Setelah Bajulgeni selesai menggali, satu per satu mayat dimasukkan. Tak henti-hentinya Guru Mada menangisi setiap kali memasukkan para murid dan teman-teman seperjuangannya ke dalam liang lahat. Luka yang begitu dalam tergores di hati Sang Guru begitu pula dengan Bajulgeni, ia merasakan penderitaan hebat yang dialami Guru Mada.
"Aku masih tidak percaya apa yang kulihat sekarang," seru Guru Mada sembari mengusap air mata diwajahnya."Kita harus bisa mengikhlaskan kepergian mereka semua guru, kita tidak bisa mengembalikan mereka, apa yang telah mati tidak akan pernah kembali." ucap Bajulgeni yang berusaha menghibur gurunya.Sekilas ucapan Bajulgeni tampak menenangkan hati sang guru, namun dibalik itu sang guru juga memendam rasa amarah yang begitu kuat. Sontak ia merasa harus segera bertindak untuk melakukan perlawanan kepada musuh yang menyerang.Setelah selesai menguburkan semuanya, tiba-tiba cuaca berubah. Di saat itu pula Guru Mada bersumpah dengan menghadap ke kuburan besar yang telah digali sebelumnya."Dengarkanlah wahai langit dan bumi, Demi Yang Maha Kuasa, Demi Yang telah Menciptakan Alam Ini, Demi Yang Maha Perkasa, aku bersumpah, aku akan melakukan perlawanan sampai diriku hancur lebur menjadi abu, setiap nafasku setiap detak jantungku setiap langkah kakiku setiap pikiran yang keluar dari kepalaku, akan aku gunakan untuk melawan para musuh sampai tak tersisa satupun diantara mereka." Guru Mada bersumpah dengan kerasnya.Seketika langit yang awalnya terang benderang dihiasi sinar matahari menjadi gelap gulita bak malam tanpa sinar rembulan maupun bintang-bintang. Terjadi pula goncangan hebat yang disertai angin kencang bak badai. Bajulgeni yang menyaksikan hal tersebut secara langsung menjadi sangat tercengang. Karena di dalam hatinya ini adalah ketiga kalinya ia melihat sang Guru bersumpah seperti itu, dua sumpah sebelumnya juga mendatangkan bencana yang sama. Bajulgeni tahu betul ketika sang Guru mulai bersumpah, ia tidak akan mengingkarinya, bahkan ia akan mengorbankan apapun untuk menunaikan sumpah tersebut.Guru Mada bertutur, "Sebaiknya kita jangan berlama-lama disini, hendaknya kita segera pergi ke puncak bukit untuk melihat situasi di sana,""Benar guru, dikarenakan kemarin sesaat sebelum aku pingsan, aku mendengar percakapan mereka," ucap Bajulgeni."Memang apa yang mereka katakan?" tanya Guru Mada keheranan."Aku mendengar, kalau salah seorang diantara mereka berkata telah melihat padepokan kita sejauh 1 mil di pedalaman hutan di kaki bukit, dan salah seorang diantara mereka juga mengatakan bahwasanya telah melihat sebuah cahaya yang menyala terang di puncak bukit, dan segera komandan dari pasukan tersebut memerintahkan untuk membagi pasukan menjadi 2 bagian, satu menuju padepokan dan satunya lagi menuju puncak bukit." jawab Bajulgeni."Kalau begitu kita harus menyegerakan diri untuk pergi ke puncak, karena kita belum tau apa yang terjadi di sana," Tutur Guru Mada"Baik Tuan Guru, namun saya akan mengambil beberapa tanaman obat dan tanaman pangan sebagai bekal kita ke puncak karena jarak antara lapangan latihan ini dengan puncak bukit masih berkisar antara 4 hingga 5 mil." Jawab Bajulgeni sambil memetik beberapa jenis tanaman.Setelah mempersiapkan semuanya mereka pun mulai melakukan perjalanan ke puncak bukit. Mereka berjalan dengan hati-hati, menyebrang sungai dan membunuh binatang liar yang mengganggu. Setibanya di Puncak mereka kembali dibuat terkejut, oleh keadaan desa yang makmur tiba-tiba dalam 1 malam hancur lebur akibat serangan yang dilakukan musuh. desa tersebut seperti desa yang telah hancur beberapa bulan yang lalu. Tidak ada satu bangunan yang berdiri, seluruh rumah penduduk roboh, balai pertemuan hancur lebur, pasar sederhana yang ada di desa itu pun seperti sehabis dilanda angin puting beliung karena kerusakannya yang amat parah.Saat Bajulgeni dan Guru Mada menyingkirkan sebuah pondasi rumah yang roboh, dibalik pondasi tersebut ditemukan mayat seseorang. Lalu mereka menyingkirkan pondasi rumah selanjutnya dan ditemukan mayat sebuah keluarga. Begitu seterusnya sampai mereka menyingkirkan reruntuhan sebuah balai pertemuan, mereka terkejut dan seketika senang karena mendapati seorang remaja laki-laki yang masih bernafas.Tanpa banyak pikir Guru Mada dan Bajulgeni segera mendirikan sebuah tenda dan merawat remaja tersebut."Syukurlah masih ada seseorang yang selamat, akibat insiden kemarin malam," Tutur Guru Mada."Ya Guru, ini merupakan suatu keajaiban, seorang pemuda yang tertimpa reruntuhan bangunan masih bisa bernafas," ucap Bajulgeni"Namun kita harus segera memberikan perawatan terbaik untuknya, sekalipun dia masih bisa bernafas, akan tetapi pendarahan yang terjadi di kepalanya tidak dapat disepelekan," Tegas Guru Mada."Saya sudah menyiapkan ramuan obat, perban serta air hangat untuk pemuda ini, semoga saj
"Ah! kepalaku pusing sekali," seru sang pemuda."Minumlah ini, ini adalah ramuan herbal yang baru kubuat, bisa membantu memulihkan tubuhmu dan menyembuhkan rasa nyeri di kepalamu," ucap Bajulgeni kepada sang pemuda."Terimakasih banyak," ucap sang pemuda sembari meminum ramuan yang diberikan Bajulgeni.Setelah minum ramuan itu, pemuda tersebut merasa agak baikan, dan nyeri pusing di kepalanya juga perlahan berkurang. Sang Pemuda masih seperti orang yang baru saja terkena amnesia karena ia benar-benar seperti berada di negeri di antah-berantah. Ia melihat sekeliling dengan tatapan terkejut dan bingung."Apakah kau ingat sesuatu sebelum engkau pingsan?" tanya Guru Mada."Entahlah, kepala ku masih agak pusing, aku akan mencoba mengingat-ingat," jawab sang pemuda sambil mengelus-elus keningnya."Apakah kau diserang atau bagaimana, kau ingat dengan katana, belati, senapan, ataupun bahan peledak?" tanya Guru Mada mengulang."Tunggu dulu, ah... kurasa aku mulai mengingatnya. Kemarin saat sor
Setelah berjalan dan berbincang-bincang cukup lama, ketiga orang tersebut berhenti di pinggiran desa, di sebuah batang pohon yang roboh dekat dengan gapura masuk desa. Mereka duduk berjajar untuk menghilangkan penat."Hai Bagaskoro, apakah engkau sebelumnya pernah belajar tentang seni bela diri?" tanya Guru Mada. "Belum pernah, bahkan tidak pernah terpikirkan olehku untuk mempelajari ilmu bela diri," jawab Bagaskoro sembari menelantangkan kakinya."Apakah engkau punya keinginan untuk mempelajari ilmu bela diri?" tanya Guru Mada dengan tatapan penuh keyakinan kepada Bagaskoro.Guru Mada sangat yakin, bahwasanya Bagaskoro akan mengiyakan pertanyaannya. Hal tersebut sudah diperkirakan oleh Guru Mada, karena bagaimanapun Guru Mada melihat ada percikan amarah dan sebuah tekad yang kuat dari mata Bagaskoro."Entahlah, aku bahkan tidak pernah tertarik untuk mempelajari ilmu bela diri sebelumnya," jawab Bagaskoro dengan keyakinan penuh. Guru Mada sontak terkejut mendengarnya, karena ia dapat
Sesampainya di tenda, Bagaskoro, Guru Mada, dan Bajulgeni segera membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah selesai membersihkan diri mereka bertiga membagi tugas. Bagaskoro bertugas membersihkan ruangan yang digunakan untuk makan sembari menyiapkan peralatan makan yang dibutuhkan. Sementara Guru Mada dan Bajulgeni memasak hewan buruan."Guru, aku sudah selesai membersihkan ruangannya!" teriak Bagaskoro. "Baguslah kalau begitu, cepatlah kemari untuk membantu memasak," ujar Guru Mada.Bagaskoro segera berlari keluar menuju dapur yang dipersiapkan di luar tenda. Ia mencium aroma yang sangat harum dari tungku masak."Bau apa ini guru? Baunya harum sekali," gumam Bagaskoro. "Ini adalah Kijang yang dimasak menggunakan minyak kelapa," jawab Bajulgeni."Kijang? apa itu? Bukankah yang dimasak adalah rusa?" ujar Bagaskoro keheranan. "hahahaha... bukan.. bukan.. ini adalah kijang. Sekilas kijang dan rusa memang nampak sama, namun kijang memiliki ukuran lebih kecil dan dibanding rusa," jaw
"Dahulu, aku persis seperti dirimu Bagaskoro. Aku tidak pernah mengenal apa itu beladiri." Ujar Guru Mada. "Hingga pada suatu saat, pecahlah Perang Dunia Kedua," tambahnya.Guru Mada bercerita sambil menahan kesedihan yang mendalam. Beliau tetap berusaha untuk kuat di depan murid-muridnya agar bisa memotivasi mereka."Di saat perang dunia kedua meledak, umurku masih menginjak 20 tahun, jika umurku saat ini adalah 68 tahun. Maka sekarang adalah 48 setelah terjadinya perang dunia kedua. Tidak seperti sekarang, Kota Bandarmojo yang sekarang mungkin sudah mengalami perkembangan yang lebih pesat dan menjadi kota yang lebih modern dari sebelum terjadinya perang dunia kedua. Sebelumnya kota itu hanya dikenal masyarakat seantero Kerajaan Nusa sebagai pusat ilmu pengobatan dan kesehatan. Sedangkan pusat teknologi masih dipusatkan di kota Raja. Setalah perang dunia kedua berakhir Kota Bandarmojo direnovasi besar-besaran karena kerusakan yang menimpanya begitu parah." Jelas Guru Mada."Guru.. gu
"Sudahlah guru, jika guru menjadi sedih karena menceritakan masa lalu kelam yang guru alami. Sebaiknya guru tidak usah menceritakannya," ujar Bajulgeni."Apa yang dikatakan oleh kakang Bajulgeni itu benar guru. Lebih baik bahwasanya guru beristirahat sekarang ini daripada harus menceritakan masa lalu guru kepada kami. Kami tidak bisa melihat guru bersedih karena kami." tambah Bagaskoro."Aku sangat bangga dengan kalian berdua, kalian mempunyai rasa solidaritas yang tinggi antar sesama. Bajulgeni maupun Bagaskoro, kalian sama-sama hebat. Namun perlu kalian ketahui aku bercerita seperti itu, karena aku curiga, bahwasanya dalang dibalik penyerangan yang terjadi di desa maupun di padepokan dilakukan oleh orang yang sama dalam penyerangan kota Bandarmojo dulu." Tegas Guru Mada.Bagaskoro yang baru bertemu dengan Guru Mada merasa takjub dengan pemikiran Guru Mada. Ia tidak menyangka kalau sang guru sudah berpikir sangat jauh ketika menghadapi suatu masalah. Bagaskoro sontak memantapkan niat
Mendengar cerita dari Guru Mada, Bagaskoro tertegun. Ia tidak habis pikir, diluar sana banyak orang yang rela mengorbankan rasa nasionalisme yang telah tertanam di dalam tubuhnya hanya untuk balas dendam."Mungkin cukup sampai sini dulu, hal yang perlu ku sampaikan kepada kalian. Selebihnya akan aku jelaskan kepada kalian ketika sudah sampai di Padepokan saja," Tutur Guru Mada dengan napas terengah-engah."Baiklah guru!" jawab Bagaskoro dan Bajulgeni hampir bersamaan.Mereka bertiga mulai berkemas dan membersihkan lingkungan sekitar pedesaan. Guru Mada dan kedua muridnya juga tak lupa untuk mencari beberapa tanaman pangan dan obat-obatan untuk dibawa kembali ke lereng bukit."Kita harus membersihkan apa yang perlu, semampu kita saja," Tegas Guru Mada. "Seberapa jauh padepokan guru dari puncak bukit ini?" tanya Bagaskoro. "Mungkin sekitar 2 jam kita akan sampai," jawab Guru Mada.Setelah mempersiapkan semuanya, mereka pun meninggalkan desa dan pergi menuju lereng bukit. Di tengah perja
Setalah Gubuk pertama selesai dibangun mereka segera menata barang-barang yang dibawa ke dalam gubuk. Bagaskoro benar-benar takjub dengan yang dilihatnya, tak pernah ia sangka butuh waktu cukup singkat untuk membangun Gubuk tersebut. Gubuk tersebut terdiri atas 2 kamar berukuran sedang, 1 untuk Guru Mada dan 1 kamar lagi untuk Bagaskoro dan Bajulgeni serta ada ruang pertemuan kecil dan teras."Ohhhh... akhirnya selesai. Kurasa aku akan istirahat dulu," seru Bajulgeni sembari menguap. "Apakah kau juga letih Bagaskoro?" tanya Guru Mada. "Kurasa aku tidak begitu letih Guru, mungkin karena aku cuma mencari bahan-bahan saja, hehehe," ujar Bagaskoro."Baguslah kalau begitu, aku akan menceritakan sedikit kepadamu tentang pencak silat," Ucap Guru Mada. "Apakah ini nanti hanya sebatas teori saja, atau akan ada prakteknya langsung Guru?" tanya Bagaskoro. "Untuk kali ini, aku hanya akan memberimu teori saja, selayang pandang tentang apa itu pencak silat dan beberapa gerakan dasarnya. Mungkin bar
*** Malam hari di ibukota Kahn sunyi tidak seperti biasanya. Hiruk pikuk kota yang terdengar selama dua puluh empat jam penuh seperti lenyap. Hanya suara angin yang berhembus tiada ada hentinya. Di tengah-tengah hembusan angin malam yang amat dingin sekali itu, Irman baru saja pulang kerja. Irman terkejut, akhir-akhir ini suasana di ibukota Kahn yang umumnya selalu ramai menjadi sepi. Irman mulai mengetuk pintu apartemennya, dilihatnya penjaga di depan hanya termenung. Penjaga itu seperti seorang ibu yang baru saja kehilangan seluruh anak-anaknya. "Permisi pak," sapa Irman. Penjaga itu masih saja termenung. "Permisi pak," sapa Irman untuk yang kedua kalinya. Akan tetapi, si penjaga masih saja terdiam seribu bahasa. Irman pun menarik napasnya dalam-dalam. "Permisi bapak!" Irman berteriak sekencang mungkin di dekat di penjaga. "Eh, silahkan, silahkan, silahkan," si penjaga menimpali sambil terjungkir ke belakang karena kaget. Dengan cekatan, Irman segera menolong si penjaga. "Saya m
"Tolong jelaskan secara pasti siapa sebenarnya dirimu?" tanya Arkan geram. "Tenanglah nak, aku benar-benar tidak punya niat yang buruk terhadapmu," jawab si pemilik restoran. Perlahan Arkan bisa meredam amarahnya. Ia menarik nafas dalam-dalam untuk mengendalikan dirinya. "Nah, begitu kan lebih baik," ucap si pemilik restoran."Sekarang aku minta penjelasan dari anda tuan," ujar Arkan. "Sebelum menjawab pertanyaanmu itu, aku ingin menanyakan satu hal. Ini bukan hal yang berat. Ini sesuatu yang santai tapi, aku harap kau serius," ucap si pemilik restoran. "Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Arkan keheranan. "Kira-kira berapa umurku saat ini?" ucap si pemilik restoran. Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh si pemilik restoran membuat Arkan seketika tertawa terpingkal-pingkal."Eh! Hahahaha, hahahahaha, apa kau tidak salah bertanya?" sahut Arkan sembari tertawa. "Seperti yang ku katakan sebelumnya, ini adalah pertanyaan yang santai dan terkesan sepele. Akan tetapi, kau tadi sudah me
*** Seiring berjalannya waktu, Arkan dan Singh mulai menjadi teman akrab. Hanya beberapa hari berpatroli bersama, kedua bocah itu sudah dekat seperti keluarga. Tidak ada tanda-tanda Singh yang curiga dengan penyamaran yang dilakukan oleh Arkan. Singh hanya tau, teman patroli barunya bernama Raka yang sebenarnya adalah seorang penyusup bernama Arkan. "Singh, kita hendak ke mana lagi sekarang?" tanya Arkan. "Hmmm, sepertinya aku lupa menjelaskan di awal. Jadi, selain kita harus bergantian berpatroli sama seperti murid lainnya, ada tugas lainnya yang dikhususkan untuk kita berdua. Nanti, aku akan menjelaskan lebih lanjut tentang tugas yang harus kau emban," jawab Singh. "Aku ada satu pertanyaan lagi," ucap Arkan. "Silahkan, tanyakan saja. Selagi aku mampu menjawab, aku akan menjawabnya," balas Singh mempersilahkan. "Beberapa waktu lalu ketika aku sedang berjaga dan kau tertidur, ada beberapa orang memakai setelan berwarna hitam legam menemui Joe. Kelihatannya mereka sedang berbicara
Setelah berbicara cukup panjang, Wei Fang mengalami sesak nafas yang luar biasa. Seluruh prajurit Bayangan Singa yang ada di sekelilingnya hanya bisa terpana, sambil tak sadar meneteskan air mata. Begitu pula dengan prajurit Naga Langit yang ada, mereka mulai merasa iba terhadap keadaan yang menimpa pasukan Bayangan Singa. Dari kejauhan nampak Batakhu yang meronta-ronta menahan sakit menghampiri Wei Fang. "Master! Master! Anda tidak apa-apa kan?" ucap Batakhu dengan penuh gelisah. "Batakhu, nak. Kau masih selamat, syukurlah. Aku punya satu permintaan kepadamu, uhuk... uhuk...," ucap Wei Fang sambil menahan tekanan darah yang terus keluar. "Permintaan! Apa maksudmu Master!? Aku yakin kau akan baik-baik saja. Perang telah usai! Biarkan kami Pasukan Bayangan Singa sebagai pihak yang kalah untuk mundur! Atau kalian bisa menawan kami sebagai budak!" teriak Batakhu. "Nak, uhuk... uhuk..., sudahlah. Aku ingin kau membeberkan seluruh rencana kita. Aku sudah tidak bisa banyak bicara. Ku harap
"Xi Zhang, apa kau berpikir bahwa Qing Ho melakukan semua ini dengan terpaksa?" tanya si prajurit. "Aku tidak dapat menyimpulkan seperti itu. Intinya, dia tidak akan pernah menyesali apapun yang telah diperbuatnya. Satu hal lagi, sebenarnya, Qing Ho juga telah memberi ku sebuah isyarat. Dia seperti memberiku aba-aba kalau dia adalah seorang penyusup. Mungkin, ini agak aneh, tapi itulah yang kurasakan," ujar Xi Zhang. "Dia memberimu aba-aba seperti itu. Berarti secara tidak langsung, dia memang berniat untuk mencegah ayahnya, agar gagal menaklukkan Padepokan Naga Langit?" tanya si prajurit. "Kemungkinan seperti itu, aku juga baru sadar kalau dia punya kedekatan seperti itu dengan Wei Fang yang keparat. Jadi, seperti ini ya takdir berjalan. Huuu," ucap Xi Zhang sembari menghembuskan nafas pelan. Di saat si prajurit dan Xi Zhang sedang enak mengobrol dan bersembunyi. Tiba-tiba, terdengar sebuah hantaman keras dan udara menjadi penuh dengan bumbungan asap. Master Li Mo dan Wei Fang yang
"Sudahlah Wei Fang, hentikan semua ini! Aku tidak ingin menelan lebih banyak lagi korban jiwa. Lihatlah sekelilingmu, sudah banyak jiwa-jiwa yang tak berdosa tumbang sia-sia. Lagipula, kita bisa membicarakan ini baik-baik," tutur Master Li Mo. "Hahahaha, bisa diselesaikan baik-baik katamu?" ejek Wei Fang. "Aku mohon Wei Fang, aku mohon sekali. Aku tau bagaimana perasaanmu ketika kehilangan anakmu. Satu hal yang kau ingat, yang namanya penghianat merupakan penyakit bagi setiap kelompok, bangsa, negara. Jika bukan karena kelalaianmu dalam mendidiknya ini tidak akan berakhir seperti ini," ujar Master Li Mo. "Memang apa yang kau tahu tentang cara mendidik seorang anak? Apa yang kau tau tentang keadilan? Apa yang kau tahu tentang dosa-dosa? Apa kau pikir kau bisa menangani semuanya sekaligus ha!?" bentak Wei Fang. Suasana di sekitar yang semula kacau dengan perang mulai reda. Seluruh prajurit yang saling baku hantam mulai mendengar dengan seksama percakapan antara Master Li Mo dengan Wei
"Itu dia! Master Wei Fang! Rasakan kalian Naga Langit, kalian akan hancur berkeping-keping karena berani mencari masalah dengan Padepokan Bayangan Singa! Hancurlah kalian!" teriak salah seorang prajurit Bayangan Singa. "Apa-apaan dengan tubuhnya Wei Fang itu?" gumam Master Su Tzu dengan terkejut. "Apakah itu salah satu jurus kutukan?" sambung Master Tung. "Ya, itu adalah salah satu jurus kutukan. Ditambah itu bukanlah jurus kutukan biasa," jelas Master Lee. "Apa maksudmu Master Lee? Pasti yang namanya jurus kutukan itu berbahaya. Kenapa kau berkata itu bukan jurus kutukan biasa? Memang apa yang istimewa dengan jurus kutukan itu?" tanya Master Su Tzu dengan penasaran. "Maksudku dengan bukan jurus kutukan biasa. Karena itu adalah jurus kutukan kuno. Aku tidak salah melihatnya, karena di kitab seni bela diri hitam yang ada di perpustakaan pusat negara jurus itu dijelaskan. Tapi tidak ada seseorang yang diketahui bisa membangkitkan jurus itu. Tidak lain, karena jurus itu memang berbahaya,
Pertarungan sengit antara Batakhu dengan Santoso pun tidak terelakkan lagi. Santoso bertarung layaknya ninja menggunakan dua buah belati. Dengan gerakan lincahnya, Santoso berhasil memojokkan Batakhu. "uhhh, uhhh, uhhh, siapa kau sebenarnya?" tanya Batakhu dengan napas terengah-engah. "Kurasa, kau harusnya memikirkan bagaimana nasibmu, daripada ingin mengetahui tentang siapa diriku. Aku tidak akan menahan diri untuk melawan mu, majulah, Jenderal Batakhu!" bentak Santoso. "hahahaha, kurasa kau memang tidak berasal dari padepokan Naga Langit, aku akan menebasmu, sama seperti aku menghilangkan kaki bocah itu," ujar Batakhu. "Cobalah kawan," tantang Santoso. Gerbang padepokan Naga Langit telah dibuka lebar-lebar, seluruh pasukan bertempur antara hidup dan mati di luar benteng. Bala bantuan dari Naga Langit pun segera menghampiri Bajulgeni. Bajulgeni yang nampak sekarat, segera dibawa masuk ke dalam benteng."Anda hendak ke mana Master Li Mo?" tanya Master Su Tzu. "Ada urusan yang harus
"Tidakkkk!" teriak Wei Fang mengguncang seluruh kancah peperangan. Salah satu petinggi Padepokan Bayangan Singa, General Batakhu pun maju untuk mencoba menenangkan Wei Fang. "Tuan, mohon anda bersabar dengan apa yang menimpa tuan muda. Yang harus kita lakukan adalah membalaskan dendam apa yang telah terjadi dengan tuan muda, bukan malah meratapinya, seakan-akan kematiannya sia-sia. Mata dengan mata, telinga dengan telinga, tangan dibalas tangan, begitu juga dengan nyawa, nyawa harus dibalas dengan nyawa. Sadarlah tuan," tutur Batakhu. "Keyyyy Fangggg! Kenapa harus kau yang pergi duluan! Kenapa!" teriak Wei Fang histeris. Ucapan Batakhu seperti sebuah hembusan angin di hadapan Wei Fang yang sedang berada dalam ruang antara hidup dan mati. Wei Fang tidak mempedulikan apa yang ada di sekitarnya. Wei Fang hanya meratapi penuh pada penggalan kepala Key Fang. Air terus mengalir membasahi wajah Wei Fang sampai menggenang airnya di bawah. "Sekarang apa yang harus kita lakukan jenderal?" t