Dua anak kecil berjalan beriringan dengan dikawal oleh sekitar 100 orang pendekar kuat.
Satu anak memiliki tubuh tinggi, tampan, dan terlihat gagah dengan sebilah pedang di pinggangnya.
Sementara anak kedua tidak terlalu tinggi karena usianya masih 7 tahun, memiliki wajah polos dengan kulit berwarna biru tua.
Mereka berjalan melewati pasar membuat kehadirannya menjadi pusat perhatian semua orang.
“Siapa anak-anak itu? Mengapa mereka dikawal begitu banyak pendekar?” tanya salah satu penduduk yang di dalam pasar.
“Aku juga tidak tahu, yang pasti mereka sepertinya bukan anak sembarangan,” ujar penduduk lain.
“Apa mungkin mereka anak adipati atau patih kerajaan?” penduduk tadi masih penasaran.
“Mungkin saja, tapi lihat anak yang bertubuh kecil itu, dia memiliki kulit berwarna biru. Aneh bukan?” kata penduduk di sampingnya.
“Huss! Jangan keras-keras, jika ucapanmu terdengar oleh mereka, maka habislah riwayat kita.”
“Glek! Sial, kau benar. Ayo cepat! sebaiknya kita pergi saja, tidak baik memandangi rombongan orang besar.”
“Aku kira juga begitu ayo!”
Banyak penduduk atau pedagang yang membicarakan Lintang dan Balada, bahkan beberapa pendekar pun ikut memperhatikan mereka.
Tapi tidak ada seorang pun yang berani berbicara keras karena keduanya sedang dikawal bagaikan raja.
Hal itu karena Lintang dan Balada akan berangkat menuju kediaman Ki Kali.
Ternyata selain kepala pelayan, Ki Kali juga merupakan pemilik sah Toko Lempuyang Malam.
Dia memiliki banyak musuh dari kalangan pendekar, sehingga kemana pun Ki Kali pergi, orang tua itu akan selalu dikawal secara ketat.
Ki Kali juga merupakan pendekar sakti, hanya saja dia tidak pernah menunjukannya kepada orang lain.
Hanya Lintang yang mengetahui hal itu karena saat berbincang di ruangannya, Ki Kali berterus terang serta menceritakan siapa dan dari mana dia berasal.
Tentu saja itu juga berkat desakan Lintang karena sedari awal dia sudah curiga.
Setelah tiba digerbang pasar, Lintang, Balada, Ki Kali dan rombongannya berhenti menunggu kereta kuda yang sedang dibawa oleh dua orang pelayan dari tempat penyimpanan kereta.
Berbeda dengan pasar pada umumnya, pasar katumenggungan Surapala memiliki tempat penyimpanan khusus untuk kereta dan para kuda, sehingga jalanan pasar akan selalu bersih tanpa kuda yang berlalu lalang.
Termasuk keledai milik Balada, keledai itupun di titipkan di tempat penyimpanan.
“Sebenarnya mau ke mana kita, Kusha?” tanya Balada.
“Kita akan ke ruman Ki Kali, Kak. Dia memiliki seorang putra yang tengah sakit, dan aku diminta memeriksanya,” tutur Lintang berterus terang.
“Apa? Kau jangan bercanda, adik kecil. Sejak kapan dirimu menjadi seorang tabib?” Balada mengerutkan kening terkejut dengan pengakuan Lintang.
“Hihihi, aku bukan tabib kak. Tapi sedikit mengerti tentang pengobatan,” Lintang terkekeh.
“Celaka!” Balada menepuk jidatnya sendiri.
“Jangan sampai kau membuat masalah dengan mereka, Kusha,” ucap Balada khawatir.
“Tenang saja kak, aku kan tidak berbuat salah, aku hanya ingin membantu kok. Andai pun aku tidak bisa menyembuhkannya, itu tidak masalah, yang penting kita sudah berusaha,” tutur Lintang membuat Balada terperangah.
Dia tidak percaya adik kecilnya bisa memiliki pemikiran dewasa seperti itu.
“Sial! Sebenarnya apa yang dia makan selama aku tidak ada?” gumam Balada di dalam hati.
“Ayo kak, keretanya sudah datang,” ajak Lintang melihat Ki Kali datang bersama beberapa pelayan.
Tadi Lintang dan Balada menunggu di depan gerbang pasar bersama para pendekar penjaga. Sementara Ki Kali menyusul para pelayan ke tempat penyimpanan kereta.
Dan tidak lama dari itu, dua kereta kuda datang. Mereka berhenti di depan Lintang.
“Mari tuan muda,” Ki Kali turun dari kereta untuk mempersilahkan Lintang masuk lebih dulu.
“Ayo kak,” ajak Lintang.
“Tapi keledaiku?” tanya Balada bingung.
“Keledai anda sudah aku urus, nanti akan ada pelayan yang mengantarkannya ke rumah, tuan Weda,” ungkap Ki Kali.
“Ke-ke rumah? Haisss, bagaimana jika ayah tahu kami ke tempatmu Ki?” Balada panik karena tidak ingin dimarahi sang ayah.
“Hahaha, tidak perlu khawatir tuan. Aku juga sudah menitipkan pesan surat untuk ayah dan ibu tuan. Mereka akan mengerti, percayalah,” tutur Ki Kali.
“Begitu rupanya, baiklah!” angguk Balada menarik napas lega. Sementara Lintang hanya tersenyum sembari menatap Ki Kali.
Selanjutnya rombongan mereka pun melesat meninggalkan pasar katumenggungan.
Lintang dan Balada menaiki kereta kuda bersama Ki Kali, sedangkan para pendekar penjaga berlesatan menggunakan ilmu meringankan tubuh mengawal kereta.
Menjelang sore, rombongan Ki Kali pun akhirnya tiba di tempat tujuan. Mereka berhenti di sebuah halaman luas di depan bangunan megah seperti kaputren kerajaan.
Bagi Lintang, bangunan seperti itu sudah biasa karena setiap orang kaya pasti memiliki kediaman yang mewah.
Tapi bagi Balada, dia terperangah takjub menatap kediaman Ki Kali dengan penuh kekaguman.
“Ayo kak,” Lintang menarik ujung pakaian Badala membuat anak lelaki itu kembali tersadar dari lamunannya.
“Ba-baik,” Balada mengikuti Lintang.
Ketiganya kemudian memasuki rumah dan di sambut hangat oleh para pelayan. Sementara para pendekar penjaga menunggu patuh di depan halaman.
Kediaman Ki Kali terdiri dari 3 lantai, dan kamar putranya yang sedang sakit berada di lantai 2 membuat Lintang dan Balada harus naik menyusuri tangga.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk keduanya sampai karena dipandu langsung oleh Ki Kali.
Mereka kini tengah berada di depan pintu kamar putra Ki Kali yang juga dijaga oleh 4 pendekar.
Saat melihat Ki Kali datang bersama 2 anak kecil, ke 4 penjaga itu langsung menyipitkan mata tidak mengerti dengan apa yang akan dilakukan tuannya.
Mereka heran entah mengapa Ki Kali membawa dua orang bocah ke sana, tidak mungkin bocah-bocah itu adalah tabib karena biasanya seorang tabib sudah memiliki usia lanjut.“Salam Ki,” ke 4 pendekar langsung membungkuk hormat.“Kau tidak perlu sungkan, Jandra. Kalian juga,” ucap Ki Kali kepada mereka.“Ma-maaf Ki, Si-siapa kedua anak ini?” tanya pendekar bernama Jandra.Dia adalah abdi setia yang sudah menemani Ki Kali selama pulahan tahun sehingga berani berbincang dan menanyakan siapa Lintang.“Hahaha, dia adalah tabib muda yang akan memeriksa, putraku,” ungkap Ki Kali membuat ke 4 pendekar disana langsung melebarkan mata terkejut.“Ta-ta-tabib? A-apa anda tidak salah, Ki?” tanya Jandra ragu.Dia mengira Ki Kali sudah stres karena terlalu memikirkan kondisi putranya.“Hahaha, tentu saja tidak. Kalian akan tahu jika sudah melihat hasilnya. Cepat buka pintu,” jawab Ki Kali seraya memberi perintah.Tidak berani membangkang perintah tuannya, Jandra pun lantas segera membuka pintu.Dia menat
“Jangan bilang kalian adalah ...?” Badala mengerutkan kening.“Kakak juga nanti akan tahu setelah lelaki ini sembuh, Kak,” ujar Lintang ikut tersenyum membuat kecurigaan Balada semakin besar.Setelah mengatakan itu, Lintang langsung memulai proses menciptakan ramuan.Karena sekarang dirinya tidak memiliki tenaga dalam, maka proses pembentukan ramuan harus Lintang lakukan secara manual.Lintang menggunakan bejana kayu dan alat tumbuk biasa, dia memasukan semua tanaman obat ke dalam bejana itu.Kemudian meminta salah satu pendekar mengambil bisa ular dari taringnya yang langsung di teteskan ke dalam bejana.“Paman Jandra, tolong haluskan semua bahan ini sampai menjadi serbuk,” pinta Lintang kepada pengawal Raden Mangkukarsa.“Ba-baik tuan,” angguk Jandra patuh.Dia kini tidak berani menatap mata Lintang entah mengapa. Jandra pun langsung menumbuk semua bahan dalam bejana sampai menjadi halus. Tidak sulit bagi dia melakukannya karena memiliki tenaga yang kuat.“Sudah selesai tuan,” ungk
Tapi sebilah pisau kecil berhasil menggores lehernya, sehingga Raden Mangkukarsa harus menderita penyakit Kusta.Pisau kecil itulah yang membawa penyakit tersebut di mana pendekar yang menyerangnya menggunakan racun bakteri kuat untuk melemahkan lawan.Balada yang mendengar cerita itu sungguh benar-benar terkejut. Sedikit pun dia tidak mengira akan bisa bertemu dengan seorang calon raja.Meski bukan penguasa di kerajaan Suralaksa, tapi Raden Mangkukarsa tetap saja merupakan orang besar.Balada segera berlutut memberi hormat, sementara Lintang hanya berdiri saja karena sedari dulu, dia tidak pernah berlutut kepada orang lain selain ayah, ibu, dan gurunya sendiri.Balada sempat menegur Lintang agar ikut berlutut, tapi Raden Mangkukarsa segera mencegahnya. Bahkan dia meminta Balada segera berdiri karena merasa berhutang nyawa kepada Lintang.“Apa benar kau tidak mau menjadi tabibku, tuan kecil?” tanya Raden Mangkukarsa kembali memastikan.Dia merasa sangat disayangkan jika kemampuan Lint
Malam berakhir berganti pagi yang cerah, Lintang dan Balada sudah bangun sedari tadi dengan penuh semangat.Mereka bangun pagi-pagi sekali bukan tanpa alasan, tapi karena pagi itu keduanya akan menghadap Weda dan Ratna Kianti untuk meminta ijin prihal keinginan Lintang berguru.“Tuan muda, anda berdua sudah ditunggu oleh tuan besar di ruang makan,” ucap salah satu pelayan dengan nada sangat sopan.“Baik Mbo, kami segera ke sana,” seru Balada.Setelah mendengar itu, pelayan tadi kembali undur diri dan berlalu meninggalkan Balada di kamar milik Lintang.“Bagaimana, adik kecil?” tanya Balada kembali memastikan.“Aku sungguh ingin berguru kanuragan, kak,” jawab Lintang mantap membuat Balada tersenyum lebar.“Hahaha, kalau begitu, ayo kita temui mereka,” Balada tertawa.“Hmmm,” angguk Lintang.Setelah itu, keduanya lantas berlarian menuju ruang makan. Dan benar saja, ayah dan ibu mereka ternyata sudah di sana menunggu keduanya untuk menyantap sarapan pagi bersama-sama.“Salam ayah, ibu,” B
Seharusnya hari ini Balada telah berangkat ke padepokan. Tapi karena Kusha juga akan ikut berguru, maka hari keberangkatan Balada harus diundur.Hal itu karena ayah dan ibu mereka masih ingin menghabiskan waktu bersama sebelum perpisahan panjang.Balada dan Lintang dibawa kedua orang tuanya pergi bertamasya ke tepi danau, di sana mereka bermain bersama, makan, bercanda, tertawa, serta berbagi cerita tentang keadaan dunia.Lintang mendapat banyak pengetahuan baru dari cerita perjalanan ayahnya saat berdagang. Dia menjadi semakin mengerti akan adat dan kebudayaan penduduk kerajaan Suralaksa.Selain Weda, ibunya juga banyak bercerita tentang indahnya sastra. Ratna Kianti mengajarkan Lintang dan Balada akan makna dari sebuah syair, aksara, dan tanda-tanda kebesaran alam.Lintang dan Balada baru tahu bahwa ibunya ternyata merupakan seorang Cendikiawan.Dia menguasai banyak keahlian bahasa serta berbagai seni dari peninggalan nenek moyang. Ratna Kianti juga begitu lihai dalam bertutur seaka
Sore hari, dua anak lelaki berjalan beriringan menuju sungai besar di pinggir desa.Letak sungai tersebut tidak terlalu jauh dari ke tempat kediaman keluarga Warta. Sehingga Lintang dan Balada dapat tiba dalam waktu singkat.Sebagai seorang pendekar, Balada tidak pernah melepaskan pedang dari pinggangnya. Sementara Lintang tidak membawa senjata apa-apa karena dia belum menjadi pendekar.Tujuan Balada mengajak Lintang ke sungai desa adalah untuk berenang, dia ingin mengajarkan Lintang bagaimana cara berenang di atas air.Balada tidak tahu bahwa sejatinya Lintang adalah perenang ulung. Bahkan bocah itu dahulu pernah bertapa di dalam sungai selama beberapa hari saat berlatih dengan Ki Cokro.Meski kanuragannya hilang, tapi semua pengetahun Lintang tetap ada sehingga dia hanya perlu mengasahnya kembali jika ingin menguasainya.Termasuk berenang dan menyelam, Lintang tidak perlu belajar karena keahlian itu sudah tertanam lama di dalam ingatannya.Biyuuuur!Balada melompat ke dalam air, dia
Brak! Anak muda tadi jatuh tersungkur menghantam permukaan tanah, tapi dia dengan cepat kembali berdiri dengan mata berkilat penuh amarah.“Bangsat! Siapa ka ...?” anak muda itu berteriak keras memaki yang menyerangnya.Namun ketika melihat Balada, dia mulai ragu hingga tidak mampu berkata-kata. Sementara semua temannya serentak melebarkan mata terkejut bukan buatan.Semua orang tahu bahwa Balada adalah pemuda yang jenius dalam bidang bela diri. Sosoknya sangat disegani oleh semua anak di desa Sunjaya. Termasuk oleh kelompok pemuda tadi.Mereka tidak tahu Balada telah pulang karena selama beberapa minggu ini, para pemuda itu bersembunyi di perguruannya takut perbuatan mereka terhadap Lintang tempo hari ketahui oleh saudagar Weda.Tapi ketika tidak ada kabar berita tentang Lintang, mereka pun kembali turun gunung untuk memastikan bahwa aksinya tidak pernah diketahui orang lain.Dan ternyata benar, mereka kembali memenukan Lintang di tepi sungai. Namun ketika akan kembali mencelakain
Setelah menarik napas panjang, Burok Lawe dan semua temannya kembali berlesatan menyerang.Tapi kali ini mereka maju bersama Santana membuat kekuatan kelompok itu menjadi semakin besar.Ahasil, Balada pun terpojok dalam waktu singkat. Bahkan ditubuhnya kini terdapat banyak sayatan luka.Darah mengucur dari tangan, kaki, dan punggung pemuda itu sehingga kekuatan Balada berangsur melemah, membuat dia kesulitan melihat arah gerakan lawan.Hingga pada akhirnya, Balada terkapar tidak berdaya. Dia terlempar jauh setelah menerima tendangan keras dari Santana. “Hahahaha, sudah kukatakan. Kau tidak akan pernah mengalahkanku, Balada,” Santana tertawa senang.Begitu pula dengan Burok Lawe dan para pendekar lain.Awalnya Burok Lawe dan para pendekar tersebut segan terhadap Balada. Bahkan mereka sempat ketakutan dengan jurus pedang yang dikeluarkan lawan.Namun setelah melihat Balada kalah, rasa segan dan takut para pendekar itu sirna berganti kesombongan ingin menghabisi Balada dan adiknya.“Bag
Namun Lintang lupa belum membayar makanan sehingga terpaksa harus kembali lagi.Dan ketika semua itu selesai, Lintang segera melesat lagi mengejar aura yang tadi sempat terasa. Tapi naas, Lintang kehilangan jejaknya, membuat dia mengumpat panjang pendek memaki rombongan Raden Dahlan, menyalahkan mereka karena telah membuang waktunya.“Sial!” umpatnya.“Garuda merajai langit!” seru Lintang melesat jauh ke cakrawala.“Ke mana dia? Aku sangat yakin dia tadi berada di kota ini,” Lintang mengedarkan pandangan berusaha kembali mencari.Waktu saat itu memang sudah mulai gelap membuat pandangan Lintang menjadi semakin terbatas.Tapi beberapa saat kemudian, telinganya mendengar suara dentingan senjata. “Pertarungan?” Lintang mengerutkan kening.Dia segera berbalik menyipitkan mata memandang ke arah batas kota.“Benar! Ini suara pertarungan, suaranya berasal dari hutan pinggiran kota,” gumam Lintang berbicara sendiri.“Hahaha, aku yakin itu pasti dia,” Lintang tertawa sebelum kemudian melesat
Lintang bersama teman-temannya tidak peduli akan kedatangan kelompok putra sang Adipati.Mereka tetap menyantap hidangan dengan sangat lahap sembari sesekali tertawa menertawakan Lintang.Padahal para pelayan dan pemilik rumah makan sudah sedari tadi gemetaran. Wajah mereka pucat ketakutan tapi tidak mampu melakukan apa-apa.“Hey, Jumu. Cepat bawakan kami makanan enak atau rumah makan ini akan kuratakan dengan tanah!” seru seorang pria muda berpakaian mewah.Dia memiliki tubuh tinggi tegap dengan wajah cukup tampan berusia sekitar 28 tahun.Pada bahunya terdapat sebuah kelat gelang dari emas menandakan bahwa dirinya seorang bangsawan.Namun perangai pemuda itu sungguh buruk, dia memperlakukan orang lain layaknya budak belian yang dapat dirinya perintah sesuka hati.“Ba-baik den,” Ki Jumu sang pemilik rumah makan terbata. Dia segera meminta 4 pelayannya untuk membawakan apa yang diminta putra sang adipati agar tidak menimbulkan masalah.“Duduk, di mana kita ketua?” tanya salah satu be
Ratusan nyawa pendekar berpakaian hitam melayang di tangan kelompok Balada. Hal itu tentu mengejutkan pemimpin mereka. Dia tidak mengira misi perburuannya akan berakhir dengan pembantaian.Begitu pula dengan 30 pendekar kuat yang dibawa sang pemimpin. Mereka sangat geram terhadap pemuda bertubuh biru di pihak musuh.“Ini pasti perbuatan pemuda itu, sial! Tubuhku sangat gatal sekali,” umpat salah satu dari ke 30 pendekar kuat.Tangannya terus menggaruk kesana-kemari membuat hampir seluruh tubuh pendekar itu menjadi lecet memerah.Bahkan sebagian wajah pendekar lain sampai ada yang telah mengucurkan darah akibat cakaran tangannya sendiri.Beruntung ke 30 pendekar itu memiliki tenaga dalam yang mempuni membuat mereka bisa sedikit menahan rasa gatal menggunakan energi.Kesempatan tersebut mereka manfaatkan untuk menghindar menjauhi tempat pembantaian agar dapat memulihkan diri.Tapi rasa gatal dari racun ulat bulu milik Lintang tetap saja menyiksa.Meski sudah ditahan menggunakan banyak
Malam semakin larut mengurung alam dengan kegelapan.Hewan-hewan siang terlelap tidur dipersembunyiannya masing-masing, sementara para nokturnal sedang berpesta dengan mangsa-mangsa mereka.Lintang, Balada, Balangbang, Wirusa, Jaka, Bagas, Ki Larang, Nindhi dan tiga pendekar gadis lain masih bersiaga menunggu buruan mereka datang.Sementara putri Widuri terlelap di dalam kereta yang Balada sembunyikan dibalik semak-semak.Sedangkan para kuda sengaja ditotok oleh Lintang agar tidak menimbulkan suara.Persiapan mereka sudah sangat matang, jebakan, siasat, formasi bertarung, bahkan sampai cara pelarian pun telah Lintang perhitungkan.Sehingga jika terjadi sesuatu yang tidak terduga, sebagian dari mereka akan langsung dapat melarikan diri bersama kereta.Lintang sangat yakin bahwa pihak musuh pasti masih memiliki para pendekar kuat. Membuat dia tidak bisa memastikan apa akan mampu menghabisi mereka atau tidak.Lintang belum tahu entah apa motif utama para pembunuh itu. Tapi yang jelas mer
Hampir 2 jam para pendekar perpakaian hitam menunggu Lintang di atas daratan.Mereka belum berani beranjak karena tahu bahwa Lintang dan putri Widuri masih ada di sana.Namun menunggu membuat para pendekar itu bosan sehingga pada akhirnya sang pemimpin memutuskan untuk memeriksanya ke atas langit.“Kalian siaga di sini, nanti jika pendekar itu turun, baru serang secara bersamaan,” sang pemimpin memberi perintah.“Kami mengerti,” angguk semua pendekar.Tanpa berbicara lagi, sang pemimpin segera naik ke atas langit. Dia melesat sangat cepat menuju gumpalan awan tempat terakhir Lintang bersembunyi.Namun alangkah terkejutnya pria itu ketika mendapati Lintang tidak ada di sana. Dia mengumpat panjang pendek memaki dirinya sendiri karena tidak melakukan ini sedari tadi.“Bangsat! Ke mana dia?” sang pemimpin mengepalkan tangan.Dia heran karena tidak pernah melihat pergerakan dari Lintang sedari awal. Padahal dari sejak tadi, sang pemimpin terus memantau ke atas langit.Karena mengira diriny
Aaaaaaa!Putri Widuri berteriak panik, meronta berusaha melepaskan diri, tapi cengkraman bayangan hitam yang membawanya begitu sangat kuat. Membuat gadis itu menangis histeris di ketinggian.Sementara para pendekar di bawah terkejut bukan buatan, terlebih 2 pendekar yang sedang berada di tengah sungai.“A-a—apa yang terjadi? Di-di mana gadis itu?” salah satu pendekar di tengah sungai terbata.“A-a—aku juga tidak tahu, bu-bukankan tadi dia tepat di depan kita?” ujar pendekar lain ikut terbata.“Bangsat! Ada yang ingin ikut campur pada urusan kita,” maki sang pemimpin mengepalkan tangan. Dia menengadah jauh ke atas langit memastikan siapa yang berani lancang mencampuri urusannya.Bagi orang lain mungkin akan sulit melihat pergerakan sosok bayangan hitam. Tapi bagi sang pemimpin, dia bisa melihat dengan jelas bagaimana rupa yang membawa putri Widuri.Sang pemimpin sangat yakin bahwa pendekar tersebut pasti merupakan pendekar tingkat ruh atau pendekar tingkat awan tahap awal.Tidak banya
Mentari pagi begitu tenang di cakrawala. Sementara di atas daratan, keadaan sedikit agak kacau akibat adanya Lintang.Bagaimana tidak, selepas melanjutkan perjalanan. Lintang kembali berbuat ulah dengan mendekati Kitri, Yamuna, dan Gendis.Bocah biru itu menghasut ketiganya agar tidak menyerah dalam merayu Balada, dia mengatakan bahwa Balada sejatinya adalah pemuda kesepian yang sangat membutuhkan teman.Namun karena terlalu kaku, Balada kerap menyembunyikan keinginannya tersebut dengan cara bersikap dingin.“Kakakku adalah orang yang lembut dan penyayang,” tutur Lintang membuat ketiga gadis yang bersamanya berbinar.“Benarkah? Benarkah?” tanya Gendis bersemangat.“Hmmm,” angguk Lintang sembari menyembunyikan senyum jahilnya.Setelah mendengar itu, Kitri, Yamuna dan Gendis pun sangat bahagia seakan menemukan harapan baru.Sehingga tanpa bertanya lagi, kegitanya langsung berlesatan menghampiri Balada membuat pemuda itu seketika menjadi kikuk.Waktu itu Balada sedang menjadi kusir keret
Selepas mendapatkan apa yang dirinya inginkan, Lintang pun seketika menghentikan serulingnya, membuat semua siluman anjing tiba-tiba menjerit kesakitan sebelum kemudian terkulai meregang nyawa.Mereka tidak sadar entah siapa yang membunuhnya, yang jelas para siluman tersebut tahu bahwa inti energi mereka telah ada yang mencurinya.Zull dan para penyamun lain hanya dapat mematung tanpa mampu berbuata apa-apa. Mereka tidak sanggup menghentikan Lintang karena terlalu ketakutan akan kesaktian seruling-nya.Bagaimana tidak, 300 siluman kuat yang seharusnya mampu membunuh prajurit satu kadipaten saja tidak berkutik oleh seruling itu. Lantas apalagi dengan mereka yang jumlahnya hanya tinggal beberapa puluh orang lagi.Lutut Zull bergetar hebat seakan tidak mampu lagi menopang berat tubuhnya, sementara para penyamun sudah berlutut sedari tadi.Zull memegang gada dengan tangan gemetaran, sedangkan wajahnya pucat dipenuhi keringat dingin.“Hari ini aku sedang tidak enak hati, jadi kalianlah pel
Uhuk! Lintang kembali memuntahkan darah, tapi kali ini darahnya berwarna hitam pertanda serangan lawan mengandung racun yang amat kuat.“Hahahaha, bocah ingusan! Kau telah membunuh ribuan anak buahku, maka tidak ada lagi kesempatan hidup buatmu,” Zull tertawa terbahak-bahak.Dia sangat geram karena mendapati banyak dari anak buahnya telah binasa. Tapi Zull juga senang di mana musuh yang menyerang markasnya akan segera mati.“Sial! Aku terlalu terbawa perasaan,” umpat Lintang memegangi dadanya.Beruntung tadi masih ada seruling Surga yang melindunginya. Andai tidak, maka tubuh Lintang pasti telah hancur menjadi serpihan daging.Lintang berlutut di atas permukaan tanah, dia ingin bangkit tapi tubuhnya terlalu lemas akibat serangan racun dan benturan energi.“Siapa kau sialan? Apa masalahmu hingga berani mengusik markasku?” Zull berteriak menanyakan identitas Lintang.Dia bisa saja membunuh Lintang waktu itu, namun Zull tidak melakukannya.Pemuda berbadan biru tersebut telah membunuh ri