Kamis sore itu Ignar baru selesai bermain basket dengan timnya, mahasiswi yang akan bertanding akhir bulan ini.
Keringat membasahi tubuhnya dan Ignar menenggak botol minumnya dengan rakus.
“Kita kelar hari ini, besok latihan jam yang sama!” teriak Ignar.
Gadis itu menjadi kapten dan semua mengacungkan jempol padanya dengan teriakan semangat. Matanya menangkap gadis manis yang satu fakultas dengannya sedang duduk menonton sore itu. Ketika mata mereka bertemu, gadis dengan bando merah tersebut tampak gugup dan jengah.
Penampilan Ignar yang memakai kaos kutung dan celana pendek gombrong memang tampak tomboi sekaligus macho. Rambutnya dipotong pendek dengan skin di kanan kiri, sementara tindik di hidung dan pelipisnya membuat Ignar memang tampil menarik dengan gaya ‘bad girl’.
Namun semua tahu jika Ignar tidak sekedar tampil sebagai ‘cewek Bengal’ saja. Otaknya cerdas dan IP pertamanya cumlaude.
Ignar memaling
Siwi mendekati suaminya yang duduk di bangku taman dengan wajah terpaku. Ketika istrinya duduk di samping, Genta buru-buru menyeka air matanya.“Kenapa, Gen? Nggak seharusnya kamu pergi. Bukan ini cara kita.”“Kita membesarkan dia dengan sebaik mungkin dan masih aja hasilnya mengecewakan.”Siwi berkerut dan menatap Genta dengan wajah mulai tidak suka.“Ignar adalah siswa berprestasi dan pribadi yang berhati baik. Kalo kamu menilai dia dengan apa yang baru aja dia ungkapan sama kita tadi, kamu salah besar!”“Kebanggaan macam apa yang bisa simpan di sini, Wi?” Genta menepuk dadanya dengan keras. “Anak kita lesbian dan itu nggak mengganggumu sedikit pun?!”“Enggak!” Siwi menjawab dengan tegas.“Lesbian atau bukan, Ignar tetap anakku. Pilihan yang dia ungkapan itu nunjukin kalo dia percaya sama kita, orang tuanya! Dia butuh bimbingan dan mungkin dengan penerimaa
Renzo tampak kelelahan dan akhirnya memutuskan duduk di bawah pohon rindang yang ada di tengah kampus. Silka menemani kakaknya mencari Ignar.Sudah dua hari sepupu mereka tidak pulang. Konflik yang terjadi setelah pengakuan pada kedua orang tuanya itu membuat Ignar pergi.Ayahnya menyatakan penolakan pada jati diri Ignar. Mungkin itu yang paling menyakitkan bagi Ignar hingga ia memutuskan meninggalkan rumah.“Udah muter-muter kita seharian. Ignar kayaknya bolos kuliah dan mustahil dateng hari ini. Kayaknya mendingan kita tanya sama temen basketnya deh.” Silka mengatakan seraya memandang kakaknya.Renzo menghela napas dan mengusap peluh di pelipisnya.“Aku nanya ke beberapa orang, kamu nemuin temannya. Ok?” tanggap Renzo.Silka mengangguk dengan lesu dan keduanya berpisah.**Ignar masih termenung di kamar hotel, tempat dia melarikan diri selama ini. Beberapa sahabatnya mengirim pesan tentang kedua sepupu
Raya menyiapkan obat untuk ibunya minum malam itu dan lima menit kemudian, ibunya mulai terlihat mengantuk.Selama dua tahun belakangan ini Raya harus mengurus ibunya sendiri. Meski tidak memiliki ayah lagi, ibunya telah menyiapkan masa depan Raya dengan sebaik-baiknya.Usaha yang telah ibunya rintis selama puluhan tahun, bisa menghidupi mereka bahkan membiayai pengobatan yang tidak murah.Tidak ada hal yang bisa Raya lakukan selain menerima situasi ini dan dewasa sebelum waktunya. Dirinya baru berusia enam belas tahun saat ibunya divonis kanker. Dua tahun kemudian, dia sudah ada di bangku kuliah dan setiap hari meminta pada Tuhan supaya memberi waktu yang cukup agar dia lulus dan mengambil spesialis.Raya ingin merawat ibunya sebaik mungkin dan menjadi dokter ibunya sendiri.Dua tahun lalu, Raya juga mengungkapkan mengenai dirinya yang menyukai wanita dibandingkan pria. Ibunya syok dan mengurung diri selama berminggu-minggu.Ketika akhirnya
Ignar memejamkan mata sejenak dan akhirnya melangkah keluar dari kamar hotel. Kakinya terlihat mantap menapaki lorong gedung hotel, masuk lift kemudian turun, seterusnya menuju lobi dan memanggil taksi.Tujuannya adalah kampus. Dia tidak bisa selamanya bersembunyi dan takut menghadapi kenyataan. Semalam suntuk dia mulai berpikir jika tidak akan membiarkan dirinya terkungkung dalam terali yang orang lain ciptakan untuknya.Begitu sampai di depan kampus, ia melihat ke arah kantin yang ada di gedung pertama kawasan universitasnya. Hatinya mulai berdebar dan nuraninya berjuang untuk mendorong mentalnya kembali kokoh.Dengan helaan napas kasar, Ignar memanggul ransel dan berjalan masuk.Dia tahu jika Silka dan Renzo duduk di kantin pada jam-jam begini. Tempat itulah yang Ignar tuju pertama. Benar, begitu ia melihat dua sosok yang duduk di ujung, Ignar mendekati dan tidak lagi ragu.“Pagi,” sapa Ignar.Baik Renzo dan Silka menengok lal
Hari demi hari setiap manusia menjalani hidup yang tidak mudah. Ada satu hari kita merasakan kebahagiaan yang begitu sempurna dan seakan dunia tunduk di kaki kita, namun hari berikutnya, semua hancur.Bisa jadi kemalangan itu adalah akibat dari tindakan seseorang, namun banyak juga yang asalnya dari perbuatan kita sendiri.Gya berpikir semuanya terlihat sempurna. Setidaknya hari di mana dirinya diterima dengan baik oleh keluarga Renzo dan bahkan teman-teman kerjanya, sesama dosen.Banyak yang mengatakan bahwa mendapatkan salah satu keturunan keluarga Aminata atau Ganendra adalah hal yang membawa keberuntungan seumur hidup.Gya mendengar banyak dari rekannya bahwa ayah dan paman Renzo selain berasal dari keluarga yang kaya raya, serta tidak mungkin habis hingga tujuh turunan, dua pria yang melegenda tersebut adalah pria-pria dengan kualitas yang terbaik.Meskipun dulu terkenal dengan kenakalan dan mendapat cap sebagai pria playboy, tapi keduanya ber
Sore itu Renzo sudah selesai meminta restu kedua orang tuanya untuk mendoakan dirinya yang akan menemui keluarga Gya.Ibunya berpesan dengan kalimat yang ditekankan dengan tegas, bahwa niatnya adalah untuk meminang Gya dengan norma dan cara yang benar. Renzo harus menyingkirkan semua ego dan rasa mudah tersinggung.Dirinya wajib menjunjung tinggi sopan santun dan tetap merendahkan diri serta tidak perlu membawa hal-hal yang membuatnya terkesan sombong.Semua pesan ibu dan ayahnya Renzo serap dengan baik dan dia berangkat sendiri menemui keluarga Gya.Saat ia melangkah masuk ke halaman yang pagarnya terbuka, semua orang yang sedang duduk di teras menoleh padanya. Leo, kakak Gya, segera mengenali Renzo dan segera bangkit berdiri.Pria itu bergegas mendekat dengan wajah tegang lalu menahan Renzo untuk mendekati teras.“Kamu kenapa ke sini?” bisik Leo dengan gugup.Renzo masih menunjukkan sikap yang tenang dan penguasaan dirin
“Saya ….” Dion berhenti sejenak dan memejamkan mata sekejap.“Kami, maksudnya, memiliki kesepakatan.” Akhirnya Dion menjawab dengan pernyataan diplomatis.“Jangan muter-muter kayak lagi bicara di depan wartawan, Dion! Aku ini nenekmu! Nggak perlu nyembunyiin fakta!” tukas Padmi.Alma makin terlihat gelisah.Dion menunduk, sementara Renzo mulai melihat ada yang tidak beres.“Iya, Nek. Kesepakatan kami adalah mengenai hubungan sebagai suami istri. Alma dan saya tidak pernah saling mengekang dan kami bebas melakukan apa saja.”“Dengan kata lain?” Padmi tampak tidak puas akan jawaban yang disamarkan tersebut.“Dengan kata lain, Alma masih melanjutkan hubungan dengan kekasihnya dan saya memilih sendiri.”“Apa?! Kalian berselingkuh satu sama lain?! Lalu Piandra itu anak siapa?!” pekik ayahnya syok.Ibu Dion terperangah dengan mata berkac
Sudah hampir pukul sebelas malam Gya belum juga tidur. Dia menunggu Renzo membawa kabar berita untuknya.Tidak ada telepon atau pesan yang pria itu kirimkan untuknya. Gya mulai resah.Usahanya menelepon Leo dan Dion juga sia-sia. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengangkat. Wanita itu mulai resah dan khawatir. Apakah ayahnya kembali memburuk? Apakah Renzo terluka dan kecewa?Berbagai kalimat dengan awalan apakah memenuhi benaknya. Bagaimana jika gagal?Ini adalah masa paling menjengkelkan dan menegangkan bgai Gya. Tidak ada satu pun yang bisa ia lakukan.Materi untuk mahasiswanya besok belum selesai dia baca ulang. Ada dua kuis yang juga belum dia persiapkan. Satu jam lagi menjelang tengah malam dan Gya mulai berada di ujung putus asa.Keresahannya mengunung dan menguasai dirinya saat ini.Dentang bel di pintu mengejutkan wanita itu dan hampir melonjak dari kursinya.Tidak lagi sabar, Gya setengah berlari menuju pintu depan
You know I want youIt's not a secret I try to hideI know you want meSo don't keep sayin' our hands are tiedYou claim it's not in the cardsAnd fate is pullin' you miles awayAnd out of reach from meBut you're here in my heartSo who can stop me if I decideThat you're my destiny?What if we rewrite the stars?Say you were made to be mineNothing could keep us apartYou'd be the one I was meant to findIt's up to you, and it's up to meNo one can say what we get to beSo why don't we rewrite the stars?Maybe the world could be oursTonightYou think it's easyYou think I don't wanna run to youBut there are mountainsAnd there are doors that we can't walk throughI know
Inilah kisah dari beberapa manusia yang mampu menaklukkan tantangan hidup dan cobaannya.Indira Sartika, seorang wanita yang begitu tegar menjalani berbagai krisis dalam hidupnya selama ini, akhirnya merengkuh dan layak mendapatkan buah dari keprihatinannya.Bukan karena dia wanita hebat dan memiliki kualitas bertahan yang mumpuni, tapi karena dia mencoba mengikuti nuraninya yang tidak mungkin berbohong. Setiap jalan yang ia ambil selalu menempuh cara benar dan bukan yang mudah.Berani berkata tidak dan menolak segala nikmat dunia, demi mempertahankan martabat sebagai wanita yang juga pantas dihormati.Pria melihat dia sebagai pribadi yang begitu berharga untuk dimiliki, karena prinsipnya tidak sekedar menjadi perempuan yang pasrah.Indira tahu dengan baik, tujuan hidup dan keinginannya. Tahu bagaimana memperjuangkan haknya sebagai wanita dan juga berani mengambil tanggung jawab meskipun pahit.Siwi dan Shana adalah saksi bagaimana Indira me
Alunan musik yang memenuhi ruang keluarga membuat hati siapa pun menjadi damai. Pilihan mereka adalah menikah di Bali dan setelah persiapan matang di Salatiga, akhirnya bersama-sama terbang ke Bali dua hari lalu.Besok adalah hari yang mereka nantikan. Persiapan gedung dan catering memang menggunakan event organizer, tapi Indira dan Menik tampak tidak bisa diam.Keduanya sibuk memeriksa bunga, pilihan makanan, tamu undangan, tempat duduk dan bahkan persiapan bulan madu. Keduanya memastikan jika ini akan berjalan baik dan tidak ada kendala.Kini malam sebelum pernikahan, Gya harus tinggal di hotel dan menjauh dari Renzo sementara waktu. Alden menggoda putranya yang tampak mulai gugup dengan seloroh yang cukup vulgar. Keenan menimpali dengan tawa yang tergelak. Genta dengan tenangnya mengatakan semua akan berakhir indah.“Seindah lenguhan panjang dan senyum cemerlang di pagi hari!” imbuh Alden tanpa menahan diri.Indira muncul dan bertola
Silka dan Ignar bergilir merawat dan menjaga Gya hingga sembuh. Renzo masih harus menyelesaikan keperluan surat menyurat untuk persyaratan pernikahan.Setiap sore dia datang menggantikan kedua adik sepupunya dan tidur di rumah sakit.Gya memang tidak memiliki luka dalam, tapi sepertinya dia masih menyimpan ketakutan tersendiri. Wajahnya sesekali mengernyit dan cemas.“Kamu masih inget kejadian itu, Kak?” tanya Silka tampak prihatin.Gya memejamkan mata dan membenarkan.“Kebencian sama Bayu nggak sebanding dengan penyesalanku karena udah ngebiarin dia masuk dalam hidup ini.”“Nyalahin diri adalah target Bayu yang sebenarnya. Jangan terpengaruh oleh hal itu, Kak. Kayaknya nggak berharga banget,” bantah Silka dengan cepat-cepat.“Ya. Dia memang mau ngancurin aku pelan-pelan, lewat pikiranku.”Gya sadar sekali akan hal itu.“Kita nggak akan ngebiarin itu, kan?” Silk
Renzo merasakah tubuhnya gemetar oleh amarah yang mengelegak. Melihat kekasihnya dihajar sedemikian rupa oleh pria biadab, membuat Renzo diliputi dendam.Alden dan Indira terus menenangkan dengan kata-kata lembut.“En, tenang. Pakai ini dan bukan ini,” ucap Alden sembari menunjuk kepala kemudian lengan.Putranya duduk terkulai dan meremas rambut gusar.Ibu dan kakak Gya sudah dikabari dan mereka sedang menuju ke rumah sakit dari hotel. Pernikahan tinggal dua minggu lagi dan suasana gembira menjadi duka dalam sekejap.Saat bertemu dengan Leo dan Dion, kedua pria yang akan menjadi kakak iparnya tersebut menepuk pundaknya dengan pelan.“Kita nggak akan bertindak apa pun, kecuali lapor polisi! Semua bakal ditindak melalu proses hukum yang benar dan tahan emosi kalian. Kalo ada yang nekad, Bayu menang dan kita kalah telak!” ingat Alden dengan lantang dan tegas.Ibu Gya terlihat gemetar dan tidak sanggup berdiri. Ind
Persiapan pernikahan memang selalu merepotkan. Namun Gya tidak melihat sedikit pun kesulitan yang membuatnya kelelahan dan stress. Ibu mertuanya, Indira, selalu membantu dan mengarahkan dengan sabar.Pemilihan pernak pernik yang berbeda pendapat dengan keluarga besarnya, akhirnya berhasil ditengahi dengan elegan dan bijak oleh Indira.Ibu Gya memuji berkali-kali tentang calon ibu mertuanya yang ternyata masih muda dan sangat cantik tersebut. Terlebih lagi ayah mertuanya, Alden, yang mirip dengan pria muda dengan penampilan masih tidak kalah menarik dan modis dengan Renzo.Dengan hati-hati, Gya menjelaskan mengenai siapa Renzo dan ibunya semakin kagum dengan keluarga mereka. Gya melihat dengan jelas, bagaimana ibunya sedikit syok dan tersentuh oleh kebesaran hati Indira yang membesarkan Renzo tanpa menimbang dia bukan putra yang terlahir dari rahimnya.Keputusan buat Indira tidak memiliki anak kandung adalah karena dirinya merasa lebih dari cukup mendapatk
Alden berdiri di depan bingkai foto di ruang tengah rumah Salatiga. Matanya menatap gambar dirinya bersama Indira dan Renzo dalam baju adat Jawa.Di sebelah bingkai foto besar tersebut, terdapat foto Indira bersama Jantayu dan Renzo dengan baju pernikahan modern. Hatinya berdesir sakit.Bukan karena cemburu, melainkan merasa prihatin akan nasib Jantayu yang malang.Pria baik itu tidak sempat menjalani kehidupan bahagia yang lama dengan wanita luar biasa, Indira. Alden bahkan sempat mengalah demi memberi kesempatan pada Jantayu untuk menjadi pria yang bisa meneruskan harapannya.“Kayaknya baru kemarin dia ada di sini,” gumam Indira tiba-tiba ada di sebelahnya.Alden mengingat dengan jelas saat datang ke rumah ini beberapa belas tahun yang lalu setelah Jan meninggal. Foto itu menjadi satu-satunya kehangatan yang terpancar dan bisa memberi sinar juga kekuatan bagi Indira untuk bertahan dalam kesedihan.Dunia istrinya mungkin dalam k
Kembali ke Jakarta dengan status baru, cukup membuat Silka risih. Antara dia dan Alka adalah hubungan kecelakaan yang tidak disengaja.Sementara kembali pada aktivitas kuliah yang super sibuk mendekati akhir semester, Silka memilih tidak lagi memusingkan tentang Alka.Pria itu cukup memberinya ruang dan gerak yang tidak mengikat. Mungkin inilah enaknya pacaran dengan orang dewasa. Banyak pengertian yang dia dapatkan dari Alka.“Sil! Kamu beneran pacaran sama dosen baru anak fakultas kedokteran?” tanya teman kuliahnya dengan wajah penasaran.Silka mengangguk ragu.“Gila! Keren banget sih! Pak Alka itu ganteng dan baik banget!”Silka terus mendengarkan puluhan pujian untuk kekasihnya yang hingga detik ini belum pernah dia cium atau pegangan tangan.Setelah mendekati jam masuk kelas, Silka mengakhiri obrolan satu arah itu dan melenggang masuk. Selama kuliah berjalan, dia tidak habis-habisnya memikirkan tentang Alk
Mungkin bertemu jodoh itu terjadi tanpa bisa terduga.Bagi Silka yang masih berusia awal dua puluhan, ini bukan menjadi pertimbangan seriusnya. Terlebih lagi Ignar juga masih bimbang akan jati dirinya, semua keluarga tidak akan berpusat pada hal pernikahan dalam waktu dekat.Mengunjungi orang tua dan kerabatnya di Salatiga memang menyenangkan. Dia kadang malas meninggalkan kota kecil tempat ia tumbuh dan besar. Teman masa kecilnya ada di sini. Tapi Silka untuk saat ini tidak memiliki pilihan.Semua keluarga berkumpul di rumahnya. Ayahnya, Keenan, tampak masih tampan meskipun menjelang usia setengah baya. Mati-matian ayahnya menolak dengan mengatakan masih lima tahun lagi, tapi Silka suka mengangguk dengan gencar.Malam itu Renzo datang sendiri dan Silka senang karena memiliki waktu untuk berbagi lebih banyak. Perhatian kakak sepupunya memang tertuju pada dua hal akhir-akhir ini.Untuk Ignar dan Gya, kekasihnya.Silka merindukan masa-masa di