Ternyata, kemampuan kedua prajurit itu memang sangat jauh di bawah kelinuhungan ilmu kanuragan yang dimiliki oleh Panglima Janeka, tanpa tersentuh sedikit pun oleh tangan sang panglima, kedua prajurit itu terpental ketika hendak menyerang Panglima Janeka, sehingga tubuh mereka terhempas dan meluncur ke bawah jurang yang terjal itu.
Jurang tersebut memiliki kedalaman sekitar 300 kaki dari dataran hutan yang masih masuk ke dalam wilayah kerajaan Kuta Waluya, di timur hutan tersebut sudah masuk ke dalam wilayah kerajaan Sanggabuana."Maafkan hamba, Dewata. Bukan hamba tega kepada mereka, itu sudah menjadi pilihan mereka," desis Panglima Janeka segera memasukkan pedang ke dalam selongsongnya."Aku akan membawa pedang ini, sekadar untuk menjaga diri," kata Panglima Janeka segera melangkah menuju ke arah timur melewati rimbunnya hutan dengan menyebrangi aliran sungai dangkal, untuk segera tiba ke wilayah kadipaten Kuta Gandok.Tidak terasa hari pun sudah mulai gelap, PKetika gelap mulai menyelimuti malam. Jiwa dan pikiran Panglima Janeka terus terbayang-bayang dengan perbuatan kejinya di masa lalu, sekejap pun ia tidak dapat memejamkan matanya. Wajah orang-orang yang pernah ia perlakukan keji selalu membayang di pelupuk matanya, sehingga bayangan itu kemudian menjadi beban yang semakin lama semakin berat tumbuh di dalam hatinya. "Raden, apakah dirimu tidak merasa ngantuk?" tanya Ki Jalamangkara datang dan langsung duduk di samping Panglima Janeka.Panglima Janeka sedikit kaget dan segera berpaling ke arah Ki Jalamangkara yang sudah berada di sebelahnya."Belum, Ki. Aku terus terbayang-bayang akan kekejian yang pernah aku perbuat selama aku menjadi seorang punggawa kerajaan," jawab Panglima Janeka lirih."Raden sudah terlampau berlebihan dalam memikirkan hal itu. Sebaiknya, Raden lupakan saja. Ingat! Setiap manusia pasti pernah mengalami hal buruk dalam kehidupannya masing-masing!" kata Ki Jalamangkara merasa simpati den
Keesokan harinya, di masa tengah hari, Ki Jalamangkara dan Panglima Janeka sudah tiba di istana untuk segera menghadap sang raja. Mereka tiba di istana diantar oleh Dukuwar dengan menggunakan kereta kuda miliknya.Keduanya memang mempunyai niat dan tujuan yang sama. Baik itu Panglima Janeka maupun Ki Jalamangkara, mereka sangat menginginkan untuk mengabdi di istana kerajaan Sanggabuana.Akan tetapi, mereka tidak diperbolehkan masuk ke istana oleh para prajurit penjaga gerbang istana yang bertugas. Namun, Ki Jalamangkara terus berusaha meyakinkan para prajurit itu, untuk mengizinkannya masuk ke dalam istana. "Baiklah, kalian tunggu di sini. Aku akan memberitahukan sang raja!" ucap prajurit itu, segera melangkah menuju ke arah pendapa istana yang kebetulan siang itu sang raja sedang berbincang santai bersama Maha Patih Amangkubumi Randu Aji. Mereka sedang membahas tentang penambahan pasukan untuk segera dikirim hari itu juga, ke wilayah Waluya Jaya yang kini sudah menjadi ba
Memang secara tidak langsung, Panglima Janeka menganggap peristiwa yang sudah terjadi itu bukan peristiwa yang penting baginya. Namun, ia akan bertekad untuk melenyapkan para pemberontak itu, jika memang terbukti berada di dalam hutan tersebut dan mencoba menghalangi perjalanannya menuju ke wilayah Kepatihan Waluya Jaya.Berkata salah seorang prajurit yang digelisahkan oleh ketidak pastian dari dua prajurit yang tak kunjung tiba, setelah diperintahkan oleh Darunda untuk melakukan pengintaian di sepanjang jalan yang hendak dilewati oleh rombongan pasukan kerajaan Sanggabuana yang dipimpin oleh panglima pertahanan--Raden Janeka."Aku mencemaskan mereka, hingga saat ini mereka tak kunjung datang," desis prajurit itu, berkata di hadapan Darunda."Baiklah kita tetap berjalan ke timur sesuai rute yang disarankan oleh sang panglima. Semoga saja, mereka masih dalam keadaan selamat!" jawab Darunda lirih mulai memperlambat laju kudanya, mengimbangi para prajurit yang hanya berj
Prabu Wihesa teramat murka ketika mengetahui bahwa Panglima Janeka sudah menjadi seorang panglima pertahanan baru yang bertugas di wilayah kepatihan Waluya Jaya. Kabar tersebut, sangat menjadi suatu tamparan keras baginya, hingga perasaan dan jiwa sang raja."Harusnya aku binasakan dia sedari dulu," desis Wihesa geram.Prabu Wihesa menghela nafas panjang, dan berpaling ke arah Maha Patih Daksasana. Berkata Prabu Wihesa disertai emosi yang begitu tinggi, "Tiga hari ke depan kita serang pos penjagaan yang ada di perbatasan dan ini harus dilakukan dengan senyap dan hanya 100 prajurit pilihan yang boleh melakukan tugas ini!" tegasnya dengan sorot mata tajam memandang wajah Maha Patih Daksasana."Baik, Gusti Prabu. Hamba faham dengan tugas ini, kemungkinan di malam ketiga di hari yang Gusti Prabu tentukan setidaknya kita dapat melakukan teror dan membunuh para penjaga pos keamanan tersebut," ujar sang maha patih."Ya, seperti itu. Tugas ini aku serahkan kepada Panglim
Prabu Wihesa sudah tampak prustasi, dengan kegagalan para prajuritnya yang berangkat ke Alas Gandok, menuai kekalahan telak. Bukanlah para pemberontak yang dibinasakan oleh para prajuritnya, justru sebaliknya mereka jadi bulan-bulanan para prajurit pemberontak."Hamba sarankan, Gusti Prabu harus tenang!" kata Maha Patih Daksasana sedikit menyarankan sang raja agar tidak terlalu panik dengan tewasnya ratusan prajurit kerajaan dan juga seorang panglima andalannya itu.Raut wajah Prabu Wihesa tampak memucat duduk di singgasana dengan sederet kegundahan dan rasa kesal menyelimuti jiwa dan pikirannya kala itu."Bagaimana aku bisa tenang, Maha Patih. Kau lihat sendiri pemberontak terus berkeliaran di wilayah kerajaan kita, Waluya Jaya sudah terlepas dan beberapa kadipaten mulai dibayang-bayangi oleh pemberontakkan!" Prabu Wihesa tampak geram dan sudah kehilangan gagasan, ia tampak pusing dalam memikirkan bagaimana caranya menanggulangi arus pemberontakkan yang semakin hari
Keesokan harinya, para prajurit kerajaan Sanggabuana yang bertugas di kadipaten Kuta Gandok sudah bersiap untuk melakukan serangkaian tembakkan meriam-meriam yang sudah disiagakan itu, untuk menggempur basis pertahanan para pemberontak yang berada di dalam hutan tidak jauh dari pemukiman penduduk yang ada di desa tersebut."Apakah serangan itu akan dimulai sekarang, Panglima?" tanya Rungga menatap wajah Panglima Jasinga."Lakukan sekarang!" tegas sang panglima segera memerintahkan prajuritnya itu.Demikian, setelah mendapatkan persetujuan dari sang panglima, Rungga yang merupakan prajurit senior langsung memerintahkan para prajurit lainnya untuk segera menembakkan meriam-meriam itu ke arah sasaran utama yang berada di kedalaman rimba tersebut.Rungga mengangkat pedang tinggi dan berteriak kencang, "Tembak!" seru Rungga.Para prajurit itu pun segera melaksanakan tugas dari pimpinannya itu. Meriam-meriam tersebut, merupakan persenjataan canggih yang diimpor da
Kemudian Prabu Erlangga bertanya lagi kepada sang pemilik warung itu, "Apakah Panglima Janeka melaksanakan tugas di Kepatihan ini cukup baik, atau sebaliknya, Ki?"Ki Barga menggelengkan kepalanya. Lalu, ia menjawab pertanyaan sang raja, “Aku tidak mengetahuinya dengan jelas. Aku hanya mendengar dari orang-orang yang sering datang ke warungku, termasuk para prajurit yang bertugas keliling mengamankan desa ini yang sering singgah dan makan di sini," terang Ki Barga.Kemudian, ia berkata lagi, "Mereka mengatakan kalau Panglima Janeka memang seorang pemimpin yang baik dan sangat disukai oleh para prajuritnya," tandas Ki Barga menyampaikan apa yang dengar dari para prajurit yang sering singgah di warungnya.Prabu Erlangga menjadi termangu-mangu. Berkata dalam hatinya, "Ternyata Janeka tidak pernah surut niat baiknya, dan terus berusaha menjadi orang baik."Demikianlah, perbincangan Ki Barga dengan Prabu Erlangga yang masih menyembunyikan identitasnya itu, berla
Seketika, ruang terbuka itu menjadi arena pertarungan yang cukup sengit antara sang raja dengan panglimanya sendiri. Sejatinya, Panglima Janeka belum mengetahui kalau musuh yang dihadapinya adalah sang junjungannya sendiri yang sedang melakukan penyamaran dan menguji dirinya.Sabetan pedang terus dilancarkan oleh Panglima Janeka ke arah sang raja, dengan penuh kelihaian dan ketangkasan sang raja terus menangkis alur serangan dari Panglima Janeka. Hingga pada akhirnya, sang raja menghentakkan kaki tiga kali ke tanah, sehingga terjadi guncangan dahsyat laksana sebuah gempa yang menggetarkan seluruh wilayah kepatihan Waluya Jaya.Diam-diam, Darunda rupanya mulai memahami bahwa orang yang mempunyai jurus guncang bumi hanyalah sang raja. Lantas, ia pun segera menyeru kepada Panglima Janeka, "Hentikan, Panglima!" teriak Darunda meloncat tinggi dan mendarat di tengah-tengah posisi Panglima Janeka yang sedang berhadapan dengan Prabu Erlangga."Jangan kau lanjutkan pertarungan
Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa
Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D
Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda
Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun
Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p
Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya
Beberapa saat kemudian, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah berhasil mendekat ke arah lembah tempat keberadaan para pemberontak tersebut, Panglima Wanakarma dan Panglima Jaka Kelana segera membagi tugas."Kau dengan 150 prajurit segera naik ke bukit sana, aku dan yang lainnya tetap di sini!" bisik Panglima Jaka Kelana."Baik, Panglima." Panglima Wanakarma segera turun dari kudanya. Setelah mengikatkan tali kuda, ia langsung memerintahkan para prajuritnya untuk segera naik ke atas bukit yang berada tepat di atas lembah. Dengan penuh kehati-hatian dan terkesan senyap, Panglima Wanakarma dan para prajuritnya mulai bergerak perlahan naik ke atas bukit dengan maksud menyergap para prajurit musuh yang berada di beberapa saung yang mereka dirikan si atas bukit tersebut."Kalian langsung sergap mereka! Jika mereka tidak melakukan perlawanan jangan sakiti mereka!" perintah Panglima Wanakarma.Para prajurit itu pun segera melaksanakan tugas tersebut dan langsung
Ternyata semua rencana berjalan seperti yang telah diperhitungkan. Pasukan pemberontak akhirnya mundur tepat pada waktunya, meskipun para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak melakukan gangguan terhadap mereka.Pra prajurit kerajaan Sanggabuana yang baru tiba itu, sangat merasakan kenyamanan setelah melakukan perjalanan jauh, tiba di tempat tersebut tanpa ada halangan."Bersyukurlah, kita datang mereka sudah lebih dulu ketakutan dan menjauh dari tempat ini," ujar Wanakarma sang panglima perang yang baru saja pulang dari Kepatihan Waluya Jaya dan langsung ikut bersama Senopati Lintang ke Alas Conan."Aku harap, kalian bisa menikmati istirahat kalian malam ini," timpal Panglima Jaka Kelana.Dari kelima ratus prajurit yang dipimpinnya itu, yang bertugas jaga hanya sekitar seratus prajurit saja, itu pun secara bergiliran agar mereka tidak terlalu kelelahan ketika akan menggempur pertahanan musuh di dalam hutan tersebut."Kalian harus segera istirahat!" seru Pangl
Keesokan harinya tepat menjelang sore, Panglima Jaka Kelana dan Senopati Lintang serta ribuan pasukan dengan persenjataan lengkap sudah bersiap hendak melakukan perjalanan jauh menuju ke kadipaten Conan Selatan dan Conan Utara untuk mengamankan kedua kadipaten tersebut dari teror para pemberontak yang akhir-akhir ini kerap melakukan teror terhadap para penduduk.Tampak seribu prajurit khusus sudah bersiap untuk segera berangkat, ada sekitar 300 pasukan kuda dan 20 pedati yang ditarik oleh beberapa ekor sapi yang membawa peralatan kemah dan juga bahan makanan untuk perbekalan para prajurit selama bertugas di sana."Aku harap kalian berhati-hati dan waspada terhadap para pemberontak itu!" pesan Prabu Erlangga di sela pelepasan para prajurit kerajaan yang hendak bertugas menumpas para pemberontak yang berada di hutan Conan."Baik, Gusti Prabu," ucap Senopati Lintang.Selain dirinya, istrinya pun ikut dalam tugas tersebut. Winiresti bersama ratusan prajurit wanita dan pasuka