membuka rapat pagi ini. Soraya tak habis fikir, dia merasa sangat kesal sekali, dan ingin cepat-cepat pergi dari sana. Persetan dengan rapat, dan perusahaan ini. T
“Ma-maaf, Pak!” Alea berusaha menahan tawanya sebisa mungkin. Dia lalu menyodorkan sebuah berkas ditangan, “Maaf, Pak! Tadi kelupaan. Harus Bapak tandatangani hari ini juga!” ucap gadis itu, masih menahan senyum. Wajahnya sampai memerah, dengan mata menyipit dan muka berkerut.“Ya, sudah! Sana!” Leon mengusir gadis itu, setelah menerima berkas ditangan. Wajahnya tak kalah merah dengan Alea, Cuma beda rasa saja. Jika Alea karena merasa lucu, maka Leon karena rasa malu yang menggunung.Alea berbalik dan keluar dari ruangan itu. Setelah menutup pintu, gadis itu meluapkan tawanya dengan menutup mulut, takut didengar oleh bos nya. Dan Gadis itu masih saja tertawa, sepanjang perjalanan menuju ruang kerjanya kembali.Sedangkan Leon menghempaskan berkas ditangan ke atas meja, lalu duduk dengan perasaan frustasi. Kejadian tadi sungguh sangat memalukan. Bagaimana dia akan menghadapi Alea setelah
“Ayo! Kita pergi dari sini!” Leon menarik tangan Alea kaluar dari sana. Langkah gadis itu sedikit terseret karena masih syok dengan kejadian barusan. Leon membukakan pintu mobil, dan menyuruh gadis Itu untuk masuk. Membuka pintu sebelahnya lagi, dan duduk di belakang setir, lalu menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Wajah Alea terlihat pucat, tangannya mencengkeram sit belt dengan kuat di samping Leon. “P -Pak!” seru Alea setengah menjerit saat pria Itu tiba-tiba saja membanting setir ke arah kanan, dan hampir menabrak mobil lain. Leon melirik Alea sekilas, dan melihat wajah gadis itu sudah seputih kapas. Barulah pria itu sadar dengan sikapnya, dan segera mengurangi laju kenderaan yang dibawanya. “Maaf!” serunya, tanpa melihat ke arah gadis Itu. Alea memandang Leon dengan tatapan tidak percaya. Selama bekerja menjadi sekretaris Leon, dia tidak pernah mendengar b
Leon tidak habis fikir dengan keputusan Alea untuk resign dari perusahaan itu. Dia juga tidak bisa menahan gadis itu agar tetap bekerja untuknya. “Apa kamu yakin dengan keputusanmu itu?” akhirnya, hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Leon. Alea mengangguk, masih tetap menunduk. “Baiklah, jika itu keputusanmu! Aku tidak bisa memaksa orang untuk tetap bekerja padaku, jika orang itu tidak mau!” dimasukkannya surat pengunduran diri gadis itu kembali ke dalam amplop, lalu menghubungi bagian keuangan. “Siapkan pesangon untuk Alea, sesuai standar perusahaan dan berikan bonus dua bulan gaji.” Pria itu langsung menutup sambungan telepon tanpa menunggu sahutan dari seberang sana. “Silahkan!” Leon mempersilahkan Alea untuk meninggalkan ruangannya. Gadis itu tampak ragu, dan sedikit merasa bersalah. Diulurkannya tangan sebagai tanda perpisahan. Dan ditanggapi Leon dengan dingin
Leon berjalan dengan pikiran kosong, meninggalkan apartemen Safira. Setelah turun ke bawah, pria itu baru menyadari kalau hari sudah gelap. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 02.45 dini hari. Dia tersentak, lalu menyadari bahwa suasana memang sangat sunyi. Buru-buru dia ke tempat mobilnya terparkir, dan langsung melajukan kendaraannya pulang ke rumah...Leon merebahkan diri ke atas ranjang, mencoba mengingat rentetan kejadian yang terjadi di apartemen Safira tadi sore. Pria itu masih tidak bisa mencerna arah pembicaraan gadis itu. Apa maksudnya dengan ‘yang kita lakukan tadi?’ Leon mengacak rambutnya frustasi. Pikiran kotor mulai menghantui, tapi dia berusaha menepisnya sekuat tenaga. Dia berharap tidak terjadi sesuatu disana, antara dia dan Safira.***Pagi-pagi Nadya, ibunda Leon menggedor pintu kamar anaknya. Karena tak ada sahutan, wanita paruh baya itu nekat menerob
Leon terkulai tak sadarkan diri di sofa ruang tamu apartemen gadis itu. Lalu dengan santainya Safira melenggang, kemudian mengambil posisi duduk di atas paha pria itu. Tangan mungilnya dengan lincah memainkan keyboard ponsel, menyentuh tombol dial, untuk menghubungi seseorang. Tak lama kemudian, telepon terhubung.“Semua aman, loe bisa datang sekarang,” ujar Safira. Sementara tangannya mengelus wajah tampan Leon dan menyusurinya hingga dada. Setelah mendengar sahutan dari seberang sana, Safira memutuskan sambungan telepon, kemudian beralih mengamati wajah yang terlelap itu.“Oh, Leon! Seharusnya kita tidak perlu berada dalam situasi seperti ini, jika saja kau tidak memilih gadis kampung itu.” Gadis itu bergumam, dengan pandangan sedikit sayu. Ada sorot penyesalan yang terpancar dari mata itu. “Sayangnya, kau memilih dia daripada aku yang sudah sekian lama menemanimu.” Suara itu kini bergetar, sedikit serak
Alea menyambar tas nya, dan beranjak dari tempat itu, meninggalkan Leon disana. Namun, baru tiga langkah kakinya berjalan, lengan kekar pria itu sudah menahannya.“Gitu aja ngambek,” godanya sambil menyentil hidung Alea dengan ujung jari. Alea diam saja, masih memalingkan wajah. Pura-pura kesal.“Jangan marah, aku bingung kalau kamu marah.” Leon menggenggam kedua tangan gadis itu, disaksikan oleh pengunjung lain dan pemilik rumah makan. Mereka mulai bersuara, mendukung Leon.“Udah, Mbak! Jangan ngambek lagi, kasihan mas nya,” seorang ibu berkomentar. Alea melebarkan mata, memandang Leon. Lalu perlahan melirik keadaan sekitar. Betapa malunya gadis itu, saat menyadari kalau mereka sudah jadi bahan tontonan sejak tadi.Buru-buru Alea menarik tangannya, tapi di tahan oleh Leon. Pria itu malah menariknya hingga kini mereka berhadapan dengan jarak tak lebih dari tiga pul
Alea tidak menyadari bahwa sikap leon yang menyebalkan hanyalah cara agar dia selalu berada di samping pria itu, dan dia tidak menyadarinya. Bulir-bulir kristal bening lolos begitu saja dari kedua sudut matanya. Dia menutup mulut, agar suara tangisnya tak terdengar. Ternyata Leon sangat melindunginya, dan dia malah sibuk membenci pria itu...“Leon!” Alea berdiri di ambang pintu, dengan wajah bersimbah air mata. Bibirnya bergetar saat menyebut nama pria itu. Leon dan Asha, yang sedang asik berbincang kaget melihat wajah sembab gadis itu.“Alea, kenapa?”“Kamu, kenapa?”Kedua orang itu berdiri, bingung. Lalu Alea menghambur ke pelukan Leon, tanpa menghiraukan Bundanya yang berdiri disana. Dia menangis sesenggukan. Leon mengusap rambut panjang gadis itu, menenangkannya. Berpaling ke arah Asha, dan meminta maaf dengan isyarat.“Kamu, kenapa
“Aku ingin melamar mu untuk jadi istriku,”“APA,” Alea terpekik kaget, mendengar ucapan Leon barusan. “Kau becanda!” seru gadis itu panik.“Tidak, aku serius!” pria itu menjawab dengan tegas. Alea bergeming di tempatnya.“Apa aku salah jika berfikir kamu memiliki perasaan yang sama denganku?” tanya pria itu serius. Alea menatap wajah itu, tampak berpikir sebentar, sebelum kemudian menyeretnya masuk ke dalam rumah.“Kau serius dengan ucapan mu barusan?” Alea kembali bertanya, dan Leon pun mengangguk dengan mantap sebagai jawaban.“Jika kau ingin mendengar jawabanku, kau harus menceritakan semuanya, apa yang terjadi padamu. Dari awal hingga akhir, tanpa ada yang di tutup-tutupi.” Alea bersedekap, menunggu jawaban pria itu.“Tidak bisakah itu nanti saja? A
“Alea ...!” sebuah suara yang sangat dia kenal terdengar memanggi dari arah belakang, tepat sebelum gadis itu menutup pintu rumahnya.Alea menoleh ke belakang dan mendapati Leon suda berdiri di sana, di balik pagar dengan raut wajah yang tidak bisa di jelaskan. “Leon?” seru gadis itu antara gembira, marah dan panik, bercampur jadi satu. “Ada apa, kesini?” suara nya berubah sinis, saat dia mengingat kejadian tadi siang di ruang kerja pria itu.“Boleh, aku bicara?” tanya Leon dengan wajah memelas. Alea menatap wajah itu, dan luluh melihat wajah tampan yang sekarang sedang memohon di balik pagar. Gadis itu berjalan kembali ke luar da membuka kunci pagar, lalu mempersilahkan pria itu masuk.“Ada apa?” tanya Alea saat mereka sudah duduk dengan nayaman di ruang tamu.“Eum, kata Lukman tadi, kamu memergoki Tante Soraya menelepon seseorang, un
“Apa, Nona menyukai Tuan Muda?”“HEH?” Alea terkejut dengan pertanyaan Cepluk yang terus terang itu. Asisten rumah tangga itu mengulas sebuah senyum di wajah polosnya.“Buktinya, tadi sampai nangis karena khawatir sama Tuan Leon.” Gadis itu menutup mulut karena geli.“Eh, enggak kok! Kata siapa?” Alea mengelak dari pandangan Cepluk, gadis itu mengusap wajahnya yang semakin menghangat.“Kata Cepluk, lah!” lagi-lagi dia menggoda Alea dengan senyuman.“Cepluk, jangan bilang apa-apa sama Nyonya Hamidah, ya!” bisik Alea di dekat telinga gadis itu.“Tenang aja, Nona! Aku yakin Nyonya Hamidah dan Nyonya muda akan merestui Nona jika berjodoh dengan TuanLeon,” sahut Cepluk,juga berbisik di telinga Alea.“Haduh, bukan itu! Tapi yang tadi,” seru Alea mena
Alea membelalakkan mata melihat pemandangan di depannya. Tampak seorang wanita dengan pakaian sexy sedang memeluk Leon dari belakang, sementara pria itu menghadap ke arah dinding kaca tebal membelakangi meja kerjanya. Sosok wanita itu tampak tak asing, dengan rambut panjang bergelombang dan suara nya yang manja.Leon membalikkan tubuh saat mendengar suara Alea dari arah pintu, pria itu kaget luar biasa. Tangannya refleks melepaskan lilitan lengan wanita itu di perutnya, dan mengejar Alea yang sudah belari dari sana.“Lepaskan!” bentak Leon dengan suara bergetar menahan amarah. Dia tidak sanggup membayangkan apa yang ada di dalam fikiran Alea saat itu. Hanya dengan sekali hentak, Leon sudah terbebas dari pelukan wanita itu, namun langkahnya tertahan karena tangannya dicekal dengan kuat.“Lepaskan, kubilang! Apa kamu gak bosan, mempermalukan dirimu sendiri, Safira?” wanita yang ternyata adalah Safir
“Saya ingin mengajukan pertanyaan,” soraya menginterupsi ucapan Pak Subagyo.“Ya, silahkan!” sahut pengacara itu dengan tenang.“Bagaimana dengan almarhum suami saya, kenapa dia tidak menerima apapun dari keluarganya?” Soraya bertanya dengan nada tidak puas. Pak Subagyo mengulum senyum sebelum kemudian berkata, “Apa maksud Nyonya dengan tidak menerima apa-apa? Bukankah semua yang di terima oleh Bagas dan Nyonya merupakan warisan keluarga Hutomo untuk suami anda. Kebetulan suami anda,Pak Bagus Hutomo sudah meniinggal dunia, sehingga yang menerima warisan adalah Nyonya dan anak Tuan Bagus, yaitu Bagas.” Pak Subayo menjelakank panjang lebar.“Tidak ada gunanya protes, malah akan merugikan dirimu sendiri. Seharusnya kamu berterima kasih karena aku masih memberikan warisan padamu,,” seru Hamidah dingin.“Baiklah, tidak ada gunanya berdebat!