Sesampainya di tengah hutan, Gathot dan anak buahnya dilepas begitu saja; digeletakkan di bawah pepohonan.“Kami tak akan membunuh kalian. Tapi kalian harus bisa menyelamatkan diri sendiri. Jika kalian masih bisa bertahan hidup, maka itu artinya dewata menginginkan kalian untuk bertobat!” kata Rangga.“Kau tega meninggalkan kami di sini, Rangga! Aku ini temanmu! Hutan ini banyak dihuni binatang buas. Kau sama saja membunuh kami pelan-pelan!” kata Gathot sambil menyeringai sakit.“Seperti yang aku katakan, alam lah yang akan memberi kalian hukuman dan yang akan menentukan hidup dan matinya kalian semua di sini! Jika kalian selamat, maka jangan pernah ulangi kesalahan yang sama!” kata Rangga.Kemudian Rangga mengajak Tanu, Boneng dan Panut untuk pergi dari tempat itu.Semula, Tanu ingin menghabisi mereka semua. Tapi sepertinya ide Rangga tetap lebih menarik. Biar saja alam yang menghukum mereka semua. Hutan itu lebih menyedihkan daripada penjara, sebab keadaan mereka pun sudah seperti i
Menjelang petang. Rangga melamun di tepi sumur sambil melihat permukaan air di dalamnya yang memantulkan warna langit merah dari atas sana.Citra baru saja selesai menyiapkan makan malam. Melihat Rangga melamun, ia berjalan mendekat.“Kangmas melamunkan apa?” ucap Citra dengan suara lirih sambil melangkah mendekat. Lalu ia berdiri di samping Rangga ikut-ikutan melihat ke dalam sumur.“Tidak apa-apa, Istriku sayang. Beberapa hari ini rasanya sungguh menegangkan. Tapi Ki Danang telah mati. Keluarga itu pun pasti tak akan bisa berbuat banyak hal. Tadi Boneng datang melayat dan sebenarnya ia hanya ingin tahu saja keadaan di sana. Katanya, rumah itu sepi dari anak buah Ki Danang. Hanya ada Nyi Danang, beberapa anak perempuannya, para menantu dan kerabat-kerabatnya saja serta beberapa tetangga terdekat!” kata Rangga.“Siapa yang mengira Gathot akan setega itu kepada kita, Kangmas…” kata Citra.“Ini semua salahku, Nimas… aku berteman dengan orang yang salah… hingga hampir saja mencelakaimu…”
Tujuan Parwo dan Teguh tentu saja bukan sekadar bersenang-senang. Untuk apa pula ia memberikan uang sebanyak itu kepada Nawang. Mereka berdua ingin mengetahui apa sebenarnya yang sedang dirahasiakan oleh wanita itu.Namun demikian, Parwo dan Teguh belum ingin membahasnya terlebih dahulu. Nawang sudah pasti tak akan memberi tahu mengingat cukup sulit juga bahkan untuk meminta wanita itu memberikan pelayanan.Kusuma sedang tak ada di tempat itu sehingga yang bertanggung jawab atas tempat tersebut dan yang mengatur semuanya di hari itu adalah salah satu orang kepercayaannya.Dia tak peduli Nawang digunakan oleh berapa lelaki asalkan Nawang bersedia dan asalkan uangnya bagus.Kini Nawang mengajak Parwo dan Teguh ke kamarnya. Tempat itu memang istimewa dan ditata sedemikian rupa untuk menyenangkan pelanggannya.Kamar Nawang pun tampak lebar, bersih, wangi, dan rapi. Ada ranjang besar yang terletak di tengah-tengah ruangan dengan alas tidur empuk.Sebenarnya Nawang merasa gugup. Dan ia juga
Saat itu Rangga sedang menuju ke pasar dengan kudanya untuk menunggu saudagar siapapun itu yang bersedia membeli minyaknya. Sudah ada enam puluh gentong minyak yang berhasil ia produksi.Rangga masih akan terus berporduksi untuk memberikan tetangganya pekerjaan. Ia yakin bisnis itu akan terus berjalan lancar.Di sisi lain, ia pun juga sudah berhasil mendapatkan 100 ekor kuda hingga kandangnya semua terisi. Banyak pula tenaga yang dikerahkan untuk mengurus kuda-kuda itu.Banyak tetangga yang merasa senang karena mendapatkan pekerjaan dan gaji yang bisa dibilang sangat manusiawi; lebih dari pendapatan rata-rata mereka sehari-hari karena Rangga sangat royal. Namun mereka juga selalu khawatir karena bisnis Rangga seolah-olah tak masuk akal dan terkesan tidak aman.Kotoran kelelawar juga sudah lumayan banyak yang terkumpul. Entah dua atau tiga hari sekali selalu saja ada yang menyetorkan. Rangga tidak takut jika uangnya habis. Ia percaya uang itu akan terus berputar dan beranak pinak menja
Citra benar-benar tampak sangat menggairahkan saat ia melakukan hal itu. Kepalanya bergerak sedemikian rupa sampai rambutnya yang semula tergelung sederhana kini telah terurai.Rangga tahu, Citra masih belum memiliki pengalaman bagus dan gerakannya belum luwes. Namun hal itu tidak menjadi masalah. Rangga sangat senang dengan hal itu yang artinya sebenarnya Citra pun cukup terbuka untuk mencoba hal-hal baru.Citra melepaskan bibirnya lalu menatap nakal wajah suaminya hanya untuk tahu bagaimana ekspresi wajah sang suami tercinta itu.“Kangmas rebahan saja dulu…” kata Citra. Ia berdiri dan kemudian melepaskan pakaiannya.Rangga segera berbaring dengan rasa penasaran; apa yang akan dilakukan oleh istrinya.Sambil rebahan, Rangga menatap tubuh istrinya yang tampak sintal dan indah itu. Rangga heran juga, bagaimana wanita seramping Citra, yang bahkan bisa dibilang cenderung kurus itu, bisa memiliki pantat dan dada yang montok. Wajar jika ada banyak lelaki yang mengincarnya. Dia sangat mengg
Tak terasa sepuluh hari sudah lewat. Rangga sudah kedatangan lagi dua saudagar yang ingin membeli minyaknya. Dengan permintaan besar karena minyaknya ternyata dikirimkan ke negri lain melalui jalur laut utara, para saudagar itu meminta agar Rangga memperbesar dan memperbanyak jumlah produksi minyak kelapa.Hal itu merupakan sebuah kesempatan emas, namun juga membuat Rangga lumayan pusing untuk mendapatkan bahan-bahannya.“Tak usah memaksakan diri, Kangmas… yang penting apa yang sudah Kangmas kerjakan ini ada hasilnya dan bagiku sangat banyak. Namanya saudagar pasti akan meminta barang banyak. Mereka tak berpikir soal bagaimana pusingnya membuat banyak minyak kelapa dalam jumlah banyak. Jangan sampai malah mutunya menurun… seadanya saja…” Citra menasehati agar suaminya tak terlalu tertelan dalam ambisi.“Kau benar, Citra… minyak kelapa ini hanyalah satu hal dan aku tak mau menghilangkan banyak peluang lain karena sibuk mengurusi satu hal ini saja…” kata Rangga.“Lagipula, semua sudah h
Citra menghela nafas. Sejujurnya ia merasa tidak nyaman ketika Rangga terbawa pembicaraan soal Nawang. Kini setelah mendengar pertanyaan Rangga, dengan enggan ia menganggukkan kepala.“Iya, Kangmas… tadi aku mendengar sedikit dari apa yang Kangmas bicarakan bersama Parwa dan Teguh. Maaf…” kata Citra.Rangga beranjak dan duduk di sebelah istrinya, “Kenapa minta maaf. Aku tak ingin menyembunyikan apapun dan tak keberatan kau menyimak dari sini sebab aku yakin kau masih merasa tak nyaman dengan Parwa dan Teguh. Justru aku yang meminta maaf padamu, Nimas…” kata Rangga.“Semoga mereka memang benar berubah menjadi baik, Kangmas… aku pun tak mau menyimpan dendam dan amarah sebetulnya. Tapi entah kenapa perasaanku masih tidak nyaman dan belum bisa ikut mendampingimu jika mereka bertamu…” kata Citra.“Iya… tidak apa-apa, Nimasku. Aku akan tetap berhati-hati dengan mereka dan tetap menjaga batasan. Soal Nawang, aku sungguh tidak peduli. Tapi soal yang dia pesankan lewat Teguh dan Parwa, aku ras
Rangga sungguh kaget mendengar apa yang baru saja diucapkan Citra. Ia menatap istri tercintanya itu lekat-lekat, lalu berkata dengan nada yang sangat serius. “Aku hanya ingin anak darimu. Bukan perempuan lain. Lebih baik aku tidak punya anak daripada menikahi wanita lain dan membuatmu terluka. Sudah. Jangan pikirkan soal anak. Kita nikmati saja waktu kita bersama, Nimas!” kata Rangga dengan suara pelan. Lalu ia mengecup kening Citra dengan lembut dan penuh perasaan.Mendengar hal itu, Citra merasa sangat terharu. Kebanyakan lelaki mungkin akan mau-mau saja menikah lagi. Apalagi lelaki seperti Rangga; dia muda, tampan dan kaya. Citra pun tahu jika ada banyak wanita desa yang melirik suaminya.Citra sangat meyayangi Rangga. Iat ulus mencintainya. Namun di saat yang sama, ia merasa ia mengecewakan manakala ia belum juga bisa hamil di saat ia mengira Rangga sangat menginginkan keturunan.Untuk itu, ia rela dimadu demi kebahagiaan Rangga.“Tapi aku tak mau Kangmas kecewa…” kata Citra sambi
Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan
Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin
Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap
Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja
Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain
Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang
Ketika Rangga tiba di lokasi, rupanya Senopati Teguh dan pasukannya sudah membereskan pasukan Wonobhumi yang menguasai jalur itu. Sehingga, Rangga dan timnya bisa segera langsung bekerja.Petasan-petasan itu dipasang sedemikian rupa di tempat-tempat tertentu, tersembunyi, namun juga kelak bisa dinyalakan dengan mudah. Kuncinya ada pada pemasangan sumbu dan hal itu cukup menguras persediaan bubuk api yang dibawa oleh Jian Zhu.Pasukan Senopati Teguh merampas peralatan dan juga seragam pasukan musuh. Kini mereka semua menyamar menjadi pasukan Wonobhumi. Sehingga jika ada pasukan pemeriksa datang, mereka berpikir jika jalur itu masih aman dan dalam kekuasaan Wonobhumi.Hal itu adalah hal yang sangat fatal bagi pihak Wonobhumi. Mereka menganggap remeh jalur itu dan tidak teliti.Hanya butuh satu hari saja bagi tim Rangga untuk memasang petasan-petasan itu dan setelahnya, ia membuat rencana sangat matang bersama timnya, Senopati Teguh dan juga para prajurit tertentu yang terpilih untuk mem
Rangga memutuskan untuk mencari Banu sendirian. Wiji dan Sanji sebetulnya menawarkan diri. Namun Rangga menolaknya. Ia meminta dua orang itu untuk beristirahat saja.Namun saat Rangga telah berada di depan penginapan, ia melihat Banu kembali.“Kau baik-baik saja?” tanya Rangga khawatir.“Masuk dulu, kang! Aku tadi terpaksa harus bersembunyi dari kejaran orang yang memergokiku melemparkan sesuatu di gudang dan membuatnya meledak!” kata Banu.Maka mereka segera masuk ke dalam penginapan itu. Rangga sungguh merasa lega. Tak ada yang celaka. Ia hanya merasa sangat bersalah apabila orang yang ia bawa itu celaka meski semua paham resiko menjadi prajurit; mati dalam tugas.Serangan petasan atau bisa dibilang serangan bom berkekuatan kecil itu sungguh membuat pihak Wonobhumi geram. Mereka menetapkan kejadian itu sebagai serangan dari Tirtapura. Dan mereka belum memahami apa yang digunakan pihak Tirtapura hingga bisa meledakkan sesuatu dan ledakannya itu cukup berbahaya pula.Malam itu, ada ba
Tenda-tenda yang menjadi pemukiman sementara para prajurit Wonobhumi itu masih ramai. Orang-orang cenderung berkelompok mengelilingi api unggun. Di sana mereka bertukar cerita sambil membakar ubi.Tak ada daging. Mereka akan mendapatkan daging di waktu tertentu untuk perbaikan gizi. Camilan malam seperti ubi bakar itu biasanya mereka dapatkan dari ladang entah milik siapa siapa yang mereka jarah semena-mena.Sudah bukan rahasia jika ada banyak prajurit nakal yang dengan dalih patroli, mereka pergi keluar dari kota menuju ke desa-desa dan perkebunan untuk mencari makanan. Dan bahkan yang keterlaluan, mereka tak hanya mencuri hasil ladang seperti ubi, singkong dan jagung, namun mereka juga mencuri ayam dan kambing.Sesungguhnya banyak warga kecil yang menderita oleh ulah para prajurit itu. Di satu sisi, para prajurit itu memang lapar dan stress. Mereka akan menyikat habis kesempatan yang ada selama tidak ketahuan atasan. Masa-masa perang, di mana pun itu, selalu menjadi masa kelam dan j