Bola mata Dilara membulat sempurna saat melihat jumlah yang harus mereka keluarkan ke sebuah pulau pribadi yang ada di Italia.“Bang, segini bisa buat buka toko kue.” Tangan Dilara sampai gemetar melihat banyaknya angka nol di belakang angka lima. Ia sampai kesulitan menyebut nominal yang tertera di layar kalkulator.“Bulan madu disini aja, Bang. Atau Bali, deh! Saya belum pernah ke Bali. Anak-anak juga belum pernah.”Wajah Hamish berubah kesal mendengar Dilara hendak membawa seluruh keluarga dalam bulan madu mereka."Dik, mana orang honeymoon bawa satu rumah. Yang ada malah gak jadi berduaan," gerutu Hamish. Ia yang sudah terlanjur kesal memilih berdiri dan mengambil piyama untuk tidur.Dilara yang merasa bersalah dengan ucapannya mengekori Hamish hingga di depan pintu kamar mandi. Dari luar ia berteriak, “Ya, kan honeymoonnya di dalam kamar, Bang. Kalau di tempat terbuka memang mau ngapain?” Hamish terkekeh mendengar istrinya yang mulai banyak belajar. Rupanya Dilara juga mempersia
“Jangan memancing kesabaranku, Om!” sahut Hamish geram. Ia mengatupkan bibirnya kuat-kuat hingga giginya saling bergemeretak.Menghina ibu dalam bentuk apapun dan siapapun yang melakukannya pasti akan menerima balasan. “Apa menyetop bantuan ke perusahaan om Syahril belum cukup?” Hamish menantang. Syahril yang memulai perang ini lebih dulu.Syahril mendadak bungkam, tidak berani menyinggung Hamish lebih dari ini. Pria itu membetulkan letak dasinya karena suasana berubah canggung setelah itu.Hamish berdiri, berada di rumah utama selalu membuatnya panas. Ia mohon pamit undur diri. Mengecup punggung tangan tante Mawar dan membuat wanita itu terkejut. Hamish yang dulu ia kenal tidak pernah bertata krama seperti itu, kini tiba-tiba menjadi sopan. Dulu Hamish mana pernah berpamitan jika keluar rumah.Tapi ini, pria ini malah mengucapkan salam!“Kenapa, Tan?” tanya Hamish heran melihat tante Mawar terbengong-bengong menatapnya. “Aku tahu kalau aku ini gantengnya kelewat batas.” Hamish ters
Hamish berdiri di sebuah toko bermerk asal Perancis setelah ia menolak untuk pergi ke toko pilihan ibu Ida.Harga pakaian di toko pilihan ibu Ida jauh lebih murah daripada di gerai yang ia pilih ini. Tentu saja ibu Ida meremehkan dan menghinanya sebelum akhirnya setuju mengikuti Hamish.“Kita mau masuk ke sini?” Ibu Ida melipat tangan di depan dada melihat Hamish menunggu jawaban menantunya.“Kamu tahu nggak, ini tuh mereka mahal! Jepit rambutnya aja jutaan, apalagi bajunya.” Hamish masih bergeming tidak membalas ibu Ida. Ia melihat seorang wanita berpakaian rapi formal menuju ke pintu depan. Wanita itu menyapa mereka dengan ramah lalu menanyakan apakah Hamish sudah punya janji untuk datang ke toko mereka.“Hamish Akbar. Rasanya aku sudah punya SA sendiri.” Hamish merogoh saku celananya. Mengambil ponsel lalu membaca pesan dari Adam yang masih menemani pada anak lelaki mencari pakaian.Dilara menarik ujung kaos Hamish. Walau ia tidak tahu merk ini, tetapi dari tokonya saja Dilara su
Dilara yang duduk di depan Hamish sejak tadi tidak henti memandangi suaminya sendiri. Ia semakin pemasaran dengan siapa Hamish sebenarnya. Apa gaji sebagai direktur bisa membuatnya menyewa jet pribadi?Harga sewa jet pribadi pasti bukan lagi jutaan — mungkin ratusan juta dalam sehari.Dilara sampai lupa berkedip dan terus memandangi wajah Hamish. Pria itu sedang sibuk membincangkan sesuatu dengan Adam. Sesekali Dilara beralih memperhatikan Adam. Pria penampilan klimis itu selalu ada dimanapun Hamish berada bahkan mempercayakan Adam untuk menjaga Dilara saat suaminya ke Jakarta. Pria ini pasti bukan orang sembarangan!“Dik, apa apa?” Bukan Hamish tidak memperhatikan jika sejak tadi Dilara mengamatinya, tetapi urusan yang ia bicarakan dengan Adam membuatnya harus menunda bertanya.“Kenapa ngeliatin abang kayak gitu? Abang tahu, gantengnya abang emang kelewat batas.” Hamish berusaha mencairkan keadaan dengan candaan, namun belum berhasil membuat istrinya tersenyum.Ok, kini Hamish tah
Kedatangan Hamish dan rombongannya langsung menjadi pusat perhatian keluarga besar Akbar.Keluarga besar disini bukan hanya keluarga om Syahril tetapi juga adik dari kakek Hamish termasuk tante dan sepupunya yang ke semuanya menjadi tanggungan keluarga Akbar.Sejak melewati pintu rumah utama, Hamish memegangi tangan Dilara yang berkeringat karena gugup.Mata-mata yang mengikuti pergerakan mereka membuat Dilara semakin gugup justru membuat Hamish semakin membusungkan dada bangga.Makan malam berlangsung di halaman belakang rumah yang memang cukup luas untuk menampung anggota keluarga yang jumlahnya lebih dari 20 orang.Meja-meja bulat ditata rapi ditutupi taplak putih satin, pun begitu dengan empuk yang mengelilingi meja. Buket bunga besar dipajang di beberapa sudut halaman berdampingan dengan lampu taman. Sebuah meja barbeque listrik sudah mengeluarkan asap siap untuk membakar daging steak terbaik pilihan tante Mawar. Ia memang ingin menyambut menantu baru keluarga Akbar dengan isti
“Kenapa ibu ada di sini? Apa ibu ingin kerja sama kita terbongkar? Atau sekarang ibu lebih membela dia karena sudah tahu dia anak sultan?"Hamish menajamkan telinganya mendengar suara yang berasal dari bawah balkon kamarnya.Ia baru bangun dan ingin menghirup sejuknya udara pagi sebelum mandi. Walaupun tinggal di tengah kota besar, dengan rumah yang ditumbuhi banyak pohon besar membuat kediaman Akbar sejuk.Ia masih mengenakan celana panjang dan kaos oblong putih, memegangi pinggiran pagar pembatas mencoba mengenali dua suara yang sedang berbincang.Di bawah balkon adalah pintu geser yang menghubungkan ruang keluarga dengan halaman belakang dan kolam renang. Yang mungkin berbincang di pagi seperti ini hanya penghuni rumah. Tapi masalahnya rumah yang mana?Hamish memajukan tubuhnya hingga menempel ke tepi pagar. Ia memajukan kepala berharap bisa melihat siapa yang sedang ngobrol pagi di lantai bawah.Tidak bisa melihat karena tertutup dengan atap, Hamish bergegas keluar dari kamar me
"Kamu mau buat perusahaanku bangkrut? Coba saja!" tantang Irvan lagi."Jadi ini istri kampung kamu, Babe?” Lucy memandang sinis Dilara. Jelas sekali jika Lucy sedang mengibarkan bendera perang dengan Dilara.Sedang Dilara mengerutkan kening mendengar ada wanita lain memanggil suaminya dengan sebutan mesra. Dia saja hanya menggunakan kata ‘abang’ untuk memanggil Hamish.“Kalian mau apa? Kalau datang kesini hanya untuk membuat keributan, sebaiknya kalian pergi. Atau perlu aku panggil Adam untuk membereskan kalian?” Kini Hamish berbalik mengancam Irvan.Hamish mendorong kursinya menjauh dari meja, berdiri dengan kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. “Papi sudah setuju untuk membantu Irvan, Babe. Tapi kalau kamu ceraikan wanita kampung ini, aku akan rayu papi untuk kembali ke perusahaan kamu.” Lucy menyeringai licik. Wajahnya terangkat seolah yakin jika Hamish akan menyetujui permintaannya itu.Hamish bergerak mendekati Dilara, merangkul pundak sang istri. Tidak sedikitpun ketakuta
BRAGH!"Apa maksudmu, Mish?" Syahril menggebrak meja. Tidak hanya mengagetkan Dilara, aksi Syahril itu juga membuat pemegang saham lain yang hadir ikut terkejut.Dada Syahril naik turun, nafas pria berumur itu mendadak tidak karuan karena emosi mendengar ucapan Hamish barusan. Rahang Syahril menegasWalaupun tidak banyak, adik dari ayah Hamish itu mempunyai sedikit saham di Akbar Corp.“Bagaimana mungkin gadis kampung ini tiba-tiba dapat 20% saham? Apa kamu tahu berapa nilai 20% itu, HAH?” Syahril berteriak membuat Dilara yang masih bingung menjadi ketakutan. Gadis itu mundur beberapa langkah dan bersembunyi di balik punggung Hamish. Ia menarik ujung jas Hamish, ketakutan.“Tentu saja, Om! 20 miliar! Artinya istriku ini berhak atas 20 miliar dari saham Akbar Corp.” Senyum puas mengembang di bibir sang CEO.Entah kenapa ia senang sekali melihat raut wajah kecewa dan tidak terima Syahril. Ditambah lagi dengan melihat amarah Syahril membuat Hamish ingin menertawakan pamannya itu.Syahri
“Kak Hala?” ucap Dava berbisik melihat istrinya berjalan masuk studio dengan seorang lagi yang ia kenal adalah sahabat Hala.“Nona Hala? Kamu sudah datang?” Kevin berubah sopan saat melihat Hala. Ia melepaskan tangan Dava lalu merapikan jaketnya.“Aku antar ke ruang make up,” tawar Kevin ramah. Wajah garangnya berubah menjadi senyum ketika bicara dengan Hala. Lu gue yang tadi ia gunakan kini menjadi aku kamu membuat kesan ia sudah sangat mengenal Hala.“Bentar mas Kevin, aku ngomong sebentar sama Dava.”Kevin menoleh melihat Dava dengan mata menyipit. “Nona kenal dia?” Hala mengangguk pelan. “Dia, kan cucunya —” Dava menarik tangan Hala sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. Membawanya menjauh dsri Kevin dan kru yang lain agar bisa bicara dengan bebas. “Kak Hala lupa pesan papa? Gak ada yang boleh tahu siapa aku?” Dava berbisik. Ia menoleh melihat sekitar memastikan tidak ada telinga yang menguping pembicaraan mereka. Hala menepuk jidatnya, hampir saja ia keceplosan. “Kak Hal
“Posisi yang tersedia hanya bagian gudang. Bagaimana?” Wanita berwajah serius melihat Dava dari balik kacamata bulatnya. Dengan kemeja putih dan celana panjang bahan berwarna hitam, Dava yang duduk di depan meja HRD hanya bisa mengangguk pasrah. Mengingat pesan papa sebelum ia berangkat tadi. Ini adalah salah satu cara untuk membuktikan dirinya. Dava bekerja di salah satu anak perusahaan Djaya Grup yang bergerak di bidang periklanan. Dani sudah mengatur semuanya, tidak ada yang tahu kalau Dava adalah cucu dari pemilik perusahaan kecuali sang CEO yaitu ayahnya sendiri. “Baik, kamu bisa mulai bekerja hari ini. Ayo, saya antar ke gudang.” Wanita berwajah tegas itu berdiri dari duduk. Merapikan blazer lalu mengambil ponselnya. Ia mendahului Dava keluar dari ruangan, menunjukkan kepada Dava gudang yang ia maksud. Sambil menuntun Dava menuju area kerja, HRD menjelaskan setiap ruangan yang mereka lewati. Gedung ini memiliki 5 lantai. Lantai tiga dan empat adalah lantai khusus untuk b
“Dav, gerah!” Hala menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya.Setelah makan di restoran Jepang tadi, Dava dan Hala memutuskan langsung pulang karena mereka ada kuliah pagi.Walau menghabiskan hampir 500 ribu, Dava menganggap itu untuk menyenangkan Hala yang sudah mengalah untuk tidak membeli AC.Sekarang, Hala mendekatkan kipas portable kecil miliknya. Meletakkan benda itu tepat di sebelah kepalanya.Dava yang tidur di lantai berdiri di sebelah ranjang memperhatikan sang istri sambil menggeleng pelan.“Jangan taruh disitu, Kak! Nanti rambutnya nyangkut terus kepala jadi pusing.” Dava memberikan saran. Dengan langkah gontai Dava berjalan mendekati jendela kemudian membukanya dengan lebar agar angin malam masuk ke dalam kamar.Dari tempatnya berdiri. Dava bisa melihat hamparan bintang yang menghiasi langit hitam. Sejak dulu ia memang suka dengan langit malam yang cerah seperti ini. Ia bahkan meminta Dani untuk membuatkan rumah pohon di belakang rumah agar ia bisa menikmati langit
“Sore, Kakak! Mau cari apa?” sapa pramuniaga ketiaka Dava dan Hala masuk ke toko elektronik di sebuah mall. Pria itu memperhatikan wajah dan penampilan Dava dan Hala yang masih muda langsung menawarkan ponsel pintar dan laptop tetapi keduanya kompak menggeleng. “Kami mau cari AC.” Dava menjawab. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh area toko mencari pendingin udara. “Oh… ada di lantai dua.” Pelayan toko itu sedikit terkejut, anak muda seperti mereka mencari pendingin udara. Pramuniaga itu melakukan tugasnya, ia mengantarkan Dava dan Hala tempat pendingin udara dan juga kulkas.Dava dan Hala mulai mencari AC yang mereka inginkan. Jika Dava melihat harga lain dengan Hala yang melihat merk-nya.Beberapa kali Dava menggeleng tidak setuju dengan pilihan Hala karena istrinya memilih pendingin udara berharga puluhan juta dengan PK besar.“Mas-nya cari AC yang kayak apa?” tanya pramuniaga itu pada akhirnya karena Dava tidak kunjung menemukan barang yang ia inginkan.Untuk kamar 5x5 meter.
Dava tiba lebih dulu di rumah kontrakan yang sudah dibayar Hamish untuk satu tahun ke depan. Ia menggunakan motor trill-nya lengkap dengan jaket jins dan kaca mata hitam. Penampilan yang membuat ketampanan Dava meningkat. Dava melepaskan kacamata hitamnya. Dari atas motor trill memperhatikan rumah sederhana yang ayah mertuanya sewakan untuknya dan Hala. “Apa-apa ini? Mana mau kak Hala tinggal di rumah kecil begini.” Dava menggumam sendiri. “Tapi gak apa-apa. Semakin sulit hidup kak Hala, semakin cepet dia minta cerai.” Dava menyeringai. Rencana-rencana kecil untuk memuluskan tujuannya melintas di kepala. Sudut bibir Dava terangkat membayangkan Hala yang merengek minta kembali ke istana keluarga Akbar. Dava baru turun saat mobil mewah Hamish terlihat di ujung gang. Dengan hati-hati, sopir mengendarai mobil di gang yang tidak terlalu lebar. Jangan sampai mobil tuan Hamish Akbar tergores walau sedikit. Dava segera menghampiri mobil, mengeluarkan koper-koper dan beberapa dus berisi
“Lancang sekali kamu menikahi Hala!” Madhava hanya bisa menunduk ketika sang paman — Hamish Akbar berteriak kepadanya di depan semua anggota keluarga termasuk di depan papa dan mamanya. Di sebelah pakde Hamish, istrinya — budhe Dilara sedang menenangkan pria yang sedang murka itu. Di kursi yang lain, Dani dan Selena tidak bisa membela anaknya sama sekali. Mereka hanya diam tidak berani menyela Hamish. Bukan keinginan Dava menikahi sepupu angkatnya sendiri. Tetapi, Hala-lah yang memintanya. Kenapa ia tidak menolak, karena menolak permintaan Hala adalah hal yang dilarang. Ayah Dava sendiri yang membuat peraturan itu. Sejak kecil, Dava selalu mengabulkan apa yang Hala minta termasuk ketika Hala meminta untuk menikah dengannya. “Anak bau kencur sudah berani mikir nikah. Nanti Hala mau kamu kasih makan apa, hah? Kamu pikir pakdhe gak tahu kelakuan kamu diluar sana?” Hamish kembali berteriak. “Dan, kasih tahu anak kamu itu!” Kini Hamish beralih kepada Dani yang sejak tadi hany
“Pokoknya, kalau udah besar nanti, kita beneran nikah, ya?” Hala sedang memeluk lengan adiknya — Madhava. Keduanya sedang bermain pura-pura menikah tetapi gadis tujuh tahun anak Hamish malah meminta Madhava berjanji akan menikahinya kelak. “Gak mau! Kakak Hala, kan kakak aku.” Demi Tuhan, Madhava tidak ingin memainkan permainan ini tetapi papanya sudah melarang kata ‘tidak’ untuk Hala.Artinya, apapun yang Hala mau, harus Dava kabulkan termasuk saat memainkan permainan pernikahan ini. Maka dengan terpaksa Dava mengikuti kemauan Hala. Melihat ayah ibunya merayakan hari pernikahan mereka, Hala jadi ingin melakukan permainan pernikahan ini. Tidak ada anak sebayanya selain Dava, maka jadilah hari ini Madhava sebagai teman bermain Hala. Hamish, Dilara, Dani dan Selena sedang berkumpul bersama adik-adik mereka yang lain. Mereka sedang menunggu kabar dari Amar. Istri Amar sedang berjuang untuk melahirkan putri pertama mereka.“Nanti kalau sudah ada anak Amar, rumah ini jadi rame banget.”
“Yank, nanti kamu melahirkannya operasi aja, ya?” tawar Dani. Ia dan Selena sedang santai di ranjang sambil menonton drama Korea kesukaan istrinya.“Kenapa? Kalau masih bisa normal, ya normal aja, Mas!” ujarnya sambil memuji aktor Korea yang ia tonton.“Semoga nanti kamu gantengnya kayak oppa itu, ya nak!” Selena mengusap perutnya yang sudah membuncit. “Hah? Kok kayak dia?” Dani menunjuk layar televisi besar yang ada di kamar mereka. “Kan, aku papanya!” serunya tidak terima.“Emangnya aku gak ganteng?” Dani tidak terima. Enak saja, ia yang susah membuat adonan, Selena malah berharap anak mereka mirip aktor Korea.Selena tertawa melihat Dani yang merajuk. Sejak ia hamil, suaminya menjadi lebih serius. Susah sekali diajak bercanda.Selena mendekap suaminya karena tak kunjung tersenyum padahal ia sudah mengatakan kalau ia hanya bercanda.Suami aku yang paling ganteng. Nanti anak kita juga pasti ganteng kayak kamu.” Sebagai penutup rayuan, Selena mengecup singkat bibir Dani.Berhasil!P
“Papa!” Selena mengurai pelukannya memperhatikan Putra dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Bagaimana tidak, kabar terakhir yang ia dengar, ayahnya drop setelah kebangkrutan perusahaan keluarga mereka. “Papa baik-baik aja?” Selena tidak percaya yang ia lihat saat ini adalah Putra yang sehat, segar dan bugar. “Memangnya kamu gak senang lihat papa sehat?” candanya. Selena mengerutkan alisnya. Heran melihat Putra yang bisa bercanda dengan santai. Biasanya papa selalu serius dan jarang sekali tersenyum. Bukan tanpa alasan Putra sangat bahagia. Selama Selena menghilang, ia melihat sendiri kalau Dani bekerja keras mencari putrinya. Itu membuatnya sadar kalau Selena mendapatkan lelaki yang tepat sebagai suami. Selain itu, hubungannya dengan Hamish juga jauh lebih baik setelah pria itu berhasil menyelamatkan perusahaannya. Ia bahkan rela mengeluarkan banyak uang. ‘Keluarga ada yang utama.’ Kata-kata Hamish waktu itu menyadarkan Putra ia sebenarnya lebih sering mengabaikan keluarganya k