Sampe lahiraaan ~_~
“Papaku titip salam,” ujar Abi tetap duduk di sofa dan tidak berani beranjak menghampiri Vira yang duduk bersandar di ranjang pasien. Ada Fika di sampingnya dan Abi harus menghormati sang istri yang sifatnya memang belum dewasa itu. “Beliau minta maaf belum bisa jenguk, karena masih fokus ngurus kasusmu di luar.” Vira mengedip, karena belum bisa menggerakkan lehernya dengan leluasa. Ada penyangga yang masih melingkar di lehernya, tetapi keadaannya saat ini sudah jauh lebih baik. “Babe sudah nelpon sebelumnya, dan makasih sudah datang ke sini. Oia, maaf karena nggak bisa datang ke resepsi kalian. Kadonya juga sudah nggak tahu ada di mana.” Saat melihat keadaan Vira seperti sekarang, Fika jadi kasihan pada wanita itu. Jika diperhatikan lagi, Vira memanglah sangat cantik. Penampilan keseharian Vira selalu elegan, juga mulus tanpa cela. Pintar, apalagi. Semua itu sepertinya tidak perlu diragukan lagi. Wajar rasanya bila Abi sangat tertarik pada Vira, dan mengejar-ngejar wanita itu. Seme
“Pak Billy …” Fika kembali menoleh ke belakang, dan melihat mobil yang sama masih saja mengikuti mereka. “Ngerasa, nggak, mobil di belakang itu terus aja ngikutin kita dari kampus? Waktu kita beli boba di pinggir jalan tadi, mobil itu memang udah ngelewatin kita. Tapi, waktu kita jalan lagi, eh, tahu-tahu mobil itu ada di belakang lagi.”Billy dengan sigap melihat spion tengah, dan benar kata Fika. Mobil jenis SUV yang berada di belakangnya, sepertinya sama dengan mobil yang keluarga bersamanya dari kampus. Namun, Billy tidak bisa memastikan itu mobil yang sama, bila tidak melihat nomor platnya.“Kita berhenti sebentar, Mbak,” kata Billy sembari menyalakan lampu seinnya. Billy menepi, untuk melihat plat nomor mobil yang pastinya akan melewati mereka. “Oia, tolong pasang sabuk pengamannya,” pinta Billy meskipun Fika saat ini duduk di belakang. Ia hanya berjaga-jaga, untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.Perkiraan Billy benar. SUV berwarna hitam itu, akhirnya melewati
“Kasihan sebenarnya, tapi …” Setelah mendengar sang mama bercerita mengenai Ilham, barulah Bening mengomentari semua ucapan wanita itu. “Aku juga nggak bisa ngapa-ngapain, dan nggak mau ngapa-ngapain juga. Kalau nanti dipanggil jadi saksi, ya, aku datang dan ceritain semuanya. Mama ngapain juga pake ngurusin orang itu? Selama ini juga nggak pernah ngobrol, kan? Ketemu juga pas mama datang ke rumah, waktu kakek sama uti meninggal.”Clara tersindir telak, dengan ucapan putrinya yang tidak pernah berbasa-basi itu. Semua yang dikatakan Bening adalah fakta. Clara melakukan hal tersebut bukan hanya pada Ilham, tetapi juga pada Bening karena sosok gadis itu selalu mengingatkannya dengan kesalahan di masa lalu.Clara akui, dirinya memang bodoh dan sangat menyesali semua perbuatannya pada Bening di masa lalu.“Mama bukannya mau ngurusin papamu,” ucap Clara merasa rikuh sendiri setelah mendengar komentar Bening. “Tapi, Mama ke sini itu karena khawatir dengan kamu. Mama cuma mau mastikan, semua
“Yakin nggak mau nemui papamu?” Semua mata tertuju pada Bening, dan menunggu wanita hamil itu berubah pikiran. Sebenarnya, Aga sudah mempertanyakan hal tersebut pada Bening, dan kini, Clara datang pagi-pagi sekali juga untuk mempertanyakan hal yang sama. Tidak hanya Clara, tetapi ada Fika yang juga ikut berkunjung ke rumah. Fika penasaran, apakah Bening yang keras hati itu bisa terketuk dengan musibah yang dialami oleh papanya. Sementara dahulu kala, Bening sangat susah dibujuk saat keluarga Sutomo memohon untuk mendonorkan hatinya. Bening menggeleng tidak peduli. Ia benar-benar sudah mati rasa dengan Ilham, dan sudah tidak mau tahu dengan apa pun yang dialami oleh pria itu. Kendati di dalam tubuh Bening mengalir darah yang sama, tetapi tidak ada rasa iba, atau kasihan ketika mendengar sang papa telah tertangkap di sebuah apartemen. “Aku nggak punya alasan untuk nemui dia, Ma.” Bening memang sangat keras hati dan keras kepala. Clara termasuk beruntung, karena putrinya itu mau berb
“Mau ke mana, Mi?” Abi mengusap rambut basahnya dengan handuk kecil, dan berhenti tepat di tengah kamar saat melihat Fika memasukkan laptop, dan beberapa buku kuliahnya ke dalam koper. Tidak hanya buku dan laptop, tetapi Abi juga melihat beberapa pakaian yang ada di dalamnya. “Mi?”“Aku mau pulang!” Fika berucap ketus, tanpa mau melihat Abi. Perbuatan sang suami tadi malam, sudah membuat perasaan Fika terlampau pilu dan malas melihat wajah pria itu.“Pulang?” Dengan segera, Abi menghampiri Fika yang baru saja menarik resleting kopernya. Intonasi Fika terdengar ketus, sehingga Abi merasa ada yang tidak beres. “Pulang ke mana? Ke rumah mama?”“Memang ke mana lagi?” Fika membiarkan kopernya di samping tempat tidur, kemudian pergi keluar untuk menemui Rasyid di kamar bawah. Rencananya, Fika akan berpamitan dengan mengiba, agar pria tua itu tidak tega dan “mengizinkannya” berlama-lama di kediaman Nugraha.“Mi.” Abi segera mendahului sang istri. Berdiri tepat di depan pintu, dengan handuk k
“Aku stres,” adu Abi pada Aga yang siang ini kebetulan mampir ke kantornya. Pria itu baru saja melihat lokasi tanah yang berada di dekat kantor Abi. Karena itulah, Aga menyempatkan mampir dan mengajaknya makan siang di belakang kantor, karena tidak ada jadwal sidang hari ini.“Dan aku sudah lama nggak makan di warteg.” Aga tahu, Abi pasti akan mengeluh masalah Fika. Untuk itulah, ia tidak ingin menanggapi permasalahan Abi dengan serius. “Dulu, waktu masih magang jadi wartawan, aku pasti makan di warteg sama anak-anak.”Tidak ingin memedulikan Aga, Abi lantas melanjutkan keluhannya. “Fika itu, Ga, labilnya minta ampun.”“Hm, sama.” Aga memberi jawaban singkat, sambil terus menikmati makanan yang sudah lama tidak dia hampiri. Ia bahkan tidak mau repot-repot menoleh pada Abi yang duduk di sampingnya.“Sama dengan Bening? Istrimu begitu juga?” Abi menoleh, dan mengerutkan dahi. Melihat Aga yang makan dengan lahap, Abi jadi kembali menatap piringnya sendiri dan langsung menyantap makan sia
“Nggak mau … bikin susu, Mi?” Abi semakin merasa tidak nyaman, ketika Fika mendiamkannya. Setelah pertengkaran mereka tadi malam, Fika mengungsi dari kamar dan tidur di kamar sang mama dengan alasan kangen. Sementara Romi, terpaksa ikut mengungsi tidur di kamar tamu, dan tidak curiga sedikit pun dengan sikap putrinya. Mungkin karena Fika sedang hamil, Romi jadi memaklumi sikap putrinya itu dan memilih untuk mengalah.“Nggak.” Fika menjawab, tanpa melihat Abi sama sekali. Ia duduk di depan meja rias, sambil mengoleskan rangkaian produk skincare di wajahnya. Rasa sakit di hatinya masih saja menetap, karena ulah Abi malam itu. Coba saja lihat, sampai saat ini Abi belum juga meminta maaf dan menyesali perbuatannya. Suaminya hanya bertanya, apakah Fika ingin bikin susu atau tidak. Namun, tidak punya inisiatif untuk membuatkannya lebih dulu.Ternyata, menikah itu tidak seindah yang ada di bayangan Fika.“Kamu masih marah?” Setelah meletakkan jas serta dasinya di tempat tidur, Abi segera m
Abi hanya bisa menghela ketika Fika masih saja menekuk wajah di depannya. Padahal, hubungan mereka semalam sepertinya sudah baik-baik saja. Namun, pagi ini suasananya seolah kembali seperti kemarin. Fika terlihat dingin, dan tidak memberi Abi senyum sedikit pun. “Kenapa mukanya masih aja ditekuk?” “Aku masih males sama Mas Abi.” Fika berujar terus terang, karena lelah menahan sesak dan kesal di dalam dada. “Jadi, nggak usah tanya-tanya lagi.” “Mau sampai kapan, Mi?” Abi yang baru saja selesai mandi, bergegas menghampiri Fika yang merebahkan diri di tempat tidur. Ia duduk di tepi, lalu mengusap pelan kepala Fika yang baru saja memunggunginya. “Kan, sudah kubilang nggak usah tanya-tanya.” Fika mengambil guling, lalu memeluknya. Meskipun Abi sudah meminta maaf, tetapi rasa kesal itu masih saja ada. Entah kapan hilangnya, Fika juga tidak tahu. “Jadi, kita mau diam-diaman begini terus?” Abi tidak tahu, harus membujuk Fika seperti apa lagi. “Ya nggak tahu.” “Aku Sudah ngasih …” Abi te
“Congraduation, Istriku.” Dengan senyum semringah nan lebarnya, Fika menghambur ke pelukan Abi yang membawa sebuah buket yang berisi cokelat dan boneka beruang di tengah-tengahnya. Akhirnya, hari kelulusan itu datang juga. Meskipun tertatih-tatih, tetapi Fika bisa juga meraih gelar sarjana yang sudah diimpi-impikan selama ini. Kendati ijazahnya tidak akan terpakai, tetapi setidaknya Fika tidak putus di tengah jalan. “Makasih, Mas.” “Pergi sekarang? Atau mau foto-foto sama temanmu dulu?” “Emm …” Tanpa melepas satu tangan yang mengalung pada tubuh Abi, Fika menatap beberapa teman dekatnya yang sibuk dengan keluarga masing-masing. “Tadi sempat foto-foto bentar, sih. Jadi … kita pulang aja. Aku sudah kangen sama Esta. Lagian nanti kita juga foto-foto sama orang rumah.” “Ayolah kalau begitu!” Jelas saja Abi tidak akan menolak, karena seluruh keluarga besar sudah berkumpul di kediaman Pamungkas untuk merayakan kelulusan Fika. “Lagian, Esta nggak bakal nyari kita kalau sudah ada Bening.
“Abi itu memang harus jatuh dulu, baru dia bisa sadar.” Kalimat Aga tersebut, kerap terngiang di kepala Abi. Karena itu pula, Abi jadi memikirkan semua sifat dan sikapnya selama ini. Terutama dengan kehidupan pribadinya. Atau, dengan kata lain Abi sedang introspeksi. Sejauh ini, Abi memang tidak pernah mengalami kesulitan dan masalah dalam karirnya. Justru, semua pusat masalah Abi bersumber pada kehidupan pribadinya. Terlebih lagi, ketika Fika hadir dan membuat kehidupan Abi naik turun dengan berbagai sifat kekanakannya. “Mas, nanti kalau aku sudah bisa urus Esta sendiri, kita pindah aja ke rumah papa, ya?” Hening. Fika yang baru keluar dari kamar mandi, lalu duduk di meja rias segera menoleh pada Abi. Suaminya itu duduk pada sofa tunggal yang berada di samping boks bayi dan tengah menatap putrinya yang sedang tertidur pulas. “Mas …” panggil Fika sekali lagi. Karena Abi tidak kunjung merespons, Fika lantas berdiri kembali untuk menghampiri Abi. Setelah berdiri di samping pria itu
“Di mana Gara?”Bening terhenyak ketika seseorang menepuk bahunya dan bertanya tentang Gara. Meskipun sudah hafal dengan suara tersebut, tetapi Bening tetap saja terkejut karena ia sedang serius membaca buku menu MPASI untuk putranya.“Babe!” Bening membuang napas cepat, lalu terkekeh sembari melihat Rasyid duduk perlahan di sebelahnya. “Baru datang?”Rasyid balas terkekeh dengan anggukan. “Ngapain sendirian di sini? Fika sama mamamu ada di dapur, tapi kamu malah duduk di teras samping sendirian.”“Dapur lebih aman kalau nggak ada saya.” Bening kembali terkekeh tanpa malu sama sekali. Ia tidak akan menutupi kekurangan, yang sampai saat ini masih saja melekat pada dirinya. Bening tidak terlalu pintar memasak dan ia juga tidak berencana untuk belajar memasak. Setidaknya, untuk saat ini.“Terus ke mana perginya anak-anak?” Rasyid menengok ke arah pintu teras dan ke sekitarnya, tetapi tidak melihat suara berisik dari mana pun. Saat menemui Dean bersama Awan di depan, mereka hanya mengatak
“Mbak Ning sudah datang.” Fika memberi tahu, ketika sudah memasuki kamarnya di kediaman Nugraha. Ia segera menghampiri Abi yang duduk bersandar pada sofa dan tengah menggendong putri mereka. Satu tangan Abi dengan kokoh menyangga Esta dan tangan yang lainnya sedang memegang botol susu. “Papaku sudah datang?” “Belum.” Fika duduk perlahan di samping Abi, lalu mengusap pelan pipi putrinya yang semakin gembul itu. “Barusan dibawain ASI lagi sama mbak Ning.” Kemudian, bibir Fika mengerucut dan menghela. Fika bukan tidak bisa meng-ASI-hi putrinya, tetapi ASI yang dikeluarkannya tidaklah terlalu banyak seperti Bening. Padahal, Fika sudah memakan semua makanan bergizi dan melakukan segala cara untuk memperlancar produksi ASInya. Namun, tetapi saja miliknya tidak bisa sebanyak milik Bening. “Sudah minum ASI boosternya?” tanya Abi mengingatkan ketika Fika menyinggung masalah ASI. Karena Aga telah mewanti-wanti Abi sebelumnya, maka ia sungguh berhati-hati ketika berbicara dengan Fika. Jangan s
“Sudah urus cuti buat lahiran Fika, Bi?” tanya Rasyid saat melihat Abi masuk ke ruang kerja yang berada di rumahnya. “Sudah.” Abi mendesah panjang, saat menghempaskan tubuhnya di sofa panjang. Kemudian, ia berbaring sembari menatap Rasyid dengan memeluk bantal sofa yang ada di perutnya. “Habis lahiran, Fika minta tinggal di rumahnya dulu biar ada yang bantuin.” “Nggak masalah.” Rasyid melepas kacamatanya, kemudian beranjak menghampiri Abi. Ia duduk pada sofa tunggal yang posisinya berada di sebelah kepala Abi. “Senin depan, sidang putusan papanya Bening digelar. Habis itu, papa mau istirahat.” “Ada isu banding?” Abi sedikit mengangkat kepala, agar bisa melihat sang papa. Setelah ini, Abi tidak akan membiarkan Rasyin kembali terjun menangani kasus apa pun. Abi ingin sang papa hanya menikmati masa tuanya dengan tenang, tanpa harus memikirkan banyak hal. “Isu banding itu pasti ada, tapi kita lihat nanti.” Rasyid bersandar pada sofa dengan helaan panjang. “Papa sempat telpon Bening, ta
“Nggak usah.” Fika menolak tegas, ketika Abi hendak mengabari Clara mengenai kondisinya. Karena tidak terjadi sesuatu yang serius, maka Fika memutuskan untuk tidak memberi informasi apa pun pada keluarganya. Cukup dirinya dan Abi yang mengetahui hal tersebut.“Kalau nanti ada apa-apa, mama sama papamu pasti nyalahin aku.” Memang tidak terjadi sesuatu yang meresahkan, tetapi tetap saja Abi merasa perlu mengabari kedua mertuanya.“Mas Abi pengen sampe aku kenapa-nap—”“Tarik napas, Mi.” Abi menghentikan langkah Fika di koridor rumah sakit. Istrinya itu kembali keras kepala. “Ingat kata dokter, kamu nggak boleh stres dan jadwal lahiran masih tiga minggu lagi.”Seketika itu juga, Fika menarik napas panjang dan mengikuti aba-aba dari sang suami. Fika melakukannya hingga berulang kali, sampai perasaannya menjadi tenang kembali.“Aku nggak boleh stres.” Fika bergumam sendiri untuk meyakinkan diri. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya dan masih terus menarik napas panjang lalu menghela
Sebagai anak bungsu yang kerap dimanja dan mendapat perhatian lebih, Fika akhirnya merasakan bagaimana rasanya tersisihkan. Semua perhatian seluruh keluarganya, saat ini berpusat pada Bening. Bahkan, Dean pun tidak jarang mampir untuk mengunjungi keponakan barunya sepulang kerja.Sementara Abi, semakin ke sini pria itu semakin disibukkan dengan banyak kasus dan jadwal sidang yang kian padat.Di titik seperti sekarang, Fika benar-benar merasa kesepian dan terlupakan. Seolah tidak ada lagi tempat bermanja, seperti dahulu kala.“Mi.” Abi berhenti di ambang pintu. Memanggil Fika yang sejak tadi duduk termenung di teras samping rumah. Tidak melihat ataupun mendengar respons dari Fika, Abi lantas kembali memanggil sembari menghampiri sang istri. “Mi,” tegur Abi sekali lagi sambil menyentuh pundak Fika, yang kemudian terhenyak.“Mas!” Fika reflek memegang dadanya, lalu mendongak menatap Abi. “Jangan ngagetin!”“Aku nggak ngagetin.” Abi lantas berlutut di hadapan Fika. Menyentuh perut sang is
“Segara Cakrawala.” Fika menatap bayi mungil yang sedang tertidur di samping Bening. “Jadi ingat pak Pras.” “Kenapa pak Pras? Bukan pak Raja?” tanya Aga yang baru saja keluar dari kamar mandi. “Padahal yang jadi gubernur itu pak Raja, tapi orang-orang selalu ingatnya sama Pras.” “Serius masih tanya masalah itu, Ga?” tanya Abi sambil terus menatap wajah mungil putra Aga, yang masih tidur dengan pulas. Melihatnya, Abi jadi tidak sabar ingin menimang bayinya sendiri. “Pras itu—” “Pak Pras itu ganteng,” celetuk Bening sembari bangkit dengan perlahan setelah melihat Aga. Suaminya itu memberi respons dengan menggeleng kepala, ketika mendengar Bening memuji Pras. “Tapi, ya, gitu! Kayak batu. Mending es batu bisa cair, lah dia?” “Serem!” timpal Fika dengan anggukan setuju. Namun, Fika masih tidak mendapatkan jawaban mengenai pertanyaannya barusan. Mengapa nama anak Bening dan Aga harus “Segara”? Aga menarik napas panjang lalu menghela. Ia berdiri di samping Fika, kemudian mengangkat Gara
“Tarik napas.” Bening menggeram, setelah mendengar Aga memberi perintah untuk yang kesekian kalinya. Pria itu berdiri tepat di sampingnya dan tidak lepas menggenggam erat tangan Bening sejak keduanya berada di ruang persalinan. “Sakiiit, Beeb. Jangan nyuruh-nyuruh aja bisanya.” Aga menatap sang dokter, yang sejak tadi tidak ingin berkomentar banyak. Karena dokter tersebut tahu benar, Bening akan membalas semua ucapan yang ada dengan kalimat yang lebih panjang lagi. Aga hendak membalas ucapan sang istri, tetapi kemudian ia berubah pikiran. Sepertinya diam lebih baik, daripada mendengar Bening terus mengoceh dan menghabiskan tenaganya. “Bu Dok, lagi ...” Bening kembali merasakan kontraksi, sehingga membuat tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa. “Tunggu sebentar.” Dokter wanita itu mengangguk, dan bersiap memberi aba-aba untuk Bening. “Tunggu gim—” “Tarik napas, Bu.” Dengan terpaksa, dokter tersebut memotong ucapan istri Aga. “Dorooong …” Bening kembali menuruti instruksi sang