Mereka heran entah mengapa Ki Kali membawa dua orang bocah ke sana, tidak mungkin bocah-bocah itu adalah tabib karena biasanya seorang tabib sudah memiliki usia lanjut.
“Salam Ki,” ke 4 pendekar langsung membungkuk hormat.
“Kau tidak perlu sungkan, Jandra. Kalian juga,” ucap Ki Kali kepada mereka.
“Ma-maaf Ki, Si-siapa kedua anak ini?” tanya pendekar bernama Jandra.
Dia adalah abdi setia yang sudah menemani Ki Kali selama pulahan tahun sehingga berani berbincang dan menanyakan siapa Lintang.
“Hahaha, dia adalah tabib muda yang akan memeriksa, putraku,” ungkap Ki Kali membuat ke 4 pendekar disana langsung melebarkan mata terkejut.
“Ta-ta-tabib? A-apa anda tidak salah, Ki?” tanya Jandra ragu.
Dia mengira Ki Kali sudah stres karena terlalu memikirkan kondisi putranya.
“Hahaha, tentu saja tidak. Kalian akan tahu jika sudah melihat hasilnya. Cepat buka pintu,” jawab Ki Kali seraya memberi perintah.
Tidak berani membangkang perintah tuannya, Jandra pun lantas segera membuka pintu.
Dia menatap Lintang dan Balada penuh kecurigaan, tapi tidak berani menyapa mereka karena takut Ki Kali akan marah.
“Ayo tuan muda, kita masuk,” ajak Ki Kali.
Mendengar itu, Lintang dan Balada pun mulai melangkah mengikuti Ki Kali masuk ke dalam kamar.
Ternyata benar, di sana terdapat sesosok pria muda yang terbaring lemas di atas dipan besar.
Kondisi tubuhnya sangat memprihatinkan dengan wajah pucat kurus kerontang.
Jandra dan ketiga rekannya juga ikut masuk karena penasaran terhadap sosok Lintang dan Balada.
Mereka berdiri di belakang Ki Kali memastikan bahwa tidak akan terjadi hal buruk kepada keluarga tuannya.
Andai Lintang dan Balada melakukan kesalahan, maka Jandra berniat langsung menghabisinya.
“Ternyata benar, ini adalah penyakit Kusta, Ki,” ungkap Lintang membuat Balada dan ke 4 pendekar penjaga terheran karena Lintang belum sedikit pun menyentuh putra Ki Kali.
“Ku-ku—kusta?” tanya Jandra tidak mengerti.
Sementara Balada hanya menatap aneh kepada Lintang seakan menganggap adiknya sedang mengada-ngada.
Hal itu sangat wajar karena siapa pun belum pernah mendengar ada penyakit bernama Kusta sebelumnya.
“Benar, Kusta. Penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri jahat,” ungkap Lintang.
“Ka-kau jangan coba-coba menipu kami bocah. Bagaimana kau tahu penyakit itu sedangkan dirimu belum sekali pun mendekati tubuh tuan muda?” bentak Jandra.
Ki Kali hanya menyeringai mendengar itu. Dia sengaja tidak mencegah anak buahnya agar mereka tahu sendiri seberapa jauh kehebatan Lintang.
“Hihihi, baiklah!,” Lintang terkekeh kepada ke 4 penjaga membuat jantung Balada berdetak semakin kencang khawatir adiknya akan membuat masalah.
“Untuk penyakit dalam memang sudah sewajarnya tidak bisa ditentukan jika tidak melalui pemeriksaan. Tapi tidak dengan penyakit kulit, karena penyakit kulit memiliki dampak perubahan pada tubuh bagian luar, jadi bisa dilihat jelas dengan mata,” tutur Lintang menjelaskan membuat Jandra dan ketiga temannya langsung melebarkan mata.
Sementara Balada langsung terbatuk tidak percaya, dia benar-benar heran mengapa adiknya bisa memiliki pengetahuan sedalam itu tentang penyakit.
Padahal yang dia ketahui, Kusha sebelumnya merupakan anak tertutup yang pemalu. Bahkan dia tidak pernah bermain dengan orang lain selain Balada.
Tapi saat ini Kusha benar-benar menjelma menjadi sosok yang lain seperti bukan dirinya.
Bahkan nada dan cara bicaranya juga terdengar lebih dewasa seakan dia sudah berusia lebih dari puluhan tahun.
Hal itu tentu membuat Balada menjadi bertanya-tanya akan apa sesungguhnya yang terjadi dengan adiknya.
“A-a—apa kau bisa menyembuhkan penyakit itu, Bocah?” tanya Jandra terbata.
“Hihihi, aku akan berusaha,” ujar Lintang sembari terkekeh.
“Bagaimana Ki, apa akan dilanjutkan?” tanya Lintang kepada Ki kali.
“Tentu tuan muda, aku mohon,” jawab Ki Kali penuh hormat membuat Jandra dan ke 3 pendekar lain langsung merasa malu terhadap Lintang.
“Baiklah!” angguk Lintang.
Selanjutnya dia meminta beberapa tanaman obat yang akan digunakan untuk membuat ramuan. Selain itu, Lintang juga meminta bisa ular sebagai bahan dasarnya.
Ki Kali tidak berani bertanya, dia segera mengutus salah satu pendekar untuk menyiapkan apa yang dipinta Lintang.
Sementara Balada, masih memandangi adiknya penuh tanya. Dia sungguh terkejut dengan sosok Kusha sekarang.
Tidak lama, pendekar yang diutus tadi kembali datang dengan membawa semua bahan yang dibutuhkan oleh Lintang. Termasuk ular hidup berbisa tinggi yang sangat berbahaya.
Balada mundur beberapa langkah karena takut dengan ular tersebut, sedangkan Jandra mendekati Lintang penasaran mengapa dia menggunakan bisa Ular.
“A-apa ini tidak akan berbahaya terhadap jiwa majikanku, tuan muda?” tanya Jandra sopan.
Kali ini dia memanggil Lintang dengan tuan muda sebagai mana Ki Kali memanggilnya.
“Bakteri di dalam tubuh Raden Mangkukarsa sangat kuat, aku membutuhkan racun untuk membunuhnya, percayalah,” jawab Lintang.
“Ra-raden?” gumam Balada semakin tidak mengerti.
Sedari tadi Balada memang belum bertanya siapa nama putra Ki Kali, tapi ketika mendengar Lintang menyebut Raden, Balada langsung merasa ada yang aneh dengan semua ini.
Raden adalah julukan untuk putra seorang pembesar kerajaan, atau putra mahkota. Gelar kebangsawanan yang tidak mungkin bisa disematkan kepada rakyat biasa.
“Si-si—siapa kalian sebenarnya Ki?” tanya Balada memastikan.
Ki Kali hanya tersenyum mendengar itu, selanjutnya dia mengatakan bahwa tidak bisa menjelaskannya sekarang.
“Jangan bilang kalian adalah ...?” Badala mengerutkan kening.“Kakak juga nanti akan tahu setelah lelaki ini sembuh, Kak,” ujar Lintang ikut tersenyum membuat kecurigaan Balada semakin besar.Setelah mengatakan itu, Lintang langsung memulai proses menciptakan ramuan.Karena sekarang dirinya tidak memiliki tenaga dalam, maka proses pembentukan ramuan harus Lintang lakukan secara manual.Lintang menggunakan bejana kayu dan alat tumbuk biasa, dia memasukan semua tanaman obat ke dalam bejana itu.Kemudian meminta salah satu pendekar mengambil bisa ular dari taringnya yang langsung di teteskan ke dalam bejana.“Paman Jandra, tolong haluskan semua bahan ini sampai menjadi serbuk,” pinta Lintang kepada pengawal Raden Mangkukarsa.“Ba-baik tuan,” angguk Jandra patuh.Dia kini tidak berani menatap mata Lintang entah mengapa. Jandra pun langsung menumbuk semua bahan dalam bejana sampai menjadi halus. Tidak sulit bagi dia melakukannya karena memiliki tenaga yang kuat.“Sudah selesai tuan,” ungk
Tapi sebilah pisau kecil berhasil menggores lehernya, sehingga Raden Mangkukarsa harus menderita penyakit Kusta.Pisau kecil itulah yang membawa penyakit tersebut di mana pendekar yang menyerangnya menggunakan racun bakteri kuat untuk melemahkan lawan.Balada yang mendengar cerita itu sungguh benar-benar terkejut. Sedikit pun dia tidak mengira akan bisa bertemu dengan seorang calon raja.Meski bukan penguasa di kerajaan Suralaksa, tapi Raden Mangkukarsa tetap saja merupakan orang besar.Balada segera berlutut memberi hormat, sementara Lintang hanya berdiri saja karena sedari dulu, dia tidak pernah berlutut kepada orang lain selain ayah, ibu, dan gurunya sendiri.Balada sempat menegur Lintang agar ikut berlutut, tapi Raden Mangkukarsa segera mencegahnya. Bahkan dia meminta Balada segera berdiri karena merasa berhutang nyawa kepada Lintang.“Apa benar kau tidak mau menjadi tabibku, tuan kecil?” tanya Raden Mangkukarsa kembali memastikan.Dia merasa sangat disayangkan jika kemampuan Lint
Malam berakhir berganti pagi yang cerah, Lintang dan Balada sudah bangun sedari tadi dengan penuh semangat.Mereka bangun pagi-pagi sekali bukan tanpa alasan, tapi karena pagi itu keduanya akan menghadap Weda dan Ratna Kianti untuk meminta ijin prihal keinginan Lintang berguru.“Tuan muda, anda berdua sudah ditunggu oleh tuan besar di ruang makan,” ucap salah satu pelayan dengan nada sangat sopan.“Baik Mbo, kami segera ke sana,” seru Balada.Setelah mendengar itu, pelayan tadi kembali undur diri dan berlalu meninggalkan Balada di kamar milik Lintang.“Bagaimana, adik kecil?” tanya Balada kembali memastikan.“Aku sungguh ingin berguru kanuragan, kak,” jawab Lintang mantap membuat Balada tersenyum lebar.“Hahaha, kalau begitu, ayo kita temui mereka,” Balada tertawa.“Hmmm,” angguk Lintang.Setelah itu, keduanya lantas berlarian menuju ruang makan. Dan benar saja, ayah dan ibu mereka ternyata sudah di sana menunggu keduanya untuk menyantap sarapan pagi bersama-sama.“Salam ayah, ibu,” B
Seharusnya hari ini Balada telah berangkat ke padepokan. Tapi karena Kusha juga akan ikut berguru, maka hari keberangkatan Balada harus diundur.Hal itu karena ayah dan ibu mereka masih ingin menghabiskan waktu bersama sebelum perpisahan panjang.Balada dan Lintang dibawa kedua orang tuanya pergi bertamasya ke tepi danau, di sana mereka bermain bersama, makan, bercanda, tertawa, serta berbagi cerita tentang keadaan dunia.Lintang mendapat banyak pengetahuan baru dari cerita perjalanan ayahnya saat berdagang. Dia menjadi semakin mengerti akan adat dan kebudayaan penduduk kerajaan Suralaksa.Selain Weda, ibunya juga banyak bercerita tentang indahnya sastra. Ratna Kianti mengajarkan Lintang dan Balada akan makna dari sebuah syair, aksara, dan tanda-tanda kebesaran alam.Lintang dan Balada baru tahu bahwa ibunya ternyata merupakan seorang Cendikiawan.Dia menguasai banyak keahlian bahasa serta berbagai seni dari peninggalan nenek moyang. Ratna Kianti juga begitu lihai dalam bertutur seaka
Sore hari, dua anak lelaki berjalan beriringan menuju sungai besar di pinggir desa.Letak sungai tersebut tidak terlalu jauh dari ke tempat kediaman keluarga Warta. Sehingga Lintang dan Balada dapat tiba dalam waktu singkat.Sebagai seorang pendekar, Balada tidak pernah melepaskan pedang dari pinggangnya. Sementara Lintang tidak membawa senjata apa-apa karena dia belum menjadi pendekar.Tujuan Balada mengajak Lintang ke sungai desa adalah untuk berenang, dia ingin mengajarkan Lintang bagaimana cara berenang di atas air.Balada tidak tahu bahwa sejatinya Lintang adalah perenang ulung. Bahkan bocah itu dahulu pernah bertapa di dalam sungai selama beberapa hari saat berlatih dengan Ki Cokro.Meski kanuragannya hilang, tapi semua pengetahun Lintang tetap ada sehingga dia hanya perlu mengasahnya kembali jika ingin menguasainya.Termasuk berenang dan menyelam, Lintang tidak perlu belajar karena keahlian itu sudah tertanam lama di dalam ingatannya.Biyuuuur!Balada melompat ke dalam air, dia
Brak! Anak muda tadi jatuh tersungkur menghantam permukaan tanah, tapi dia dengan cepat kembali berdiri dengan mata berkilat penuh amarah.“Bangsat! Siapa ka ...?” anak muda itu berteriak keras memaki yang menyerangnya.Namun ketika melihat Balada, dia mulai ragu hingga tidak mampu berkata-kata. Sementara semua temannya serentak melebarkan mata terkejut bukan buatan.Semua orang tahu bahwa Balada adalah pemuda yang jenius dalam bidang bela diri. Sosoknya sangat disegani oleh semua anak di desa Sunjaya. Termasuk oleh kelompok pemuda tadi.Mereka tidak tahu Balada telah pulang karena selama beberapa minggu ini, para pemuda itu bersembunyi di perguruannya takut perbuatan mereka terhadap Lintang tempo hari ketahui oleh saudagar Weda.Tapi ketika tidak ada kabar berita tentang Lintang, mereka pun kembali turun gunung untuk memastikan bahwa aksinya tidak pernah diketahui orang lain.Dan ternyata benar, mereka kembali memenukan Lintang di tepi sungai. Namun ketika akan kembali mencelakain
Setelah menarik napas panjang, Burok Lawe dan semua temannya kembali berlesatan menyerang.Tapi kali ini mereka maju bersama Santana membuat kekuatan kelompok itu menjadi semakin besar.Ahasil, Balada pun terpojok dalam waktu singkat. Bahkan ditubuhnya kini terdapat banyak sayatan luka.Darah mengucur dari tangan, kaki, dan punggung pemuda itu sehingga kekuatan Balada berangsur melemah, membuat dia kesulitan melihat arah gerakan lawan.Hingga pada akhirnya, Balada terkapar tidak berdaya. Dia terlempar jauh setelah menerima tendangan keras dari Santana. “Hahahaha, sudah kukatakan. Kau tidak akan pernah mengalahkanku, Balada,” Santana tertawa senang.Begitu pula dengan Burok Lawe dan para pendekar lain.Awalnya Burok Lawe dan para pendekar tersebut segan terhadap Balada. Bahkan mereka sempat ketakutan dengan jurus pedang yang dikeluarkan lawan.Namun setelah melihat Balada kalah, rasa segan dan takut para pendekar itu sirna berganti kesombongan ingin menghabisi Balada dan adiknya.“Bag
Dan secara ajaib, rasa sakit dari semua luka Balada seketika sirna, membuat pemuda itu kembali dibuat terkejut olehnya.“Kakak tidak perlu bertanya dulu ya. Sekarang kakak istirahatlah di sini. Mereka biar Kusha yang hadapi,” tutur Lintang dengan nada tenang.“Ta-ta—tapi adik kecil,” Balada berniat mencegah Lintang karena khawatir.Tapi bocah itu tidak memperdulikannya di mana Lintang langsung melangkah maju mendekati bibir sungai menyambut kedatangan Santana yang sangat marah.“Ka-kau?” Santana mengigit bibir dengan mata berkilat geram terhadap Lintang.Dia juga sebetulnya terkejut mendapati bocah kecil itu bisa menahan serangannya.Tapi amarah di hati Santana lebih besar dari keterkejutannya. Sehingga dia bertekad akan menghabisi Lintang terlebih daluhu sebelum Balada.“Hahaha, Kenapa? apa kau kaget, Pemuda sialan!” nada bicara Lintang tiba-tiba berubah layaknya orang dewasa membuat bulu kuduk Santana seketika berdiri mendengarnya.Namun amarah di hati Santana tetap tidak menggoyahk
Namun Lintang lupa belum membayar makanan sehingga terpaksa harus kembali lagi.Dan ketika semua itu selesai, Lintang segera melesat lagi mengejar aura yang tadi sempat terasa. Tapi naas, Lintang kehilangan jejaknya, membuat dia mengumpat panjang pendek memaki rombongan Raden Dahlan, menyalahkan mereka karena telah membuang waktunya.“Sial!” umpatnya.“Garuda merajai langit!” seru Lintang melesat jauh ke cakrawala.“Ke mana dia? Aku sangat yakin dia tadi berada di kota ini,” Lintang mengedarkan pandangan berusaha kembali mencari.Waktu saat itu memang sudah mulai gelap membuat pandangan Lintang menjadi semakin terbatas.Tapi beberapa saat kemudian, telinganya mendengar suara dentingan senjata. “Pertarungan?” Lintang mengerutkan kening.Dia segera berbalik menyipitkan mata memandang ke arah batas kota.“Benar! Ini suara pertarungan, suaranya berasal dari hutan pinggiran kota,” gumam Lintang berbicara sendiri.“Hahaha, aku yakin itu pasti dia,” Lintang tertawa sebelum kemudian melesat
Lintang bersama teman-temannya tidak peduli akan kedatangan kelompok putra sang Adipati.Mereka tetap menyantap hidangan dengan sangat lahap sembari sesekali tertawa menertawakan Lintang.Padahal para pelayan dan pemilik rumah makan sudah sedari tadi gemetaran. Wajah mereka pucat ketakutan tapi tidak mampu melakukan apa-apa.“Hey, Jumu. Cepat bawakan kami makanan enak atau rumah makan ini akan kuratakan dengan tanah!” seru seorang pria muda berpakaian mewah.Dia memiliki tubuh tinggi tegap dengan wajah cukup tampan berusia sekitar 28 tahun.Pada bahunya terdapat sebuah kelat gelang dari emas menandakan bahwa dirinya seorang bangsawan.Namun perangai pemuda itu sungguh buruk, dia memperlakukan orang lain layaknya budak belian yang dapat dirinya perintah sesuka hati.“Ba-baik den,” Ki Jumu sang pemilik rumah makan terbata. Dia segera meminta 4 pelayannya untuk membawakan apa yang diminta putra sang adipati agar tidak menimbulkan masalah.“Duduk, di mana kita ketua?” tanya salah satu be
Ratusan nyawa pendekar berpakaian hitam melayang di tangan kelompok Balada. Hal itu tentu mengejutkan pemimpin mereka. Dia tidak mengira misi perburuannya akan berakhir dengan pembantaian.Begitu pula dengan 30 pendekar kuat yang dibawa sang pemimpin. Mereka sangat geram terhadap pemuda bertubuh biru di pihak musuh.“Ini pasti perbuatan pemuda itu, sial! Tubuhku sangat gatal sekali,” umpat salah satu dari ke 30 pendekar kuat.Tangannya terus menggaruk kesana-kemari membuat hampir seluruh tubuh pendekar itu menjadi lecet memerah.Bahkan sebagian wajah pendekar lain sampai ada yang telah mengucurkan darah akibat cakaran tangannya sendiri.Beruntung ke 30 pendekar itu memiliki tenaga dalam yang mempuni membuat mereka bisa sedikit menahan rasa gatal menggunakan energi.Kesempatan tersebut mereka manfaatkan untuk menghindar menjauhi tempat pembantaian agar dapat memulihkan diri.Tapi rasa gatal dari racun ulat bulu milik Lintang tetap saja menyiksa.Meski sudah ditahan menggunakan banyak
Malam semakin larut mengurung alam dengan kegelapan.Hewan-hewan siang terlelap tidur dipersembunyiannya masing-masing, sementara para nokturnal sedang berpesta dengan mangsa-mangsa mereka.Lintang, Balada, Balangbang, Wirusa, Jaka, Bagas, Ki Larang, Nindhi dan tiga pendekar gadis lain masih bersiaga menunggu buruan mereka datang.Sementara putri Widuri terlelap di dalam kereta yang Balada sembunyikan dibalik semak-semak.Sedangkan para kuda sengaja ditotok oleh Lintang agar tidak menimbulkan suara.Persiapan mereka sudah sangat matang, jebakan, siasat, formasi bertarung, bahkan sampai cara pelarian pun telah Lintang perhitungkan.Sehingga jika terjadi sesuatu yang tidak terduga, sebagian dari mereka akan langsung dapat melarikan diri bersama kereta.Lintang sangat yakin bahwa pihak musuh pasti masih memiliki para pendekar kuat. Membuat dia tidak bisa memastikan apa akan mampu menghabisi mereka atau tidak.Lintang belum tahu entah apa motif utama para pembunuh itu. Tapi yang jelas mer
Hampir 2 jam para pendekar perpakaian hitam menunggu Lintang di atas daratan.Mereka belum berani beranjak karena tahu bahwa Lintang dan putri Widuri masih ada di sana.Namun menunggu membuat para pendekar itu bosan sehingga pada akhirnya sang pemimpin memutuskan untuk memeriksanya ke atas langit.“Kalian siaga di sini, nanti jika pendekar itu turun, baru serang secara bersamaan,” sang pemimpin memberi perintah.“Kami mengerti,” angguk semua pendekar.Tanpa berbicara lagi, sang pemimpin segera naik ke atas langit. Dia melesat sangat cepat menuju gumpalan awan tempat terakhir Lintang bersembunyi.Namun alangkah terkejutnya pria itu ketika mendapati Lintang tidak ada di sana. Dia mengumpat panjang pendek memaki dirinya sendiri karena tidak melakukan ini sedari tadi.“Bangsat! Ke mana dia?” sang pemimpin mengepalkan tangan.Dia heran karena tidak pernah melihat pergerakan dari Lintang sedari awal. Padahal dari sejak tadi, sang pemimpin terus memantau ke atas langit.Karena mengira diriny
Aaaaaaa!Putri Widuri berteriak panik, meronta berusaha melepaskan diri, tapi cengkraman bayangan hitam yang membawanya begitu sangat kuat. Membuat gadis itu menangis histeris di ketinggian.Sementara para pendekar di bawah terkejut bukan buatan, terlebih 2 pendekar yang sedang berada di tengah sungai.“A-a—apa yang terjadi? Di-di mana gadis itu?” salah satu pendekar di tengah sungai terbata.“A-a—aku juga tidak tahu, bu-bukankan tadi dia tepat di depan kita?” ujar pendekar lain ikut terbata.“Bangsat! Ada yang ingin ikut campur pada urusan kita,” maki sang pemimpin mengepalkan tangan. Dia menengadah jauh ke atas langit memastikan siapa yang berani lancang mencampuri urusannya.Bagi orang lain mungkin akan sulit melihat pergerakan sosok bayangan hitam. Tapi bagi sang pemimpin, dia bisa melihat dengan jelas bagaimana rupa yang membawa putri Widuri.Sang pemimpin sangat yakin bahwa pendekar tersebut pasti merupakan pendekar tingkat ruh atau pendekar tingkat awan tahap awal.Tidak banya
Mentari pagi begitu tenang di cakrawala. Sementara di atas daratan, keadaan sedikit agak kacau akibat adanya Lintang.Bagaimana tidak, selepas melanjutkan perjalanan. Lintang kembali berbuat ulah dengan mendekati Kitri, Yamuna, dan Gendis.Bocah biru itu menghasut ketiganya agar tidak menyerah dalam merayu Balada, dia mengatakan bahwa Balada sejatinya adalah pemuda kesepian yang sangat membutuhkan teman.Namun karena terlalu kaku, Balada kerap menyembunyikan keinginannya tersebut dengan cara bersikap dingin.“Kakakku adalah orang yang lembut dan penyayang,” tutur Lintang membuat ketiga gadis yang bersamanya berbinar.“Benarkah? Benarkah?” tanya Gendis bersemangat.“Hmmm,” angguk Lintang sembari menyembunyikan senyum jahilnya.Setelah mendengar itu, Kitri, Yamuna dan Gendis pun sangat bahagia seakan menemukan harapan baru.Sehingga tanpa bertanya lagi, kegitanya langsung berlesatan menghampiri Balada membuat pemuda itu seketika menjadi kikuk.Waktu itu Balada sedang menjadi kusir keret
Selepas mendapatkan apa yang dirinya inginkan, Lintang pun seketika menghentikan serulingnya, membuat semua siluman anjing tiba-tiba menjerit kesakitan sebelum kemudian terkulai meregang nyawa.Mereka tidak sadar entah siapa yang membunuhnya, yang jelas para siluman tersebut tahu bahwa inti energi mereka telah ada yang mencurinya.Zull dan para penyamun lain hanya dapat mematung tanpa mampu berbuata apa-apa. Mereka tidak sanggup menghentikan Lintang karena terlalu ketakutan akan kesaktian seruling-nya.Bagaimana tidak, 300 siluman kuat yang seharusnya mampu membunuh prajurit satu kadipaten saja tidak berkutik oleh seruling itu. Lantas apalagi dengan mereka yang jumlahnya hanya tinggal beberapa puluh orang lagi.Lutut Zull bergetar hebat seakan tidak mampu lagi menopang berat tubuhnya, sementara para penyamun sudah berlutut sedari tadi.Zull memegang gada dengan tangan gemetaran, sedangkan wajahnya pucat dipenuhi keringat dingin.“Hari ini aku sedang tidak enak hati, jadi kalianlah pel
Uhuk! Lintang kembali memuntahkan darah, tapi kali ini darahnya berwarna hitam pertanda serangan lawan mengandung racun yang amat kuat.“Hahahaha, bocah ingusan! Kau telah membunuh ribuan anak buahku, maka tidak ada lagi kesempatan hidup buatmu,” Zull tertawa terbahak-bahak.Dia sangat geram karena mendapati banyak dari anak buahnya telah binasa. Tapi Zull juga senang di mana musuh yang menyerang markasnya akan segera mati.“Sial! Aku terlalu terbawa perasaan,” umpat Lintang memegangi dadanya.Beruntung tadi masih ada seruling Surga yang melindunginya. Andai tidak, maka tubuh Lintang pasti telah hancur menjadi serpihan daging.Lintang berlutut di atas permukaan tanah, dia ingin bangkit tapi tubuhnya terlalu lemas akibat serangan racun dan benturan energi.“Siapa kau sialan? Apa masalahmu hingga berani mengusik markasku?” Zull berteriak menanyakan identitas Lintang.Dia bisa saja membunuh Lintang waktu itu, namun Zull tidak melakukannya.Pemuda berbadan biru tersebut telah membunuh ri