Banyak dari teman-teman ‘nakal’ Rangga yang kaget dengan kejadian yang menimpa Gathot. Termasuk Parwa dan Teguh. Dua orang itu tengah berbincang di sebuah kedai arak membahas kejadian tersebut.“Pantas saja selama beberapa hari ini Gathot mencurigakan, terlebih saat dia mengajak kita ke rumah Rangga. Dia sudah menyiapkan rencana itu rupanya…” kata Teguh.“Itulah. Padahal dia yang paling kesal dengan perubahan Rangga dan seolah tak mau lagi pergi ke sana. Lalu tiba-tiba ia mengajak kita ke sana. Aku jadi curiga dengan minuman yang dia bawa waktu itu…” kata Parwo.“Aku paham maksudmu. Hanya saja, aku tidak menyangka Gathot bekerjasama dengan Nawang. Apa yang membuat Gathot mau diajak kerjasama melakukan ide gila itu!” kata Teguh.“Aku jadi berpikir yang tidak-tidak. Jika ternyata Nawang telah menjadi pelacur, maka hal yang membuat Gathot tergiur tentu adalah tubuhnya. Aku jadi penasaran pula; apa yang membuat Nawang tiba-tiba mencari Rangga dan ingin kembali pada lelaki itu, bahkan samp
Bandot sedang menimbang banyak hal. Saat itu adalah sebuah kesempatan bagus karena Rangga sedang pergi sendirian menggunakan kuda.‘Jika dia menuju ke arah sana, itu artinya dia sedang akan pergi ke desa lain. Jika aku membunuhnya di jalan, tak akan ada yang tahu. Hmm… sebenarnya dia hendak pergi kemana?’ ucap Bandot dalam hati.Bandot adalah seorang pendekar yang memiliki ketrampilan beladiri. Badannya tinggi besar. Wajahnya sangar. Sudah cukup lama ia menjadi pengawal setia Gathot sekaligus salah satu pengawal penting di keluarga Gathot.Bandot cukup tangguh. Ia bisa disetarakan dengan empat orang jagabaya. Dengan kata lain, ia bisa menang meski ia dikeroyok oleh empat orang jagabaya yang juga bisa beladiri. Jadi untuk membunuh Rangga, ia tak butuh bantuan siapapun. Justru dengan sendirian, ia bisa dengan mudah mengikuti Rangga dan memilih tempat yang bagus untuk mengakhiri hidup lelaki itu.Yang luput dari kejadian itu, Rangga tidak sekalian mencari anak buah Gathot yang terlibat d
Ketika Bandot hendak mengayunkan goloknya, sebuah batu kecil melesat cepat dan menghantam kepala lelaki itu.PRAAAKKKBetapa keras benturan batu itu sampai Bandot tak sadarkan diri dan ambruk begitu saja.Rangga terengang dan segera ia menoleh ke arah kanan. Ia melihat Tanu dan Jaka yang tadi ia bayari saat makan di kedai tengah bergerak cepat dengan lompatan-lompatan ringan seolah tubuh mereka itu tak memiliki beban.“Syukurlah belum terlambat, Den Rangga…” kata Tanu.“Kang Tanu… kau yang tadi membuat orang itu jatuh?” tanya Rangga. Ia kembali menatap Bandot; dia sama sekali tak bergerak.“Ya… siapa dia, Den? Kenapa dia hendak membacokmu?” tanya Tanu.“Dia anak buah temanku yang akhirnya menjadi musuhku karena dia kepergok saat menculik istriku. Warga desa mengadilinya dan aku tak mengira anak buahnya masih mengejarku untuk membalas dendam…” kata Rangga.Tanu tak mengira orang baik yang memberinya uang itu ternyata juga mengalami hidup sulit.“Apakah musuhmu masih banyak, Den?” tanya
Pagi itu Boneng terburu-buru datang setelah ia pulang mencari rumput untuk kuda-kuda yang sedang dibesarkan di kandang Rangga.“Juragan Putri, mana Rangga?” tanya Boneng saat ia berpapasan dengan Citra yang sedang menyapu halaman rumah.“Di belakang bersama Kang Tanu dan Jaka. Tumben Kang Boneng cepat cari rumputnya? Yang lain saja belum kembali,” kata Citra. Boneng memiliki tanggung jawab mengurus 10 ekor kuda. Yang lain pun juga memiliki jatah sendiri-sendiri. Setiap hari mereka harus mencari rumput untuk selingan makanan kuda.“Belum selesai. Aku pulang duluan tadi. Ya sudah, aku ke belakang dulu!” kata Boneng. Ia pun segera bergegas dengan terburu menuju ke belakang. Ia menemukan Rangga di kandang kuda.“Rangga! Penting…” kata Boneng.“Ada apa? Kenapa kau terlihat panik!” tanya Rangga heran.“Tadi aku mencari rumput di sekitar bukit kulon. Aku melihat Gathot sedang berkumpul bersama anak buahnya! Gathot sudah bebas, Ngga!” kata Boneng.“Sudah kuduga dia akan bebas dengan cepat. Ji
Gathot dan anak buahnya tertawa sinis saat mendengar Rangga mengatakan tak akan mengampuni mereka.“Memangnya apa yang bisa kau lakukan, Rangga? Dengan membawa dua cecunguk jelek itu kau pikir bisa mengalahkan anak buahku? Entah kau ini bodoh atau apa. Tapi aku senang, kami tak perlu repot mencarimu. Kau malah datang sendiri kemari untuk mengantar nyawa!” kata Gathot.Hari itu, Gathot memang merasa beruntung dengan datangnya Rangga. Sebelumnya, ia dan anak buahnya sudah membahas banyak hal; menemukan cara bagaimana mereka bisa membunuh Rangga tanpa diketahui oleh warga.Kemudian Gathot menoleh ke arah anak buahnya dan memberi perintah untuk menghabisi Rangga.“Dengan senang hati, juragan muda! Ini akan mudah sekali. Hohoho, keberuntungan berada di pihak kita!” ucap salah satu dari anak buah Gathot itu. Mereka semua bukan orang-orang asli desa itu, namun hanyalah pendatang dari berbagai desa lain, mulai dari desa terdekat hingga bahkan dari desa yang sangat jauh.Ketika orang-orang itu
Rangga berjalan perlahan ke arah Gathot sambil menyarungkan goloknya.Saat itu, wajah Gathot kembali memucat. Tanpa sadar, kakinya mundur selangkah demi selangkah saat Rangga berjalan mendekat.“Lelaki menyedihkan sepertimu itu memang seharusnya tak diampuni. Tapi coba katakan padaku, apa yang harus aku lakukan untuk mengakhiri kejahatanmu?” kata Rangga dengan nada dingin.“R-rangga… tak bisakah kita bicara baik-baik. Aku akui aku sangat marah dan kecewa padamu sehingga aku ingin melakukan hal ini. Kita dulu teman baik, Rangga… tidak ingatkah kau jika aku pun banyak membantumu saat kau hidup dalam keterpurukan!” kata Gathot.“Membantuku? Kau hanya menginginkan uangku, Gathot. Kau hanya mengajakku bersenang-senang dan tenggelam dalam kehidupan yang rusak! Kesalahanmu sangat besar dengan berani menculik istriku!” kata Rangga.“I-itu karena… kau sendiri yang menyia-nyiakan istrimu… kau ingkar janji… karena kau pernah…”“Jangan berbelit-belit mencari pembenaran atas kesalahanmu!” Rangga s
Gathot dan anak buahnya yang tak berdaya dibopong dan digeletakkan di tengah pendopo seperti seonggok barang. Mereka sungguh tampak buruk dan menyedihkan. Pastinya pun, mereka masih merintih kesakitan dan tak ada yang berinisiatif mengobati.Beberapa jagabaya diutus untuk memanggil Ki Danang. Lelaki tua itu tampak kaget sekaligus murka mendengar Gathot kembali diseret ke kelurahan.Yang membuat ia kesal tentu pertama-tama adalah Gathot sendiri. Seharusnya Gathot tidak kembali ke desa itu, melainkan pergi ke rumah kakeknya atau pamannya di desa lain untuk sementara waktu.“Siapa yang membawa Gathot ke kelurahan?” kata Ki Danang dengan nada tinggi.“Rangga dan anak buahnya, Ki Danang. Dari yang sempat kami dengar, Gathot kembali mencari masalah ingin membalas dendam dan membunuh Rangga!” kata salah satu jagabaya yang datang untuk menjemput Ki Danang itu.“Bagaimana keadaannya?” tanya Ki Danang.“Luka parah. Semua anak buahnya pun juga tak ada yang terlihat sehat!” kata Jagabaya itu.“Ba
Sesampainya di tengah hutan, Gathot dan anak buahnya dilepas begitu saja; digeletakkan di bawah pepohonan.“Kami tak akan membunuh kalian. Tapi kalian harus bisa menyelamatkan diri sendiri. Jika kalian masih bisa bertahan hidup, maka itu artinya dewata menginginkan kalian untuk bertobat!” kata Rangga.“Kau tega meninggalkan kami di sini, Rangga! Aku ini temanmu! Hutan ini banyak dihuni binatang buas. Kau sama saja membunuh kami pelan-pelan!” kata Gathot sambil menyeringai sakit.“Seperti yang aku katakan, alam lah yang akan memberi kalian hukuman dan yang akan menentukan hidup dan matinya kalian semua di sini! Jika kalian selamat, maka jangan pernah ulangi kesalahan yang sama!” kata Rangga.Kemudian Rangga mengajak Tanu, Boneng dan Panut untuk pergi dari tempat itu.Semula, Tanu ingin menghabisi mereka semua. Tapi sepertinya ide Rangga tetap lebih menarik. Biar saja alam yang menghukum mereka semua. Hutan itu lebih menyedihkan daripada penjara, sebab keadaan mereka pun sudah seperti i
Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan
Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin
Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap
Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja
Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain
Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang
Ketika Rangga tiba di lokasi, rupanya Senopati Teguh dan pasukannya sudah membereskan pasukan Wonobhumi yang menguasai jalur itu. Sehingga, Rangga dan timnya bisa segera langsung bekerja.Petasan-petasan itu dipasang sedemikian rupa di tempat-tempat tertentu, tersembunyi, namun juga kelak bisa dinyalakan dengan mudah. Kuncinya ada pada pemasangan sumbu dan hal itu cukup menguras persediaan bubuk api yang dibawa oleh Jian Zhu.Pasukan Senopati Teguh merampas peralatan dan juga seragam pasukan musuh. Kini mereka semua menyamar menjadi pasukan Wonobhumi. Sehingga jika ada pasukan pemeriksa datang, mereka berpikir jika jalur itu masih aman dan dalam kekuasaan Wonobhumi.Hal itu adalah hal yang sangat fatal bagi pihak Wonobhumi. Mereka menganggap remeh jalur itu dan tidak teliti.Hanya butuh satu hari saja bagi tim Rangga untuk memasang petasan-petasan itu dan setelahnya, ia membuat rencana sangat matang bersama timnya, Senopati Teguh dan juga para prajurit tertentu yang terpilih untuk mem
Rangga memutuskan untuk mencari Banu sendirian. Wiji dan Sanji sebetulnya menawarkan diri. Namun Rangga menolaknya. Ia meminta dua orang itu untuk beristirahat saja.Namun saat Rangga telah berada di depan penginapan, ia melihat Banu kembali.“Kau baik-baik saja?” tanya Rangga khawatir.“Masuk dulu, kang! Aku tadi terpaksa harus bersembunyi dari kejaran orang yang memergokiku melemparkan sesuatu di gudang dan membuatnya meledak!” kata Banu.Maka mereka segera masuk ke dalam penginapan itu. Rangga sungguh merasa lega. Tak ada yang celaka. Ia hanya merasa sangat bersalah apabila orang yang ia bawa itu celaka meski semua paham resiko menjadi prajurit; mati dalam tugas.Serangan petasan atau bisa dibilang serangan bom berkekuatan kecil itu sungguh membuat pihak Wonobhumi geram. Mereka menetapkan kejadian itu sebagai serangan dari Tirtapura. Dan mereka belum memahami apa yang digunakan pihak Tirtapura hingga bisa meledakkan sesuatu dan ledakannya itu cukup berbahaya pula.Malam itu, ada ba
Tenda-tenda yang menjadi pemukiman sementara para prajurit Wonobhumi itu masih ramai. Orang-orang cenderung berkelompok mengelilingi api unggun. Di sana mereka bertukar cerita sambil membakar ubi.Tak ada daging. Mereka akan mendapatkan daging di waktu tertentu untuk perbaikan gizi. Camilan malam seperti ubi bakar itu biasanya mereka dapatkan dari ladang entah milik siapa siapa yang mereka jarah semena-mena.Sudah bukan rahasia jika ada banyak prajurit nakal yang dengan dalih patroli, mereka pergi keluar dari kota menuju ke desa-desa dan perkebunan untuk mencari makanan. Dan bahkan yang keterlaluan, mereka tak hanya mencuri hasil ladang seperti ubi, singkong dan jagung, namun mereka juga mencuri ayam dan kambing.Sesungguhnya banyak warga kecil yang menderita oleh ulah para prajurit itu. Di satu sisi, para prajurit itu memang lapar dan stress. Mereka akan menyikat habis kesempatan yang ada selama tidak ketahuan atasan. Masa-masa perang, di mana pun itu, selalu menjadi masa kelam dan j