Leon memandang Lukman, kemudian menunduk. Raut wajahnya berubah muram setelah mendengar cerita Lukman barusan. Rasa sesak memenuhi rongga dadanya.
“Kenapa Paman tidak pernah bercerita?” sesal Leon.
“Aku tidak pernah diperintahkan untuk mencari tahu. Lagipula, aku tidak tahu jika kamu masih mengingatnya. Padahal saat itu, Alea menangis karena mengingat sebentar lagi kamu ulang tahun.” Lukman membela diri, dan terus membuat Leon merasa bersalah, dan menyesal.
“Sudahlah Paman! Aku mau pulang.” Ucap Leon, seraya bangkit dari tempat duduknya, dan meninggalkan Lukman.
“Jam tangan itu, Alea yang memilihkannya untukmu!” seru Lukman, setelah Leon mengayunkan langkah, dan berhasil membuat pria muda itu berbalik dan menatap Lukman lekat-lekat.
Leon tidak tahu lagi, harus berkata apa pada pria yang sudah dia anggap seperti ayahnya itu. Dia juga tidak mengerti apa yang sekarang dira
Semua orang yang hadir di ruangan itu bernafas lega, tapi tidak demikian halnya dengan Soraya. Wajah wanita setengah baya, dengan penampilan glamour itu terlihat kesal. Wajah itu langsung ditekuk, dengan bibir menyeringai, dia kembali duduk di kursinya.“Selamat pagi semua! Saya akan membuka rapat hari ini, membahas tentang strategi penjualan baru yang akan diterapkan mulai awal bulan ini di perusahaan kita. Bagaiman? Bisa saya mulai?”Leon menatap semua orang yang hadir di ruangan itu satu-persatu. Saat matanya secara tak sengaja beradu pandang dengan Soraya, Leon menyunggingkan senyum kemenangan, yang semakin membuat Soraya belingsatan, seperti cacing kepanasan.Soraya merasa heran, bagaimana Leon bisa berada disana, dan dengan penuh percaya diri membuka rapat pagi ini. Soraya tak habis fikir, dia merasa sangat kesal sekali, dan ingin cepat-cepat pergi dari sana. Persetan dengan rapat, dan perusahaan ini. T
“Ma-maaf, Pak!” Alea berusaha menahan tawanya sebisa mungkin. Dia lalu menyodorkan sebuah berkas ditangan, “Maaf, Pak! Tadi kelupaan. Harus Bapak tandatangani hari ini juga!” ucap gadis itu, masih menahan senyum. Wajahnya sampai memerah, dengan mata menyipit dan muka berkerut.“Ya, sudah! Sana!” Leon mengusir gadis itu, setelah menerima berkas ditangan. Wajahnya tak kalah merah dengan Alea, Cuma beda rasa saja. Jika Alea karena merasa lucu, maka Leon karena rasa malu yang menggunung.Alea berbalik dan keluar dari ruangan itu. Setelah menutup pintu, gadis itu meluapkan tawanya dengan menutup mulut, takut didengar oleh bos nya. Dan Gadis itu masih saja tertawa, sepanjang perjalanan menuju ruang kerjanya kembali.Sedangkan Leon menghempaskan berkas ditangan ke atas meja, lalu duduk dengan perasaan frustasi. Kejadian tadi sungguh sangat memalukan. Bagaimana dia akan menghadapi Alea setelah
“Ayo! Kita pergi dari sini!” Leon menarik tangan Alea kaluar dari sana. Langkah gadis itu sedikit terseret karena masih syok dengan kejadian barusan. Leon membukakan pintu mobil, dan menyuruh gadis Itu untuk masuk. Membuka pintu sebelahnya lagi, dan duduk di belakang setir, lalu menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Wajah Alea terlihat pucat, tangannya mencengkeram sit belt dengan kuat di samping Leon. “P -Pak!” seru Alea setengah menjerit saat pria Itu tiba-tiba saja membanting setir ke arah kanan, dan hampir menabrak mobil lain. Leon melirik Alea sekilas, dan melihat wajah gadis itu sudah seputih kapas. Barulah pria itu sadar dengan sikapnya, dan segera mengurangi laju kenderaan yang dibawanya. “Maaf!” serunya, tanpa melihat ke arah gadis Itu. Alea memandang Leon dengan tatapan tidak percaya. Selama bekerja menjadi sekretaris Leon, dia tidak pernah mendengar b
Leon tidak habis fikir dengan keputusan Alea untuk resign dari perusahaan itu. Dia juga tidak bisa menahan gadis itu agar tetap bekerja untuknya. “Apa kamu yakin dengan keputusanmu itu?” akhirnya, hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Leon. Alea mengangguk, masih tetap menunduk. “Baiklah, jika itu keputusanmu! Aku tidak bisa memaksa orang untuk tetap bekerja padaku, jika orang itu tidak mau!” dimasukkannya surat pengunduran diri gadis itu kembali ke dalam amplop, lalu menghubungi bagian keuangan. “Siapkan pesangon untuk Alea, sesuai standar perusahaan dan berikan bonus dua bulan gaji.” Pria itu langsung menutup sambungan telepon tanpa menunggu sahutan dari seberang sana. “Silahkan!” Leon mempersilahkan Alea untuk meninggalkan ruangannya. Gadis itu tampak ragu, dan sedikit merasa bersalah. Diulurkannya tangan sebagai tanda perpisahan. Dan ditanggapi Leon dengan dingin
Nadya melangkah masuk ke dalam cafe tempat dirinya dan Lukman berjanji untuk bertemu. Baru beberapa langkah, saat dia melihat Lukman sudah duduk dengan segelas kopi kesukaannya.Dengan langkah anggun Nadya mendekat, lalu duduk di kursi berhadapan dengan pria kepercayaannya itu.“Maaf, aku terjebak macet,” seru Nadya sesaat setelah bokongnya mendarat dengan nyaman di kursi.“Tidak apa-apa Nyonya, saya juga baru saja sampai. Oh, ya! Nyonya pesan apa?” Lukman melambaikan tangan kepada pelayan, yang dengan sigap langsung menghampiri mereka.“Pesan apa Nyonya?” si pelayan bertanya dengan pena dan note book di tangan.“Saya pesan segelas Americano.”Pelayan tadi tampak mencatat, “ Ada lagi Nyonya?” tanya pelayan itu kembali.“Tidak! Cukup itu saja.”Si
“Ma -maaf kan saya Tante, eh, Nyonya!” Alea bangkit dari kursi, kemudian membungkuk berkali-kali pada Nadya. Dia sungguh merasa malu sudah mengatakan hal yang tidak-tidak tadi.“Tidak usah merasa bersalah begitu, panggil saja tante! Lagipula bos mu itu memang harus diberi pelajaran pakai sapu!” Nadya mengedipkan sebelah matanya, membuat Alea semakin salah tingkah.“Ayo, duduk sini.” Nadya menepuk kursi Alea, sebagai isyarat agar gadis itu kembali duduk. Tapi Alea sudah tidak merasa nyaman berada disana.“Bagaimana tawaran Bu Nadya tadi, apa kau menerimanya? Mencari pekerjaan sekarang sangat sulit, dan aku yakin bos mu itu, sudah menyuruh asistennya untuk memblokade semua jaringan bisnis yang dimilikinya, agar tidak menerima pegawai atas nama Azalea.”Bola mata Alea membulat sempurna mendengar ucapan Lukman barusan. Dia tidak percaya jika Leon akan berti
“Aku minta maaf!” ucapnya sekali lagi dengan nada ketus.“Kelihatannya kau tidak tulus,” sahut Alea mencibir. Gadis itu bersedekap, memandang Leon sinis.“Ulangi!” perintah neneknya sekali lagi.Leon menghela nafas panjang kemudian berdehem, lalu berkata, “Aku minta maaf Alea! Aku sangat menyesal, tolong maafkan aku.”Usai berkata seperti itu, Leon mengurai seulas senyum pada gadis di hadapannya. Sejenak Alea terpaku melihat senyum Leon yang mengingatkannya pada seseorang, tapi lagi-lagi dia menepis perasaan itu.Hamidah yang melihat keduanya saling tatap, kemudian berdehem dengan senyum dikulum. Wanita tua itu dengan mudah bisa melihat perasaan dua orang beda jenis di depannya.“Alea, apa kau sudah memaafkan cucu nenek?” tanya Hamidah lembut.“Iya, Nek! Demi nenek, a
Dengan kesal Leon melajukan mobil nya kembali menuju kantor. Dia akan terlambat setengah jam walaupun sudah memacu kenderaan itu dengan kecepatan tinggi. Sementara Alea sudah berada di dalam rumah, dan berbincang dengan Hamidah di meja makan. “Kau pasti belum sarapan, ayo! Sarapan dulu sama nenek. Setelah ini kita ke kebun belakang, temani nenek memeriksa tanaman buah disana.” Hamidah memberi kode pada asisten rumah tangga agar membawakan piring untuk Alea. Gadis itu terlihat canggung untuk menolak ajakan si nenek. Lagipula perutnya memang belum berisi apapun, karena Leon menjemputnya terlalu cepat. Usai makan, mereka berbincang sebentar, lalu Alea mengikuti langkah nenek itu ke belakang rumah yang jaraknya lumayan jauh. Dalam hati, gadis itu jadi berfikir berapa kira-kira luas rumah keluarga Hutomo. “Kita duduk di sana,” seru Hamidah menunjuk sebuah gajebo di antara po
Leon berjalan dengan pikiran kosong, meninggalkan apartemen Safira. Setelah turun ke bawah, pria itu baru menyadari kalau hari sudah gelap. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 02.45 dini hari. Dia tersentak, lalu menyadari bahwa suasana memang sangat sunyi. Buru-buru dia ke tempat mobilnya terparkir, dan langsung melajukan kendaraannya pulang ke rumah...Leon merebahkan diri ke atas ranjang, mencoba mengingat rentetan kejadian yang terjadi di apartemen Safira tadi sore. Pria itu masih tidak bisa mencerna arah pembicaraan gadis itu. Apa maksudnya dengan ‘yang kita lakukan tadi?’ Leon mengacak rambutnya frustasi. Pikiran kotor mulai menghantui, tapi dia berusaha menepisnya sekuat tenaga. Dia berharap tidak terjadi sesuatu disana, antara dia dan Safira.***Pagi-pagi Nadya, ibunda Leon menggedor pintu kamar anaknya. Karena tak ada sahutan, wanita paruh baya itu nekat menerob
Leon terkulai tak sadarkan diri di sofa ruang tamu apartemen gadis itu. Lalu dengan santainya Safira melenggang, kemudian mengambil posisi duduk di atas paha pria itu. Tangan mungilnya dengan lincah memainkan keyboard ponsel, menyentuh tombol dial, untuk menghubungi seseorang. Tak lama kemudian, telepon terhubung.“Semua aman, loe bisa datang sekarang,” ujar Safira. Sementara tangannya mengelus wajah tampan Leon dan menyusurinya hingga dada. Setelah mendengar sahutan dari seberang sana, Safira memutuskan sambungan telepon, kemudian beralih mengamati wajah yang terlelap itu.“Oh, Leon! Seharusnya kita tidak perlu berada dalam situasi seperti ini, jika saja kau tidak memilih gadis kampung itu.” Gadis itu bergumam, dengan pandangan sedikit sayu. Ada sorot penyesalan yang terpancar dari mata itu. “Sayangnya, kau memilih dia daripada aku yang sudah sekian lama menemanimu.” Suara itu kini bergetar, sedikit serak
Alea menyambar tas nya, dan beranjak dari tempat itu, meninggalkan Leon disana. Namun, baru tiga langkah kakinya berjalan, lengan kekar pria itu sudah menahannya.“Gitu aja ngambek,” godanya sambil menyentil hidung Alea dengan ujung jari. Alea diam saja, masih memalingkan wajah. Pura-pura kesal.“Jangan marah, aku bingung kalau kamu marah.” Leon menggenggam kedua tangan gadis itu, disaksikan oleh pengunjung lain dan pemilik rumah makan. Mereka mulai bersuara, mendukung Leon.“Udah, Mbak! Jangan ngambek lagi, kasihan mas nya,” seorang ibu berkomentar. Alea melebarkan mata, memandang Leon. Lalu perlahan melirik keadaan sekitar. Betapa malunya gadis itu, saat menyadari kalau mereka sudah jadi bahan tontonan sejak tadi.Buru-buru Alea menarik tangannya, tapi di tahan oleh Leon. Pria itu malah menariknya hingga kini mereka berhadapan dengan jarak tak lebih dari tiga pul
Alea tidak menyadari bahwa sikap leon yang menyebalkan hanyalah cara agar dia selalu berada di samping pria itu, dan dia tidak menyadarinya. Bulir-bulir kristal bening lolos begitu saja dari kedua sudut matanya. Dia menutup mulut, agar suara tangisnya tak terdengar. Ternyata Leon sangat melindunginya, dan dia malah sibuk membenci pria itu...“Leon!” Alea berdiri di ambang pintu, dengan wajah bersimbah air mata. Bibirnya bergetar saat menyebut nama pria itu. Leon dan Asha, yang sedang asik berbincang kaget melihat wajah sembab gadis itu.“Alea, kenapa?”“Kamu, kenapa?”Kedua orang itu berdiri, bingung. Lalu Alea menghambur ke pelukan Leon, tanpa menghiraukan Bundanya yang berdiri disana. Dia menangis sesenggukan. Leon mengusap rambut panjang gadis itu, menenangkannya. Berpaling ke arah Asha, dan meminta maaf dengan isyarat.“Kamu, kenapa
“Aku ingin melamar mu untuk jadi istriku,”“APA,” Alea terpekik kaget, mendengar ucapan Leon barusan. “Kau becanda!” seru gadis itu panik.“Tidak, aku serius!” pria itu menjawab dengan tegas. Alea bergeming di tempatnya.“Apa aku salah jika berfikir kamu memiliki perasaan yang sama denganku?” tanya pria itu serius. Alea menatap wajah itu, tampak berpikir sebentar, sebelum kemudian menyeretnya masuk ke dalam rumah.“Kau serius dengan ucapan mu barusan?” Alea kembali bertanya, dan Leon pun mengangguk dengan mantap sebagai jawaban.“Jika kau ingin mendengar jawabanku, kau harus menceritakan semuanya, apa yang terjadi padamu. Dari awal hingga akhir, tanpa ada yang di tutup-tutupi.” Alea bersedekap, menunggu jawaban pria itu.“Tidak bisakah itu nanti saja? A
“Alea ...!” sebuah suara yang sangat dia kenal terdengar memanggi dari arah belakang, tepat sebelum gadis itu menutup pintu rumahnya.Alea menoleh ke belakang dan mendapati Leon suda berdiri di sana, di balik pagar dengan raut wajah yang tidak bisa di jelaskan. “Leon?” seru gadis itu antara gembira, marah dan panik, bercampur jadi satu. “Ada apa, kesini?” suara nya berubah sinis, saat dia mengingat kejadian tadi siang di ruang kerja pria itu.“Boleh, aku bicara?” tanya Leon dengan wajah memelas. Alea menatap wajah itu, dan luluh melihat wajah tampan yang sekarang sedang memohon di balik pagar. Gadis itu berjalan kembali ke luar da membuka kunci pagar, lalu mempersilahkan pria itu masuk.“Ada apa?” tanya Alea saat mereka sudah duduk dengan nayaman di ruang tamu.“Eum, kata Lukman tadi, kamu memergoki Tante Soraya menelepon seseorang, un
“Apa, Nona menyukai Tuan Muda?”“HEH?” Alea terkejut dengan pertanyaan Cepluk yang terus terang itu. Asisten rumah tangga itu mengulas sebuah senyum di wajah polosnya.“Buktinya, tadi sampai nangis karena khawatir sama Tuan Leon.” Gadis itu menutup mulut karena geli.“Eh, enggak kok! Kata siapa?” Alea mengelak dari pandangan Cepluk, gadis itu mengusap wajahnya yang semakin menghangat.“Kata Cepluk, lah!” lagi-lagi dia menggoda Alea dengan senyuman.“Cepluk, jangan bilang apa-apa sama Nyonya Hamidah, ya!” bisik Alea di dekat telinga gadis itu.“Tenang aja, Nona! Aku yakin Nyonya Hamidah dan Nyonya muda akan merestui Nona jika berjodoh dengan TuanLeon,” sahut Cepluk,juga berbisik di telinga Alea.“Haduh, bukan itu! Tapi yang tadi,” seru Alea mena
Alea membelalakkan mata melihat pemandangan di depannya. Tampak seorang wanita dengan pakaian sexy sedang memeluk Leon dari belakang, sementara pria itu menghadap ke arah dinding kaca tebal membelakangi meja kerjanya. Sosok wanita itu tampak tak asing, dengan rambut panjang bergelombang dan suara nya yang manja.Leon membalikkan tubuh saat mendengar suara Alea dari arah pintu, pria itu kaget luar biasa. Tangannya refleks melepaskan lilitan lengan wanita itu di perutnya, dan mengejar Alea yang sudah belari dari sana.“Lepaskan!” bentak Leon dengan suara bergetar menahan amarah. Dia tidak sanggup membayangkan apa yang ada di dalam fikiran Alea saat itu. Hanya dengan sekali hentak, Leon sudah terbebas dari pelukan wanita itu, namun langkahnya tertahan karena tangannya dicekal dengan kuat.“Lepaskan, kubilang! Apa kamu gak bosan, mempermalukan dirimu sendiri, Safira?” wanita yang ternyata adalah Safir
“Saya ingin mengajukan pertanyaan,” soraya menginterupsi ucapan Pak Subagyo.“Ya, silahkan!” sahut pengacara itu dengan tenang.“Bagaimana dengan almarhum suami saya, kenapa dia tidak menerima apapun dari keluarganya?” Soraya bertanya dengan nada tidak puas. Pak Subagyo mengulum senyum sebelum kemudian berkata, “Apa maksud Nyonya dengan tidak menerima apa-apa? Bukankah semua yang di terima oleh Bagas dan Nyonya merupakan warisan keluarga Hutomo untuk suami anda. Kebetulan suami anda,Pak Bagus Hutomo sudah meniinggal dunia, sehingga yang menerima warisan adalah Nyonya dan anak Tuan Bagus, yaitu Bagas.” Pak Subayo menjelakank panjang lebar.“Tidak ada gunanya protes, malah akan merugikan dirimu sendiri. Seharusnya kamu berterima kasih karena aku masih memberikan warisan padamu,,” seru Hamidah dingin.“Baiklah, tidak ada gunanya berdebat!