Happy Reading*****Lelaki yang tengah mengamati interaksi putra sulungnya itu berkacak pinggang. Sejak kemarin, saat Pambudi menceritakan bahwa sulung keluarga mereka akan menikah dengan sang pujaan yaitu Jelita. Broto dan juga Candini kepikiran dengan Mahesa. Mereka berdua merasa kasihan dengan nasib percintaan putranya.Namun, saat bertemu dengan si sulung, rasanya Broto ingin sekali memukul kepala putranya itu. Di saat orang tuanya tengah khawatir dan takut Mahesa akan patah hati. Eh, dia malah asyik merayu putri bungsu keluarga sahabatnya."Ehem," dengan Broto agar si sulung mengetahui keberadaannya. Dua insan yang sedang dimabuk cinta itu menoleh secara bersamaan pada sumber suara. Mahesa bahkan tidak percaya ketika melihat wajah lelaki berambut lurus dengan model cepak khas jaman dahulu, ada di hadapannya kini. "Papa?" kaget sulung Broto, "datang ke sini kenapa nggak ngabari Mas dulu?"Gemas dengan sikap pura-pura putranya yang terkejut membuat Broto memukul pelan kepala Mahe
Happy Reading*****Broto melirik Rista sedikit cemas. Takut jika gadis pilihan putranya itu akan tersinggung."Bunda ngomong apa, sih. Rista gadis baik dan dari keluarga baik-baik juga." "Bunda takut pilihan si Mas karena desakan dari Ajeng. Tahu sendiri bagaimana dia ngebet pengen menjadi besan kita. bukan tulus karena pilihan anak-anak dan kasih sayang mereka. Bunda setuju saja siapa pun pilihan si Mas, asal dia bahagia tanpa embel- embel seperti yang tak sampaikan tadi. Bunda bukannya nggak setuju. Cuma, pastikan aja, Pa." Di seberang sana, terdengar helaan napas kasar Candini. "Rista gadis yang baik menurut Bunda, cuma sifat Ajeng saja yang kurang aku suka, Pa.""Udah ngomongnya?" tanya Broto memastikan. Sebuah jawaban iya terdengar kerena itulah lelaki paruh baya itu mulai berkata kembali. "Ajeng sudah berubah jauh lebih baik sekarang. Kalau dia masih dengan sifat yang dulu, nggak mungkin Ajeng setuju menikahkan putra kesayangannya dengan Jelita. Bunda pasti mendengar bagaimana
Happy Reading*****Baru saja mematikan mesin kendaraannya, ponsel Mahesa berdering. Ada nama Wandra di layar."Papa masuk saja duluan, ini kuncinya." Mahesa menyerahkan kunci rumah pada Broto."Telpon penting?" "Wandra, Pa.""Oh." Tanpa banyak bertanya lagi, Broto keluar dari kendaraan roda empat milik putranya.Masih berada di dalam mobil, Mahesa mengangkat panggilan dari sang sahabat. "Ya, Ndra.""Sa, aku nggak salah dengar? Kamu berniat melamar Rista, adikku? Jangan main-main dengan pernikahan, Sa. Aku tahu kamu terluka dengan pernikahanku, tapi nggak seharusnya juga kamu nyakiti hati Rista." Wandra terus saja berbicara tanpa jeda. Bahkan interupsi dari Mahesa tak didengarkan."Sudah ngomongnya?" tanya Mahesa dengan suara rendah. Tak ada emosi bahkan kecewa ketika Wandra menuduhnya seperti itu."Hmm.""Nggak ada niatku sama sekali untuk nyakiti Rista. Aku janji, adikmu bukan cuma pelarian karena rasa kecewaku pada pernikahanmu. Percayalah, Ndra. Aku juga ingin merasakan dicintai
Happy Reading*****"Mbak, tolong lanjutin adonan ini. Saya temui tamunya dulu." Ajeng melepaskan celemek yang dipakai dan berjalan menuju wastafel."Inggih Bu." Pembantu itu mengangguk patuh walau pekerjaannya sendiri belum selesai.Menatap lelaki yang seumuran dengan putranya, Ajeng menggali ingatan kembali tentang tamu yang sudah duduk di sofa ruang tamu dengan pandangan menunduk ke bawah. Wajah itu tak asing bagi sang pemilik rumah, tetapi siapa. Otaknya masih belum mampu mengingat dengan baik.Ajeng berdeham agar keberadaannya diketahui oleh sang tamu. Benar saja, pemuda itu langsung menoleh dan memberikan anggukan padanya. "Siapa, ya, Mas dan ada keperluan apa datang ke rumah?""Saya Faris, Tante. Salah satu rekan kerja Rista di kantor yang dulu," ucap lelaki dengan alis tebal dan rambut sedikit bergelombang. Namun, karena tatanan yang rapi membuat sang pemuda sedap dipandang.Perempuan sang pemilik rumah berusaha mengingat nama tersebut. Namun, otak Ajeng saat ini buntu. Nama
Happy Reading*****Jika bertemu dengan Ajeng saja, Faris masih bisa menghadapi segala kegugupannya. Namun, tidak jika berhadapan dengan Pambudi. Kejadian beberapa tahun lalu yang membuatnya merasa kecil serta bertekad untuk merubah perekonomian menjadi lebih baik salah satunya tentu karena lelaki yang baru saja mengucapkan salam tersebut.Ya, keinginan Faris untuk berubah dan keluar dari pekerjaannya dahulu bukan semata karena cintanya pada Rista. Akan tetapi kata-kata yang cukup menyakitkan dari Pambudi. Hal tersebutlah yang pada akhirnya memacu semangat sang pemuda. Berusaha membuktikan bahwa dia mampu dan layak untuk bersama putri dari keluarga tersebut."Kenapa datang ke sini?" tanya Pambudi dengan muka yang kurang bersahabat.Faris menatap dengan senyuman. "Maaf jika Bapak kurang berkenan saya datang berkunjung. Tidak ada niat apa pun, saya cuma ingin menepati janji beberapa tahun lalu. Bukankah njenengan juga tahu akan hal itu, tapi sepertinya, saya sudah terlambat."Sedikit be
Happy Reading*****Tidak sampai sepuluh menit, Mahesa sudah berada di depan pintu rumah calon tunangannya. Memencet bel dengan tidak sabar, dia terus-menerus menekan sampai seseorang membukakan pintu."Eh, kok sudah datang saja, Mas?" tanya Ajeng sedikit terkejut ketika melihat calon menantunya datang. Harusnya, lelaki itu berkunjung jam lima nanti sesuai dengan pembicaraan Candini kemarin. Celingak-celinguk, si empunya rumah melihat ke belakang si lelaki."Saya datang sendiri, Tan. Cuma mau memastikan keadaan Adik saja. Dari tadi perasaan saya nggak enak banget, Tan. Terus kepikiran sama dia. Boleh saya ketemu sama Adik?"Ajeng merotasi bola mata, sedikit berpikir mungkinkah Mahesa merasakan keterikatan batin dengan putrinya. Bukankah baru beberapa puluh menit yang lalu, Faris pulang. Apakah perasaan si bungsu sedikit goyah dengan kehadiran lelaki tersebut sehingga kontak batin Mahesa menyadari hal itu. Entahlah, semua terasa berputar di kepala Ajeng saat ini hingga dia melamun dan
Happy Reading*****Rista menegakkan kepala menatap Mahesa yang tadi sempat berteriak. Lalu, gadis itu tersenyum malu melihat semua orang menatapnya."Maaf, sudah buat Mas khawatir," cicit Rista dengan rasa malu yang masih tersisa."Sudahlah, Mas. Calon istrimu cuma tergelincir nggak sampai jatuh. Jangan terlalu khawatir gitu nanti dia semakin gugup, lho," kata Broto. Mahesa menggaruk kepalanya walau tak gatal. Setelah insiden kecil tersebut, mereka kembali membicarakan perihal lamaran dan tanggal rencana pernikahan antara Mahesa dan Rista. Terkesan tergesa-gesa memang jika pernikahan dilakukan sebulan lagi, tetapi mau bagaimana lagi. Calon mempelai lelaki sudah tidak sabar untuk segera mengganti status dari perjaka menjadi suami.Lebih dari satu jam berlalu, kedua keluarga itu telah membuat kesepakatan bahwa pernikahan dilangsungkan di Yogyakarta. Alasan yang paling mendasar adalah karena keluarga Pambudi baru saja mengadakan pernikahan untuk si sulung. Beberapa orang percaya bahwa
Happy Reading*****Wandra memegang kedua pundak sang istri. Entah apa yang dipikirkan wanita yang sudah resmi menjadi pasangan hidupnya kini. Mengapa bisa mengambil kesimpulan bahwa dia menyesal telah menikah dengannya."Sayang, Mas cuma mau kamu sembuh dan bisa jalan lagi. Nggak ada niat yang lain." Wandra diam sejenak. "Kamu ingat impianmu bukan. Menjadi penari Gandrung hebat yang akan mengubah citra negatif selama ini. Jadi, Mas nggak mau kamu berdiam diri seperti ini karena vonis dokter. Kita bisa mengupayakan yang lebih baik. Tolong jangan berpikir negatif. Bukankah saat ini, kamu sudah menjadi duta kebupaten kebanggaan kita. Selangkah lagi, mimpi itu akan terwujud."Wandra menangkupkan tangan kanan di atas tangan Jelita. Mata penuh permohonan serta ketulusan dia berikan agar sang istri mau menuruti permintaannya untuk berobat ke kota lain yang sudah mamanya tunjuk."Tapi, Mas. Apa mungkin semua akan kembali normal, sedangkan kata dokter hal itu sangat sulit sekali?""Segala kem
Happy Reading*****Sinar mentari pagi mengenai jendela kaca di ruang perawatan Jelita. Bentuk paviliun memudahkan akses sinar masuk dengan sangat baik. Perempuan itu menggerak-gerakkan bola mata dan perlahan membuka. Terlihat genggaman tangan sang suami yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya.Jelita teringat kejadian tadi malam. Semua orang terpaksa bangun karena sikap keras kepalanya. Merasa ada yang menculik sang anak padahal dia sedang dalam pengaruh obat. Setelah mendengar penjelasan perawat mengenai efek obat bius yang diberikan. Barulah Jelita percaya bahwa anaknya ada di dalam ruang perawatan dan esok baru bisa dibawa untuk menemuinya.Merasakan pergerakan tangan sang istri yang berada dalam genggamannya, Wandra terbangun. "Pagi, Sayang. Gimana keadaanmu?" tanyanya. Bangkit dari posisi duduk dan mencium kening Jelita."Alhamdulillah, Mas. Rasanya aku sudah jauh lebih baik.""Sudah kentut belum?" Malu-malu, Jelita menganggukkan kepala. Sewaktu belum ada yang terbangun, per
Happy Reading*****Bersamaan dengan teriakan Wandra, Jelita memejamkan mata membuat lelaki itu semakin panik luar biasa. "Tolong istri saya, Dok. Dia baru saja jatuh terduduk, tapi kok malah begini?" kata Wandra dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan ingin menangis melihat darah pada bagian kaki sang istri."Kami akan tangani dengan baik, Pak. Silakan tunggu di luar," perintah sang dokter setelah membaringkan Jelita dan memasukkannya di ruang gawat darurat."Tenanglah, Ndra. Kita semua juga khawatir pada kesehatan Jelita, tapi kalau kita panik. Maka, dia juga akan ikut panik dan anak dalam kandungannya akan bereaksi juga," nasihat Ajeng. Perempuan itu mengajak Wandra duduk. Ada sebuah bangku di depan ruangan tersebut.Puspa berjalan mondar-mandir. Dia tidak bisa duduk tenang seperti Ajeng dan sang menantu. Sementara itu, Mahesa baru saja menghampiri mereka bersama dengan keluarga yang lain setelah hampir sepuluh menit Jelita masuk ruangan."Bagaimana keadaan Lita, Pus?" tanya
Happy Reading*****Hari-hari yang dijalani Jelita dan Wandra cukup membahagiakan. Kandungan semakin besar dan keponakannya yang tumbuh sehat. Usaha melejit bahkan nama besar Pambudi kembali bersinar dengan segala usaha yang didukung oleh seluruh keluarga.Sanggar milik Sularso yang kini sudah dibeli oleh Jelita juga semakin berkembang. Masyarakat tak lagi memandang remeh pada profesi penari Gandrung berkat kegigihan Jelita. Tarian itu bukan lagi menjadi momok bagi siapa saja yang mempelajarinya. Walau tidak lagi berada di atas panggung secara langsung, tetapi Jelita masih berperan dalam setiap pementasan. Kembali bekerja pada dinas pariwisata dengan perut membuncit. Bukan yang wanita itu cari saat ini, tetapi bagaimana membesarkan serta mengenalkan budaya-budaya kabupaten kelahirannya kepada dunia luar.Wandra tidak membatasi pergerakan sang istri. Demikian juga kedua orang tua serta Puspa. Mereka semua mendukung apa yang dilakukan oleh Jelita dengan syarat tidak mengabaikan keluarg
Happy Reading*****Sudah hampir sebulan putra Rista dan Mahesa lahir ke dunia. Pangeran kecil itu mendapatkan segala limpahan kasih sayang serta cinta dari seluruh keluarga tak terkecuali keluarga Jelita. Kini, sang pangeran kecil bernama Ezaz Prawira Sasongko itu sudah berumur satu bulan lebih. Tiga hari lagi akan diadakan selapanan sesuai adat.Acara besar yang akan digelar di kediaman keluarga Mahesa sebagai pemilik pabrik pengalengan ikan. Seluruh karyawan diundang bahkan masyarakat sekitar dan karyawan sang mertua juga pegawai Jelita diundang juga. Acara tasyakuran yang sudah seperti ngunduh mantu saja.Wandra dan Jelita cuma bisa tersenyum, membayangkan bagaimana hebohnya ketika mereka yang memiliki anak. Perut Jelita pun mulai sedikit membuncit walau tidak terlihat dari luar karena baju yang dikenakan selalu longgar.Pagi ini, sudah terlihat beberapa orang memasang tenda. Keluarga Mahesa juga sudah datang. Mereka tak henti-hentinya memperebutkan Ezaz. Silih berganti menggendon
Happy Reading*****Setengah berlari memanggil sopir, Ajeng menghubungi menantunya dan mengatakan bahwa Rista sedang kontraksi saat ini. Setelahnya, barulah dia menghubungi sang suami. Di dalam sana, kakek tengah memapah sang ibu hamil bersama dengan Puspa.Jelita juga menghubungi Wandra, memberikan kabar bahwa adiknya akan segera melahirkan."Aduh," keluh Rista menahan rasa sakit. "Sabar, Nak," ucap Puspa sambil memegangi Rista."Sudah dekat HPL, harusnya kamu diam di rumah saja. Ini malah makan rujak pedas." Si kakek mulai tampak kesal. Pasalnya Rista tak membawa persiapan persalinan sama sekali padahal sudah sering diingatkan."Maaf, Kek," kata Rista sambil menahan rasa sakit.Mereka sudah berada di depan mobil Ajeng. Sang mama segera membawa putrinya duduk di bagian tengah, sedangkan kakek duduk di samping kemudi."Nak, kamu nyusul sama Mas Wandra saja, ya. Jangan terlalu khawatir supaya janinmu nggak ikut resah," ujar Puspa. Setelah mendapat anggukan dari Jelita, wanita itu masu
Happy Reading*****"Dok, apa artinya istri saya positif hamil?" tanya Wandra sedikit penasaran dengan hasil test urine yang dilakukan tadi."Insya Allah seperti itu, Pak. Walau garis dua pada test pack masih samar, tapi sudah bisa dikatakan positif hamil. Bisa dicek sebentar lagi."Jelita menatap suaminya tak percaya. Secepat itu mereka diberikan karunia berupa anak. "Mari, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa prosesnya di dalam perut."Senyum semringah tampak menghiasi wajah pasangan muda tersebut. Melihat ada segumpal bulatan yang menempel pada dinding rahim Jelita. Walau sangat kecil, tetapi hal tersebut sudah membuktikan bahwa dalam perut perempuan itu akan hadir seseorang yang akan membahagiakan seluruh keluarga. Wandra bahkan tak kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh. Dia begitu terharu melihat bulatan kecil yang masih belum terbentuk itu. Penantiannya selama ini terbayarkan sudah. "Tolong dijaga baik-baik, ya, Pak, Bu. Ini masih sangat rentan sekali. Ja
Happy Reading*****Mengejar sang istri yang berlari ke arah kamar mandi. Wandra mulai membantu Jelita, memijat tengkuk supaya apa yang dirasakan sang istri segera berkurang.Beberapa menit kemudian, keadaan Jelita sudah jauh lebih baik. "Apa yang kamu rasakan, Yang?" tanya Wandra."Entahlah, Mas. Mencium bau masakan tadi, tiba-tiba saja perutku bergejolak."Seperti ada yang dipikirkan, Wandra melirik sekitarnya. Lalu, terbitlah senyuman. "Jangan-jangan adonan kita mulai mengembang, Sayang.""Hust, kalau ngomong yang baik kenapa. Masak adonan?" Jelita mendelik pada sang suami. "Lagian nggak mungkin juga secepat itu, Mas. Baru juga dua minggu kemarin kita melakukannya.""Siapa tahu, Yang. Allah berbaik hati pada kita, jadi menitipkan amanah itu dengan cepat. Gimana kalau nanti kita periksa ke dokter?" kata Wandra sambil menuntun sang istri kembali ke ruang tamu bersama tamu yang lain."Kenapa, Nduk? Apa yang kamu rasakan?" bisik Puspa ketika sang putri sudah berada di sampingnya."Belu
Happy Reading*****Masih tak mengerti dengan kemarahan sang kakek, Wandra pun bertanya dan jawaban lelaki sepuh itu sungguh mengejutkan kedua pasangan muda yang sedang menikmati bulan madu."Kenapa nggak ngasih kabar kalau sudah sampai rumah. Kakek khawatir banget tahu. Pasti kamu ngerjai Jelita sampai lupa ngasih kabar. Dasar kalian berdua ini," omel sang Kakek."Maafkan kami, Kek. Lita memang jarang pegang HP semenjak sakit. Kayaknya Mas Wandra lupa begitu sampai, kami langsung istirahat soalnya." Pada akhirnya, Jelita yang memberikan alibi pada lelaki sepuh itu. Jika sang suami yang menjawab pasti si kakek tetap akan mengomel nantinya. Namun, jika Jelita tentu pria sepuh itu tidak akan berkomentar lagi dan terbukti."Baiklah kalau begitu, Nak. Kalian istirahatlah dan bersenang-senang di sana. Nggak perlu masak atau memikirkan kebutuhan yang lain. Salim dan istrinya pasti akan membantu kalian. Kakek tutup dulu telponnya, ya. Maaf kalau kakek tadi marah.""Nggak papa, Kek. Harusnya
Happy Reading*****Bersiap untuk menyalami sang suami, Jelita mengenakan pakaian dinas yang biasa digunakan oleh perempuan-perempuan lainnya. Baju itu sengaja dia beli secara online karena tidak mungkin mengajak Wandra ke mall atau toko. Jelita sendiri pastinya sangat malu jika membeli baju kurang bahan itu.Hampir satu jam di kamar mandi, si perempuan membuka pintu. Namun, belum berani keluar karena malu dengan pakaian yang dikenakan. Jelita Hany melongokkan kepala melihat keadaan kamar."Kenapa mesti intip-intip, sih, Yang. Mas, sudah lama nunggu sampai kelaparan juga."Jelita mengumpat dalam hati. Mengapa suaminya malah menatapnya dengan wajah sendu seperti itu, padahal tadi lelaki itu tengah fokus pada ponselnya. "Sayang cepet keluar," suruh Wandra, "Mas juga mau mandi. Lengket juga badannya karena keringat setelah itu kita makan. Sudah sangat lapar."Akan berkata kalimat selanjutnya, mata Wandra membulat sempurna melihat pakaian yang istrinya kenakan. Jakunnya naik turun tak ka