Wanita yang Ujang katakan terus mengganggu pikiran Hamish bahkan sampai kembali ke Sidoarjo. Tentu saja ia sudah memerintahkan Adam untuk mencari tahu tentang wanita yang Ujang maksud. Namun, menemukan wanita yang tidak Ujang lihat wajahnya tentu tidak mudah. Puluhan wanita datang dan pergi dalam kehidupan Hamish. Teman wanita begitu banyak dan tidak sedikit pula dari mereka mengharapkan hal lebih dari sekedar teman menghabiskan malam bersama.Bisa saja mereka kesal dengan dirinya sampai merencanakan pembunuhan, bukan? Hamish mengusap keningnya mencoba menerka wanita yang membayar Ujang dan rekannya itu.Sejak kembali dari Jakarta, Hamish meningkatkan penjagaan rumah dengan menambah beberapa kamera pengawas dan juga satpam.Menurut istrinya ini berlebihan, tetapi tidak menurut Hamish. Apalagi dalam hitungan minggu mereka akan melaksanakan resepsi pernikahan dan memperkenalkan Dilara kepada seluruh rekan bisnisnya.“Bang, kok tumben sudah pulang?” Dilara menyambut kepulangan Hamish
"Kalian hanya makan ini?" Tante Mawar menunjuk ayang goreng tepung ala Kentucky dengan ujung garpunya. Berbeda dengan Hamish dan yang lain yang siap menyantap makanan buatan Dilara dengan tangan."Kalian makan dengan tangan? Itu jorok sekali!" seru tante Mawar. Keningnya berkerut pun begitu dengan bibirnya yang menunjukan ia jijik.Ibu Ida menyetujui pendapat tante Mawar ikut menegeluhkan makanan yang tersaji malam itu. Ikut membuat suasana semakin panas dan membuat Dilara semakin malu dan tidak enak hati."Mana mantap makan sambal pake sendok garpu, Tan. Pake tangan baru deh mak nyos!" Hamish mengangkat tangannya yg kotor dengan bekas nasi dan sambal.Malam ini Dilara memasak ayam krispi untuk anak-anak dan ayam ayam goreng ungkep lengkap dengan sambal terasi dan tumis kangkung.Makanan rumahan yang tidak berubah meski mereka sudah tinggal di rumah besar. Makanan yang sangat berbeda dengan apa yang Mawar makan setiap harinya di rumah besar keluarga Akbar.“Mish, gimana mungkin kamu
Malam itu, Hamish dan Dilara merencanakan masa depan Amar hingga menjelang pagi. Bagaimanapun Amar dan Ita masih 16 tahun. Walaupun mereka menikah, mereka butuh banyak bimbingan dan tidak akan bisa dilepas begitu saja. Disela kesibukannya menyiapkan pesta pernikahan, Dilara juga sibuk mempersiapkan pertemuan dengan orang tua Ita. Bagi Hamish sudah harga mati jika Amar dan Ita harus mempertanggung jawabkan perbuatan mereka. “Gak habis pikir sama pergaulan anak jaman sekarang.” Tante Mawar yang sedang membantu Dilara menyiapkan oleh-oleh untuk orang tua Ita menggerutu separuh menyindir. “Gimana mungkin anak umur 16 tahun sudah akan menikah? Mau jadi apa pernikahan mereka? Paling-paling satu dua tahun aja cerai. Pernikahan udah dianggap main-main.” Tante Mawar memasukkan kue basah ke dalam kotak lalu menutupnya.“Ini sudah pasti salah mendidiknya!” tuduh Tante Mawar. “Tante gak nyalahin kamu ya, Mish! Kamu kan baru beberapa bulan sama mereka,” lanjut tante Mawar lagi.Hamish melirik
“Jika kalian tidak sanggup, lupakan saja! Aku tidak akan menikahkan Ita dengan remaja miskin seperti dia! Lagipula Ita tidak hamil, setelah ini aku akan mencarikan dia lelaki kaya yang mau menerima Ita.” Gunawan menyilangkan tangannya di depan dada. Ia yakin sekali, keluarga dari rumah yatim piatu ini tidak akan mampu mengabulkan syaratnya.Menguliahkan Ita saja belum tentu sanggup, apalagi mahar 10 miliar. Gunawan tersenyum licik.“Anda ingin Ita kuliah dimana?” tanya Hamish. “Pelita Jaya,” balas Gunawan dengan cepat. Universitas ternama yang mahasiswanya banyak berasal dari keluarga konglomerat. Biaya satu semester saja mungkin cukup untuk membeli dua motor matik.Hamish mengangguk pelan. Ia mengambil ponselnya lalu meminta Dani memanggil Adam.“Jika aku bisa mengabulkan semua syarat anda, aku ingin pernikahan dilakukan malam ini juga bagaimana?”Ha-ha-haTawa meremehkan Gunawan membalas permintaan Hamish. Pria itu yakin jika Hamish hanya sekedar menggretaknya saja.Puas tertawa, G
"Duduk, abang mau bicara!" Hamish duduk di balik meja kerjanya menutup laptop saat Dani dan Amar datang ke ruang kerja.Ia memang sengaja memanggil kedua remaja itu untuk bicara serius sebagai sesama laki-laki. Itu pula sebabnya ia memilih ruang kerja sebagai tempat pertemuan.Dani dan Amar menarik kursi yang ada di depan meja Hamish. Kini, mereka terlihat seperti bawahan yang sedang menghadap keatasan untuk memberikan laporan kinerja.“Dani, hari kamu mulai pindahkan barang-barangmu ke kamar lain.” Hamish membuka percakapan tanpa berbasa basi. Tanpa menanyakan kabar atau bagaimana perasaan Amar yang baru semalam menikah.“Amar, sekarang kamu sudah menjadi suami. Pesan abang, kamu harus banyak belajar. Laki-laki yang dipegang adalah tanggung jawabnya. Walau masih muda, abang kamu kamu mulai bertanggung jawab sama Ita.” Amar hanya dia, tidak menjawab ataupun memberi anggukan paham.Hamish membuang nafas panjang. Ia bersandar pada kursi agar lebih santai. Ia mulai menjelaskan jika seg
Nafas Hamish menderu, sepanjang perjalanan menuju ke Sidoarjo tangannya terus mengepal menahan amarahnya.Ia tidak habis pikir kenapa wanita itu ingin menghancurkan keluarganya sendiri. Padahal dia termasuk kesayangan kakek. Ternyata keluarga Akbar tidak sebersih yang terlihat dari luar. Mereka terus saja mempermasalahkan asal usul dan latar belakang Dilara. Padahal mereka tidak lebih baik dari Dilara.“Tuan muda, kita hampir sampai.” Adam memberitahu ketika mereka sudah masuk ke dalam perumahan.“Apa menurutmu aku harus membongkarnya sekarang?” tanya Hamish yang duduk di bangku belakang. Ia menyandarkan kepalanya yang tiba-tiba terasa berat saat Widianto menunjukkan wanita yang ia maksud dari ponselnya.“Sebaiknya kita selesaikan satu per satu, Tuan Muda. Lagipula kita belum belum tahhu apa hubungan ibu Ida dengan Irvan.”Hamish berpikir sejenak. Menimbang saran asistennya itu lalu mengangguk setuju. “Kita bereskan semua setelah aku kembali dari bulan madu.” Hamish membetulkan posi
Waktu cepat sekali berlalu, kesibukan menjelang pesta pernikahan pewaris keluarga Akbar membuat Hamish dan Dilara jarang bertemu dan melupakan sejenak soal sertifikat rumah dan intrik internal Akbar.Seluruh anggota keluarga Akbar dan para undangan sudah tiba di Surabaya dan menginap di beberapa hotel yang telah disiapkan oleh Hamish.a.“Dik, kenapa dari tadi mondar-mandir aja?” Hamish meletakkan komputer lipat di pangkuannya lalu mendekati sang istri. Dilara sibuk memasukkan barang yang harus ia bawa besok pagi-pagi sekali. Sambil membawa selembar kertas yang berisi catatan dari penata rias, Dilara mengelilingi kamar sesekali menggigit kuku ibu jarinya."Masih banyak yang kurang?" tanya Hamish lagi. Saking sibuknya dan gugupnya Dilara tidak memperhatikan pertanyaan Hamish.Hamish mengambil kertas dari tangan Dilara lalu mendekati koper kecil di terbuka di lantai. Hamish berjongkok di depan koper, memeriksa barang-barang istrinya memastikan tidak ada yang terlewat."Ini udah semua, D
"Bagaimana ini, Hamsih sudah mulai curiga sama ibu?" Ibu Ida menemui Irvan dan Syahril setelah keberangkatan Hamish dan Dilara untuk berbulan madu.Wajah wanita paruh baya itu terlihat gusar dan khawatir karena sikap Hamish yang belakangan ini terus menyindirnya."A— Apa ibu mengaku saja?" sarannya. "Hamish pasti memaafkan kita. Kita kan keluarganya." Ia melanjutkan."Ibu ini bicara apa?! Jangan bicara lagi, malah bikin kacau!" Irvan membentak ibu Ida membuat wanita itu seketika bungkam.Irvan beralih kepada sang ayah yang sejak tadi lebih banyak diam seperti sedang memikirkan sesuatu."Apa kalian sadar hari ini tidak ada Adam?" ujar Syahril setelah cukup lama berpikir.Irvan dan ibu Ida saling pandang tidak mengerti dengan arah pembicaraan pria itu. Syahril melanjutkan, "Adam itu kaki tangan yang setia. Aku yakin pasti ada sesuatu yang besar di balik ketidakhadirannya hari ini." Irvan yang hendak bicara menunda memberikan pendapat karena mendengar bunyi bel kamarnya."Itu pasti dia
“Kak Hala?” ucap Dava berbisik melihat istrinya berjalan masuk studio dengan seorang lagi yang ia kenal adalah sahabat Hala.“Nona Hala? Kamu sudah datang?” Kevin berubah sopan saat melihat Hala. Ia melepaskan tangan Dava lalu merapikan jaketnya.“Aku antar ke ruang make up,” tawar Kevin ramah. Wajah garangnya berubah menjadi senyum ketika bicara dengan Hala. Lu gue yang tadi ia gunakan kini menjadi aku kamu membuat kesan ia sudah sangat mengenal Hala.“Bentar mas Kevin, aku ngomong sebentar sama Dava.”Kevin menoleh melihat Dava dengan mata menyipit. “Nona kenal dia?” Hala mengangguk pelan. “Dia, kan cucunya —” Dava menarik tangan Hala sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. Membawanya menjauh dsri Kevin dan kru yang lain agar bisa bicara dengan bebas. “Kak Hala lupa pesan papa? Gak ada yang boleh tahu siapa aku?” Dava berbisik. Ia menoleh melihat sekitar memastikan tidak ada telinga yang menguping pembicaraan mereka. Hala menepuk jidatnya, hampir saja ia keceplosan. “Kak Hal
“Posisi yang tersedia hanya bagian gudang. Bagaimana?” Wanita berwajah serius melihat Dava dari balik kacamata bulatnya. Dengan kemeja putih dan celana panjang bahan berwarna hitam, Dava yang duduk di depan meja HRD hanya bisa mengangguk pasrah. Mengingat pesan papa sebelum ia berangkat tadi. Ini adalah salah satu cara untuk membuktikan dirinya. Dava bekerja di salah satu anak perusahaan Djaya Grup yang bergerak di bidang periklanan. Dani sudah mengatur semuanya, tidak ada yang tahu kalau Dava adalah cucu dari pemilik perusahaan kecuali sang CEO yaitu ayahnya sendiri. “Baik, kamu bisa mulai bekerja hari ini. Ayo, saya antar ke gudang.” Wanita berwajah tegas itu berdiri dari duduk. Merapikan blazer lalu mengambil ponselnya. Ia mendahului Dava keluar dari ruangan, menunjukkan kepada Dava gudang yang ia maksud. Sambil menuntun Dava menuju area kerja, HRD menjelaskan setiap ruangan yang mereka lewati. Gedung ini memiliki 5 lantai. Lantai tiga dan empat adalah lantai khusus untuk b
“Dav, gerah!” Hala menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya.Setelah makan di restoran Jepang tadi, Dava dan Hala memutuskan langsung pulang karena mereka ada kuliah pagi.Walau menghabiskan hampir 500 ribu, Dava menganggap itu untuk menyenangkan Hala yang sudah mengalah untuk tidak membeli AC.Sekarang, Hala mendekatkan kipas portable kecil miliknya. Meletakkan benda itu tepat di sebelah kepalanya.Dava yang tidur di lantai berdiri di sebelah ranjang memperhatikan sang istri sambil menggeleng pelan.“Jangan taruh disitu, Kak! Nanti rambutnya nyangkut terus kepala jadi pusing.” Dava memberikan saran. Dengan langkah gontai Dava berjalan mendekati jendela kemudian membukanya dengan lebar agar angin malam masuk ke dalam kamar.Dari tempatnya berdiri. Dava bisa melihat hamparan bintang yang menghiasi langit hitam. Sejak dulu ia memang suka dengan langit malam yang cerah seperti ini. Ia bahkan meminta Dani untuk membuatkan rumah pohon di belakang rumah agar ia bisa menikmati langit
“Sore, Kakak! Mau cari apa?” sapa pramuniaga ketiaka Dava dan Hala masuk ke toko elektronik di sebuah mall. Pria itu memperhatikan wajah dan penampilan Dava dan Hala yang masih muda langsung menawarkan ponsel pintar dan laptop tetapi keduanya kompak menggeleng. “Kami mau cari AC.” Dava menjawab. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh area toko mencari pendingin udara. “Oh… ada di lantai dua.” Pelayan toko itu sedikit terkejut, anak muda seperti mereka mencari pendingin udara. Pramuniaga itu melakukan tugasnya, ia mengantarkan Dava dan Hala tempat pendingin udara dan juga kulkas.Dava dan Hala mulai mencari AC yang mereka inginkan. Jika Dava melihat harga lain dengan Hala yang melihat merk-nya.Beberapa kali Dava menggeleng tidak setuju dengan pilihan Hala karena istrinya memilih pendingin udara berharga puluhan juta dengan PK besar.“Mas-nya cari AC yang kayak apa?” tanya pramuniaga itu pada akhirnya karena Dava tidak kunjung menemukan barang yang ia inginkan.Untuk kamar 5x5 meter.
Dava tiba lebih dulu di rumah kontrakan yang sudah dibayar Hamish untuk satu tahun ke depan. Ia menggunakan motor trill-nya lengkap dengan jaket jins dan kaca mata hitam. Penampilan yang membuat ketampanan Dava meningkat. Dava melepaskan kacamata hitamnya. Dari atas motor trill memperhatikan rumah sederhana yang ayah mertuanya sewakan untuknya dan Hala. “Apa-apa ini? Mana mau kak Hala tinggal di rumah kecil begini.” Dava menggumam sendiri. “Tapi gak apa-apa. Semakin sulit hidup kak Hala, semakin cepet dia minta cerai.” Dava menyeringai. Rencana-rencana kecil untuk memuluskan tujuannya melintas di kepala. Sudut bibir Dava terangkat membayangkan Hala yang merengek minta kembali ke istana keluarga Akbar. Dava baru turun saat mobil mewah Hamish terlihat di ujung gang. Dengan hati-hati, sopir mengendarai mobil di gang yang tidak terlalu lebar. Jangan sampai mobil tuan Hamish Akbar tergores walau sedikit. Dava segera menghampiri mobil, mengeluarkan koper-koper dan beberapa dus berisi
“Lancang sekali kamu menikahi Hala!” Madhava hanya bisa menunduk ketika sang paman — Hamish Akbar berteriak kepadanya di depan semua anggota keluarga termasuk di depan papa dan mamanya. Di sebelah pakde Hamish, istrinya — budhe Dilara sedang menenangkan pria yang sedang murka itu. Di kursi yang lain, Dani dan Selena tidak bisa membela anaknya sama sekali. Mereka hanya diam tidak berani menyela Hamish. Bukan keinginan Dava menikahi sepupu angkatnya sendiri. Tetapi, Hala-lah yang memintanya. Kenapa ia tidak menolak, karena menolak permintaan Hala adalah hal yang dilarang. Ayah Dava sendiri yang membuat peraturan itu. Sejak kecil, Dava selalu mengabulkan apa yang Hala minta termasuk ketika Hala meminta untuk menikah dengannya. “Anak bau kencur sudah berani mikir nikah. Nanti Hala mau kamu kasih makan apa, hah? Kamu pikir pakdhe gak tahu kelakuan kamu diluar sana?” Hamish kembali berteriak. “Dan, kasih tahu anak kamu itu!” Kini Hamish beralih kepada Dani yang sejak tadi hany
“Pokoknya, kalau udah besar nanti, kita beneran nikah, ya?” Hala sedang memeluk lengan adiknya — Madhava. Keduanya sedang bermain pura-pura menikah tetapi gadis tujuh tahun anak Hamish malah meminta Madhava berjanji akan menikahinya kelak. “Gak mau! Kakak Hala, kan kakak aku.” Demi Tuhan, Madhava tidak ingin memainkan permainan ini tetapi papanya sudah melarang kata ‘tidak’ untuk Hala.Artinya, apapun yang Hala mau, harus Dava kabulkan termasuk saat memainkan permainan pernikahan ini. Maka dengan terpaksa Dava mengikuti kemauan Hala. Melihat ayah ibunya merayakan hari pernikahan mereka, Hala jadi ingin melakukan permainan pernikahan ini. Tidak ada anak sebayanya selain Dava, maka jadilah hari ini Madhava sebagai teman bermain Hala. Hamish, Dilara, Dani dan Selena sedang berkumpul bersama adik-adik mereka yang lain. Mereka sedang menunggu kabar dari Amar. Istri Amar sedang berjuang untuk melahirkan putri pertama mereka.“Nanti kalau sudah ada anak Amar, rumah ini jadi rame banget.”
“Yank, nanti kamu melahirkannya operasi aja, ya?” tawar Dani. Ia dan Selena sedang santai di ranjang sambil menonton drama Korea kesukaan istrinya.“Kenapa? Kalau masih bisa normal, ya normal aja, Mas!” ujarnya sambil memuji aktor Korea yang ia tonton.“Semoga nanti kamu gantengnya kayak oppa itu, ya nak!” Selena mengusap perutnya yang sudah membuncit. “Hah? Kok kayak dia?” Dani menunjuk layar televisi besar yang ada di kamar mereka. “Kan, aku papanya!” serunya tidak terima.“Emangnya aku gak ganteng?” Dani tidak terima. Enak saja, ia yang susah membuat adonan, Selena malah berharap anak mereka mirip aktor Korea.Selena tertawa melihat Dani yang merajuk. Sejak ia hamil, suaminya menjadi lebih serius. Susah sekali diajak bercanda.Selena mendekap suaminya karena tak kunjung tersenyum padahal ia sudah mengatakan kalau ia hanya bercanda.Suami aku yang paling ganteng. Nanti anak kita juga pasti ganteng kayak kamu.” Sebagai penutup rayuan, Selena mengecup singkat bibir Dani.Berhasil!P
“Papa!” Selena mengurai pelukannya memperhatikan Putra dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Bagaimana tidak, kabar terakhir yang ia dengar, ayahnya drop setelah kebangkrutan perusahaan keluarga mereka. “Papa baik-baik aja?” Selena tidak percaya yang ia lihat saat ini adalah Putra yang sehat, segar dan bugar. “Memangnya kamu gak senang lihat papa sehat?” candanya. Selena mengerutkan alisnya. Heran melihat Putra yang bisa bercanda dengan santai. Biasanya papa selalu serius dan jarang sekali tersenyum. Bukan tanpa alasan Putra sangat bahagia. Selama Selena menghilang, ia melihat sendiri kalau Dani bekerja keras mencari putrinya. Itu membuatnya sadar kalau Selena mendapatkan lelaki yang tepat sebagai suami. Selain itu, hubungannya dengan Hamish juga jauh lebih baik setelah pria itu berhasil menyelamatkan perusahaannya. Ia bahkan rela mengeluarkan banyak uang. ‘Keluarga ada yang utama.’ Kata-kata Hamish waktu itu menyadarkan Putra ia sebenarnya lebih sering mengabaikan keluarganya k