Moduuuss ....
“Mas Abiii.” Fika kembali memukul Abi dengan bantal yang tidak lepas dari tangan sedari tadi. Sementara suaminya, hanya sibuk menangkis dan tertawa atas rengekan Fika. “Aku jadi telat satu malam minum pil KB-nya, kan!” Bagaimana tidak telat, bila Abi membuat Fika sibuk hampir semalaman. Dan ketika kesibukan itu sudah selesai, tidak ada lagi tenaga yang bisa Fika gunakan kecuali tidur di pelukan Abi. Fika bahkan tidak sanggup membuka mata, dan hanya bisa menunggu pagi sembari mengisi kembali semua tenaganya. “Nggak usah KB-KBan kenapa, sih, Mi?” “Mami, mami …” Fika kembali memukul Abi yang masih duduk di sofa, dengan bantalnya. “Pasti Mas Abi yang nyembunyiin pil KBku, kan? Ayo ngaku.” “Nggak, Mi.” Abi semakin suka menggoda Fika bila seperti ini. “Papi nggak nyembunyiin pil KB Mami.” “Ihh, apaan.” Kemudian, Fika melempar bantal tersebut pada Abi, yang sudah bangun dan mandi lebih dulu darinya. Abi harus pergi ke suatu tempat terlebih dahulu, oleh karena itu ia berangkat lebih pagi
Langkah Abi memelan, kemudian berbelok menuju sudut area parkir pengadilan. Tanpa sengaja, ia melihat Vira tengah berdebat dengan seseorang di ujung sana. Karena tahu siapa yang tengah jadi lawan bicaranya, dengan terpaksa Abi menghampiri wanita itu terlebih dahulu.“Ada masalah, Vir?”Kedua orang yang sudah berada di hadapan Abi menoleh bersamaan.“Nggak ada,” kata Vira setelah membuang helaan kecil. “Kita cuma—"“Aku pergi dulu, dan ingat omonganku tadi baik-baik.”Abi menarik napas, sembari berbalik untuk melihat pria itu pergi menjauh dari mereka. Dari wajahnya saja, Abi bisa menilai, pria itu sedang marah pada Vira. “Ada masalah sama pak Ilham?”“Pak Ilham lihat CCTV di tempat kerjanya, waktu aku make laptopnya dia. Dia curiga kalau aku yang sudah ngaduin dia selama ini.” Vira bersedekap, menatap punggung Ilham menjauh lalu masuk ke dalam mobilnya. “Dia baru dapat panggilan sidang lagi, jadi, tambah marahlah dia sama aku. Pake ngancam-ngancam segala.”“Minta perlindungan saksi, V
“Gimana, Fik?”Clara mengetuk pintu kamar mandi di lantai satu, karena Fika tidak kunjung keluar dari dalam sana. Putrinya itu, sedang mencoba dua buah tespek, yang dibeli Clara dalam perjalanan pulang ke kediaman Nugraha. Meskipun Fika sempat merengek dan menolak untuk melakukan tes kehamilan, tetapi Clara tetap harus memaksanya.Tidak berselang lama, Fika membuka pintu dengan perlahan. Ia mencebik, kemudian menghambur ke pelukan sang mama. “Aku hamiiil.”“Ya, sud—”“Padahal aku sudah KB, Ma.” Fika mencoba menangis, tetapi tidak ada air mata yang keluar setitik pun. Entah harus merasa sedih, ataukah bahagia menghadapi kehamilan yang sebenarnya tidak direncanakan ini.“KB-nya nggak teratur, kan?”“Gara-gara mas Abi pasti ini.”Clara bengong sejenak untuk berpikir, karena ucapan Fika. “Lah, Fik, kamu hamil memang karena Abi, kan? Gimana, sih?”Fika menghentak kedua kakinya dan masih memeluk Clara dengan erat. “Gara-gara mas Abi aku telat-telat minum pilnya.”“Ya, sudah.” Clara mengusap
“Mas Abi!”Langkah Fika terhenti, saat melihat Vira berada di ruangan yang sama dengan Abi. Vira berbalut perban di pelipisnya, sementara Abi, terlihat memakai gips, dari telapak tangan kanan hingga mendekati siku. Tampaknya, tidak ada luka serius dan keduanya mungkin bisa pulang setelah ini, menurut Fika. “Fika?” Abi cukup terkejut, saat melihat kedatangan istrinya ke rumah sakit. Padahal, Abi jelas-jelas tidak memberitahukan siapa pun, tentang kecelakaan yang menimpanya. Abi baru akan mengatakan semua itu, ketika sudah sampai di rumah agar Fika tidak khawatir sama sekali.Namun, siapa orang yang telah memberitahukan Fika?“Kamu … aku—”“Bu Vira baik-baik aja?” Fika kembali melanjutkan langkah, lebih dulu menghampiri Vira yang duduk bersandar di ranjang pasien. Sekilas, tatapan Fika tertuju pada Abi yang sudah berdiri dari kursi di samping ranjang, ketika melihatnya datang.“Baik,” angguk Vira. ”Cuma lecet, memar, sama terkilir sedikit di kaki.” Vira segera beralih pada Abi, karena
Fika segera memunggungi Abi, saat pria itu masuk ke kamar mereka. Selama perjalan pulang, suaminya tertidur begitu lelap dan memaksa Fika harus menahan kembali amarahnya. Ketika tiba di rumah, Abi pun tidak langsung pergi ke kamar, tetapi bertemu Rasyid terlebih dahulu.Sungguh, sangat menjengkelkan.“Sayang.” Abi menghampiri Fika dengan tergesa, setelah menutup pintu dan menguncinya. Ia mengitari tempat tidur, lalu duduk di tepi, tepat di samping sang istri. “Aku mau mandi.”“Mandi aja sendiri.” Fika kembali berbalik, memunggungi Abi. Pria itu bahkan tidak bertanya mengenai perasaan Fika saat ini. Abi hanya peduli dengan dirinya sendiri, dan tidak memikirkan Fika sama sekali.Sungguh keterlaluan.Sebentar lagi, resepsi pernikahan mereka akan digelar, tetapi Abi justru bersikap semakin menyebalkan. “Tolong bukain bajuku, Fik,” pinta Abi. “Sekalian mandiin. Aku nggak mungkin bisa—““Kalau lagi susah, baru ingat istrinya.” Fika memeluk guling, dan sudah enggan memedulikan Abi. Mau pria
“Nggak ada.” Fika menahan dada Abi, yang baru saja mencondongkan tubuh ke arahnya. Pria itu hendak memberi kecupan di pipi, tetapi Fika menolaknya. Ia masih sakit hati dengan perbuatan Abi kemarin, dan entah mengapa rasa itu tidak berkesudahan. Semakin ingin dilupakan, Fika semakin terngiang-ngiang adegan Abi yang tampak perhatian pada Vira kemarin sore. “Sudah kubilang, Mas Abi diem aja dan nggak usah minta macam-macam selama satu minggu ke depan.” Fika berbalik, kemudian mengambil salah satu ikat pinggan yang terpajang di dinding dengan rapi. Setelahnya, ia kembali ke hadapan Abi, lalu memakaikan ikat pinggan tersebut di pangkal celana sang suami. “Harusnya Mas Abi bersyukur, aku masih mau bantuin mandi, sama pake baju. Coba kalau nggak, mau minta tolong sama siapa? Sama bibik? Begini ini, kalau istrinya masih aja nggak dianggap, itu sama aja nggak tahu diri.” “Mi, sudah, Mi.” Mau sampai kapan Fika berceramah seperti ini. Abi sudah berulang kali minta maaf dari kemarin, tetapi Fi
“Ngapain ke sini?”Bening berdecak seraya menghampiri Fika yang sudah lebih dulu masuk dan merebahkan diri di kamar tamu. Kamar tempat gadis itu menginap, saat melarikan diri dan bersembunyi dari Abi tempo hari.Fika menoleh lesu, dengan tatapan sayu. “Aku dari rumah mama ngambil barang, terus mampir sini.”“Iya, tapi ngapain?” Bening kembali berdecak, saat meletakkan bokongnya di tepi ranjang dengan perlahan. “Mending ke salon, kek, luluran, pijat-pijat, buat persiapan malam resepsi.”“Mbak.” Fika memutar tubuh. Bertelungkup, mumpung perutnya belum membuncit seperti Bening. Ide pergi ke salon sebenarnya boleh juga, tetapi Fika hanya ingin bertemu kasur dan merebahkan diri di sana. “Kamu nggak pernah cemburu sama bu Vira? Kan, mas Aga sering ketemu kalau ngantar Awan? Nggak curiga mereka bakal gimana-gimana gitu?”“Duluuu, iya. Tapi, semakin ke sini udah nggak.” Fika tidak perlu tahu, hal apa saja yang dilakukan Bening agar suaminya itu bisa cepat pulang, dan menghabiskan banyak waktu
“Makasih …”Kendati tengah mengalami kantuk berat, Fika harus tetap berdiri dan tersenyum lebar, saat menyambut para tamu undangan resepsi pernikahannya dengan Abi. Benar-benar mewah, megah, dan sesuai dengan pernikahan impian Fika selama ini.Tidak seperti Abi, yang sedari tadi sibuk bertanya mengenai kondisi Fika. Istrinya itu, masih saja belum mengatakan tentang kehamilannya pada Abi. Padahal, Abi sudah bersikap baik selama beberapa hari ke belakang, tetapi Fika masih saja bungkam dan tidak mengatakan hal apa pun.“Sayang, sepatumu dilepas aja kalau capek,” ujar Abi bicara pelan di telinga Fika, saat masih menunggu tamu berikutnya yang akan bersalaman dengan mereka.Fika mengangguk lelah, serta mengantuk. Harusnya, Fika belajar dari resepsi pernikahan Bening kala itu. Kakak perempuannya itu mengeluh sangat lelah, karena harus berdiri dan menyalami tamu undangan yang datang tanpa henti. “Kayaknya masih lama, ya, Mas,” tanya Fika sembari mengeluh. Fika melepas sepatu dengan hak seti
“Congraduation, Istriku.” Dengan senyum semringah nan lebarnya, Fika menghambur ke pelukan Abi yang membawa sebuah buket yang berisi cokelat dan boneka beruang di tengah-tengahnya. Akhirnya, hari kelulusan itu datang juga. Meskipun tertatih-tatih, tetapi Fika bisa juga meraih gelar sarjana yang sudah diimpi-impikan selama ini. Kendati ijazahnya tidak akan terpakai, tetapi setidaknya Fika tidak putus di tengah jalan. “Makasih, Mas.” “Pergi sekarang? Atau mau foto-foto sama temanmu dulu?” “Emm …” Tanpa melepas satu tangan yang mengalung pada tubuh Abi, Fika menatap beberapa teman dekatnya yang sibuk dengan keluarga masing-masing. “Tadi sempat foto-foto bentar, sih. Jadi … kita pulang aja. Aku sudah kangen sama Esta. Lagian nanti kita juga foto-foto sama orang rumah.” “Ayolah kalau begitu!” Jelas saja Abi tidak akan menolak, karena seluruh keluarga besar sudah berkumpul di kediaman Pamungkas untuk merayakan kelulusan Fika. “Lagian, Esta nggak bakal nyari kita kalau sudah ada Bening.
“Abi itu memang harus jatuh dulu, baru dia bisa sadar.” Kalimat Aga tersebut, kerap terngiang di kepala Abi. Karena itu pula, Abi jadi memikirkan semua sifat dan sikapnya selama ini. Terutama dengan kehidupan pribadinya. Atau, dengan kata lain Abi sedang introspeksi. Sejauh ini, Abi memang tidak pernah mengalami kesulitan dan masalah dalam karirnya. Justru, semua pusat masalah Abi bersumber pada kehidupan pribadinya. Terlebih lagi, ketika Fika hadir dan membuat kehidupan Abi naik turun dengan berbagai sifat kekanakannya. “Mas, nanti kalau aku sudah bisa urus Esta sendiri, kita pindah aja ke rumah papa, ya?” Hening. Fika yang baru keluar dari kamar mandi, lalu duduk di meja rias segera menoleh pada Abi. Suaminya itu duduk pada sofa tunggal yang berada di samping boks bayi dan tengah menatap putrinya yang sedang tertidur pulas. “Mas …” panggil Fika sekali lagi. Karena Abi tidak kunjung merespons, Fika lantas berdiri kembali untuk menghampiri Abi. Setelah berdiri di samping pria itu
“Di mana Gara?”Bening terhenyak ketika seseorang menepuk bahunya dan bertanya tentang Gara. Meskipun sudah hafal dengan suara tersebut, tetapi Bening tetap saja terkejut karena ia sedang serius membaca buku menu MPASI untuk putranya.“Babe!” Bening membuang napas cepat, lalu terkekeh sembari melihat Rasyid duduk perlahan di sebelahnya. “Baru datang?”Rasyid balas terkekeh dengan anggukan. “Ngapain sendirian di sini? Fika sama mamamu ada di dapur, tapi kamu malah duduk di teras samping sendirian.”“Dapur lebih aman kalau nggak ada saya.” Bening kembali terkekeh tanpa malu sama sekali. Ia tidak akan menutupi kekurangan, yang sampai saat ini masih saja melekat pada dirinya. Bening tidak terlalu pintar memasak dan ia juga tidak berencana untuk belajar memasak. Setidaknya, untuk saat ini.“Terus ke mana perginya anak-anak?” Rasyid menengok ke arah pintu teras dan ke sekitarnya, tetapi tidak melihat suara berisik dari mana pun. Saat menemui Dean bersama Awan di depan, mereka hanya mengatak
“Mbak Ning sudah datang.” Fika memberi tahu, ketika sudah memasuki kamarnya di kediaman Nugraha. Ia segera menghampiri Abi yang duduk bersandar pada sofa dan tengah menggendong putri mereka. Satu tangan Abi dengan kokoh menyangga Esta dan tangan yang lainnya sedang memegang botol susu. “Papaku sudah datang?” “Belum.” Fika duduk perlahan di samping Abi, lalu mengusap pelan pipi putrinya yang semakin gembul itu. “Barusan dibawain ASI lagi sama mbak Ning.” Kemudian, bibir Fika mengerucut dan menghela. Fika bukan tidak bisa meng-ASI-hi putrinya, tetapi ASI yang dikeluarkannya tidaklah terlalu banyak seperti Bening. Padahal, Fika sudah memakan semua makanan bergizi dan melakukan segala cara untuk memperlancar produksi ASInya. Namun, tetapi saja miliknya tidak bisa sebanyak milik Bening. “Sudah minum ASI boosternya?” tanya Abi mengingatkan ketika Fika menyinggung masalah ASI. Karena Aga telah mewanti-wanti Abi sebelumnya, maka ia sungguh berhati-hati ketika berbicara dengan Fika. Jangan s
“Sudah urus cuti buat lahiran Fika, Bi?” tanya Rasyid saat melihat Abi masuk ke ruang kerja yang berada di rumahnya. “Sudah.” Abi mendesah panjang, saat menghempaskan tubuhnya di sofa panjang. Kemudian, ia berbaring sembari menatap Rasyid dengan memeluk bantal sofa yang ada di perutnya. “Habis lahiran, Fika minta tinggal di rumahnya dulu biar ada yang bantuin.” “Nggak masalah.” Rasyid melepas kacamatanya, kemudian beranjak menghampiri Abi. Ia duduk pada sofa tunggal yang posisinya berada di sebelah kepala Abi. “Senin depan, sidang putusan papanya Bening digelar. Habis itu, papa mau istirahat.” “Ada isu banding?” Abi sedikit mengangkat kepala, agar bisa melihat sang papa. Setelah ini, Abi tidak akan membiarkan Rasyin kembali terjun menangani kasus apa pun. Abi ingin sang papa hanya menikmati masa tuanya dengan tenang, tanpa harus memikirkan banyak hal. “Isu banding itu pasti ada, tapi kita lihat nanti.” Rasyid bersandar pada sofa dengan helaan panjang. “Papa sempat telpon Bening, ta
“Nggak usah.” Fika menolak tegas, ketika Abi hendak mengabari Clara mengenai kondisinya. Karena tidak terjadi sesuatu yang serius, maka Fika memutuskan untuk tidak memberi informasi apa pun pada keluarganya. Cukup dirinya dan Abi yang mengetahui hal tersebut.“Kalau nanti ada apa-apa, mama sama papamu pasti nyalahin aku.” Memang tidak terjadi sesuatu yang meresahkan, tetapi tetap saja Abi merasa perlu mengabari kedua mertuanya.“Mas Abi pengen sampe aku kenapa-nap—”“Tarik napas, Mi.” Abi menghentikan langkah Fika di koridor rumah sakit. Istrinya itu kembali keras kepala. “Ingat kata dokter, kamu nggak boleh stres dan jadwal lahiran masih tiga minggu lagi.”Seketika itu juga, Fika menarik napas panjang dan mengikuti aba-aba dari sang suami. Fika melakukannya hingga berulang kali, sampai perasaannya menjadi tenang kembali.“Aku nggak boleh stres.” Fika bergumam sendiri untuk meyakinkan diri. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya dan masih terus menarik napas panjang lalu menghela
Sebagai anak bungsu yang kerap dimanja dan mendapat perhatian lebih, Fika akhirnya merasakan bagaimana rasanya tersisihkan. Semua perhatian seluruh keluarganya, saat ini berpusat pada Bening. Bahkan, Dean pun tidak jarang mampir untuk mengunjungi keponakan barunya sepulang kerja.Sementara Abi, semakin ke sini pria itu semakin disibukkan dengan banyak kasus dan jadwal sidang yang kian padat.Di titik seperti sekarang, Fika benar-benar merasa kesepian dan terlupakan. Seolah tidak ada lagi tempat bermanja, seperti dahulu kala.“Mi.” Abi berhenti di ambang pintu. Memanggil Fika yang sejak tadi duduk termenung di teras samping rumah. Tidak melihat ataupun mendengar respons dari Fika, Abi lantas kembali memanggil sembari menghampiri sang istri. “Mi,” tegur Abi sekali lagi sambil menyentuh pundak Fika, yang kemudian terhenyak.“Mas!” Fika reflek memegang dadanya, lalu mendongak menatap Abi. “Jangan ngagetin!”“Aku nggak ngagetin.” Abi lantas berlutut di hadapan Fika. Menyentuh perut sang is
“Segara Cakrawala.” Fika menatap bayi mungil yang sedang tertidur di samping Bening. “Jadi ingat pak Pras.” “Kenapa pak Pras? Bukan pak Raja?” tanya Aga yang baru saja keluar dari kamar mandi. “Padahal yang jadi gubernur itu pak Raja, tapi orang-orang selalu ingatnya sama Pras.” “Serius masih tanya masalah itu, Ga?” tanya Abi sambil terus menatap wajah mungil putra Aga, yang masih tidur dengan pulas. Melihatnya, Abi jadi tidak sabar ingin menimang bayinya sendiri. “Pras itu—” “Pak Pras itu ganteng,” celetuk Bening sembari bangkit dengan perlahan setelah melihat Aga. Suaminya itu memberi respons dengan menggeleng kepala, ketika mendengar Bening memuji Pras. “Tapi, ya, gitu! Kayak batu. Mending es batu bisa cair, lah dia?” “Serem!” timpal Fika dengan anggukan setuju. Namun, Fika masih tidak mendapatkan jawaban mengenai pertanyaannya barusan. Mengapa nama anak Bening dan Aga harus “Segara”? Aga menarik napas panjang lalu menghela. Ia berdiri di samping Fika, kemudian mengangkat Gara
“Tarik napas.” Bening menggeram, setelah mendengar Aga memberi perintah untuk yang kesekian kalinya. Pria itu berdiri tepat di sampingnya dan tidak lepas menggenggam erat tangan Bening sejak keduanya berada di ruang persalinan. “Sakiiit, Beeb. Jangan nyuruh-nyuruh aja bisanya.” Aga menatap sang dokter, yang sejak tadi tidak ingin berkomentar banyak. Karena dokter tersebut tahu benar, Bening akan membalas semua ucapan yang ada dengan kalimat yang lebih panjang lagi. Aga hendak membalas ucapan sang istri, tetapi kemudian ia berubah pikiran. Sepertinya diam lebih baik, daripada mendengar Bening terus mengoceh dan menghabiskan tenaganya. “Bu Dok, lagi ...” Bening kembali merasakan kontraksi, sehingga membuat tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa. “Tunggu sebentar.” Dokter wanita itu mengangguk, dan bersiap memberi aba-aba untuk Bening. “Tunggu gim—” “Tarik napas, Bu.” Dengan terpaksa, dokter tersebut memotong ucapan istri Aga. “Dorooong …” Bening kembali menuruti instruksi sang