Kirana terkulai kelelahan di meja pendek persegi tempatnya bergumul dengan Farhan tadi. Keringat membasahi tubuhnya. Tubuh kuning langsat itu tampak mengkilap oleh peluh. Napasnya perlahan mulai teratur. Ketegangan otot-otot tubuhnya hilang. Matanya terpejam dengan muka menghadap ke langit-langit.
Kesadaran Kirana perlahan pulih seutuhnya. Matanya mulai terbuka dan dia duduk di tepi meja itu. Pandangannya tertuju pada Farhan dan Gayatri yang sedang berciuman sambil berdiri di dekatnya. Darahnya berdesir melihat bagaimana Farhan melumat lembut bibir Gayatri yang sedang hanyut dalam sentuhan kenikmatan. Dia mengabaikan itu dan bangkit menuju kamar mandi.
Gayatri sedang menikmati getaran-getaran yang ditimbulkan oleh jemari tangan Farhan yang menjelajahi tubuhnya sambil melumat bibirnya. Lumatan itu begitu memabukkan hingga Gayatri merasa
Semilir angin menerpa rambut Gayatri yang bergelombang sebahu. Tatapan matanya yang tampak jernih mengembara jauh ke seberang tebing membelai pucuk-pucuk pepohonan hijau. Kesejukan angin terasa menenangkan pikiran dan hatinya. Ada rasa syukur tertanam di hatinya mendapatkan Farhan yang selama ini menjalin hubungan dengannya dan Kirana yang bukan sekedar madunya melainkan seperti saudaranya sendiri.Kebaikan hati Kirana merupakan sebuah berkah baginya. Gayatri merasa terselamatkan dari sebuah kesalahan besar berhubungan intim dengan Farhan tanpa ikatan pernikahan. Di usianya yang sudah beranjak matang, Gayatri ingin menjalani hidup dengan lebih baik dan menghindar dari kesalahan. Dosa masa lalu telah terjadi dan tak dapat diubah lagi, tetapi Gayatri akan berusaha untuk tak melakukan dosa-dosa yang lain lagi.Kirana mengajarkannya arti pe
Narto menghela napas panjang. Disandarkannya punggungnya di sandaran kursi. Dalam pikirannya berkecamuk apa yang harus dikatakannya. Pandangan matanya membentur dinding di depannya.Di ruangan itu hanya suara televisi yang terdengar. Farhan masih tertunduk dengan penyesalan atas apa yang sudah dilakukannya. Ada bulir keringat meluncur di pipinya yang agak kemerahan tersengat matahari. Rona kemerahan itu tampak jelas di kulitnya yang berwarna cerah. Farhan duduk terdiam seakan mematung, tetapi batinnya resah. Ada kegalauan yang dirasakannya akan apa yang bakal dikatakan Narto padanya."Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan ...." Narto mulai membuka suaranya memecah keheningan di antara mereka berdua. "Tak ada manusia yang luput dari kesalahan itu. Aku juga punya banyak kesalahan. Satu hal yang kupegang, Tuhan saja mau mengampun
Gayatri tersenyum sambil memandangi penampilan Kirana yang baru selesai menelusupkan kaki-kakinya diflatshoeskulit warna coklat dengan model minimalis yang dibelikannya buat Kirana. Dengan kulot panjang semata kaki warna coklat muda dipadu kaus berlengan tiga perempat warna putih, Kirana tampil cerah. Kulit kuning langsatnya memancarkan kecantikan alami dengan polesan riasan tipis alami. Bibir merahnya hanya berpoleslip glosstanpa gincu."Kamu cantik sekali, Dik." Gayatri mengungkapkan kekagumannya.Kirana mengangkat wajahnya memandang Gayatri sambil tersenyum, "Mbak sendiri gak merasa cantik?""Menurutmu gimana?" Gayatri menggerak-gerakkan tubuhnya bak peragawati dan tak ketinggalan juga memutar tubuhnya lalu menyibakkan rambut hitam sebahunya
Dara duduk berhadapan dengan Farhan yang berada di kursi tamu dekat pintu masuk rumah. Kirana dan Gayatri duduk di kursi panjang di sisi kiri Dara. Wajah cantik perempuan keturunan Tionghoa yang putih itu tersenyum ramah memandangi Kirana dan Gayatri secara bergantian."Mas Farhan beruntung dapat dua istri yang cantik," ujar Dara. Farhan hanya tersenyum menanggapinya."Ah, Mbak bisa aja. Mbak juga cantik banget," balas Kirana."Ngomong-ngomong, kamu sedang hamil, ya?" tanya Dara pada Kirana."Iya, Mbak. Ini jalan empat bulan.""Semoga kehamilanmu lancar, ya." Dara melihat selintas ke perut Kirana yang belum terlalu tampak kehamilannya.
Kamar hotel itu terasa sunyi. Hanya terdengar suara film dari televisi yang terdengar pelan. Farhan menyandarkan punggungnya pada bantal yang bertumpu pada kepala tempat tidur berukuran besar. Tubuhnya terbungkus selimut sampai pinggang untuk menahan dingin udara ruangan yang sangat sejuk agar tak membuat kakinya terasa kedinginan.Mata Farhan terfokus pada layar televisi LED berukuran sedang yang terpasang di dinding kamar hotelnya. Penerangan ruangan yang redup hanya berasal dari cahaya luar di balik kaca jendela kamar yang menerobos lewat vetrase. Hal itu membuat pandangan Farhan terasa nyaman saat menonton televisi.Ting ... tong ....Bunyi bel kamar mengalihkan perhatian Farhan. Diloloskannya kedua kakinya dari balutan selimut putih lalu mendarat di karpet lantai kamar. Dia
Kepala Gayatri perlahan bergerak, beringsut dari dada Farhan. Matanya terbuka menatap wajah Farhan yang sedang memandangi ke arah depan. Gayatri menoleh dan mendapati Kirana sedang menyuguhkan tontonan erotis bagi Farhan. Senyum tipis terurai di bibir Gayatri yang masih lemas. Digulirkannya tubuhnya ke sisi kanannya dan terlentang di kasur. Diraihnya bantal lalu Gayatri membenamkan kepalanya di sana.Kirana berjalan pelan ke sisi kanan tempat tidur mendekati Farhan yang masih bersandar di kepala tempat tidur itu. Detik demi detik berjalan sangat lambat membuat Farhan tak sabar menanti istrinya bergerak pelan dengan gerakan menggoda. Mata Farhan nyaris tak berkedip memandangi tubuh polos Kirana yang bergerak ke arahnya lalu berlabuh di atas tubuhnya.Farhan menikmati sensasi hangat selangkangan Kirana yang menangkup di selangkangannya. D
Pagi yang sejuk berhias kabut putih tipis terasa menerpa tubuh Gayatri yang berdiri bertumpu tangan pada pagar pengaman teras Pondok Sunyi. Jaket biru terang melapisi kaus putih yang dikenakannya untuk menahan dingin kabut pagi yang menyelimuti alam sekitar dan membelai pipi halusnya. Pandangan mata Gayatri menyimak siluet bukit dan pepohonan di hadapannya.Gayatri mematung nyaris tanpa gerak, hanya sesekali gerakan ringan yang hampir tak terlihat jika tak diperhatikan dalam waktu yang lama. Pikirannya melayang, berselancar di kabut yang mengambang, dan meliuk menari di pucuk pepohonan yang tak tampak hijau tersaput kabut. Suara aliran air sungai jernih di bawahnya menyanyikan tembang damai yang membuat rasanya tersihir dan ikut mengalir menerpa bebatuan cadas yang menghadang.Sosok tubuh perempuan yang tak terlalu tinggi tetapi p
Pemandangan pagi dari balkon terasa menyejukkan mata. Kabut tipis masih mengambang di udara menyelimuti pepohonan yang hijau. Gayatri duduk di kursi teras yang terbuat dari kayu sonokeling, jenis kayu yang jadi bahan pembuat hampir semua perabot di rumah itu kecuali kursi ruang tamu dan lemari-lemari yang terbuat dari kayu jati. Farhan sudah memesan semua perabot itu pada pengrajin kayu dari desa sekitar sebelum rumah itu selesai.Di bawah, di halaman depan, Farhan sedang melihat-lihat dan memunguti potongan kayu yang tersisa dan meletakkannya pada tumpukan sisa kayu bekas pembangunan rumah itu di pojok kiri depan di luar halaman depan. Meski para pekerja sudah mengumpulkan sisa potongan kayu, tetapi ada saja potongan-potongan kecil yang masih tersisa di halaman.Dari balkon itu, Gayatri memandang ke arah Farhan yang sedang bercakap-cak
Kirana menyibak rambut bagian sampingnya yang lepas dari ikatannya saat dia tertunduk. Dia mengaduk sop yang sedang dimasaknya. Setelah meyakinkan bahwa semua sayuran sudah matang, Kirana mematikan kompor."Mbak, aku duduk dulu, ya," ujar Kirana sambil menoleh pada Gayatri yang sedang menyiapkan ayam untuk digorengnya, "aku capek.""Iya, Dik. Istirahatlah. Nanti aku selesaikan semua." Gayatri hanya menoleh sekilas lalu melanjutkan kesibukannya memotong-motong ayam."Tolong sekalian sambelnya ya, Mbak.""Beres ... kamu tenang aja."Kirana beringsut mengambil segelas air yang sudah disiapkannya di meja. Dia membiarkan air yang sebelumnya diambil dari kulkas itu di sana supaya tidak din
Udara dingin tiba-tiba terasa menusuk ke dalam pori-pori tubuh. Kabut putih merebak menyergap menggigilkan tubuh dan menggoda mencari kehangatan untuk melawannya. Farhan menarik retsliting jaket gunungnya yang berwarna biru cerah sampai ke atas. Tangannya bersedekap di dada.Sementara itu, Arini juga melakukan hal yang sama. Pandangannya terpaku pada sosok tampan yang matang dan tampak terduduk kaku serta tenggelam dalam kesendiriannya tanpa menghiraukan Arini yang duduk dekat dengannya. Dengan pandangan lekat, Arini mengagumi wajah berhidung mancung dengan kulit berwarna sedang itu yang seakan begitu tenang tanpa bisa dibacanya apa yang sedang dipikirkan lelaki itu."Bapak pernah mendaki gunung?" tanya Arini memecah kesunyian.Farhan bergeming. Tubuhnya masih mematung tanpa gerak deng
"Pak, nggak jauh lagi di depan ada pos satu. Kita mampir dulu ke situ, lapor." Arini mengingatkan Farhan sambil terus memeluk pinggang Farhan."Iya, nanti kita mampir."Kalau letak pos satu, tentu Farhan ingat karena dia sesekali ke sana mengontrol petugas yang merupakan warga desa yang dia tugaskan dan bekerja untuknya. Pos itu digunakan untuk mengontrol orang-orang yang naik ke bukit. Sebelumnya, bukit itu sangat jarang didaki oleh orang dari luar daerah sekitar situ. Para pendaki cenderung lebih memilih mendaki gunung dibanding mendaki bukit.Farhan memanfaatkan bukit itu untuk digunakan sebagai tempat belajar mendaki atau sekedar berwisata ke punggung bukit yang terdapat dataran. Bukit itu relatif aman untuk didaki dan pemandangannya indah. Itu yang jadi alasan utama Fa
"Aku pergi dulu, ya." Farhan berpamitan pada Kirana dan Gayatri yang tengah duduk di teras. Kedua istrinya itu lalu bergantian mencium punggung tangannya."Hati-hati, ya, Mas.""Iya. Asalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Kirana dan Gayatri berbarengan.Tak lama berselang, motoradventureyang dikendarai Farhan sudah menderu meninggalkan halaman rumah. Kirana dan Gayatri masih memandangi Farhan sampai hilang dari pandangan."Dik, perutmu sudah gede banget," komentar Gayatri ketika melihat perut Kirana dari samping saat Kirana berbalik menuju kursi teras tempat mereka semula duduk."Iya, ya, Mbak. Sudah tuj
Pemandangan pagi dari balkon terasa menyejukkan mata. Kabut tipis masih mengambang di udara menyelimuti pepohonan yang hijau. Gayatri duduk di kursi teras yang terbuat dari kayu sonokeling, jenis kayu yang jadi bahan pembuat hampir semua perabot di rumah itu kecuali kursi ruang tamu dan lemari-lemari yang terbuat dari kayu jati. Farhan sudah memesan semua perabot itu pada pengrajin kayu dari desa sekitar sebelum rumah itu selesai.Di bawah, di halaman depan, Farhan sedang melihat-lihat dan memunguti potongan kayu yang tersisa dan meletakkannya pada tumpukan sisa kayu bekas pembangunan rumah itu di pojok kiri depan di luar halaman depan. Meski para pekerja sudah mengumpulkan sisa potongan kayu, tetapi ada saja potongan-potongan kecil yang masih tersisa di halaman.Dari balkon itu, Gayatri memandang ke arah Farhan yang sedang bercakap-cak
Pagi yang sejuk berhias kabut putih tipis terasa menerpa tubuh Gayatri yang berdiri bertumpu tangan pada pagar pengaman teras Pondok Sunyi. Jaket biru terang melapisi kaus putih yang dikenakannya untuk menahan dingin kabut pagi yang menyelimuti alam sekitar dan membelai pipi halusnya. Pandangan mata Gayatri menyimak siluet bukit dan pepohonan di hadapannya.Gayatri mematung nyaris tanpa gerak, hanya sesekali gerakan ringan yang hampir tak terlihat jika tak diperhatikan dalam waktu yang lama. Pikirannya melayang, berselancar di kabut yang mengambang, dan meliuk menari di pucuk pepohonan yang tak tampak hijau tersaput kabut. Suara aliran air sungai jernih di bawahnya menyanyikan tembang damai yang membuat rasanya tersihir dan ikut mengalir menerpa bebatuan cadas yang menghadang.Sosok tubuh perempuan yang tak terlalu tinggi tetapi p
Kepala Gayatri perlahan bergerak, beringsut dari dada Farhan. Matanya terbuka menatap wajah Farhan yang sedang memandangi ke arah depan. Gayatri menoleh dan mendapati Kirana sedang menyuguhkan tontonan erotis bagi Farhan. Senyum tipis terurai di bibir Gayatri yang masih lemas. Digulirkannya tubuhnya ke sisi kanannya dan terlentang di kasur. Diraihnya bantal lalu Gayatri membenamkan kepalanya di sana.Kirana berjalan pelan ke sisi kanan tempat tidur mendekati Farhan yang masih bersandar di kepala tempat tidur itu. Detik demi detik berjalan sangat lambat membuat Farhan tak sabar menanti istrinya bergerak pelan dengan gerakan menggoda. Mata Farhan nyaris tak berkedip memandangi tubuh polos Kirana yang bergerak ke arahnya lalu berlabuh di atas tubuhnya.Farhan menikmati sensasi hangat selangkangan Kirana yang menangkup di selangkangannya. D
Kamar hotel itu terasa sunyi. Hanya terdengar suara film dari televisi yang terdengar pelan. Farhan menyandarkan punggungnya pada bantal yang bertumpu pada kepala tempat tidur berukuran besar. Tubuhnya terbungkus selimut sampai pinggang untuk menahan dingin udara ruangan yang sangat sejuk agar tak membuat kakinya terasa kedinginan.Mata Farhan terfokus pada layar televisi LED berukuran sedang yang terpasang di dinding kamar hotelnya. Penerangan ruangan yang redup hanya berasal dari cahaya luar di balik kaca jendela kamar yang menerobos lewat vetrase. Hal itu membuat pandangan Farhan terasa nyaman saat menonton televisi.Ting ... tong ....Bunyi bel kamar mengalihkan perhatian Farhan. Diloloskannya kedua kakinya dari balutan selimut putih lalu mendarat di karpet lantai kamar. Dia
Dara duduk berhadapan dengan Farhan yang berada di kursi tamu dekat pintu masuk rumah. Kirana dan Gayatri duduk di kursi panjang di sisi kiri Dara. Wajah cantik perempuan keturunan Tionghoa yang putih itu tersenyum ramah memandangi Kirana dan Gayatri secara bergantian."Mas Farhan beruntung dapat dua istri yang cantik," ujar Dara. Farhan hanya tersenyum menanggapinya."Ah, Mbak bisa aja. Mbak juga cantik banget," balas Kirana."Ngomong-ngomong, kamu sedang hamil, ya?" tanya Dara pada Kirana."Iya, Mbak. Ini jalan empat bulan.""Semoga kehamilanmu lancar, ya." Dara melihat selintas ke perut Kirana yang belum terlalu tampak kehamilannya.