Apa pun yang terjadi selama sisa perjalanan, Felix terus fokus mengemudikan mobil dengan aman dan cepat.Sama seperti Felix, Moris juga mengalami tekanan yang sama sepanjang perjalanan. Dia duduk di jok belakang dengan kedua tangan di lututnya, mencengkeram celana jinnya sementara tatapannya terus tertunduk.Hanya itu yang bisa menahan Moris dari menanyakan terlalu banyak pertanyaan yang ada di dalam benaknya. Dia bahkan merasakan tatapan Edward tertuju padanya beberapa kali, tapi dia tidak berani mengangkat kepalanya untuk berbicara pada Edward.Edward awalnya mengerutkan alisnya dengan khawatir pada lelaki itu, tapi setelah beberapa saat, Edward akan memalingkan pandangannya dengan cepat dan tanpa suara sementara pundaknya gemetar. Beberapa saat pun berlalu sebelum dia menatap ke depan lagi dengan mata yang memerah.Tentu saja, Moris tahu alasan di balik itu. Edward tidak menangis karena mengkhawatirkan Moris. Alih-alih, itu karena dia merasa Moris lucu.Moris mengerutkan bibirn
Mata Moris dan Edward bertatapan seperti magnet dalam waktu yang cukup lama. Ketika Moris hendak angkat bicara, dia tiba-tiba mendengar dengusan meremehkan dari kursi penumpang di tempat.Felix terus terdiam sepanjang waktu tapi diam-diam berpikir, “Hah! Edward itu kurang lebih adalah orang bodoh. Aku tidak yakin dia akan merespons Moris.”Jantung Moris hampir keluar dari dadanya ketika dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh pundak Edward. Ketika dia mendeteksi keanehan pada Edward, dia mundur dua langkah dan menarik kembali tangannya.“K … Kamu! A … Apa-apaan kamu? Bagaimana kamu bisa merasuki Pak Erlangga? D … Dia hanya sedang duduk di sampingku beberapa saat yang lalu!” gumamnya. Suaranya bergetar begitu hebat sampai membutuhkan waktu lama bagi Edward untuk memahami apa yang sedang Moris katakan.Seraya Edward memikirkan bagaimana cara menjawabnya, emosi dan dugaan baru muncul di benak Moris. Ketika Edward akhirnya menenangkan dirinya sendiri, menyiapkan jawaban yang tepat, d
Nada bicara Edward tidak berubah banyak. Rasanya seperti dia sedang berkomentar mengenai cuaca di hari yang cerah pada tetangganya.Di sisi lain, Moris tetap tidak bergerak di jok belakang dan hanya mengangkat kepalanya, kebingungan menyelimuti matanya. Dia tidak paham apa yang disiratkan oleh Edward, jadi dia menatap ke sekitar dengan canggung dan ingin memperjelasnya.Namun, Edward tidak membiarkan lelaki itu bertanya apa-apa lagi. Dia membuka pintu mobil dan melangkah keluar mobil sebelum berbicara dengan nada yang lebih lembut daripada sebelumnya.“Kamu tidak perlu terburu-buru mempelajari sesuatu, mau itu kelas formal untuk anak-anak seumuranmu atau aspek kehidupan lainnya yang harus kamu ketahui. Kamu tidak perlu merasa tertekan untuk memulai hal-hal itu. Yang perlu kamu lakukan saat ini adalah terhubung dengan dirimu sendiri dan lingkungan sekitar, bukannya menjauhi diri sendiri.”Edward kemudian mengembuskan napas pelan sebelum berjalan ke arah pintu depan hotel. Ketika dia
Alicia menyadari tindakan Erin tapi dia tidak pergi. Alih-alih, dia bergabung dengannya untuk menunggu di samping pintu.Namun, itu hanya bertahan selama beberapa detik sebelum Erin mau tidak mau menolehkan kepalanya ke arah Alicia, kejengkelan terpampang di matanya.“Kurasa kamu sebaiknya meningkatkan kecerdasanmu jika kamu berharap bisa tinggal di West Atlantics Int’l atau melayani Tuan Halim di sisinya. Misalnya, kamu seharusnya tidak berdiri di sini! Kehadiranmu yang terus berada di sisiku membuatku jengkel! Bukan hanya itu, kamu juga sudah membuang-buang banyak waktuku dan terus bersikeras tinggal di sini walaupun kamu sudah mendapatkan jawaban yang kamu inginkan!”Beberapa tamu, staf hotel, dan penjaga keamanan berdiri di lobi. Ketika mereka mendengar Erin memarahi Alicia, mereka secara bersamaan memandang Alicia kebingungan.Menjadi pusat perhatian semua orang membuat wajah Alicia memerah seperti tomat. Itu juga meredupkan kilauan di matanya saat dia mundur dua langkah dan m
Mata Daffa menyipit menjadi garis saat itu. Walaupun dia tidak tahu kenapa Edward akan bertingkah seaneh itu, nalurinya menyuruhnya untuk memercayai Edward.Edward berlari memasuki kamar. Setelah dia tiba di sana, dia menatap tajam Kate dan Felix. Kedua orang itu merespons dengan cara yang berbeda. Ekspresi wajah Kate kosong sementara wajah Felix menjadi suram.Felix perlahan memegang titik di belakang lehernya sambil dengan tiba-tiba menjulurkannya ke kanan dan ke kiri. Suara retakan tulang yang renyah pun bergema di seluruh ruangan.Suara itu begitu menggelegar sampai jantung Daffa berdegup kencang. Yang terjadi setelahnya membuatnya lebih terkejut. Walaupun leher Felix terdengar seperti patah, Felix masih mampu mengangkat kepalanya seolah tidak terjadi apa-apa.Daffa tidak repot-repot menyembunyikan kekecewaannya pada saat itu juga, menajamkan tatapannya di depan semua orang di sana.Felix hampir langsung menyadarinya dan mengerutkan dahinya. “Di antara semua orang yang kukenal
Daffa bukan hanya terus menghampiri Felix, tapi seringai dinginnya tidak memudar sedikit pun. Pada titik itu, kedua orang itu baru mulai mengonfrontasi satu sama lain, tapi Felix merasa dia sudah kalah dari Daffa.Oleh karena itu, Felix tenggelam dalam pikirannya sampai siapa pun bisa mendengar roda gigi di dalam otaknya berputar. Dia mengerahkan seluruh kekuatannya yang tersisa untuk menghantam meja dengan kedua tangannya.Suara itu begitu menggemparkan ruangan itu sampai membuat Kate dan Edward tersentak. Mereka berdua butuh beberapa saat untuk menenangkan diri, tapi bahkan setelah itu, ketakutan terus membara seperti api di mata mereka.Sebaliknya, Daffa bahkan tidak merespons sedikit pun walaupun dia berdiri di depan Felix, yang mana di sana suaranya terdengar paling keras.Itu membuat Felix sangat bingung sampai seluruh warna di wajahnya menghilang. Sejak dia menduduki kursi pengemudi sebelumnya, dia sudah mempelajari setiap pergerakan Daffa, berharap bisa menemukan kelemahan
Semua mata tertuju pada Daffa, termasuk Felix, yang masih mencari rute pelarian. Ketika Felix melirik Daffa, pupilnya mengerut karena takut. Dia lalu memperhatikan Daffa memegangi buku cek dengan kedua tangannya, masing-masing tangan menariknya ke arah yang berlawanan sampai suara robekan memecah udara.Felix memucat seperti hantu saat itu juga. Pandangannya gemetar saat robekan-robekan cek itu melayang terjatuh ke lantai. Bahkan suara robekan cek itu menghancurkan hatinya menjadi berkeping-keping. Itu wajar saja karena itu adalah buku cek khusus dari bank.Tetap saja, perlu diingat bahwa buku cek itu tidak diberikan secara cuma-cuma oleh bank. Dia telah membayar harga yang sangat besar, mengorbankan banyak kekayaannya untuk mendapatkan satu buku cek ini.Tangan Felix mengepal ketika dia mengingat semua rintangan yang telah dia lalui untuk membuat buku cek itu. Matanya yang memerah menatap langsung ke arah Daffa, mengamati senyumannya yang tenang.“Tidak ada gunanya memelototiku se
Dari ujung matanya, Daffa menangkap Felix menghela napas lega karena kedatangan Erin. Dia menaikkan sebelah alisnya dan mencurigai hal yang sama seperti Edward. Kakeknya tidak akan memilih orang bodoh seperti Felix untuk melayaninya.Namun, itulah yang terjadi dan Daffa tidak tahu kenapa. Keraguannya hanya terus berlipat ganda di dalam perutnya ketika dia melihat interaksi Erin dan Felix yang tipis tapi signifikan.“Tidak perlu dipertanyakan—Erin 100 persen setia padaku. Kalau begitu, apa masalahnya di sini? Kenapa dia terlihat seperti mengenal Felix?” pikir Daffa sambil mengetukkan buku-buku jarinya ke meja. Beberapa detik pun berlalu, tapi dia masih tidak bisa memahaminya, jadi dia berbicara dengan tenang.“Erin, keluarkan salah satu buku cekku. Buku cek yang setiap cek nya bernilai 150 juta rupiah.”Mata Erin membelalak lebar terkejut, berpikir, “Tuan Halim tidak pernah memintaku untuk mempersiapkan uang sebanyak itu sepanjang aku melayaninya!”Meskipun begitu, raut wajahnya ya
Edward mengedipkan matanya, matanya tertuju pada Daffa dan fokus. Lalu, bibirnya mulai gemetar saat dia berkata, “Tuan Halim, saya tidak menyangka bisa melihat Anda lagi.”Daffa memutar bola matanya. “Maksudmu, kamu akan mati atau apakah kamu takut aku akan mati?”Edward terhuyung, lalu menggelengkan kepalanya. “Bukan itu yang saya maksud, Tuan.”Daffa tersenyum. “Aku tahu itu, tentu saja. Aku hanya merasa caramu mengatakannya lucu.” Mereka saling bertatapan dan melihat kelegaan di mata satu sama lain. Briana masih berdiri di atas tumpukan puing seraya dia mengamati mereka berdua berbincang di samping tornado. Briana menggelengkan kepalanya dengan tidak berdaya.Kemudian, dia menangkupkan kedua tangannya di sekitar mulutnya, menyalurkan kekuatan jiwanya ke tenggorokannya, dan berkata dengan lantang, “Ayo turun! Tuan Halim, mentor Anda dan pria tua itu telah pergi. Kita harus mengejar mereka.”Daffa mengernyit. Dia pikir Teivel dan pria tua itu telah berpindah ke tempat lain, mirip
Mata Daffa merah dan sedikit berair. Dia tidak mengatakan apa-apa. Alih-alih, dia mencoba menyalurkan semua kekuatan jiwa emas yang dia miliki ke dalam tubuh Briana. Tidak lama, Briana merasa seperti dia telah pulih kembali.Briana membuka matanya, terlihat lebih bertenaga dibandingkan sebelumnya. Dia mengernyit pada Daffa dengan tidak setuju dan mencoba mendorongnya, tapi Daffa langsung menghentikannya. Daffa terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya, tapi nada bicaranya muram saat dia berkata, “Kamu belum membaik sepenuhnya. Tidak ada yang lebih penting saat ini daripada pemulihanmu.”Briana tidak mengatakan apa-apa. Daffa melanjutkan, “Lagi pula, kamu harus membaik sesegera mungkin. Aku masih butuh bantuanmu untuk banyak hal.”Briana menatap Daffa sambil tersenyum dan mengangguk. Dia sedikit tersendat saat dia berkata, “Baik, Tuan.”Briana memiliki banyak pertanyaan, tapi dia tidak memiliki keberanian untuk menanyakannya pada saat ini. Ketika Daffa sudah yakin Briana baik-ba
“Semuanya bermuara pada satu hal—kamu dan aku berada di pihak yang berlawanan!” Seraya Teivel berbicara, pandangannya tertuju ke belakang roh pria tua itu dan pada tubuhnya.Wajahnya berubah dingin dan napasnya menjadi cepat. Dia menoleh ke belakang untuk melihat pria tua itu dan berkata, “Namun, karena kita berdua masih hidup, kita harus meninggalkan masa lalu. Sekarang, waktunya menyelesaikan dendam baru.”Pria tua itu menyipitkan matanya. “Maksudmu seperti bagaimana kamu mencuri muridku?”Bibir Teivel berkedut. Kemudian, dia menggelengkan kepalanya. “Tidak, tapi seperti bagaimana kamu mencuri tubuhku.”Ekspresi jelek merayap ke wajah pria tua itu mendengar perkataannya. Dia memelototi Teivel seraya wajahnya mulai berkerut dengan amarah lagi. Dia meraung, “Tidak, ini adalah tubuhku! Ini adalah milikku!”Pada saat ini, Daffa masih bisa mendengar apa yang sedang terjadi. Dia ingin melakukan sesuatu, tapi dia hanya dapat menyaksikan tubuhnya dan jiwanya perlahan menyatu. Dia tidak
Daffa merasa seperti dia akan membeku. Dia linglung ketika dia membuka matanya dan melihat bahwa penglihatannya telah pulih kembali. Pada saat yang sama, dia menyadari dirinya sedang melayang di udara. Teivel sedang berdiri di hadapan tubuhnya. Pria tua itu sedang berdiri di hadapan Teivel.Wajah pria tua itu berkerut seperti sebelumnya—tidak ada satu pun fitur wajahnya yang berada di tempat awalnya, yang berarti mustahil untuk mengetahui seperti apa penampilannya. Bibir Daffa berkedut seraya dia berjalan—tidak, melayang—di atas tubuhnya.Dia mengernyit, enggan menerima kekalahannya dengan pasrah. Dia tahu dia seharusnya sudah mati pada saat ini. Namun, begitu pikiran itu muncul di dalam benaknya, dia tahu dia keliru.Ketika dia melayang di atas tubuhnya, Teivel dan pria tua itu menoleh untuk memandangnya, tapi ekspresi mereka benar-benar berbeda. Teivel terlihat khawatir, sementara pria tua itu terlihat seperti ingin membunuh.Teivel berkata, “Pergilah dari sini. Berbaringlah di d
Teivel tersenyum. Sudah cukup lama sejak dia terakhir tersenyum dengan sungguh-sungguh. Dia terdengar gembira, berkata, “Aku senang mendengarmu memanggilku seperti itu.” Setelah jeda sebentar, dia melanjutkan, “Dia terlihat seperti itu karena dia menghabiskan waktu terlalu lama di dalam tubuhku. Lagi pula, dia selalu melakukan yang terbaik untuk meniruku.”Dia mulai terdengar bangga. “Aku yakin kamu sekarang tahu sehebat apa diriku.”Bibir Daffa berkedut. Dia tidak menduga Teivel sedang berselera untuk memuji dirinya sendiri sekarang. Dia menoleh ke arah pria tua itu dan berkata, “Kamu telah meniru mentorku selama bertahun-tahun.Pria tua itu bahkan tidak berkedip. Beberapa detik kemudian, dia tiba-tiba mengulurkan satu lengan ke arah Daffa, langsung mengaburkan penglihatan Daffa dengan kekuatan jiwanya.Sayangnya baginya, Daffa sudah memejamkan matanya dan membiarkan kekuatan jiwa itu mendorongnya ke belakang. Dia tahu dia tidak bisa melawan api dengan api ketika melawan pria tua
Tatapan Daffa menajam. Pria tua itu meletakkan tangannya di balik punggungnya dan memandang Daffa dengan penuh penilaian, membiarkan tatapannya menjelajahi Daffa. Daffa tidak mengatakan apa-apa. Alih-alih, dia dengan tenang mendongakkan kepalanya untuk bertemu pandang dengan mata pria itu. Seketika, dia merasa linglung, tapi dia segera kembali tersadar dan menyelimuti dirinya sendiri dalam kekuatan jiwanya.Kali ini, pria tua itulah yang terlihat linglung. Demikian pula, dia juga kembali tersadar satu detik kemudian. Dia terlihat terkejut. “Aku tidak percaya seleraku masih sama dengan si tua bangka itu—kami berdua memilihmu untuk menjadi penerus kami.”Daffa mengernyit, ekspresi yang rumit terpampang di wajahnya. Dia berpikir pria tua itu baru menemukan bahwa dia masih hidup. Dia tidak menyangka pria tua itu mengetahui tentang Teivel juga. Daffa perlahan menarik kembali tangannya dan bangkit berdiri.Pria tua itu mengernyit dan memandang sebuah titik di lengan Daffa, mengikutinya ke
“Kenapa kamu berdiam diri saja? Serap kekuatan jiwanya! Makin banyak yang kamu serap, makin sedikit yang dia miliki! Itu mungkin tidak diperoleh dengan cara yang paling aman, tapi kita akan memberikan kebaikan pada masyarakat dengan menyerapnya,” ucap Teivel.Daffa tersenyum, lalu kembali duduk dan memejamkan matanya untuk mulai bermeditasi. Namun, dia membukanya lagi hampir langsung setelahnya dan bertanya, “Kita di mana? Aku sudah ingin menanyakan itu sejak lama.”Teivel terdengar tidak sabar, berkata, “Berhenti bertanya atau dia akan mengetahui kalau kamu ada di sini sebelum kamu mendapatkan apa-apa dari ini! Ini adalah dunia yang dibangun dari kesadaranmu, tapi dunia lain di luar dirimu adalah milik dia.”Daffa menaikkan sebelah alisnya. Dia tidak pernah mendengar hal-hal seperti ini sebelumnya dan tangannya berhenti di tengah udara. Dia sangat terkejut sehingga dia benar-benar lupa tentang menyerap kekuatan jiwa dan matanya pun membelalak. Pandangannya menyapu sekitarnya, tapi
Teivel terlihat bingung saat dia berkata, “Oh, berhenti mencampuri urusanku, anak muda. Aku akan pergi, jadi kamu sebaiknya pergi dari sini secepat mungkin. Jika dia mengetahui kalau kamu berpura-pura mati di dunianya, kamu akan benar-benar mati.” Setelah itu, dia menghilang bersama buku itu.Daffa menyipitkan matanya. Cara Teivel menghilang berbeda dari sebelumnya. Dia meletakkan tangannya di balik punggungnya, ingin tahu lebih banyak tentang kedua pria ini, tapi saat ini jelas-jelas bukanlah waktu yang tepat.Dia duduk dan menyilangkan kakinya. Meskipun dia tidak tahu apa yang telah terjadi sebelumnya, dia tahu ada yang berbeda di dalam benaknya. Itu menakutkan sekaligus membuatnya penasaran. Kenyataan bahwa Teivel bisa dengan mudah menanamkan sesuatu yang bukan merupakan miliknya dalam benaknya berarti dia bisa dengan mudah mengutak-atik ingatan seseorang.Seraya Daffa memikirkannya, dia merasakan dunia luar bergemuruh. Sekali lagi, dia merasa tercekik.Kali ini, Daffa tidak sep
Begitu Daffa mengatakannya, suara pria itu menggelegar dari seluruh penjuru, membuat Daffa merasa seperti telinganya akan tuli. “Aku mendengarmu, tapi kamu tidak dapat menyangkal bahwa hasilnya akan sama jika aku menggunakan metode lain, ‘kan?”Daffa membeku. Wajahnya mulai berubah abu dari kurangnya oksigen dan penglihatannya menjadi buram. Namun, dia tetap berdiri meskipun tubuhnya terhuyung. Dia tidak pernah menyadari betapa sulitnya bertahan dan menguatkan diri.Dia mencoba melihat-lihat ke sekitar lagi, tapi perbuatannya hanya membuatnya menggunakan oksigennya lebih cepat. Pada akhirnya, dia berhenti bernapas. Pria tua itu menghela napas. “Kamu ditakdirkan untuk mati, terutama karena kegigihanmu.”Tidak diketahui olehnya, Daffa sebenarnya belum mati. Sebaliknya, dia tampaknya telah berpindah ke dunia lain. Segala hal di sana terselubung dalam kegelapan dan dia bisa merasakan embusan angin kencang bertiup di sekitarnya.Dia mengangkat sebelah alisnya—ini adalah pertama kalinya