'Ahh.! Maafkan Nadya Mas Elang. Sepertinya Nadya terpaksa harus membongkar ransel Mas Elang. Nadya harus mengembalikan 'cincin' pemberian Mila. Nadya tak rela Mas Elang menyimpan kenangan darinya', bathin Nadya. Ya, jujur saja Nadya cemburu pada Mila. Namun yang membuatnya merasa harus mengembalikan cincin Mila, adalah rasa ibanya pada Mila. Cincin itu pasti sangat bernilai bagi Mila. Dan Nadya punya suatu cara, untuk mengembalikan cincin itu tanpa menyakiti dan membuat Mila curiga padanya. "Ahh, kalian ini. Belum tentu aku yang berada dalam hati Mas Elang. Kita bertiga adalah orang-orang yang pernah mendapatkan pertolongannya. Namun belum tentu mendapatkan 'hatinya'," ucap Nadya agak jengah, karena kedua rekannya itu seperti memastikan hati Elang adalah untuknya. Namun tak munafik, hati Nadya juga merasa senang dan 'melayang', atas pengakuan Mila dan Nanako barusan. "Aku bisa merasakannya dengan sangat jelas, Nadya," ucap Nanako tersenyum tulus. Bagi Nanako kini, dia telah re
"A-apa..?!" Nadya terkejut, namun dia merasakan tubuhnya tiba-tiba menjadi dingin. Sprassh..! Dari jari tangan Nadya seketika melesat cahaya kuning kehijauan, yang langsung membentur lesatan shuriken yang dilepaskan Nanako. Craackh..!! Clapphs..! Shuriken yang dilontarkan Nanako langsung membentur selarik cahaya kuning kehijauan itu. Lalu shuriken itu terpental berubah arah, dan masuk ke dalam kolam renang. "Aahhh...!!" Seru kaget dan ngeri, dari semua wanita cantik yang berada di situ. Nampak mata mereka semuanya terbelalak. Ya, awalnya mereka semua bahkan tak bisa melihat lesatan shuriken Nanako. Mereka hanya melihat Nanako seperti melemparkan sesuatu ke arah Keina. Dan kini mereka semua baru sadar, jika yang dilemparkan Nanako adalah senjata yang berbahaya. "Hei sudahlah Nanako, Keina..! Ini benar-benar tak berguna..! Yang kalian ributkan sudah damai di sana. Biarkan Mas Elang tenang dan damai di sana. Jangan menambah beban langkahnya, karena melihat kalian ribut di sini.
"Benar Elang. Gadis itu baru saja melintas di benakmu," sahut Ki Sandaka tersenyum bijak. Ya, tingkatan 'wisik sukma' Ki Sandaka bahkan sudah tak memerlukan penerapan lagi. Ajian wisik sukma seakan sudah menjadi bagian dari nafasnya. "Ahhh..! Benarkah Ki Buyut..?!" kini wajah Elang nampak sangat cerah sekali, bukit besar yang menindih hatinya selama ini bagai lenyap hancur berkeping tanpa bekas. Plonngg..!! "Elang, menurut buyut. Sebaiknya kalian segeralah menikah. Dan jadikan malam pertamamu, sebagai perayaan akan 'lenyap'nya kutukkan Naga Asmara dari dirimu. Setelah kutukkan itu lenyap, maka kau baru akan bisa menggabungkan 'power' Naga Merah dan Biru dalam cincin naga asmara dengan aji pamungkasmu 'Cambuk Tujuh Petir'. Itulah pamungkas terdahsyat trah langit, yang takkan tertandingi oleh 'pusaka bumi maupun pusaka samudera'. Jika kamu sudah berhasil menguasainya Elang," jelas Ki Sandaka. "Baik Ki Buyut. Elang akan mematuhi pesan Ki Buyut," Elang berkata sambil menundukkan ke
Taph..! Blaaph..! Ki Palasara langsung menyambar tubuh Permadi, dan keduanya langsung lenyap dari rumah panggung itu. Blaph..! "Salam Moyang Bogananta. Aku datang membawa Permadi," Ki Palasara berkata dengan daya bathin melambari suaranya. Dia muncul di hadapan Ki Bogananta, yang kala itu tengah 'hening' di ruang dimensinya. Karena hanya dengan melambari suaranya dengan daya bathinnya, maka suaranya akan menembus alam keheningan moyangnya itu. Perlahan sepasang mata Ki Bogananta terbuka. Ki Palasara pun langsung tertunduk hormat. Ya, sejak dulu dia memang tak pernah sanggup beradu tatap dengan moyangnya itu. Karena tatap mata Ki Bogananta memang seolah menenggelamkannya, ke dalam samudera tanpa dasar. Pasca insiden di 'medan pasir', Ki Bogananta dan Ki Prahasta Yoga memang langsung kembali ke ruang dimensinya masing-masing. Mereka menyerahkan pengurusan Elang dan Permadi, di tangan Ki Sandaka dan Ki Palasara hingga pulih."Hmm. Palasara, baringkan Permadi di hadapanku. Energi
"Bangunlah Permadi," pelan saja suara Ki Bogananta, namun terdengar hingga menembus dan meresap masuk ke relung jiwa Permadi. Suara yang dilambari tenaga bathin yang luar biasa menggetarkan. Perlahan pelupuk mata Permadi bergerak, dan akhirnya terbuka lebar. "Ahhh, di mana aku..?!" seru Permadi sambil beranjak duduk, dan melihat ke sekitarnya. Saat matanya membentur sosok yang baru saja 'berbicara' dengannya di kedalaman jiwanya."Eyang sepuh Bogananta..," ucap Permadi, yang langsung menundukkan wajahnya penuh hormat. Ki Bogananta nampak tersenyum damai padanya. Dan Permadi merasa bagai 'telanjang' di hadapan sepuh itu. Habis sudah isi jiwanya 'dikuliti', oleh moyang sepuhnya itu barusan. "Permadi. Kiranya cukup sudah apa-apa yang perlu kautahu, dan Eyang beritahu padamu. Sekarang bersiaplah untuk bertemu dan berbicara dengan Elang. Dia berada tak jauh darimu saat ini. Bicara dan bekerjasamalah kalian di alam nyata nantinya. Eyang yakin, Elang akan memiliki jalan keluar dari m
"Ceritakanlah Permadi. Aku akan mendengarkan," sahut Elang tersenyum. Lalu Permadi pun mulai menceritakan kisahnya. Di mulai dari orangtuanya terbunuh, soal Ki Sentanu, soal GASStreet, dan tentang perjalanannya mencari Elang. Hingga berakhir pada 'duel' hidup mati mereka, di selat Naruto. "Begitulah perjalanan hitam diriku, Elang," Permadi mengakhiri kisah dirinya pada Elang. "Wahh, Permadi. Rupanya kau pemimpin kelompok berhelm, yang menggegerkan di Surabaya itu," Elang mengeluh dalam sesal, mendengar pengakuan jujur Permadi. Namun kejujuran Permadi itu, menjadi pertimbangan tersendiri bagi Elang. 'Bagaimana aku membantumu jika begini Permadi..?' desah bathin Elang bingung. *** Sementara itu ke esokkan harinya di Awaji Island. Pagi-pagi sekali Nadya terpaksa membongkar ransel Elang. Karena dia mendengar, jika Mila akan pulang malam ini ke Rusia. Sementara Nadya sendiri akan pulang ke Indonesia besok harinya. Praktis waktu yang tersisa hanya hari itu. Untuk mencari dan menge
"Hayuk kita berangkat sekarang saja Nadya. Kita bisa bicara sambil mandi di sana. Karena aku akan kembali ke Tokyo sore nanti Nadya," ajak Nanako, sambil memberitahukan soal kepulangannya nanti sore. Akhirnya jadilah mereka berangkat menuju Matsuho-no-sato onsen. Tak sampai satu jam, mereka akhirnya telah sampai di tujuan. Matsuho-no-sato adalah sebuah onsen yang terletak di di perbukitan utara, di atas jembatan Akashi Kaikyo sepanjang 3,5 km. Jembatan ini menyala selama beberapa jam mulai senja, dan selama lima menit setiap jam. Pola lampu pelanginya yang mempesona, bagai memantulkan air dan memenuhi langit. Cara terbaik untuk menikmati pertunjukan cahaya lampu itu, adalah dengan berendam di onsen luar ruangan. Sayangnya mereka tiba disana saat hari masih terbilang pagi. Mereka pun menitipkan alas kaki di loker, menerima dua buah handuk besar dan kecil, lalu masuk keruang ganti. Sebetulnya bukan ruang ganti, tetapi lebih tepat disebut ruang untuk melepas seluruh pakaian mereka
'Hahh..! Sudah lewat waktu ashar..!' seru bathinnya. Bergegas dia meninggalkan tempat itu, dan kembali menuju hotelnya. Malam harinya Seruni keluar dari kamarnya, dia berniat dinner di resto hotel. Saat dia tiba di restoran, nampak beberapa tamu juga telah berada di sana. Suasana restoran tak begitu ramai malam itu, sekilas dia melirik seorang gadis yang sepertinya juga tengah menatapnya. Saat tatapan mata mereka bertemu, wajah gadis itu tersenyum ramah padanya. Seruni pun membalas senyum gadis itu. Nampak gadis itu melambaikan tangan ke arahnya. Seolah mengundang Seruni, untuk ikut duduk di mejanya. Seruni pun melangkah menghampiri meja gadis itu, yang nampaknya juga pendatang sepertinya. Karena wajahnya nampak seperti serumpun dengan dirinya. "Duduk di sini saja Mbak. Mbak orang Indonesia kan..?" tanya gadis itu, yang ternyata Nadya adanya. Nadya merasa senang mendapati orang senegaranya berada di tempat itu. Hal yang nampak jelas, dari wajah dan kerudung yang dikenakan Serun
'Hahh..! Sudah lewat waktu ashar..!' seru bathinnya. Bergegas dia meninggalkan tempat itu, dan kembali menuju hotelnya. Malam harinya Seruni keluar dari kamarnya, dia berniat dinner di resto hotel. Saat dia tiba di restoran, nampak beberapa tamu juga telah berada di sana. Suasana restoran tak begitu ramai malam itu, sekilas dia melirik seorang gadis yang sepertinya juga tengah menatapnya. Saat tatapan mata mereka bertemu, wajah gadis itu tersenyum ramah padanya. Seruni pun membalas senyum gadis itu. Nampak gadis itu melambaikan tangan ke arahnya. Seolah mengundang Seruni, untuk ikut duduk di mejanya. Seruni pun melangkah menghampiri meja gadis itu, yang nampaknya juga pendatang sepertinya. Karena wajahnya nampak seperti serumpun dengan dirinya. "Duduk di sini saja Mbak. Mbak orang Indonesia kan..?" tanya gadis itu, yang ternyata Nadya adanya. Nadya merasa senang mendapati orang senegaranya berada di tempat itu. Hal yang nampak jelas, dari wajah dan kerudung yang dikenakan Serun
"Hayuk kita berangkat sekarang saja Nadya. Kita bisa bicara sambil mandi di sana. Karena aku akan kembali ke Tokyo sore nanti Nadya," ajak Nanako, sambil memberitahukan soal kepulangannya nanti sore. Akhirnya jadilah mereka berangkat menuju Matsuho-no-sato onsen. Tak sampai satu jam, mereka akhirnya telah sampai di tujuan. Matsuho-no-sato adalah sebuah onsen yang terletak di di perbukitan utara, di atas jembatan Akashi Kaikyo sepanjang 3,5 km. Jembatan ini menyala selama beberapa jam mulai senja, dan selama lima menit setiap jam. Pola lampu pelanginya yang mempesona, bagai memantulkan air dan memenuhi langit. Cara terbaik untuk menikmati pertunjukan cahaya lampu itu, adalah dengan berendam di onsen luar ruangan. Sayangnya mereka tiba disana saat hari masih terbilang pagi. Mereka pun menitipkan alas kaki di loker, menerima dua buah handuk besar dan kecil, lalu masuk keruang ganti. Sebetulnya bukan ruang ganti, tetapi lebih tepat disebut ruang untuk melepas seluruh pakaian mereka
"Ceritakanlah Permadi. Aku akan mendengarkan," sahut Elang tersenyum. Lalu Permadi pun mulai menceritakan kisahnya. Di mulai dari orangtuanya terbunuh, soal Ki Sentanu, soal GASStreet, dan tentang perjalanannya mencari Elang. Hingga berakhir pada 'duel' hidup mati mereka, di selat Naruto. "Begitulah perjalanan hitam diriku, Elang," Permadi mengakhiri kisah dirinya pada Elang. "Wahh, Permadi. Rupanya kau pemimpin kelompok berhelm, yang menggegerkan di Surabaya itu," Elang mengeluh dalam sesal, mendengar pengakuan jujur Permadi. Namun kejujuran Permadi itu, menjadi pertimbangan tersendiri bagi Elang. 'Bagaimana aku membantumu jika begini Permadi..?' desah bathin Elang bingung. *** Sementara itu ke esokkan harinya di Awaji Island. Pagi-pagi sekali Nadya terpaksa membongkar ransel Elang. Karena dia mendengar, jika Mila akan pulang malam ini ke Rusia. Sementara Nadya sendiri akan pulang ke Indonesia besok harinya. Praktis waktu yang tersisa hanya hari itu. Untuk mencari dan menge
"Bangunlah Permadi," pelan saja suara Ki Bogananta, namun terdengar hingga menembus dan meresap masuk ke relung jiwa Permadi. Suara yang dilambari tenaga bathin yang luar biasa menggetarkan. Perlahan pelupuk mata Permadi bergerak, dan akhirnya terbuka lebar. "Ahhh, di mana aku..?!" seru Permadi sambil beranjak duduk, dan melihat ke sekitarnya. Saat matanya membentur sosok yang baru saja 'berbicara' dengannya di kedalaman jiwanya."Eyang sepuh Bogananta..," ucap Permadi, yang langsung menundukkan wajahnya penuh hormat. Ki Bogananta nampak tersenyum damai padanya. Dan Permadi merasa bagai 'telanjang' di hadapan sepuh itu. Habis sudah isi jiwanya 'dikuliti', oleh moyang sepuhnya itu barusan. "Permadi. Kiranya cukup sudah apa-apa yang perlu kautahu, dan Eyang beritahu padamu. Sekarang bersiaplah untuk bertemu dan berbicara dengan Elang. Dia berada tak jauh darimu saat ini. Bicara dan bekerjasamalah kalian di alam nyata nantinya. Eyang yakin, Elang akan memiliki jalan keluar dari m
Taph..! Blaaph..! Ki Palasara langsung menyambar tubuh Permadi, dan keduanya langsung lenyap dari rumah panggung itu. Blaph..! "Salam Moyang Bogananta. Aku datang membawa Permadi," Ki Palasara berkata dengan daya bathin melambari suaranya. Dia muncul di hadapan Ki Bogananta, yang kala itu tengah 'hening' di ruang dimensinya. Karena hanya dengan melambari suaranya dengan daya bathinnya, maka suaranya akan menembus alam keheningan moyangnya itu. Perlahan sepasang mata Ki Bogananta terbuka. Ki Palasara pun langsung tertunduk hormat. Ya, sejak dulu dia memang tak pernah sanggup beradu tatap dengan moyangnya itu. Karena tatap mata Ki Bogananta memang seolah menenggelamkannya, ke dalam samudera tanpa dasar. Pasca insiden di 'medan pasir', Ki Bogananta dan Ki Prahasta Yoga memang langsung kembali ke ruang dimensinya masing-masing. Mereka menyerahkan pengurusan Elang dan Permadi, di tangan Ki Sandaka dan Ki Palasara hingga pulih."Hmm. Palasara, baringkan Permadi di hadapanku. Energi
"Benar Elang. Gadis itu baru saja melintas di benakmu," sahut Ki Sandaka tersenyum bijak. Ya, tingkatan 'wisik sukma' Ki Sandaka bahkan sudah tak memerlukan penerapan lagi. Ajian wisik sukma seakan sudah menjadi bagian dari nafasnya. "Ahhh..! Benarkah Ki Buyut..?!" kini wajah Elang nampak sangat cerah sekali, bukit besar yang menindih hatinya selama ini bagai lenyap hancur berkeping tanpa bekas. Plonngg..!! "Elang, menurut buyut. Sebaiknya kalian segeralah menikah. Dan jadikan malam pertamamu, sebagai perayaan akan 'lenyap'nya kutukkan Naga Asmara dari dirimu. Setelah kutukkan itu lenyap, maka kau baru akan bisa menggabungkan 'power' Naga Merah dan Biru dalam cincin naga asmara dengan aji pamungkasmu 'Cambuk Tujuh Petir'. Itulah pamungkas terdahsyat trah langit, yang takkan tertandingi oleh 'pusaka bumi maupun pusaka samudera'. Jika kamu sudah berhasil menguasainya Elang," jelas Ki Sandaka. "Baik Ki Buyut. Elang akan mematuhi pesan Ki Buyut," Elang berkata sambil menundukkan ke
"A-apa..?!" Nadya terkejut, namun dia merasakan tubuhnya tiba-tiba menjadi dingin. Sprassh..! Dari jari tangan Nadya seketika melesat cahaya kuning kehijauan, yang langsung membentur lesatan shuriken yang dilepaskan Nanako. Craackh..!! Clapphs..! Shuriken yang dilontarkan Nanako langsung membentur selarik cahaya kuning kehijauan itu. Lalu shuriken itu terpental berubah arah, dan masuk ke dalam kolam renang. "Aahhh...!!" Seru kaget dan ngeri, dari semua wanita cantik yang berada di situ. Nampak mata mereka semuanya terbelalak. Ya, awalnya mereka semua bahkan tak bisa melihat lesatan shuriken Nanako. Mereka hanya melihat Nanako seperti melemparkan sesuatu ke arah Keina. Dan kini mereka semua baru sadar, jika yang dilemparkan Nanako adalah senjata yang berbahaya. "Hei sudahlah Nanako, Keina..! Ini benar-benar tak berguna..! Yang kalian ributkan sudah damai di sana. Biarkan Mas Elang tenang dan damai di sana. Jangan menambah beban langkahnya, karena melihat kalian ribut di sini.
'Ahh.! Maafkan Nadya Mas Elang. Sepertinya Nadya terpaksa harus membongkar ransel Mas Elang. Nadya harus mengembalikan 'cincin' pemberian Mila. Nadya tak rela Mas Elang menyimpan kenangan darinya', bathin Nadya. Ya, jujur saja Nadya cemburu pada Mila. Namun yang membuatnya merasa harus mengembalikan cincin Mila, adalah rasa ibanya pada Mila. Cincin itu pasti sangat bernilai bagi Mila. Dan Nadya punya suatu cara, untuk mengembalikan cincin itu tanpa menyakiti dan membuat Mila curiga padanya. "Ahh, kalian ini. Belum tentu aku yang berada dalam hati Mas Elang. Kita bertiga adalah orang-orang yang pernah mendapatkan pertolongannya. Namun belum tentu mendapatkan 'hatinya'," ucap Nadya agak jengah, karena kedua rekannya itu seperti memastikan hati Elang adalah untuknya. Namun tak munafik, hati Nadya juga merasa senang dan 'melayang', atas pengakuan Mila dan Nanako barusan. "Aku bisa merasakannya dengan sangat jelas, Nadya," ucap Nanako tersenyum tulus. Bagi Nanako kini, dia telah re
'Elang. cantik-cantik sekali sahabat wanitamu', bisik hati Mila. Dia sungguh tak heran jika Elang memiliki banyak 'fans'. Namun dia tak menduga, bahkan di negeri Jepang pun Elang memiliki beberapa 'fans' wanita cantik. Akhirnya pesanan mereka datang hampir bersamaan, mereka pun langsung menyantap sajian restoran Hato itu. Sungguh sedap dan nikmat memang karya koki restoran itu. Tak lama kemudian mereka bertiga menyudahi 'dinner' mereka. Seolah sepakat, mereka tak menyentuh pembicaraan tentang Elang di rumah makan itu. Dalam hati mereka berniat membicarakan tentang hal itu, di tempat yang lebih privacy. "O ya Nadya, Nanako bisakah kalian singgah di hotel tempat aku menginap setelah ini..?" tanya Mila penuh harap. "Ohh..! Di mana hotel tempatmu menginap Mila..?" sahut Nanako balas bertanya. "Saya menginap di hotel Anaga, di dekat jembatan Onaruto," sahut Mila tersenyum. "Wah, itu dekat sekali dengan hotel tempat saya menginap Mila," sahut Nanako. "Baiklah saya ikut ke tempatmu M