Pyaarshk.! Brakkh..!Kaca jendela rumah pun pecah, untunglah tubuh Ahmad masih tertahan oleh teralis di balik jendela. Dari hidung Ahmad mengalir darah kental. Sama halnya dengan Ahmad, di sudut bibir Elang nampak setetes darah menggulir. ‘Hmm. Rupanya kau hanya menantangku. Baik kulayani kau!’, bathin Elang. Elang mengusap darah itu dengan tangannya, lalu dia menerapkan aji ‘perisai sukmanya’, kembali tubuhnya di selimuti cahaya hijau lalu, Slaphh..! Sosok Elang melesat dan lenyap ke arah selatan, arah dari mana serangan itu berasal. Resmi, Bi Rina, dan Reva, yang mendengar suara ledakkan serta suara jendela rumah pecah, segera beranjak keluar. Bahkan Reva masih sempat melihat sosok Elang, yang berdiri tegak di halaman rumahnya, dengan paving di bawahnya yang hancur berantakkan. Reva langsung berteriak memanggilnya, namun terlambat. “Elangg..!!” “Mas Elanngg..!” Seruan Yudha dan teriakkan Reva hampir bersamaan memanggil Elang. Namun yang dipanggil sudah melesat lenyap dari
"Mampus kau keparat...!! Hyattthhh...!!” Ki Sentanu berseru keras, sambil melesat menerjang dengan tubuh berputar bagai ‘shuriken’ bermata empat. Kedua kaki dan tangannya yang bersisik hitam itu, bagai mata shuriken yang berputar cepat mengancam sosok Elang. Tergores sedikit saja, maka Elang pun mau tak mau harus antri di gerbang akhirat..! Karena racunnya memang sangat mematikan dan tak ada obat..! Bahkan tumbuhan dan rumput ilalang di sekitar Ki Sentanu langsung mati dan layu, akibat terkena hawa racun ajiannya itu. Kedua tapak tangan Elang pun deras dihantamkan ke bumi, Blaaghk..!!Kembali bumi bergetar hebat, saat Elang mencabut kedua telapak tangannya yang melesak di dalam tanah. Maka tampaklah cahaya biru kehitaman berkobar, menyelimuti kedua telapaknya. “Hyaatthh...!!” dengan berseru keras. Sosok Elang yang diselimuti cahaya hijau, dengan kedua tapak tangan mengobarkan api hitam dan biru itu pun melesat. Bermaksud memapaki putaran ‘Sabet Ekor Naga’ beracun, milik Ki Sen
Werrshk..!! Khra - Blaattzzzt..!!! Ketiga semburan api Naga Merah itu pun ambyar pecah dan lenyap. Terhantam lecutan membahana berkekuatan ribuan kilovolt itu. Kilatan lidah petir itu terus menembus sosok ke tiga naga merah, yang langsung terpental musnah seketika itu. Hingga akhirnya kilatan lidah petir itu menjalar cepat menyambar keris ‘Ki Naga Merah’ di tangan Ki Sentanu. Blaatzzsk...!! Keris ‘Ki Naga Merah’ yang merah membara itu, nampak berpijar terang sekali. Saat terhantam kilatan petir dari cambuk Elang. Lalu aliran listrik super dahsyat dari lidah petir itu merasuk ke tubuh Ki Sentanu melalui tangannya. "Aargkhs...!" Byaarshp..! Hanya terdengar sebuah teriakkan keras dari Ki Sentanu. Sebelum tubuhnya luruh ke bumi, dalam bentuk serbuk abu. Bersamaan dengan musnahnya keris Ki Naga Merah, yang juga ambyar menjadi debu hitam.!Ki Sentanu.. tamat..!“Hoekkss..!" Brughh..! Elang kembali muntahkan gumpalan darah hitam dari mulutnya. Lalu tubuhnya ambruk ke bumi. Elang ta
“Apakah teman saya bisa langsung istirahat di rumah saja Dokter?” tanya Reva lagi. “Bisa saja Reva, karena yang dia butuhkan murni hanya istirahat saja. Untuk memulihkan staminanya,” sahut sang dokter. “Saya sudah bisa masuk ke ruangannya kan Dok?” “Silahkan saja Reva. Dia sudah sadar kok,” sang dokter tersenyum. “Saya ikut Reva.!" seru Yudha, yang juga merasa penasaran dengan kondisi Elang. Dia pun langsung beranjak mengikuti Reva. Reva dan Yudha bergegas menuju ruang yang ditunjukkan oleh sang Dokter. Klek.! Pintu ruang di buka Reva, setelah pintu terbuka agak lebar mereka berdua pun terkejut. “Mas Elanng..?!” seru Reva dan Yudha hampir bersamaan. Nampak Elang sedang duduk di tepi ranjang, dengan senyum terulas pada mereka. Bagai tak pernah mengalami sakit apa pun saja layaknya. “Terimakasih Reva, Pak Yudha. Sebaiknya kita pulang sekarang yuk,” Elang berkata sambil turun dari ranjangnya. Langkah kakinya pun sudah normal dan sigap. “Kau..kau tak apa-apa Mas Elang?” Reva be
Elang langsung minta diri ke kamarnya. Ya, sesungguhnya sejak dari rumah sakit tadj, Elang telah ‘menahan’ sesuatu. Hal yang dilakukan Elang, untuk mengkamuflase kondisi tubuhnya di mata sang Dokter. Reva yang sebenarnya masih ingin bicara dengan Elang, nampak agak kecewa. Namun dia menyadari, Elang pastilah butuh istirahat sekarang ini. Elang langsung masuk ke kamarnya. Dia pun langsung menuju ke kamar mandi, dan menyalakan kran air. Untuk menyamarkan suara yang hendak keluar dari mulutnya. “Hoekss..!” segumpal darah kental kehitaman sebesar bola pingpong, jatuh ke wastafel kamar mandi. Segera dia membersihkan wastafel itu, lalu keluar dari kamar mandi. Tubuh Elang pun kini kembali lemah. Ya, dia memang sengaja mengerahkan sisa energinya di rumah sakit tadi. Agar dirinya dianggap sudah pulih, dan bisa segera kembali ke kediaman Reva. Karena bagi Elang, di rumah sakit akan sulit baginya memulihkan diri. Karena cara dia memulihkan diri, memang tak ada dalam kamus obat di rumah
"B-baik Ayah..!“ seru Dean gugup bukan main, mendengar pihak kepolisian mencarinya. Dean segera dia berlari ke kamarnya, untuk bersiap hengkang dari Surabaya. Dibyo terduduk lemas kembali di kursinya, dirinya kini pasrah sudah. Kasus putranya ini bukan hanya akan mempermalukan, dan mencoreng kehormatan keluarganya. Namun di negeri yang terkenal akan ‘netizen-netizen’nya, yang sangat ‘liar dan ganas’ ini..?! Sungguh hal mengerikkan bagi bisnisnya, jika netizen sampai ‘kebusukkan' keluarganya terungkap ke publik..! Dan yang sangat di takutinya adalah, ‘sentimen negatif’ dari pasar saham dan para investor saham di perusahaannya, begitu kasus ini terkuak..! Nilai saham perusahaannya akan ‘terjun bebas’ ke titik terendah. ‘Ini semua gara-gara Dean si ‘bocah demit’ itu..!' pikirnya murka, namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Karena pihak berwajib telah bergerak tegas mengusutnya. Tapi sebenarnya jika di tela’ah, justru Dibyo dan ibunya sendirilah ‘biang’ dari kerusakkan akhlak putra
“Wahh. Elang ikut senang mendengarnya Pak Harjo. Semua ini berkat kerja keras Pak Harjo juga. Selamat ya Pak,” Elang membalas senyum pak Harjo. ‘Benar-benar pemuda yang rendah hati dan matang dalam berbicara. Ahh, andai Elang berjodoh dengan Reva. Tentu aku tak perlu khawatir dan repot mencari orang yang pantas, untuk meneruskan bendera bisnisku’, bathin Harjo kagum dan berharap. Diam-diam Harjo merasa malu dan bersalah, karena dia pernah meremehkan Elang sebelumnya. “Pah, bolehkah Reva ikut Mas Elang. Kami mau berjalan-jalan naik motor di sekitar kota saja?” Reva yang baru saja keluar dari dalam rumah bertanya pada ayahnya. “Lho, nggak naik mobil saja Reva, Elang..? Kalian tinggal pilih saja mau pakai mobil yang mana?” ujar sang ayah. “Reva bosan naik mobil Pah, lebih enak naik motor lebih merakyat. Hehe,” padahal Reva berpikir lain. Dia ingin memeluk erat Elang selama dalam perjalanan. Dasar Reva..! “Saya terbiasa naik motor Pak Harjo, lebih fleksibel terhadap kemacetan,” sah
"Elang, Reva. Kalian sudah pulang rupanya. Kenalkan ini pak Hadi dari kantor Imigrasi Wiyung,” Harjo memperkenalkan tamunya pada Elang dan Reva, yang segera menyalami pak Hadi. “Elang, bapak dengar kemarin kamu hendak membuat pasport ya. Mumpung ada pak Hadi kamu bisa membuat pasport sehari jadi Elang. Bukan begitu pak Hadi?” ucap pak Harjo. “Benar pak Harjo, sekarang layanan pembuatan pasport dibuat lebih mudah dan praktis. Ada yang namanya layanan Eazy Pasport, sebenarnya ini layanan untuk kolektif. Namun bisa saja mas Elang kita ikutkan pada tim kolektif yang sedang diajukan hari ini, hingga besok pasportnya sudah bisa digunakan,” jelas pak Hadi. “Wah menarik sekali Pak Hadi. Apakah bisa saya mengajukan pembuatan pasport hari ini juga?” tanya Elang gembira. “Tentu saja bisa Mas Elang Siapkan saja KTP, KK, dan ijazah saja, jika kamu belum berkeluarga, ” sahut pak Hadi. “Tapi KK saya hanya foto kopi Pak Hadi. Aslinya ada di panti di Ciawi,” jelas Elang. “Ohh, itu masih
Padahal jika Elang mau, maka dia bisa membawa beberapa 'barang antik', dari peradaban dalam dimensi itu. Seperti halnya 'cincin mustika Nagandini', yang berhasil ditariknya dulu untuk Nadya. Akhirnya setelah merasa cukup puas melihat-lihat. Elang memutuskan untuk kembali ke hotelnya, yang berjarak sekitar 25 menit dari kuil itu. Elang pun naik bus umum yang melintas di sekitar area kuil itu. *** Permadi baru saja usai makan malam, dan kini dirinya tengah memandangi gemerlap lampu kota Osaka di malam hari, dari jendela kamar hotelnya. Ya, tak lama lagi dia akan mulai mendeteksi keberadaan energi Elang dari kamarnya itu. Jujur saja hati Permadi berdebar-debar. Karena dia bisa merasakan, jika energi Elang adalah energi terbesar, yang pernah dirasakannya dimiliki seseorang. 'Aku tak boleh mundur lagi. Sekarang atau tidak selamanya..!' seru bathin Permadi menguatkan tekadnya. Teringat dia kenangan masa lalunya. Kenangan saat dia ditinggal mati oleh kedua orangtuanya. Betapa dia
"Tapi tak apa Mas Elang jalan-jalan saja dulu. Daripada buru-buru bertemu Keina," ucap Nanako merasa senang. 'Aneh memang pola pikir dua wanita Jepang ini. Keina senang aku cepat keluar dari rumah Nanako. Sedangkan Nanako senang, kalau aku nggak buru-buru ke rumah Keina. Sungguh memusingkan..!' gerutu bathin Elang. "Mas Elang pasti sekarang sedang kelaparan ya..? Hihii," tebak Nanako tepat ke sasaran. Nanako memang paham, dia memperhatikan pola makan Elang selama berada di rumahnya. Dia tahu saat jam-jam pagi, biasanya Elang suka melintasi meja makan rumahnya saat bangun tidur. "Ahh..! Nanako tahu saja kamu. Hahaa," Elang tak bisa ngeles lagi. Karena sambil bicara, dia juga sambil mengunyah pelan-pelan rotinya. Tapi tetap saja ketahuan oleh Nanako, jika dia sedang makan sesuatu. Jujur saja, Elang lebih senang menganggap Nanako bagai adiknya sendiri. Nanako ini paling bisa meledek dan bermanja-manja padanya, saat Elang di rumahnya. "Ya sudah. Mas Elang lanjut makannya ya. Nanak
Tuttt.. Tuttt.. Tuutttt..!Kini di layar ponsel Elang tertera, 'Keina Yoshida memanggil'. Klik.! "Ya Keina," sahut Elang. "Mas Elang di mana sekarang..? Kok belum datang ke rumah..?" "Saya masih di Awaji Island Keina. Mau menikmati pemandangan dulu," sahut Elang jujur. Dia khawatir Keina ngambek, karena tidak langsung ke rumahnya setelah dia keluar dari Tokyo. "Hmm. Nggak ngajak-ngajak ya, hihi..! Ya tak apa-apa Mas Elang, daripada menghabiskan waktu di Tokyo bersama Nanako. Keina boleh nyusul nggak mas Elang..?" tanya Keina. "Lebih baik tak usah Keina, dua hari lagi juga saya ke rumah," sahut Elang. Ya, dia sedang benar-benar ingin sendiri, untuk menikmati akhir perjalanannya di negeri Sakura ini. "Baiklah, selamat bersenang-senang Mas Elang." Klik.! *** "Selamat jalan Mas Permadi, cepatlah kembali sayank. Mmmhh," Shara mengucapkan salam, seraya mencium pipi Permadi. Saat Permadi hendak memasuki pesawat. "Terimakasih Shara," ucap Permadi, sambil menatap Shara. Hidup bers
Tidak heran, 'Samara Embankment' adalah tempat wisata alam yang tidak hanya gratis, tapi juga wisata unggulan. Di sungai Volga, kita bisa melihat pemandangan alam yang sangat cantik, kendati pada siang hari dan suhu cukup tinggi. Namun, kita bisa berteduh di bar dan restoran yang tersedia, tidak jauh dari pedestrian. Dan di sanalah kini seorang wanita cantik duduk termenung, memandangi keindahan alam yang terhampar dihadapannya. Tapi tunggu dulu, mata sang wanita memang mengarah ke hamparan sungai indah di depannya, namun tidak dengan 'pikiran'nya. Sesosok pemuda tak pernah lepas dari 'benaknya', sejak kepulangannya dari Bali. Sosok pemuda itu terus membayangi kemanapun dia berada. Sosok pemuda yang telah menerima 'cincin' kenangan darinya. Ya, sosok itu adalah Mila..! Sejak kepulangannya ke Samara, hatinya bagai tertinggal di Bali bersama Elang. Dan akibat kerinduannya yang mendalam, selama seminggu ini dia terus melakukan panggilan terhadap Elang. Namun tiada pernah ada nada
Bip..! Nadya :"Sudah tidur belum Mas Elang..?" Balas : "Belum Nadya." Nadya :"O iya Mas Elang, minggu depan Nadya ujian Sripsi. Doa'in ujiannya lancar ya Mas." Balas : "Pasti Nadya. Mas percaya Nadya pasti lulus dengan gemilang." Nadya:"Minggu depan mudah-mudahan Mas Elang sudah di Jogja ya. Biar bisa merayakan kelulusan Nadya." Balas :"Mudah-mudahan Nadya. O iya, sekarang Mas menginap di 'Yumekaiyu Awajishima Hotel'. Mas baru saja masuk malam ini." Nadya :"Wah, asyiknya bisa travelan terus. Besok-besok Nadya ikut lho Mas." emot senyum plus ketawa. Balas : "Boleh-boleh saja, kalau nggak ada yang marah Nadya." emot kedip mata satu. Nadya:"Ihh. Siapa yang berani marahin Nadya, wee.." emot ngeledek. Nadya:"Nanti lanjut ya Mas. Nadya dipanggil Mamah, paling di suruh dinner." Balas : "Ok." emot jempol. Elang beranjak dari ranjang dan memandang keluar kamar, melalui jendela kamar yang cukup luas. Belum lama Elang meresapi keindahan pemandangan malam, dari jendela kamarnya, Tiba
'Luar biasa..! Bahkan Bos sudah berpikir jauh ke depan', bathin Rodent. Dalam kesendiriannya, Rodent kadang juga bertanya-tanya. Akan sampai kapan mereka menjadi buronan aparat..? Ternyata pertanyaan itu kini sudah terjawab, dengan ucapan Permadi barusan. Dan hatinya pun menjadi makin mantap, untuk bersetia pada Permadi hingga akhir hayatnya. "Siap Boss..!” seru Rodent bersemangat. Klik.! Suara adzan magribh berkumandang, Permadi pun beranjak masuk ke dalam rumahnya. Dari wajahnya nampak Permadi sedang memikirkan sesuatu hal, yang begitu mengganjal di hati dan benaknya. Entah hal apa gerangan. "Mas Permadi sayang, sebenarnya apa yang sedang Mas pikirkan..?" tanya Shara, saat dia melihat Permadi masuk ke kamar dan hanya diam duduk di tepi ranjang. "Tidak ada apa-apa Shara. Aku hanya lelah saja," sahut Permadi. "Apakah Mas Permadi mau Shara pijat badannya..? Biar rasa lelahnya hilang," tanya Shara lagi. Walau dia tak terlalu bisa memijat, tapi demi pria kesayangannya ini, dia
"Baiklah Elang. Nanti tante akan kirimkan nomor rekeningnya. Tapi tante tak akan memakai uang kiriman dari Elang, selain hanya untuk simpanan ...... 'anak kita'," Halimah berkata terputus. Ya, Halimah agak bingung menyebut apa pada anak yang di kandungnya. Akhirnya dia menyebutkan 'anak kita' pada Elang. Wajahnya langsung 'merah merona', saat dia mengatakan itu. Halimah terbayang kembali, saat-saat 'penuh madu' bersama Elang dulu dikamarnya. Wanita yang tetap cantik di usia matangnya itu. Dia 'sejujurnya' sangat merindukan saat-saat manis itu, bisa terulang kembali dalam hidupnya. "Baik Tante, tolong dikirim ya. Salam buat Om Baskoro." Klik.! Elang menutup panggilannya pada Halimah. Dia berniat memasukkan saldo 10 miliar rupiah, pada rekening Halimah nanti. Elang kembali melihat-lihat kontaknya, dia mencari nomor Sekar di list kontaknya. Lalu... Tuttt.... Tuttt... Tuutttt.! "Halo. Kang Elang..?!" sapa suara merdu Sekar, yang sedang berada di kamarnya. "Halo Mbak Sekar. Baga
"Pak Daisuke, Pak Matsuki. Ayo temani saya makan bersama. Saya tak bisa makan sendirian. Anggap saja sebagai ucapan terimakasih saya pada Bapak berdua, yang sudah 'bekerja' mengantar saya ke sini," ajak Elang hangat. Ya, Elang mengatakan 'bekerja' bukan membantu. Itu karena Elang sangat paham, dengan 'budaya malu' yang mengakar kuat di negeri ini. Sehina-hinanya kaum miskin negeri ini. Mereka sangat jarang meminta-minta, bahkan hampir tak terlihat pengemis di negeri ini. Mereka juga tak akan mau menerima sesuatu tanpa 'bekerja'. Walaupun hanya sebagai pemulung atau buruh serabutan sekalipun. Rata-rata mereka merasa malu, bila menerima sesuatu dari rasa belas kasihan. Itulah moral yang masih dipegang erat masyarakat negeri ini, budaya malu.!"Ahhh. Bagaimana Matsuki..?" tanya Daisuke menatap Matsuki temannya. Agak lama akhirnya Matsuki menganggukkan kepalanya. Akhirnya mereka bertiga makan siang di rumah makan itu. Tampak kedua lelaki itu tersenyum gembira. Elang sengaja menga
Tuttt.... Tuttt..! 'Pak Yutaka memanggil' tertera di layar ponsel Elang. Klik.! "Ya Pak Yutaka," sahut Elang. "Halo Elang. Di mana posisimu sekarang..?" tanya Yutaka. "Saya di Kobe sekarang Pak Yutaka. Berjalan-jalan dulu sebelum kembali ke Indonesia," sahut Elang. "Wahh, pantas kemarin aku tanya Pak Hiroshi, kamu belum datang katanya. Hahaa!" Yutaka memaklumi keinginan Elang berjalan-jalan seorang diri, sebelum dia pulang ke Indonesia. Tentunya pemuda ini ingin bebas lepas, melihat apa yang belum dilihatnya di Jepang, pikir Yutaka. "O iya Elang. Aku menitip sedikit di saldo rekeningmu ya. Sebagai tanda terimakasih keluarga Kobayashi atas pertolonganmu. Sepertinya sampai mati pun, kami tak akan sanggup kami membalasnya Elang. Terimalah pemberian kami yang sedikit itu ya." Ungkap Yutaka, dengan rasa terimakasih yang tulus pada Elang. "Pak Yutaka. Sungguh hati saya sudah senang, melihat 'kemelut' di keluarga Bapak sudah berlalu. Melihat keluarga Bapak bisa tenang dan bahagi