Lain halnya dengan Adi yang pernah melihat istrinya bersama pria lain. Dipikirnya terjadi perselingkuhan antara Sumi dengan pria tersebut. Apalagi penampilan pesaingnya sangat menunjang, muda, tampan, serta terlihat mapan. Membuat Adi mempunyai perasaan harus lebih dari si pesaing.
Pandangan Adi nanar ke depan, melihat lalu lintas padat yang sebentar lagi akan memasuki tol lalu menuju luar kota, pastinya jalanan akan lebih lenggang serta sepi.
Truk Adi memasuki jalur Pantura saat menjelang senja. Hanya beberapa kendaraan yang lalu lalang melewati area tersebut. Terlihat dari lebatnya pepohonan, beberapa orang dalam mobil pick up, mengintai kendaraan lewat.
"Apes banget, ya, hari ini. Dari tadi belum ada mobil yang membawa muatan." Pria bertubuh kurus terlihat menggerutu.
"Ssstt! Jangan omong gitu, pamali. Hati- hati dalam setiap perkataan," ujar pria dengan berperawakan tinggi besar.
Berbeda dengan Adi, dia dengan tenang terus mengendarai truknya, padahal mengerti kalau tadi ada rombongan begal mengikuti laju kendaraannya."Aaah ... kenapa gagalkan rencana kalian. Aku jadi tidak dapat tumbal malam ini." Adi tersenyum sinis menatap ke arah spion melihat rombongan begal menghentikan niatnya.Tanpa pikir panjang Adi melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi berharap sebelum Isya sampai tempat tujuan. Namun, harapan Adi pupus. Jalan yang akan dilaluinya terhalang bebatuan longsor akibat terjadi gempa kecil sehingga jalur memutar alternatifnya. Untuk menghilangkan rasa lelah serta bosan, Adi pun mampir di sebuah warung di pinggiran jalan. Kopi pahit disesap dengan nikmat diiringi asap rokok terkepul dari bibirnya. Adi merasa sedikit lepas beban."Mas, arep ngendi?" tegur wanita pemilik warung dengan nada manja. Adi yang sedikit mengerti bahasa daerah karena bergaul dengan Mas Gondo, menjawab dengan singka
Adi yang meradang menghadapi kegalauan hatinya terus berpetualang menikmati pekerjaannya yang berhubungan dengan kematian, sedangkan Sumi di lain tempat melawan perasaannya. Apalagi Armand terus mendekati dia dan anaknya. Rizky terlihat nyaman jika bersama pria muda itu."Mbak Sumi, sebentar lagi' kan Rizky usianya genap setahun. Bagaimana kalau kita rayakan?" Armand sangat bersemangat mengungkapkan idenya saat sepulang kerja mampir ke rumah Sumi sambil membawa mobil-mobilan yang disambut tawa ceria anaknya."Duuuh, enggak usah, Dek. Merepotkan saja lagi pula masih dua bulan lagi, kok."Armand mendekat ke arah Sumi sambil membawa Rizky yang tenang dalam pangkuannya."Merepotkan? Tidak Mbak. Saya beserta Teh Dewi akan menyiapkan semuanya. Nanti kita adakan acara pesta ulang tahunnya di restoran yang baru buka di dekat komplek Duta Indah, biar Mbak Sumi enggak capek. Teman-teman Rizky pasti juga senang
Mbak Sumi cari siapa, ya?" tanya pemilik warung melihat Sumi seperti mencari-cari sesuatu."Eh, itu, Bu. Perempuan seusia saya, putih dan cantik. Tadi sepertinya ada di balik pohon, saya hampiri sudah tidak ada," jawab Sumi sambil matanya masih mencari-cari keberadaan Tini."Oh, yang pakai baju hijau, ya, Mbak?""Iya, betul. Ibu kenal?""Lah, kalau enggak salah namanya Astini, Mbak. Orang kaya pindahan dari Jakarta. Rumahnya paling ujung jalan ini, paling besar." Jawaban Ibu Warung membuat tercekat karena setahu dia sahabatnya itu hanya perempuan sederhana, namanya pun Tini, bukan Astini."Kenapa memangnya, Mbak? Saya lihat dari tadi memang wanita tadi selalu memperhatikan Mbak Sumi.""Saya juga enggak tahu, Bu. Mungkin dia mengenal saya. Ya, sudah kalau begitu saya pulang dulu. Terima kasih, Bu," ucap Sumi yang memutuskan segera pulang karena sudah sore dita
Kehidupan bagaikan sebuah permainan, di mana manusia sebagai bidaknya. Entah siapa pemainnya. Tuhankah atau ada yang lainnya. Terpenting bagaimana menyikapi hidup tersebut. Pasrah dengan keadaan atau maju terus menerabas hal-hal di luar nalar.Memikirkan hal terjadi pada para pengabdi Sang Junjungan dengan orang sekitarnya membuat berpikir, akan semua janji yang diberikan iblis tersebut nyata adanya? Itulah yang ada di benak dan pikiran Adi saat usai menunaikan tugasnya di Gunung Kidul. Melihat orang bersyukur dalam keadaan kekurangan menyebabkan dilema pada diri Adi."Aaakh! Sampai kapan seperti ini?" Adi berteriak sambil melajukan truknya. Hujan lebat diiringi suara guntur menggelegar tidak menghalangi pria tersebut melanjutkan perjalanan, apalagi tempat dituju sudah dekat, yakni Perusahaan angkutan Samudera Angkasa.Namun, saat Adi hendak berbelok, seseorang berlari di depan kendaraannya. Sontak, dia menekan pedal rem
Di dalam truk menuju ke pabrik, Adi merasa bingung. Apa lagi harus bersikap tidak tahu apa-apa terhadap Mas Gondo, karena sahabatnya itu seperti sudah tahu apa yang dipikirkannya. Namun, tadi Retno memberikan sebilah keris yang harus diselipkan di dompet dan harus dibawa ke mana pun. Sepertinya itu sebagai media penghalang atau pagar gaib buat Adi agar tidak mudah diketahui isi hati serta pikirannya oleh orang yang memiliki mata batin seperti Mas Gondo.Sesampainya di pabrik, Adi memarkirkan truknya lalu pergi membawa sepeda motor yang belum lama dibelinya menuju rumah sewaan, tetapi karena lelah dan letak rumahnya di pinggiran kota, dia memutuskan menginap di salah satu motel yang banyak di daerah indrustri tersebut.Pagi-pagi sekali Adi sudah sampai pabrik, memang rencananya hari ini, dia hanya akan mengantarkan barang yang tersisa, belum sempat dikirim. Walau sebenarnya hari ini jadwal libur."Di, Adi!" Mas Gond
"Aaah, kita dianggap apa, sih, Mas!" sentak salah satu perempuan muda tersebut saat Adi masih terdiam saja."Kenapa? Aku akan bayar kalian!" Adi merapikan bajunya, lalu melemparkan beberapa lembar uang. Dengan dingin dia meninggalkan bilik tersebut."Mau ke mana, Di?" tanya Mas Gondo saat melihat sahabatnya itu, bergegas keluar warung."Balik Mas ... bosan di sini. Mata Adi mencari jika ada taksi atau ojek yang lewat.""Ya, sudah kita balik, Di. Biar kuantar kamu." Mas Gondo pasrah, tujuannya mengajak Adi ke tempat mesum itu gagal. Ternyata Adi sudah mati rasa terhadap wanita."Enggak usah Mas, kamu lanjutin saja dengan perempuan tadi, aku duluan balik." Adi menghentikan taksi yang lewat di hadapannya, kemudian berlalu menuju pabrik. Pikir Adi, mumpung masih sore, dia akan mengunjungi Retno.Setelah mengambil sepeda motornya di pabrik, Adi segera meluncur ke
Di, aku ikut!" Adi mengenali itu adalah suara Retno. Adi mengangguk dan membuka kunci pintu truk.Retno menghempaskan bokongnya di atas jok, lalu menyuruh Adi segera meninggalkan pelabuhan."Aduh, Bik! Kemana saja, sih? Adi cari Bibik ke rumah yang waktu itu kita sambangi." Adi membuka percakapan sambil mengemudikan truk."Bibik sudah dapat tempat yang layak, Di. Nanti kita mampir kalau kamu sudah mengantar barang-barang.""Bibik mau ikut? Jauh, loh!""Enggak apa-apa, hitung-hitung mengenang sewaktu, Bibik dan pamanmu menyusuri jalan dengan truk waktu itu."Adi mengangguk di hatinya ada pertanyaan, tetapi tidak enak mengungkapkannya."Pamanmu sudah mati, Di. Dia tidak mau menyembah Sang Junjungan jadi terpaksa ditumbalkan." Retno mengetahui isi pikiran Adi, setelah menjawab, dia menatap lurus ke depan, membayangkan masa lalu bersama suaminya. Betapa dulu mereka berkasih sayang, walau Retno din
Perjalanan Adi dengan Bibiknya terhenti sesaat di sebuah rumah makan. Perut yang terasa keroncongan terisi dengan berbagai makanan lalu mereka melanjutkan kembali ke tujuannya."Kalau boleh, Bibik nginap di rumahmu, ya, Di," ucap Retno dalam perjalanan pulang setelah mengantar barang.Adi terlihat kaget mendengar permintaan Bibiknya itu."Eem, tapi kontrakan Adi kecil, Bik. Walau ada kamar dua, sih.""Enggak apa-apa, nanti sebelum ke pabrik kamu antar Bibik ke kontrakanmu dulu, ya ... kan, ngelewati.""Iya, Bik," sahut Adi.Seperti rencana, Adi melanjutkan kembali menuju pabrik, setelah menurunkan Retno di depan kontrakannya. Sesudah menerima kunci, perempuan itu segera memasuki rumah petakan yang disewa Adi.Tubuh Retno gemetar, sesaat dia selesai membersihkan diri di kamar mandi. Mengetahui ada pertanda, Retno segera duduk
"Mana Sumi? Aku ingin bertemu dia juga anakku!" Adi menerobos masuk ke dalam rumah diikuti si wanita yang tak lain adalah Tini."Dia tidak ada di sini, Di! Cepat keluar dari rumahku!" Tini menarik tangan Adi yang tak menghiraukan perintahnya.Merasa kesal dengan perlakuan Tini, Adi menepis tangan dan mendorong tubuh perempuan cantik tersebut hingga terjatuh ke lantai, lalu bergegas membuka pintu kamar satu persatu dengan harapan bertemu Sumi. Namun, alangkah terkejutnya pria tersebut saat mendapati kamar kedua yang dibukanya terdapat patung menyerupai Sang Junjungan lengkap dengan altarnya."Gil*! Ternyata kau juga salah satu pemuja setan keparat itu, Tin?! Kau sengaja mendekati Sumi agar bisa ditumbalkan?" Adi berbalik mendekati Tini dengan tatapan tajam, kemarahannya sudah di ubun-ubun."Bukan begitu, Di ... malah sebaliknya, aku ingin melindungi Sumi, dia ...." Belum selesai ucapan Tin
Di tempat lain, Retno sedang bercakap-cakap dengan Adi. "Tidak salah lagi, Di. Kampung belakang komplek ini, Sumi berada. Aku bisa merasakan kehadirannya walau sosok istri dan anakmu tidak terlihat." "Jadi bagaimana, Bik?" Adi mendekatkan dirinya kepada Retno. "Menurutku, coba kau yang lihat ke sana. Aku yakin, perisai dibuat Gondo dan Yudhis hanya berlaku kepadaku." Retno menyakinkan Adi agar menuruti perintahnya, dia tidak mau tenaganya terus terkuras habis akibat menembus benteng yang dibuat rival-rivalnya itu. "Baiklah, Bik. Kebetulan besok aku libur, mudah-mudahan benar apa yang dikatakan Bibik." Meski ada rasa kecewa, Adi berusaha bertemu Sumi dan menyakinkan diri agar mereka bisa bersama lagi. **** Keesokan pagi dengan menyewa sepeda motor, Adi berangkat menuju kampung belakang komplek. Semilir angin sejuk menerpa wajah perseginya, membuat
Setelah dirasakan tenang, Dewi dan Armand pamit pulang dengan pikirannya masing-masing. Terutama Dewi yang berniat akan mengaku kepada Sumi tentang keadaan almarhum orang tuanya serta dirinya---para penyembah Sang Junjungan. Dia ingin bertaubat karena tak ingin kematian mengerikan menjemputnya. Namun, niat baiknya itu ternyata tak mampu terwujud. Keesokan hari, Dewi beserta suaminya mati ditemukan gantung diri di langit-langit ruang tamu."Ya Allah, bagaimana kejadiannya, Dek?" tanya Sumi setelah mendengar kematian Dewi dan Surya kepada Armand yang menangkupkan kedua tangan menutupi wajah lelahnya."Selepas salat Subuh di musala, saya mendengar suara tercekik dari dalam rumah, pintu keadaan setengah terbuka. Saya pikir tumben Teh Dewi dan Mas Surya sudah bangun. Ternyata yang saya temukan tubuh mereka tergantung, Mbak." Armand menahan tangis. Dalam hitungan hari, dia sudah kehilangan semua anggota keluarga, membuat hatinya bertanya-tan
"Mbak, saya juga mau pamit, ya." Setelah ikut merapikan ruangan, Armand beserta ibu-ibu lainnya pulang. Meninggalkan Sumi dan Rizky yang terbangun dari sebelum Magrib."Anak Ibu mau apa?" tanya Sumi kepada Rizky yang menatap ceria ke buah-buahan yang masih banyak tersaji. Rizky menunjuk ke arah jeruk Mandarin. Sumi dengan penuh kasih menyuapkan ke anaknya."Enak Sayang ...."Rizky membalas pertanyaan ibunya dengan tawa riang. Sumi gemas lalu menciuminya berulang kali.Siiir!Suara angin berdesir masuk kedalam jendela nako yang masih terbuka, Sumi lupa menutupnya. Aroma daging terbakar seketika menyeruak, pikir Sumi itu adalah bau asap dari penjual sate yang biasa mangkal di seberang jalan.Namun, terjadi keganjilan saat Sumi hendak menutup jendela. Tampak di depan rumahnya beberapa orang berdiri membelakangi. Dia melirik jam di dinding, ternyata sudah p
Sebelum ke rumah Bu Wid, Dewi bertandang ke rumah Sumi untuk memberitahukan tidak perlu menyiapkan apa-apa karena semua kebutuhan tahlilan dia yang akan mempersiapkannya. Namun, Sumi tidak tinggal diam. Saat Rizky bermain dengan mainannya, dia pun membersihkan rumah, agar terasa nyaman jika para tamu datang."Assalamualaikum ...." Suara salam diiringi riuh terdengar dari depan. Beberapa ibu-ibu tampak membawa penganan serta minuman."Waalaikumsallam, masuk Bu." Sumi menyambut ramah.Mereka menata makanan yang dibawa dengan sesekali menggoda Sumi."Aduh, sebentar lagi Rizky punya Bapak baru, nih.""Cocok, tahu, Mbak dengan Armand. Satunya ganteng, satunya lagi cantik."Panas sebenarnya telinga Sumi mendengarkan celotehan ibu-ibu tersebut, tetapi ditahannya di hati. Dia hanya diam, tidak banyak bicara menimpalinya dengan senyuman karena tahu panjang urusan jika
Tragis, mengerikan? Pasti. Siapa yang bersekutu dengan iblis dan akhir hidupnya belum bertaubat, ruhnya akan penasaran bahkan bisa terpenjara dalam lingkaran si iblis. **** Kampung tempat tinggal Pak Dodo dengan Bu Astuti heboh atas peristiwa terbakarnya rumah juragan kaya di wilayah tersebut. Bagaimana tidak, selain seluruh bangunan beserta harta benda lainnya terbakar habis. Para penghuninya pun tersisa jadi abu. Sepasang suami istri tersebut juga kedua anak serta mantunya juga dua pekerja rumah tewas terbakar, keluarga itu hanya tinggal Dewi serta suaminya dan Armand yang kebetulan berada di luar kota untuk keperluan pekerjaan. "Bapak! Ibu!" Teriakan histeris Dewi membahana, suaminya serta Armand berusaha menenangkan. "Sudah, Teh, tenang ... sekarang kita urus acara pemakaman mereka serta tahlilan." Armand berusaha agar Dewi tidak terus berteriak, benar saja Dewi terdiam. Namun, bukan kare
Semua usaha Retno dan Mas Gondo telah mereka lakukan sebisa mungkin walau dengan tujuan berbeda. Satu iblis yang sama dipuja menyebabkan mereka bagaikan dipermainkan dan Sang Iblis hanya tertawa melihat para pemujanya berebutan menarik perhatian apa pun bentuknya."Tin, aku ke rumah Yudhis dulu, mencari jawaban bagaimana cara membunuh Retno." Mas Gondo pamit kepada kekasihnya setelah merasa baikan. Tini mengangguk sebagai jawaban.Terik matahari tidak menghalangi Tini menuju rumah Sumi, sepeninggal Mas Gondo hatinya merasa tidak tenang. Khawatir terhadap anak serta cucunya.Di bawah naungan payung hitam, Tini mengintip dari balik pohon. Perasaannya lega melihat Sumi serta anaknya dalam kondisi baik-baik saja. Namun, ternyata bukan Sumi yang harus dikhawatirkan keadaannya, tetapi dirinya sendiri karena dua pasang mata menatap tajam ke arahnya yakni Pak Dodo dan Bu Astuti. Benar saja, ketika Tini hendak melangkah pulang, l
Setelah menyantap makanan yang disajikan Adi, Retno menuju kamar mandi, membersihkan diri lalu bersiap menjalankan misinya. Mencari keberadaan Sumi, dia dapat merasakan getaran bahwa orang yang dicarinya tidak jauh dari kontrakan Adi.Setelah menengok kiri kanan, Retno mulai menyusuri jalan menuju perkampungan-perkampungan yang berada di belakang komplek perumahan tempat tinggal Adi, tetapi ada yang aneh dengan penampilan Retno kali ini. Dia menyamar sebagai pengemis, berpakaian lusuh, wajah ditutupi jelaga serta memakai selendang di kepala agar dapat leluasa menjalankan aksinya. Sungguh luar biasa tekad perempuan itu, semua demi kejayaannya.Mulut Retno komat-kamit, matanya terus mencari, berharap apa yang dilihat dengan mata batinnya benar adanya. Bahwa Sumi beserta anaknya berada di sekitaran daerah itu, tetapi dari kampung-kampung sudah dijelajahinya sosok dicari belum ketemu jua. Tubuh Retno mulai terasa lelah hingga dia memutuskan beri
Hampir tengah malam saat Adi sampai di kontrakan dan mendapati Retno masih terbaring lemah di lantai."Bik, Bibik!" Adi berusaha membangunkan Retno. Namun, perempuan itu tidak bergeming. Sehingga Adi memutuskan ingin membawanya ke rumah sakit, tetapi saat tubuhnya hendak diangkat, mata Retno membuka."Ambilkan tas Bibik, Di ...." Adi bergegas mengambilkan tas kecil yang diletakkan Retno di kursi, sebelum dia mencoba menerawang tadi."Ini, Bik!" Adi memberikan tas Retno kepada pemiliknya. Perempuan itu langsung mengeluarkan botol kecil berisi cairan merah pekat yang langsung diteguknya habis. Mata Retno mengerjap, wajahnya pun tampak segar setelah meminum cairan tersebut."Ada apa, kok, Bibik pingsan?" tanya Adi."Aku tadi berusaha mencari tahu keberadaan Sumi karena merasakan getarannya, tetapi saat berusaha lebih jauh lagi, aku diserang. Sepertinya oleh Gondo dan Yudhis,"