"Hallo Rora, kamu di mana sekarang?"
Terdengar suara Djaren dari telepon yang digenggam Joel. Ternyata saat tabrakan dengan Rora tadi, Joel tidak sengaja mengangkat panggilan dari Djaren. Rora langsung beralih membekap mulut Joel agar tidak bersuara. Sementara Joel hanya diam terlentang di sofa dengan Rora yang berada di atasnya. Posisi mereka sangat canggung, karena Rora memang tersandung dan tiba-tiba jatuh menimpa Joel. "Please, please jangan ngomong apa pun. Gue mohon," ucap Rora, menatap Joel dengan mata memohon. Joel memutar bola matanya jengkel, kemudian ia mengangguk. Perlahan Rora akhirnya melepaskan tangan di mulut Joel dan langsung mengambil ponselnya. Ia berdiri lalu berbicara singkat dengan Djaren sebelum menutup telepon. "Pacaran?" tanya Joel setelah Rora menutup telepon. Rora langsung menoleh. "Enggak!" jawabnya sambil memalingkan wajah, berusaha menghindari tatapan Joel. Melihat itu tiba-tiba Joel merasa kesal. Entah kenapa ia kesal melihat Rora yang memilih untuk menyembunyikan sesuatu darinya. Padahal Rora sudah setuju untuk menjadi pesuruhnya. Joel merasa Rora menyembunyikan banyak hal, tentang hubungannya dengan Djaren maupun soal botol susu. Namun, Joel lebih tertarik dengan hubungannya bersama Djaren. Ia tidak ingin mainannya dibagi bersama orang lain. "Bilang aja kalo pacaran!" bentak Joel, berdiri lalu masuk ke kamarnya. Braaakkk! Rora terperanjat ketika Joel membanting pintu. Jantungnya sampai berdebar kencang membuatnya mengusap-usap dadanya. "Kenapa sih tiba-tiba marah? Gak jelas!" gerutuknya. Rora tidak mengindahkan kemarahan Joel, ia langsung melanjutkan pekerjaannya menyapu lantai. Bukan hanya itu saja, Rora membereskan seisi apartemen yang terlihat sangat berantakan. Hingga ia selesai di pukul 9 malam. Saat Rora diam-diam ingin pulang, ia dihentikan oleh pikirannya yang melayang ke botol susu yang masih di tangan Joel. "Haa ... kenapa harus diambil sama orang rese ini, sih?! Mana mesum lagi!" gerutu Rora memutar tubuhnya berbalik arah ke kamar Joel. Tok tok tok! "Jo, udah selesai nih beres-beresnya," ucap Rora sambil mengetuk pintu. Tidak ada balasan dari Joel membuat Rora terpaksa membuka pintu. Terlihat pemuda itu sudah terlelap dalam tidurnya. Mata Rora langsung tertuju pada botol susu yang berada di nakas samping tempat tidur. Gulp! "Mending ambil aja, mumpung dia lagi tidur," gumam Rora sambil menelan ludahnya. Perlahan dia berjalan mengendap-endap masuk ke kamar Joel. Jantungnya berdegup kencang takut jika Joel tiba-tiba bangun. Dengan badan bergetar Rora berusaha untuk tetap melangkah mendekati tempat tidur. Saat sudah dekat tangannya perlahan terulur untuk mengambil botol susu. Ia memejamkan matanya ketika melihat Joel mengubah posisi tidur. Beruntungnya Joel tidak terbangun, dengan cepat Rora berusaha mengambil botol susu itu. Namun, tanpa disangka mata Joel terbuka sebelum Rora sempat mengambilnya. Dengan gerakan cepat Joel langsung mencengkram kuat tangan Rora membuat gadis itu terperanjat. "Astaga!" pekiknya terkejut. "Mau ngapain?" tanya Joel dengan suara berat, tatapannya yang dingin membuat tubuh Rora merinding. "Eng-engga, gak ngapa-ngapain, kok," balas Rora tergagap. Joel melirik botol susu di atas nakas lalu tersenyum menyeringai. Ia langsung menarik tangan Rora hingga gadis itu terjatuh ke atas tubuhnya. "Kyaaaa! Jo, elo gila, lepasin!" teriak Rora saat Joel tiba-tiba menariknya hingga tertidur di atas kasur. "Siapa suruh macam-macam," balas Joel santai, kedua tangannya mengunci pergerakan Rora. "Jo, lepas ...!" Tubuh Rora menggeliat berusaha melepaskan diri. "Udah tidur aja, udah malam," ucap Joel santai. "Gila lo. Gak mau, gue mau pulang, Joel ...!" teriak Rora. "Ck! Kenapa? Mau ketemu sama si Djaren?" tanya Joel kesal. Rora langsung berhenti menggeliat, menatap Joel dengan tajam. "Apa sih gak jelas banget. Mau pulang lah, nanti ibu marah udah lepas!" seru Rora. "Itu botol susu apa, sih? Jangan bilang kalau itu ASI punya lo?" tanya Joel, tangannya masih melingkar di pinggang Rora. Rora terdiam mendengar pertanyaan Joel. Tebakannya sangat benar, botol susu itu memang berisi ASI yang Rora hasilnya. Namun, ia tak kuasa memberitahu Joel tentang rahasianya itu. Joel yang melihat Rora terdiam semakin curiga. Ia menatap gadis itu lekat, “Ini ASI elo?” tanyanya sekali lagi, memastikan. "Lepasin brengsek!" geram Rora, memukul dada Joel, matanya melotot menatap cowok menyebalkan yang sedang memeluknya. Dipanggil brengsek oleh Rora membuat emosi Joel kembali muncul. Ia melepaskan genggaman tangannya dan membiarkan Rora pergi. Gadis itu awalnya nampak bingung. Namun, sedetik kemudian ia langsung bangkit dari tempat tidur Joel. "Pokonya gue udah ngelakuin apa yang lo suruh. Sekarang balikin botol susu itu!" tagih Rora. Sebelumnya Joel memang berjanji mengembalikan botol susu itu jika Rora mau datang ke apartemennya. "Siapa elo bisa merintah gue?" Joel bangkit, mengambil botol susu itu. "Elo udah janji tadi!" seru Rora kesal. "Perjanjian batal karena lo menyebalkan! Silahkan pergi!" usir Joel membuat Rora tercengang. Kepalang kesal Rora langsung pergi tanpa pamit. Ia bahkan berjalan sambil menghentakkan kakinya. Sikap Joel yang seenaknya sendiri sangat membuat kepala Rora serasa mendidih karena kesal. Gadis itu pun pulang dengan perasaan kesal yang sudah di ubun-ubun. Namun, tidak sampai di situ, kekesalannya bertambah ketika sang ibu tiri memergokinya pulang larut. "Bagus ... pulang larut malam! Mau jadi apa kamu Rora? Anak gadis baru pulang jam segini!" Ayu berdiri di tengah-tengah tangga, melipat kedua tangannya di dada. Matanya yang tajam menatap Rora dengan penuh kebencian. "Maaf, Bu. Saya tadi menjenguk teman saya, dia sedang sakit," ucap Rora berbohong. Akan sangat berbahaya jika ibu tirinya tahu bahwa Rora baru pulang dari rumah seorang laki-laki. "Alasan saja kamu Rora! Mau jadi wanita murahan seperti ibu kamu itu! Anak sama ibu, sama-sama gak ada harga dirinya!" cibir Ayu. Rora hanya bisa sabar, menghela napas panjang dan mengelus dadanya. Sejak tinggal di rumah ayahnya, ia memang tak pernah diterima oleh ibu tirinya. Ayu selalu berusaha membuat Rora tidak betah tinggal di rumah. "Kamu masih SMA, mau kamu jadi jalang seperti ibumu!" bentak Ayu. "Astaga, Bu! Kalo ibu benci sama saya silahkan hina saya, tapi jangan hina ibu saya!" Rora akhirnya membalas ucapan Ayu, ia tidak terima ibunya dihina seperti itu. "Memang ibu kamu jalang perebut suami orang! Dan perlu kamu ketahui ya, Rora, kamu itu anak haram!" Dada Rora sesak hampir meledak mendengar penghinaan Ayu terhadapnya. Ia tahu, sangat tahu bahwa dirinya anak hasil hubungan gelap ibu dan ayahnya. Namun, tidak seperti ini. Rora juga memiliki perasaan. Bukan salahnya lahir di dalam keadaan seperti itu. "Kamu harusnya bersyukur saya masih menerima kamu di sini! Jadi jangan sok kamu, kamu di sini saya anggap cuma pembantu!" seru Ayu menggelegar. "Bu, saya juga anak ayah, dan ini rumah ayah. Saya berhak tinggal di sini!" balas Rora, ia tidak ingin hanya diam menerima penghinaan itu. "Wah, kurang aja kamu, ya!" Ayu mendekat pada Rora, bersiap mendaratkan pukulan ke gadis itu. Namun, aksinya terhenti saat mendengar suara putranya. "Mah, stop!" teriak Djaren. Ayu dan Rora langsung menoleh ke atas tangga. Melihat Djaren yang berjalan mendekat membuat Rora mengumpat dalam hatinya. Rahasia lain yang ingin Rora sembunyikan adalah fakta bahwa ia dan Djaren bersaudara. Ia tidak ingin kehidupan kelamnya harus diketahui orang-orang. Melihat Ayu dan Djaren yang sedang bersitegang, Rora memilih untuk pergi ke kamarnya. Namun, tanpa disangka beberapa saat setelah ia sampai di kamarnya, Djaren menerobos masuk. "Djaren? Kamu ngapain di sini?" tanya Rora kesal. Matanya langsung membulat ketika Djaren tiba-tiba memeluknya.Pagi hari Rora dimulai dengan mood yang berantakan. Berkat kedatangan Djaren ke kamarnya semalam, Ayu marah-marah lagi padanya. Dia bilang Rora sengaja menggoda Djaren untuk menarik simpatinya. Padahal Djaren sendiri yang masuk ke kamar Rora dan tiba-tiba memeluknya. Belum lagi Joel yang tiba-tiba meminta Rora untuk membawa bekal makanan untuknya menambah kesal hati Rora. Dan di sinilah dia, berkutat di dapur menyiapkan bekal makan untuk Joel. Pemuda itu secara spesifik meminta dibuatkan sandwich buah. Yang mana Rora harus menyiapkan bahan-bahannya terlebih dahulu, karena Ayu akan marah jika Rora berani membuka kulkasnya. "Aduh, udah mau jam 7 lagi!" ucap Rora. Ia segera menyelesaikan kegiatannya membuat sandwich. Dengan cepat pergi keluar dari rumah, takut berpapasan dengan Djaren. Namun, sialnya ternyata Djaren sedang menunggunya di gerbang depan. "Ra, berangkat bareng aku, yuk!" ajak Djaren. Dahi Rora mengerut, ia langsung menoleh ke arah rumah takut jika ada Ayu. "Gak a
"Kok, kamu bisa sih berangkat bareng Djaren?" "Ciee ciee, ada hubungan apa nih kamu sama dia? Ayo dong cerita." "Kalian cocok tahu, yang satu ketua OSIS ganteng, satu lagi selebgram cantik." "Ih, iya cocok banget, ya ...!" Rora hanya tersenyum kikuk mendengarkan ocehan teman-teman sekelasnya. Sejak pagi, ia sudah disuguhi dengan banyak pertanyaan mengenai hubungannya dengan Djaren. Sejak awal semua orang di kelasnya sangat ramah. Mereka suka pada Rora karena gadis itu sangat rendah hati walaupun terkenal. Rora menjadi icon idol setidaknya di kelasnya. "Guys, udah ya, kasihan Rora mau makan dulu. Ayo, Ra!" ajak Berly tersenyum sambil mengulurkan tangannya pada Rora. "Teman-teman maaf, ya. Aku pergi duluan," ucap Rora menerima uluran tangan Berly. "Yah ... tapi nanti cerita, ya, Ra." Terdengar nada kecewa dari teman-teman sekelas Rora. Meski begitu mereka membiarkan Rora dan Berly pergi. Namun, tiba-tiba dua orang gadis menghadang jalan mereka. Gilsha dan Silvia berdiri
Braaakkk! "Aarghh! Sialan!" teriak Joel mengamuk. Pemuda jangkung itu menendang kursi hingga terjengkang. Wajah dan telinganya terlihat memerah dengan amarah yang menggebu-gebu. Sebelah tangannya menyugar rambutnya ke belakang, dadanya naik turun dengan suara tarikan napas yang terdengar keras. "Huuu .... Tenang Joel, gak mungkin mereka pacaran," ucapnya berusaha tenang. Bagaimana ia tidak mengamuk, Rora lebih memilih pergi bersama Djaren daripada menjawab pertanyaannya. Joel kesal karena gadis itu mengabaikan perintahnya. Apalagi ia semakin penasaran dengan botol susu yang masih ada padanya. Ia ingin tahu kebenaran di balik keberadaan Rora di gudang tempo hari. "Bisa-bisanya dia pergi gitu aja!" seru Joel duduk di sofa. Matanya menatap botol susu yang berada di atas meja di depannya. Joel mengambil botol susu itu lalu membuka tutupnya. Dahinya mengernyit ketika mencium bau yang khas dari susu itu. Seperti susu sapi pada umumnya susu itu berbau sama. Namun, ada sedikit
Joel melangkah gontai memasuki area sekolah. Satpam yang melihat hanya bisa membiarkannya lewat, walaupun siswa dilarang keluar masuk sembarangan apalagi di jam pelajaran. Itu semua tidak berarti bagi Joel. Pengaruh kakeknya di sekolah sangat besar. Bisa dikatakan bahwa sekolah itu milik keluarga Joel. "Gak mungkin 'kan dia ...," gumam Joel, wajahnya terlihat lesu. Entah dari mana dia, setelah pergi ke suatu tempat Joel memutuskan kembali ke sekolah untuk memastikan sesuatu. Pemuda itu masih sangat terkejut dengan fakta yang baru ia ketahui tentang botol susu di tangannya. Ia melangkah menuju kelas mencari Rora. Sebelah alis matanya terangkat melihat gadis yang ia cari keluar dari kelas dengan tingkah mencurigakan. Rora berjalan sambil membawa sesuatu di tangannya. Melihat sekeliling sambil berjalan agak bungkuk membuat Joel merasa curiga melihatnya. "Mau ke mana dia?" gumam Joel melangkah mengikuti Rora. Joel sedikit menjaga jarak agar gadis itu tidak mengetahui bahwa dirinya di
"Suuttt diem!" Joel menempelkan telunjuk di bibirnya, memberi kode untuk tidak bersuara. Perlahan ia melangkah untuk melihat kasur UKS dekat pintu yang tertutup tirai. Sementara Rora mengigit bibirnya, perasaannya tidak tenang. Seharusnya tadi ia lebih teliti lagi memeriksa tempat itu. Bagaimana jika ada orang lain selain dirinya dan Joel? Saat tangan Joel terulur untuk membuka tirai, tiba-tiba suara berisik dari luar terdengar. Joel buru-buru kembali ke tempat Rora dan menutup tirai di depannya. Suara orang berbicara dan langkah kaki semakin dekat ke arah mereka. "Rora ke mana, ya?" "Kayaknya ke UKS, deh. Kita masuk aja dia tadi bilang sakit, kan!?" Mendengar itu Joel langsung mendorong Rora ke atas kasur, begitupun dengan dirinya ikut tidur di kasur yang sama. "Jo, apa-apaan, sih?!" pekik Rora mendorong dada Joel. "Suttt, diem! Ada orang di luar," balasnya langsung menutupi tubuh mereka dengan selimut. Cek lek! Suara pintu terbuka terdengar di telinga Rora.
"Lepasin!" seru Rora. Gadis itu langsung menarik kedua tangannya dari Joel dan Djaren. Ia langsung berlari dengan rasa panik yang mulai muncul, tangannya gemetar, wajahnya pucat. Sebisa mungkin ia menapakkan kaki dengan benar dan menjauh dari kerumunan orang-orang. Rasanya Rora ingin sekali menangis, mengapa takdir seolah bercanda dengannya. Padahal sebisa mungkin ia selalu bersikap baik agar tidak menarik perhatian. Namun, kelakuan Joel dan Djaren malah membuat semua perhatian itu tertuju padanya. 'Aku benci! Kenapa sih mereka harus kayak gitu sama aku?!' batinnya, gadis itu berlari memasuki perpustakaan yang sepi. Sementara itu Joel dan Djaren malah saling menatap dengan aura permusuhan yang sangat kuat. Orang-orang masih setia memperhatikan kedua pemuda jangkung itu. Tinggi mereka hampir sama, hanya saja Joel sedikit lebih tinggi. "Jangan ganggu Rora!" seru Djaren dengan suara datar. "Elo, siapa? Gak ada hak buat ngelarang!" balas Joel tersenyum sinis, menarik tas yang m
"Sha, kamu jangan diem aja! Kasih pelajaran si Rora!" seru Silvia. "Hm, tenang aja, aku udah punya cara buat bikin cewek centil itu malu! Siapa suruh deket-deket sama Joel!" balas Gilsha menatap ke arah Rora yang digandeng oleh Joel dan Djaren. Ternyata Gilsha yang terlihat gadis baik-baik dan polos memiliki pikiran jahat. Hanya karena kedatangan Rora ke sekolah itu membuat popularitasnya berkurang, dan kedekatan Rora dengan Joel, membuat Gilsha nekat berbuat jahat. Di saat murid lain sudah pergi ke ruang laboratorium, dengan gerakan cepat Gilsha sengaja meletakkan ponselnya di tas Rora. Namun, pergerakannya yang secepat kilat dapat terlihat oleh Joel, yang kebetulan masih berada di depan kelas. Pemuda itu melihat kelakuan Gilsha dari celah pintu. "Eh, Jo kamu nungguin aku?" Gilsha tersenyum manis ketika melihat Joel yang terlihat seolah menunggunya. "Iya, nih. Ayo!" ajak Joel membuat Gilsha langsung kegirangan. Bibir Joel tersenyum tetapi ketika Gilsha tidak melihat, pemud
"Ra, kalau masih sakit, gapapa gak usah ikut," ucap Berly. Rora tersenyum manis sambil menggelengkan kepalanya, wajahnya masih sedikit pucat walaupun sudah ditimpa dengan riasan tipis. "Udah gapapa, kok. Tenang aja, lagian aku juga mau beli sesuatu," balasnya. Berly masih sangat khawatir dengan kondisinya. Pasalnya gadis itu mengeluh pusing lalu tiba-tiba pingsan. Namun, Rora masih setia menepati janjinya, mengantar Berly pergi berbelanja ke mall. Berly lagi-lagi melirik pada Rora yang sejak tadi terus melamun. Entah apa yang dipikirkan gadis itu. Mereka berdua berjalan memasuki toko make-up. Berjalan ke arah rak berisi deretan lipstik yang warna-warni. Rora masih kurang bersemangat walaupun ia sangat suka sekali dengan make-up. Biasanya gadis itu akan langsung heboh sendiri memilih barang yang ia suka. 'Haa ... harus gimana lagi caranya supaya Joel gak bertingkah,' gumam Rora dalam hatinya. Saat di UKS tadi, Rora sangat takut Joel akan melakukan hal aneh padanya. Pasaln
"Aurora kamu di mana ...?" gumam Djaren terus mencoba menelpon Rora. Sampai jam sudah menunjukkan pukul sembilan, Rora belum juga pulang ke rumah sehingga membuat Djaren sangat khawatir. Berkali-kali pemuda itu menelpon nomor Rora, berkali-kali pula panggilannya tidak diterima. "Ck! Ke mana sih dia!" gerutuknya kesal. Djaren terus berjalan mondar-mandir di depan kamar Rora. Ia mencoba menghubungi teman sekolahnya dan menanyakan di mana alamat Joel. Siang tadi saat dirinya dan Rora sedang berbicara, tiba-tiba Rora pergi meninggalkannya. Kemudian dari gosip anak-anak di sekolah, Djaren tahu bahwa Rora pergi bersama Joel ke rumah sakit. Namun, saat dicek di rumah sakit mereka sudah tidak ada. "Ke mana si Joel bawa Rora?!" Lagi-lagi Djaren menggerutu. Sudut bibirnya terangkat ketika melihat balasan dari temannya. Ia langsung pergi ke alamat apartemen Joel. Sementara itu gadis yang sedang Djaren khawatirkan tengah duduk sambil menundukkan kepala. Kedua tangannya saling meremas dan b
"Dok, saya minta pulang sekarang juga!" tegas Joel menatap sang dokter yang sedang memeriksa kakinya. "Joel, kamu tau 'kan kalau saya tidak bisa menyetujuinya. Sabarlah besok atau lusa kamu boleh pulang," balas dokter itu tersenyum kesal kepada pasiennya yang bebal."Pokonya saya ingin pulang, dengan atau tidak seizin dokter saya akan pulang!" Joel langsung bangkit bersiap mencabut selang infus di tangannya. "Eh ... eh!" Orang-orang di sana langsung terkejut begitu Joel ingin mencabut infusan di tangannya. Rora yang melihatnya langsung memutar bola matanya merasa jengkel dengan sifat Joel. "Jo! Elo kenapa sih, kata dokter juga gak bisa pulang sekarang!" bentaknya kesal. "Ya, salah elo! Katanya elo gak suka nginep di rumah sakit! Kalau gitu nginep di rumah gue aja, gampang 'kan!" Mata Joel mendelik tajam pada gadis yang berdiri di sebelahnya. Dokter dan teman-teman Joel yang menyaksikan tingkah kekanakannya itu, hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala. Oza dan yang
"Jo, Jo! Anjir kaki lo luka, Jo!" Oza berusaha menghentikan langkah Joel. Namun, pemuda dengan head ban di kepalanya terus saja melangkah. Sampai ia berhenti ketika melihat Rora berjalan seorang diri. "Joel?" gumam gadis itu. Joel segera menghampiri Rora, mencengkram kuat tangannya. Sorot matanya yang dingin menatap dengan penuh kemarahan. "Aww! Jo, sakit!" keluh Rora mencoba melepaskan cengkraman tangan Joel. "Tadi ngapain sama di Djaren, hah?!" bentak Joel membuat Rora terperanjat. Gadis itu langsung melihat sekeliling, banyak anak-anak yang memperhatikan mereka membuatnya cukup risih. "Jo, banyak orang ... jangan marah-marah di sini," bisik Rora. "Jo, mending kita ke rumah sakit sekarang. Itu Pak Tama juga nyusulin ke sini anjir!" Oza menepuk pundak Joel, membujuknya. "Gak! Sebelum gue denger jawaban dari cewek sialan ini!" Hati Rora terasa ditusuk dengan belati ketika mendengar kata-kata Joel. Ia tidak mengerti mengapa cowok itu selalu berkata kasar padanya. "Apaan sih,
"Jo! Elo kenapa gak fokus gini?" seru Oza menepuk pundak Joel. "Jo, calm down! Kita bisa menang kalau fokus!" sahut Kafin. Joel hanya diam sambil mengelap keringat di dahinya. Matanya terus menatap tajam pada Djaren yang tengah tersenyum merayakan keberhasilannya memasukkan bola ke ring tim Joel. 'Gue harus menang! Gue harus tunjukkin ke si Djaren sialan itu kalau dia gak ada apa-apanya!' ucap Joel dalam hatinya, bertekad mengalahkan Djaren. Pertandingan kembali dimulai, tim Djaren sejak tadi terus mencetak poin. Sementara tim Joel hanya Oza dan Farrel yang mampu mencetak poin, yang lainnya apalagi Joel terus kehilangan bola. "Jo! Pass!" teriak Oza meminta bola. Joel tidak mendengarkan teriakan itu. Dia terus melangkah maju sambil mendribble bola. Ada tiga orang sekaligus yang menjaga Joel termasuk Djaren, menunggunya di bawah ring. "Sial! Nantang gue lo!" geram Joel. Ia terus berlari melewati satu orang dari tim lawan. Namun, saat ia berusaha melewati orang kedua, kaki Joel t
Rora berdiam seorang diri di kelas yang kosong. Ia masih tertegun melihat foto Joel yang dikirim oleh akun anonim itu. Bukan masalah karena Joel berfoto bersama gadis lain. Namun, posisi mereka ketika berfoto sangat ambigu dan membuat pikiran Rora melayang ke hal negatif. Joel terlihat tertidur di pelukan seorang gadis yang mengambil foto selfie. Mereka masih mengenakan pakaian lengkap, namun tetap saja Rora berpikiran negatif terhadap foto tersebut. Apa yang mereka lakukan hingga tidur di atas ranjang yang sama seperti itu? "Kalau udah punya pacar kenapa dia kayak gitu sama aku? Mana barusan manggil-manggil sayang lagi!" gerutuknya. Gadis itu sedikit kesal, pasalnya sudah beberapa hari ini sikap Joel sangat baik padanya. Sejak malam kesepakatan mereka, Joel tidak pernah mendekati Rora di depan siswi lain. Cowok itu juga selalu bersikap baik, bahkan seringkali memberikan Rora sesuatu yang membuatnya terkejut sekaligus senang. Namun, sekarang Rora harus dikejutkan dengan foto Jo
"Gimana dong, Rora gak bisa ikut latihan dance karena kakinya sakit?" keluh Berly. Anak-anak yang lain juga langsung mengeluh sambil menghela napas panjang. Mereka tidak tahu harus melakukan apa dengan kaki Rora yang terluka. Padahal kandidat pemenang lomba pentas seni sudah digadang-gadang adalah kelas mereka. Namun, karena keadaan Rora sekarang membuat yang lain menjadi pesimis. "Temen-temen aku minta maaf, ya. Mungkin besok atau lusa aku bisa ikut latihan," ucap Rora menyesal. "Gapapa, Ra, itu bukan salah kamu. Aku cuma heran, deh, kenapa di sepatu kamu ada paku payung? Bukannya sepatu itu jarang dipakai, ya?" tanya Berly. Gilsha dan Silvia langsung mencoba mengalihkan pembicaraan. "Guys, kita latihan sekarang aja, nanti kesorean lagi!" ajak Silvia. "Iya, ayo sekarang aja. Rora kamu gapapa 'kan sendirian di sini?" tanya Gilsha. "Iya, gapapa kok, kalian latihan aja sana," balas Rora sambil tersenyum. Akhirnya Rora pun ditinggalkan sendirian di UKS. Dia menghela napas
"Oke, yang ikut lomba basket berarti Joel, Oza, Kafin, Gaha, dan Farrel. Yang lain boleh ikut ke perlombaan olahraga selain basket, ya," ucap ketua kelas. Anak-anak di kelas tidak dapat protes tentang keputusan itu. Joel dan teman-temannya memang anggota inti dari klub basket di sekolah. Maka dari itu orang-orang percaya bahwa mereka akan memenangkan pertandingan. Waktu istirahat tiba membuat semua siswa berhamburan keluar. Seperti zombie kelaparan berlari menuju kantin. Termasuk Joel dan teman-temannya, berjalan beriringan membuat semua mata tertuju pada mereka. Bagaimana tidak menarik perhatian, Joel dan teman-temannya yang tergabung dalam geng bernama SIGMA itu, memiliki tinggi badan di atas rata-rata siswa lainnya. Itu sebabnya mereka tergabung dalam klub basket menjadi anggota inti. Selain itu, fakta bahwa Joel adalah cucu pemilik yayasan sekolah, membuat geng itu semakin diperhatikan orang-orang. "Jo, tadi elo ngapain sama Rora di belakang?" tanya Kafin. "Iya, anji
"Oke, anak-anak sekarang Bapak ingin memberitahu bahwa sekolah kita akan mengadakan festival." Ucapan Pak Tama langsung disambut heboh oleh anak-anak kelas. Mereka berteriak bahkan sampai ada yang memukul-mukul meja. Pasalnya festival sekolah merupakan ajang bagi para siswa untuk menunjukkan kebolehannya. Sepertinya menampilkan keahlian dalam bidang olahraga dan seni. "Sudah-sudah! Dengarkan Bapak, dulu!" seru Pak Tama yang langsung membuat semua murid diam. "Festival kali ini akan ada beberapa acara, seperti perlombaan berbagai cabang olahraga. Lalu ada juga pentas seni di akhir acara. Nah, sekarang Bapak ingin tahu siapa saja yang mau berpartisipasi pada festival ini? Khususnya untuk pentas seni, ya, karena perlombaan olahraga nanti dicatat oleh ketua kelas," sambung Pak Tama. Orang-orang langsung berdiskusi siapa yang akan ikut serta. Sementara dua orang murid di belakang masih sibuk dengan kegiatan mereka. Joel masih terus mengelus kaki Rora, membuatnya kegelian. "Jo, p
JoelKe ruang klub dulu, semalam gue lupa nanyain sesuatu sama lo! "Haa ...!" Rora hanya bisa menghela napas panjang, berjalan gontai menuju ruang klub yang Joel sebutan. Ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. Mau tidak mau Rora harus menuruti keinginan Joel setelah mereka bertemu semalam dan mencapai kesepakatan. "Aurora!" Suara yang memanggil namanya membuat Rora menoleh, ia melihat Djaren tersenyum dan berjalan menghampirinya. "Hari ini guru akan umumkan soal festival, nanti kamu ikut partisipasi, ya," ucap Djaren. "Gimana nanti aja." Rora membalas seadanya dengan nada malas. "Jangan gitu dong ... kamu harus ikut, ya. Biar semakin seru festival sekolah tahun ini. Papah juga pasti bangga loh kalo kamu ikutan." Ucapan Djaren terdengar sedikit memaksa di telinga Rora. Gadis itu menatapnya dengan tatapan malas. Berkat ulah Djaren yang terus mendekatinya, Rora lagi-lagi terkena masalah. Ayu menyuruh Rora untuk membersihkan seluruh rumah tanpa dibantu oleh pembantu. "Iya