"Benarkah?" tanya Rena sekali lagi untuk meyakinkan pendengarannya tidaklah salah."Jangan khawatir, kamu cuma sedang mengandung. Kamu hanya perlu banyak makanan bergizi dan istirahat yang cukup.""Aku turut bahagia untukmu," imbuhnya.Rena menatap Billy dalam-dalam. Pria itu sepertinya sadar lalu melambaikan tangan ke arahnya."Apa Billy tahu? Dia pasti tahu setelah kami ke rumah sakit waktu itu! Kenapa dia nggak bilang apa pun? Apa yang Billy rencanakan? Apa dia berniat melepasku setelah aku hamil anak Joshua? Tapi kenapa aku nggak boleh kembali sekarang? Apa benar hanya karena Kai?" batin Rena dengan segudang pertanyaan."Nyonya Pal, maukah kamu merahasiakan ini dari temanku di sana?" bisik Rena."Kenapa?" Pal agak terkejut mendengar permintaan Rena. Di tempatnya, orang-orang selalu menggelar pesta kehamilan."Aku nggak ingin dia maupun suamiku khawatir, Nyonya. Setidaknya sampai keadaan membaik. Aku mohon," pinta Rena."Baiklah." Pal tersenyum ramah. "Rena, jika kamu mengalami kes
"Aku tahu kamu sudah banyak menolongku dan aku berhutang banyak padamu. Tapi maaf, aku nggak bisa.""Kenapa? Aku tetap akan menerimamu dan akan menganggap bayi ini sebagai anak kandungku sendiri." Billy menyenderkan kepala di depan perut Rena."Mungkin kamu nggak tahu, walaupun pesta pernikahan kami gagal total, aku sebenarnya sudah menikah dengan Joshua."Billy mengusap lembut perut Rena. Seakan-akan ia tak terpengaruh dengan fakta itu."Aku tahu Peter Gavin yang membuat surat nikah palsu. Kalaupun surat nikah itu memang asli, nggak masalah, Sayang. Aku tetap bersedia menjadi ayah dari anak ini. Aku menyayanginya bahkan sebelum dia lahir ke dunia," kata Billy lembut.Rena sedikit terpengaruh. Memang benar ia tak ingin anaknya hidup menderita tanpa kehadiran seorang ayah. Tapi ketika mengingat wajah Joshua, ia tak sanggup melakukannya."Aku harus menyelesaikan kesalah pahamanku dengan Joshua, Bill. Aku nggak peduli lagi dia mau mengakui anak ini atau nggak. Yang penting dia tahu kalau
Setelah berbulan-bulan, Joshua akhirnya keluar dari sarang Pulau Gavin. Ia yang nyaris kehilangan salah satu paru-paru akibat peluru Kai, kini telah pulih sepenuhnya. Begitu pula dengan hatinya.Joshua telah merelakan calon istrinya kabur dengan pria lain, menurutnya. Meskipun ia masih sering marah dan mengutuk Billy Volker yang lagi-lagi merebut wanita yang dicintainya, dan menganggap Rena wanita yang kejam. Sekarang ia akan hidup untuk dirinya sendiri. Bersenang-senang dengan para wanita seperti yang dilakukannya setelah kematian palsu Fani dulu."Wah, Tuan Muda tampan akhirnya muncul juga!" seru Alexa Arion."Hilang ke mana saja selama ini? Nggak ada yang bisa menghubungimu. Kami pikir kamu bunuh diri setelah ditinggalkan calon istrimu," ejek Alexander, saudara kembar Alexa."Diam, brengsek! Ponselku nggak sengaja jatuh ke laut." Bukan, ia sendiri yang melemparnya ke pantai setelah terakhir bicara dengan Rena."Syukurlah bukan kamu yang nyemplung ke laut!" Alexa terkekeh-kekeh den
Rena mengerang sambil mengurut perutnya. Bayi kecil dalam rahimnya menendang-nendang dengan keras."Ada apa, Sayang?" Ia membelai perutnya.Rasa menyakitkan menyerang. Cairan bening keluar dari organ kewanitaannya sampai membasahi gaun tipis yang membalut tubuhnya. Rena ternganga panik."Rena... Rena... Kamu baik-baik saja?" Padma, adik Pal mengetuk pintu kamar Rena."Tolong aku, Kak," pekik Rena ketakutan.Padma membuka pintu cukup kuat sampai membentur dinding yang menimbulkan suara keras mengejutkan. "Astaga! Kamu mau melahirkan, Sayang? Bukankah masih dua bulan lagi?""Nggak tahu, Kak. Ini sakit sekali. Perutku seperti diremas-remas! Aku harus gimana?""Tunggu sebentar ya, aku akan memanggil dukun bayi." Padma tak kalah panik dari Rena. Biarpun sudah berusia tiga puluh lima tahun, ia masih belum menikah, tak pernah pula disentuh pria, apalagi melahirkan."Kak, jangan pergi! Jangan tinggalin aku sendiri!" teriakan Rena menghentikan langkah Padma.Wanita itu berbalik kembali ke kama
Rena telah mendengar semua cerita Liam secara terperinci. Dari sejak Joshua koma, keluarga Gavin yang menuduhnya berkhianat, sampai bukti tes DNA yang dibuat-buat oleh Volker sehingga membuat Joshua mengira Rena tengah hamil anak Billy.Bohong jika ia tak marah dengan Billy, tapi setelah memiliki buah hati, ia harus lebih pandai menahan diri. Sebab apa yang ia rasakan dapat juga dirasakan oleh bayi mungil itu."Kenapa Kakak nggak bolehin aku bilang ke Kak Joshua? Dia jadi gila sekarang, Kak. Dan harus dihentikan secepatnya!""Biarkan saja dulu, Liam. Biar Joshua bersenang-senang sampai puas.""Kakak nggak cemburu kalau dia melakukan sesuatu dengan perempuan lain?""Jujur, aku cemburu. Tapi aku nggak punya hak untuk mengatur hidup kakakmu. Waktu Joshua membuang ponselnya, dia berarti sudah memutuskan untuk melupakanku. Lagi pula, selama ini dia nggak pernah mencintaiku. Dia cuma kasihan padaku, Liam."Liam tak jadi membuka mulutnya. Ia ingin memberi tahu jika Joshua pun serius pada Ren
"Kakak sedang apa di sini?" Liam terkejut, Joshua telah duduk menantinya di bagasi belakang yang terbuka lebar."Bawa sini belanjaanmu itu!" perintah Joshua."Apa sih? Jangan ikut campur urusanku! Pergi sana!""Liam!" Joshua menaikkan suara.Beberapa orang di parkiran sampai berhenti karena suara Joshua. Sekelompok wanita tak melanjutkan perjalanan sejenak melihat dua pria tampan sedang dalam suasana menegangkan.Setelah parkiran kembali sepi, Joshua menarik troli yang dibawa Liam. Ia segera meneliti semua isi di dalamnya. Dan benar dugaan Peter, Liam mungkin sudah mencoreng nama baik keluarganya."Katakan Liam, siapa perempuan yang kamu hamili?""Hah?" Kedua bola mata Liam hampir melompat keluar.Reaksi Liam diikuti oleh anggukan Joshua karena mengira tebakannya benar. "Aku nggak akan bilang Papa dan Mama kalau kamu mengatakannya padaku."Liam membuang nafas dengan kasar. Ia menyerobot trolinya lalu menata semua barang di bagasi mobilnya."Ini semua hadiah untuk temanku.""Teman tidu
"Kakak Ipar, aku mau pulang lagi besok," potong Liam. Ia lega datang di saat yang tepat.Felix mendengus kesal. "Aku pulang dulu, Ren. Pikirkan ucapanku baik-baik, ya.""Hati-hati, Felix. Terima kasih ya vitaminnya."Felix melambaikan tangan tanpa menoleh ke belakang. Rena terkekeh-kekeh mengingat pertemuan pertamanya dengan pria itu. Felix melakukan hal yang serupa."Kakak Ipar suka dengannya?" tanya Liam."Tentu saja, dia teman terbaikku.""Tapi aku nggak melihat orang itu menganggap Kakak sebagai teman.""Apa yang kamu khawatirkan, Liam? Kamu takut kalau aku menerima tawarannya?"Liam mengangguk."Jangan khawatir. Dia bukan pemaksa seperti Billy. Dia hanya ingin menawarkan bantuan.""Tapi Ka-""Sudah, aku akan membantumu berkemas sekarang. Nggak usah mikir macam-macam.""Rio biar aku suruh tinggal di sini untuk menjaga keponakanku kalau kalau si Volker itu menemukan kalian.""Kalau dia nggak keberatan.""Dia pasti akan suka."Rena dan Liam melihat ke luar jendela. Di mana Rio sedan
Joshua menggulir galeri ponsel duplikat adiknya. Tangannya tak berhenti bergetar memandangi satu persatu foto dalam album gambar.Jemarinya berhenti di sebuah gambar yang menunjukkan Rena tengah memeluk buah hati mereka. Ia mengusap foto itu dengan lembut.Ponsel yang lain berbunyi. Anak buah Joshua melapor, "Tuan, baru saja hujan lebat di titik koordinat. Helikopter tidak bisa mengudara malam ini. Jalur laut juga sepertinya akan lebih sulit dilalui.""Segera hubungi aku kalau cuaca di sana sudah membaik.""Baik, Tuan."Joshua membuka pesan baru dari Rena.[Ethan sudah tidur lelap, Liam. Panasnya sedikit turun. Felix baru saja memberinya obat. Jangan khawatir, keponakanmu baik-baik saja.]Rena mengirim pesan lainnya. Video singkat yang menunjukkan Felix tengah menepuk lembut bayi kecilnya, darah daging yang selama ini tidak ia ketahui keberadaannya.Bukan, lebih tepatnya, ia tak mau mendengar penjelasan Rena. Sampai ia tak mengakui darah dagingnya sendiri. Ia termakan bualan Billy Vol