Setibanya di istana, dua orang prajurit tersebut langsung melaporkan tentang pertarungan mereka dengan para penyusup yang diduga kuat merupakan para prajurit kerajaan Kuta Waluya.
"Maafkan kami, Gusti Prabu. Ada penyusup ke wilayah kita, tapi kami tidak mampu menghadangnya dan beberapa prajurit pun tewas olehnya dan hanya kamu berdua yang dapat menyelamatkan diri," ujar salah seorang prajurit tersebut.
"Apa kalian tahu. Siapakah mereka, yang sudah berani lancang masuk ke wilayah kerajaan ini?" tanya Prabu Rawinta bernada tinggi.
Berkata salah seorang prajurit itu, menjawab pertanyaan dari sang Raja, "Mereka adalah para prajurit kerajaan Kuta Waluya, Gusti Prabu."
"KURANG AJAR." Mendengar laporan tersebut, Prabu Rawinta tampak geram dan langsung memanggil Rendakuti untuk segera melakukan penyerangan terhadap kerajaan Kuta Waluya.
"Rendakuti!" teriak Prabu Rawinta.
Rendakuti langsung melangkah kemudian sedikit membungkukkan badan di hadapan sang Raj
Tiga hari berikutnya, Prabu Erlangga dan Senopati Randu Aji sedang dalam perjalanan hendak melakukan kunjungan ke barak para prajurit yang dipimpin oleh Anggadita."Ki, Aki!" teriak seorang warga berlari ke arah Ki Rona yang saat itu sedang berada di beranda kediamannya."Ada apa, Junta?" tanya Ki Rona memandang wajah Junta yang merupakan seorang pemuda yang kesehariannya bekerja di barak sebagai juru masak."Sore ini, Prabu Erlangga akan tiba di desa ini, menurut keterangan dari para prajurit yang ada di barak rombongan sang Prabu sudah berada di perjalanan," kata Junta menjawab pertanyaan dari Ki Rona."Baiklah, aku akan segera ke sana dan segera beritahu penduduk untuk menyambut kedatangan sang Raja!""Baiklah, Ki," pungkas Junta langsung bangkit dan berlalu dari hadapan Ki Rona yang merupakan orang nomor satu di desa tersebut.Beberapa saat kemudian, rombongan dari istana sudah tiba di barak tersebut. Kehadiran sang Raja sangat disambut hangat
Setelah mengalami kekalahan, para prajurit dari kerajaan Kuta Waluya langsung kembali ke istana. Mereka melaporkan hal tersebut kepada sang Raja yakni Prabu Durdona sebagai penguasa tertinggi di kerajaan Kuta Waluya. Prabu Durdona tampak murka dengan berita buruk itu."Kalian sangat gegabah dan tidak dapat memprediksi kekuatan musuh sebelum melakukan penyerangan," ujar Prabu Durdona berbicara di hadapan Panglima Gonadarma dan para prajuritnya."Maafkan hamba, Gusti Prabu," ucap Gonadarma tertunduk di hadapan sang Raja.“Bukan pekerjaan yang sulit. Jika saat itu, kalian benar-benar punya trik dan kepintaran dalam membumi hanguskan barak tersebut," kata Prabu Durdona. "Kalau sikap kalian tetap ceroboh seperti ini, maka tidak akan ada di antara kalian yang akan mampu membangun kerajaan ini dengan baik dan kita akan kehilangan banyak wilayah kekuasaan," sambung Prabu Durdona."Kami mengakui itu semua kesalahan kami, Gusti Prabu." Tertunduk Gonadarma dan tidak b
Kadipaten Kuta Gandok, sudah mulai berbenah diri. Para prajurit dan rakyat sangat antusias dalam membangun Kadipaten baru itu, berbagai sarana penting untuk pemerintahan kota sudah dibangun, ditopang oleh pasilitas lengkap sarana umum untuk rakyat, pasar dan tempat peribadatan pun sudah lengkap. Kuta Gandok digadang-gadang sebagai kota kedua terbesar yang ada di wilayah kerajaan Sanggabuana. Hal itu menjadi kecemburuan sosial bagi para penguasa kerajaan-kerajaan yang ada di sekitarnya."Harusnya aku mempunyai satu orang petinggi lagi," ucap Adipati Anggadita lirih. "Untuk membantuku dalam menjalankan roda pemerintahan kadipaten ini," tambahnya di sela perbincangannya dengan Aryadana dan Ki Rona."Aku rasa Ki Rona adalah orang yang tepat untuk menjadi wakilmu, Raden!" saran Aryadana sedikit menoleh ke arah Ki Rona.“Ah, Raden bisa saja,” Ki Rona tertawa kecil, ia tampak tersipu dengan perkataan dari Aryadana."Nah ... kira-kira Aki bersedia tidak?" tan
Ki Bayu Seta ternyata menaruh perhatian lebih kepada cerita itu. Maka ia pun bertanya, “Jadi, sang Prabu sekarang sudah merencanakan siasat dalam peperangan nanti?"Prabu Erlangga menjawab lirih pertanyaan dari sang penasihat istana, bersikap ramah dan tidak mengurangi rasa hormatnya terhadap sang Guru, “Ya, aku sudah menyiapkannya dari jauh-jauh hari, dan itu masih akan aku pertimbangkan lagi bersama para panglima perang.”Senopati Randu Aji pun mulai angkat bicara di hadapan sang Raja dan ia sedikit memberanikan diri untuk bertanya, “Dari mana kita akan mengawali penyerangan itu, Gusti Prabu?”“Di daerah Conan sebelah Utara, karena menurutku di Utara adalah tempat yang tepat untuk melakukan istirahat dan mengatur siasat sebelum melakukan penyerangan!" tegas sang Raja penuh pertimbangan.“Conan Utara?” tanya Senopati Randu Aji mengerutkan kening.Ia belum mengetahui tentang daerah tersebut, bahkan belum pernah
Senopati Randu Aji berkata, “Tidak ada bedanya kau dengan sebuah sumpit, aku memakai panah. Sedang yang aku kejar berlari kencang sekali, yang kau kejar tidak.”“Kau rasa menyumpit kelinci atau burung lebih mudah dari memanah seekor rusa yang punya kecepatan dalam berlari?""Aku rasa seperti itu, sesuai dugaanku." Tertawa lagi sang Senopati.Perbincangan mereka pun terhenti kala mendengar jejak langkah di balik semak belukar yang ada di sebelah kanan posisi mereka."Sepertinya, itu jejak langkah seekor rusa atau babi hutan." Rangkuti memalingkan pandangannya ke arah semak belukar itu dan langsung mengarahkan busur panah ke tempat tersebut."Hati-hati ... jangan sampai meleset lagi!" Senopati Randu Aji mengingatkan."Tenang saja ... aku pasti bisa menancapkan dengan sempurna anak panahku ini!" ucap Rangkuti berkeyakinan tinggi.“Sebaiknya kau turun. Kau tidak akan bisa memanah sambil naik kuda!" saran Senopati Randu Aji.
Para prajurit berkuda berjalan memacu kuda mereka perlahan untuk menuju alas Conan Utara. Mereka berada di barisan depan mengawal sang raja yang berada di kereta kencana bersama sang senopati lengkap dengan busur panah melekat di punggung masing-masing prajurit itu.Di barisan kedua, tampak para prajurit pedang berjajar rapi mengikuti para prajurit panah disusul oleh ratusan meriam yang ditarik dengan menggunakan ratusan gerobak kuda dan sapi berukuran besar-besar.Di sepanjang perjalan, sang raja tidak melihat Anggadita sehingga menimbulkan rasa penasaran baginya, bertanyalah ia kepada sang senopati, "Aku tidak melihat keberadaan Adipati Anggadita, apakah ia tidak ikut dalam rombongan ini?"Sejenak sang senopati bangkit dari duduknya, sorot mata tajamnya mengamati barisan para prajurit berkuda yang ada di depan kereta kencana itu, tersenyumlah Senopati Randu Aji dan duduk kembali seraya berkata kepada sang raja, "Adipati Anggadita ada di barisan depan bersama Gondang
Setibanya di tempat tujuan, kuda-kuda itu pun berhenti. Kemudian, Adipati Anggadita pun turun dari kuda dan langsung menghampiri sang raja, "Mereka akan segera memasang tenda dan membuat perkemahan di area ini, Gusti Prabu," Adipati Anggadita memandangi wajah sang raja."Sebelum membangun perkemahan tolong panggilkan para prajurit Kundar yang sudah ikut dengan kita!" titah Prabu Erlangga."Baik, Gusti Prabu." Anggadita langsung melaksanakan tugas tersebut dan memanggil ke tujuh belas prajurit kerajaan Kundar itu.Mereka pun langsung melangkah menghadap sang raja, "Ada apa, Gusti Prabu?' tanya Domala dengan hati yang berdebar-debar. Khawatir akan adanya kemarahan dari sang raja kepada mereka.Domala merupakan seorang pimpinan belasan prajurit Kundar yang sudah bergabung dengan prajurit kerajaan Sanggabuana.“Domala!” seru sang raja menatap tajam ke arah Domala yang tertunduk di hadapannya.Domala mengangkat wajah dan berkata meskipun ia belum tahu
Ada segerombolan para pemuda di alas tersebut, tampak jelas mereka berpenampilan biasa dan sudah diduga kuat mereka itu merupakan pengungsi yang sedang mencari perlindunganAryadana berdiri dengan gagahnya menghadang orang-orang tersebut, sembari mengamati wajah-wajah mereka yang tampak kelelahan. Berkatalah Aryadana, “Hai! ... kalian ini siapa?” seru Aryadana mengarah kepada sekelompok orang-orang yang sedang berjalan menuju ke arah perkemahan.Sekilas terpancar kegembiraan di mata orang-orang tersebut, ketika mendapat sapaan dari Aryadana."Kami rakyat yang tertindas ... kami hendak mencari perlindungan," jawab salah satu di antara orang tersebut, berkata dengan lantangnya. "Kami kelaparan, kami butuh perlindungan!" sambungnya sedikit berteriak.Menolehlah Adipati Anggadita ke arah Aryadana, "Apakah kau mengenali mereka?"Tersenyum Aryadana seakan-akan ia mengetahui siapa mereka sebenarnya. Namun kemudian ia berusaha menghapus kesan itu dan berkata, “Aku tidak menge
Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa
Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D
Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda
Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun
Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p
Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya
Beberapa saat kemudian, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah berhasil mendekat ke arah lembah tempat keberadaan para pemberontak tersebut, Panglima Wanakarma dan Panglima Jaka Kelana segera membagi tugas."Kau dengan 150 prajurit segera naik ke bukit sana, aku dan yang lainnya tetap di sini!" bisik Panglima Jaka Kelana."Baik, Panglima." Panglima Wanakarma segera turun dari kudanya. Setelah mengikatkan tali kuda, ia langsung memerintahkan para prajuritnya untuk segera naik ke atas bukit yang berada tepat di atas lembah. Dengan penuh kehati-hatian dan terkesan senyap, Panglima Wanakarma dan para prajuritnya mulai bergerak perlahan naik ke atas bukit dengan maksud menyergap para prajurit musuh yang berada di beberapa saung yang mereka dirikan si atas bukit tersebut."Kalian langsung sergap mereka! Jika mereka tidak melakukan perlawanan jangan sakiti mereka!" perintah Panglima Wanakarma.Para prajurit itu pun segera melaksanakan tugas tersebut dan langsung
Ternyata semua rencana berjalan seperti yang telah diperhitungkan. Pasukan pemberontak akhirnya mundur tepat pada waktunya, meskipun para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak melakukan gangguan terhadap mereka.Pra prajurit kerajaan Sanggabuana yang baru tiba itu, sangat merasakan kenyamanan setelah melakukan perjalanan jauh, tiba di tempat tersebut tanpa ada halangan."Bersyukurlah, kita datang mereka sudah lebih dulu ketakutan dan menjauh dari tempat ini," ujar Wanakarma sang panglima perang yang baru saja pulang dari Kepatihan Waluya Jaya dan langsung ikut bersama Senopati Lintang ke Alas Conan."Aku harap, kalian bisa menikmati istirahat kalian malam ini," timpal Panglima Jaka Kelana.Dari kelima ratus prajurit yang dipimpinnya itu, yang bertugas jaga hanya sekitar seratus prajurit saja, itu pun secara bergiliran agar mereka tidak terlalu kelelahan ketika akan menggempur pertahanan musuh di dalam hutan tersebut."Kalian harus segera istirahat!" seru Pangl
Keesokan harinya tepat menjelang sore, Panglima Jaka Kelana dan Senopati Lintang serta ribuan pasukan dengan persenjataan lengkap sudah bersiap hendak melakukan perjalanan jauh menuju ke kadipaten Conan Selatan dan Conan Utara untuk mengamankan kedua kadipaten tersebut dari teror para pemberontak yang akhir-akhir ini kerap melakukan teror terhadap para penduduk.Tampak seribu prajurit khusus sudah bersiap untuk segera berangkat, ada sekitar 300 pasukan kuda dan 20 pedati yang ditarik oleh beberapa ekor sapi yang membawa peralatan kemah dan juga bahan makanan untuk perbekalan para prajurit selama bertugas di sana."Aku harap kalian berhati-hati dan waspada terhadap para pemberontak itu!" pesan Prabu Erlangga di sela pelepasan para prajurit kerajaan yang hendak bertugas menumpas para pemberontak yang berada di hutan Conan."Baik, Gusti Prabu," ucap Senopati Lintang.Selain dirinya, istrinya pun ikut dalam tugas tersebut. Winiresti bersama ratusan prajurit wanita dan pasuka