"Ketemu gak, Dik?" Hamish membantu Dilara mencari sertifikat rumah yang katanya ia simpan di laci lemari.Dilara menggeleng cepat. Ia mengeluarkan semua bajunya yang ada di lemari mencari buku berwarna hijau yang dulu diberikan oleh ayahnya."Kamu yakin nyiman di lemari?" Hamish yang sedang membongkar laci nakas menoleh melihat jawaban istrinya.Dilara semakin panik, wajah putih cerahnya berubah pucat dengan keringat bercucuran.Ia sangat yakin menyimpan surat berharga itu di lemari pakaiannya.Kamar Dilara yang rapi berubah berantakan. Hamish dan Dilara mengeluarkan semua barang takut sertifikat rumah yang sedang mereka cari terselip di antara tumpukan barang besar."Gak ada, kan? Sudah aku bilang, rumah ini sudah di beli sama bos ku. Dan bos ku mau, malam ini juga kalian mengosongkan bangunan miliknya." Erik bersandar di pintu, tersenyum puas melihat kepanikan Hamish dan wajah sedih Dilara."Ta —tapi saya gak pernah menjual panti ini, Pak! Gak mungkin panti ini jadi milik orang lain.
Dilara memeluk lengan Hamish erat-erat tidak ingin terlalu jauh dengan suaminya itu. Pun begitu dengan anak-anak, semuanya menempel pada Hamish dengan wajah bingung."Ki —kita ngapain ke sini, Bang?" Dilara semakin tidak percaya diri ketika mereka keluar dari lift."Malam ini, kita tidur disini." Hamish berhenti di pintu pertama. Pintu yang paling dekat dengan lift.Dilara menoleh melihat Hamish dengan mulut terbuka, terkejut dan tidak percaya."Anak perempuan tidur disini. Siti, kamu yang bertanggung jawab sama anak perempuan." Hamish menempelkan pass card, lalu melebarkan pintu setelah lampu hijau menyala.Kata 'wah' keluar bergantian dari mulut mungil anak-anak berpadu dengan binar mata bahagia karena ini pertama kalinya mereka tidur di hotel bintang lima dengan kasur empuk, pendingin udara dan pemandangan lampu malam kota Surabaya.Hamish memesan empat kamar terbesar untuk keluarga barunya ini. Ia mau malam ini anak-anak dan juga Dilara tidur nyenyak tanpa memikirkan masalah panti
Hamish duduk di tepi ranjang dengan gugup, menunggu Dilara memanggilnya. Gadis itu lupa membawa pakaian ganti jadi pasti Dilara akan meminta bantuannya untuk mengambil pakaian."Bang, abang ada diluar?" Suara Dilara terdengar dari balik pintu kamar mandi. Mendengar panggilan yang sejak tadi ia tunggu, tubuh Hamish menegak. Ia berdehem sebelum menjawab agar tidak terdengar gugup."Iya. Kenapa, Dik?" Hamish semakin tidak sabar. Dalam hati ia menghitung mundur dari lima menunggu perintah sakti Dilara.CEKLEK!Hamish menahan nafas ketika pintu kamar mandi melebar perlahan. Tebakannya Dilara akan mengintip dari balik pintu karena malu lalu meminta pakaian ganti kepadanya.Namun,Hamish mendadak lemas karena Dilara keluar kamar mandi dengan bathrobe tebal lutut yang menutupi tubuhnya."Saya kirain abang keluar, soalnya gak ada suaranya." Dilara terkekeh. Gadis itu mendekati tasnya. Menaikkan tas berukuran sedang itu ke atas sofa lalu mencari pakaian ganti.Seperti biasa, Dilara memilih piy
Hamish mengumpulkan anak-anak juga ibu Ida di kamarnya. Memesan sarapan untuk mereka dan memberitahukan jika mereka boleh memesan apapun serta menggunakan seluruh fasilitas hotel. Cukup mengatakan nomor kamar dan juga namanya maka semua tagihan akan dibebankan ke kamar Hamish."Abang berangkat kerja dulu." Hamish mengulurkan tangan dan disambut dengan kecupan di punggung tangan oleh Dilara."Iya, sana kerja! Biar punya uang banyak! Sewa kamar ini gak dibayar pake daun mangga,"'sindir ibu Ida sarkas. Suaranya terdengar santai, ia bahkan sedang asik menekan remot televisi namun perkataannya jelas ditujukan untuk Hamish.Hamish langsung pergi, tidak mempedulikan sindiran ibu Ida. Lagi pula semua sindiran mertuanya itu tidak terbukti karena ia mampu memberikan yang terbaik kepada Dilara dan anak-anak."Hati-hati, ya Bang!" pesan Dilara sebelum menutup pintu kamar Hamish.Di ujung lorong, Adam sudah menunggu. Pria yang selalu berpenampilan formal itu menekan tombol lift begitu Hamish mende
"Kamu masih hidup?" tanya Irvan lagi meyakinkan. Acaranya temu wartawan akhirnya dibubarkan dengan berita utamanya munculnya kembali sang pewaris yang hilang.Kini, Hamish duduk bersama Irvan dan Syahril di ruang kerjanya. "Kenapa? Kamu berharap aku meninggal?" Hamish mendecih. Ia membuka kancing jas lalu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Ia bersandar di pinggir meja kerja, menatap kedua kerabatnya itu dengan tajam."Dua orang yang mau mencelakaiku sudah tertangkap dan satu lagi masih buron. Tapi aku pastikan tidak akan lama lagi, polisi pasti akan segera menangkapnya." Hamish mengamati dengan seksama wajah Syahril dan Irvan. Ia ingin melihat bagaimana reaksi saudaranya itu ketika menyebutkan kejadian yang hampir membuat nyawanya melayang.Syahril tetap duduk dengan tenang tetapi tidak dengan Irvan. Ia bisa melihat kegelisahan di wajah sepupunya itu. Suara deheman Syahril membuat perhatian Hamish yang sedang mengamati Irvan terputus. Ia melihat Syahril yang menegakkan d
Hamish tidur memunggungi Dilara yang merasa tidak enak hati.Saat Hamish mengusap punggung Dilara, ia yakin ia melakukannya dengan lembut dan perlahan. Dulu, sebelum ia menikah, saat ia masih menjadi pemain wanita cara itu tidak pernah gagal untuk menaikkan gairah teman wanitanya.Tetapi cara itu tidak berhasil untuk Dilara!Gadis yang sudah menjadi istrinya, gadis yang halal untuk ia sentuh justru begitu sulit didapatkan."Bang, abang sudah tidur?" tanya Dilara takut-takut. Melihat wajah suaminya yang sejak tadi cemberut membuat Dilara ketakutan sekaligus merasa bersalah.Hamish berbalik, tidur dengan posisi terlentang. Bibirnya masih mengerucut, masih kesal karena gagal melanjutkan aktifitas suami istri dengan Dilara."Belum! Gimana bisa tidur kalau di gak mau tidur?" ujarnya memelas. Hamish menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Membiarkan Dilara melihat otong yang belum mau tenang.Dilara mendelik, gadis itu memalingkan wajahnya tidak ingin melihat benda menjulang milik Hamish.
"Kamu suka?" Entah sudah berapa kali Hamish menanyakan itu kepada istrinya saat mereka sudah berada di dalam rumah.Rumah dua lantai dengan delapan kamar dan halaman depan juga belakang yang cukup luas untuk anak-anak.Furniture mewah dengan dominasi warna putih di seluruh ruangan kecuali kamar utama."I —ini beneran rumah kita, Bang?" Bahkan setelah tur keliling rumah pun Dilara masih belum percaya jika Hamish membeli rumah ini untuknya dan anak-anak."Beneran, dong Dik! Kita bisa mulai pindahan hari ini kalau kamu." Hamish memeluk Dilara dari belakang. Mengambil kesempatan saat ibu Ida sedang berada di kamar yang sudah ia pilih.Walau gugup dengan tegang setiap kali Hamish mendekatinya, Dilara membiarkan saja suaminya menempel.Sedang Hamish yang mencuri kesempatan, tidak membuang-buang waktu. Ia menghirup wanginya aroma tubuh Dilara yang sangat ia suka. Menyibak rambut gadis itu hingga bisa melihat lehernya yang jenjang.“Ta -tapi saya gak mau pindah, Bang.” Ucapan Dilara membuat H
"Astaga! Maaf, Tuan Muda." Sopir Hamish segera berbalik ketika melihat tuan dan nyonya sedang saling pangku di dalam mobil.Dilara yang terkejut langsung turun dari pangkuan Hamish dan duduk di kursinya sendiri."Tuh, kan! Saya bilang juga apa!" Bibir Dilara mengerucut kesal. Pipinya memerah malu karena tertangkap basah.Mobil melaju membelah kota Sidoarjo setelah puas melihat rumah baru mereka. Hamish menurunkan Dilara di rumah ustadz Imam untuk mengurus barang-barang mereka sedang Hamish pergi ke kantor.Setelah kemunculannya di Akbar Corp, banyak hal yang harus ia urus termasuk meyakinkan dewan komisaris."Baby, kamu habis dari Jakarta? Kenapa gak ajak aku?" Lucy menghampiri Hamish yang baru saja keluar dari lift. "Kan, udah lama aku gak naik private jet kamu, Babe." Wanita dengan pakaian ketat membungkus tubuhnya mengekori Hamish masuk ke ruang kerja.Hamish terkejut bahkan sampai mendorong Lucy dengan keras hingga wanita itu tersungkur ke lantai saat tiba-tiba wanita dengan rambu
“Kak Hala?” ucap Dava berbisik melihat istrinya berjalan masuk studio dengan seorang lagi yang ia kenal adalah sahabat Hala.“Nona Hala? Kamu sudah datang?” Kevin berubah sopan saat melihat Hala. Ia melepaskan tangan Dava lalu merapikan jaketnya.“Aku antar ke ruang make up,” tawar Kevin ramah. Wajah garangnya berubah menjadi senyum ketika bicara dengan Hala. Lu gue yang tadi ia gunakan kini menjadi aku kamu membuat kesan ia sudah sangat mengenal Hala.“Bentar mas Kevin, aku ngomong sebentar sama Dava.”Kevin menoleh melihat Dava dengan mata menyipit. “Nona kenal dia?” Hala mengangguk pelan. “Dia, kan cucunya —” Dava menarik tangan Hala sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. Membawanya menjauh dsri Kevin dan kru yang lain agar bisa bicara dengan bebas. “Kak Hala lupa pesan papa? Gak ada yang boleh tahu siapa aku?” Dava berbisik. Ia menoleh melihat sekitar memastikan tidak ada telinga yang menguping pembicaraan mereka. Hala menepuk jidatnya, hampir saja ia keceplosan. “Kak Hal
“Posisi yang tersedia hanya bagian gudang. Bagaimana?” Wanita berwajah serius melihat Dava dari balik kacamata bulatnya. Dengan kemeja putih dan celana panjang bahan berwarna hitam, Dava yang duduk di depan meja HRD hanya bisa mengangguk pasrah. Mengingat pesan papa sebelum ia berangkat tadi. Ini adalah salah satu cara untuk membuktikan dirinya. Dava bekerja di salah satu anak perusahaan Djaya Grup yang bergerak di bidang periklanan. Dani sudah mengatur semuanya, tidak ada yang tahu kalau Dava adalah cucu dari pemilik perusahaan kecuali sang CEO yaitu ayahnya sendiri. “Baik, kamu bisa mulai bekerja hari ini. Ayo, saya antar ke gudang.” Wanita berwajah tegas itu berdiri dari duduk. Merapikan blazer lalu mengambil ponselnya. Ia mendahului Dava keluar dari ruangan, menunjukkan kepada Dava gudang yang ia maksud. Sambil menuntun Dava menuju area kerja, HRD menjelaskan setiap ruangan yang mereka lewati. Gedung ini memiliki 5 lantai. Lantai tiga dan empat adalah lantai khusus untuk b
“Dav, gerah!” Hala menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya.Setelah makan di restoran Jepang tadi, Dava dan Hala memutuskan langsung pulang karena mereka ada kuliah pagi.Walau menghabiskan hampir 500 ribu, Dava menganggap itu untuk menyenangkan Hala yang sudah mengalah untuk tidak membeli AC.Sekarang, Hala mendekatkan kipas portable kecil miliknya. Meletakkan benda itu tepat di sebelah kepalanya.Dava yang tidur di lantai berdiri di sebelah ranjang memperhatikan sang istri sambil menggeleng pelan.“Jangan taruh disitu, Kak! Nanti rambutnya nyangkut terus kepala jadi pusing.” Dava memberikan saran. Dengan langkah gontai Dava berjalan mendekati jendela kemudian membukanya dengan lebar agar angin malam masuk ke dalam kamar.Dari tempatnya berdiri. Dava bisa melihat hamparan bintang yang menghiasi langit hitam. Sejak dulu ia memang suka dengan langit malam yang cerah seperti ini. Ia bahkan meminta Dani untuk membuatkan rumah pohon di belakang rumah agar ia bisa menikmati langit
“Sore, Kakak! Mau cari apa?” sapa pramuniaga ketiaka Dava dan Hala masuk ke toko elektronik di sebuah mall. Pria itu memperhatikan wajah dan penampilan Dava dan Hala yang masih muda langsung menawarkan ponsel pintar dan laptop tetapi keduanya kompak menggeleng. “Kami mau cari AC.” Dava menjawab. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh area toko mencari pendingin udara. “Oh… ada di lantai dua.” Pelayan toko itu sedikit terkejut, anak muda seperti mereka mencari pendingin udara. Pramuniaga itu melakukan tugasnya, ia mengantarkan Dava dan Hala tempat pendingin udara dan juga kulkas.Dava dan Hala mulai mencari AC yang mereka inginkan. Jika Dava melihat harga lain dengan Hala yang melihat merk-nya.Beberapa kali Dava menggeleng tidak setuju dengan pilihan Hala karena istrinya memilih pendingin udara berharga puluhan juta dengan PK besar.“Mas-nya cari AC yang kayak apa?” tanya pramuniaga itu pada akhirnya karena Dava tidak kunjung menemukan barang yang ia inginkan.Untuk kamar 5x5 meter.
Dava tiba lebih dulu di rumah kontrakan yang sudah dibayar Hamish untuk satu tahun ke depan. Ia menggunakan motor trill-nya lengkap dengan jaket jins dan kaca mata hitam. Penampilan yang membuat ketampanan Dava meningkat. Dava melepaskan kacamata hitamnya. Dari atas motor trill memperhatikan rumah sederhana yang ayah mertuanya sewakan untuknya dan Hala. “Apa-apa ini? Mana mau kak Hala tinggal di rumah kecil begini.” Dava menggumam sendiri. “Tapi gak apa-apa. Semakin sulit hidup kak Hala, semakin cepet dia minta cerai.” Dava menyeringai. Rencana-rencana kecil untuk memuluskan tujuannya melintas di kepala. Sudut bibir Dava terangkat membayangkan Hala yang merengek minta kembali ke istana keluarga Akbar. Dava baru turun saat mobil mewah Hamish terlihat di ujung gang. Dengan hati-hati, sopir mengendarai mobil di gang yang tidak terlalu lebar. Jangan sampai mobil tuan Hamish Akbar tergores walau sedikit. Dava segera menghampiri mobil, mengeluarkan koper-koper dan beberapa dus berisi
“Lancang sekali kamu menikahi Hala!” Madhava hanya bisa menunduk ketika sang paman — Hamish Akbar berteriak kepadanya di depan semua anggota keluarga termasuk di depan papa dan mamanya. Di sebelah pakde Hamish, istrinya — budhe Dilara sedang menenangkan pria yang sedang murka itu. Di kursi yang lain, Dani dan Selena tidak bisa membela anaknya sama sekali. Mereka hanya diam tidak berani menyela Hamish. Bukan keinginan Dava menikahi sepupu angkatnya sendiri. Tetapi, Hala-lah yang memintanya. Kenapa ia tidak menolak, karena menolak permintaan Hala adalah hal yang dilarang. Ayah Dava sendiri yang membuat peraturan itu. Sejak kecil, Dava selalu mengabulkan apa yang Hala minta termasuk ketika Hala meminta untuk menikah dengannya. “Anak bau kencur sudah berani mikir nikah. Nanti Hala mau kamu kasih makan apa, hah? Kamu pikir pakdhe gak tahu kelakuan kamu diluar sana?” Hamish kembali berteriak. “Dan, kasih tahu anak kamu itu!” Kini Hamish beralih kepada Dani yang sejak tadi hany
“Pokoknya, kalau udah besar nanti, kita beneran nikah, ya?” Hala sedang memeluk lengan adiknya — Madhava. Keduanya sedang bermain pura-pura menikah tetapi gadis tujuh tahun anak Hamish malah meminta Madhava berjanji akan menikahinya kelak. “Gak mau! Kakak Hala, kan kakak aku.” Demi Tuhan, Madhava tidak ingin memainkan permainan ini tetapi papanya sudah melarang kata ‘tidak’ untuk Hala.Artinya, apapun yang Hala mau, harus Dava kabulkan termasuk saat memainkan permainan pernikahan ini. Maka dengan terpaksa Dava mengikuti kemauan Hala. Melihat ayah ibunya merayakan hari pernikahan mereka, Hala jadi ingin melakukan permainan pernikahan ini. Tidak ada anak sebayanya selain Dava, maka jadilah hari ini Madhava sebagai teman bermain Hala. Hamish, Dilara, Dani dan Selena sedang berkumpul bersama adik-adik mereka yang lain. Mereka sedang menunggu kabar dari Amar. Istri Amar sedang berjuang untuk melahirkan putri pertama mereka.“Nanti kalau sudah ada anak Amar, rumah ini jadi rame banget.”
“Yank, nanti kamu melahirkannya operasi aja, ya?” tawar Dani. Ia dan Selena sedang santai di ranjang sambil menonton drama Korea kesukaan istrinya.“Kenapa? Kalau masih bisa normal, ya normal aja, Mas!” ujarnya sambil memuji aktor Korea yang ia tonton.“Semoga nanti kamu gantengnya kayak oppa itu, ya nak!” Selena mengusap perutnya yang sudah membuncit. “Hah? Kok kayak dia?” Dani menunjuk layar televisi besar yang ada di kamar mereka. “Kan, aku papanya!” serunya tidak terima.“Emangnya aku gak ganteng?” Dani tidak terima. Enak saja, ia yang susah membuat adonan, Selena malah berharap anak mereka mirip aktor Korea.Selena tertawa melihat Dani yang merajuk. Sejak ia hamil, suaminya menjadi lebih serius. Susah sekali diajak bercanda.Selena mendekap suaminya karena tak kunjung tersenyum padahal ia sudah mengatakan kalau ia hanya bercanda.Suami aku yang paling ganteng. Nanti anak kita juga pasti ganteng kayak kamu.” Sebagai penutup rayuan, Selena mengecup singkat bibir Dani.Berhasil!P
“Papa!” Selena mengurai pelukannya memperhatikan Putra dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Bagaimana tidak, kabar terakhir yang ia dengar, ayahnya drop setelah kebangkrutan perusahaan keluarga mereka. “Papa baik-baik aja?” Selena tidak percaya yang ia lihat saat ini adalah Putra yang sehat, segar dan bugar. “Memangnya kamu gak senang lihat papa sehat?” candanya. Selena mengerutkan alisnya. Heran melihat Putra yang bisa bercanda dengan santai. Biasanya papa selalu serius dan jarang sekali tersenyum. Bukan tanpa alasan Putra sangat bahagia. Selama Selena menghilang, ia melihat sendiri kalau Dani bekerja keras mencari putrinya. Itu membuatnya sadar kalau Selena mendapatkan lelaki yang tepat sebagai suami. Selain itu, hubungannya dengan Hamish juga jauh lebih baik setelah pria itu berhasil menyelamatkan perusahaannya. Ia bahkan rela mengeluarkan banyak uang. ‘Keluarga ada yang utama.’ Kata-kata Hamish waktu itu menyadarkan Putra ia sebenarnya lebih sering mengabaikan keluarganya k