Tid, tid, tid … jebred!Tubuh Alya terpental beberapa meter dan mendarat dalam keadaan terlentang. Kepalanya terbentur aspal hingga mengeluarkan darah. Badannya sedikit menggelepar mengalami kejang-kejang.“Alya!” teriak Elang membelah jagat. Ia memburu putri bungsunya dengan gemetaran.Andai saja … andai saja … batinnya penuh penyesalan.Elang bertekuk lutut di hadapan Alya yang sudah tak berdaya. Hanya jarinya yang masih terlihat bergerak.“Pa-pa …,” ucapnya lirih hampir tak terdengar. Kedua netra menatap nanar Sang Papa diiringi kristal bening menetes dari sudutnya.“Al-ya … maafkan Papa, Sayang.”Seketika orang-orang yang menyaksikan kecelakaan itu sudah berkerumun menatap ngeri dan iba. Ada yang bahunya bergidik, ada yang menutup kedua matanya, ada yang menangkup kedua pipinya dan ada yang bersedekap di dada. Riuh-riuh terdengar orang mengucap takbir, ber-istirja’, saling berbisik serta gumaman lainnya.“Pak, jangan diangkat!” tiba-tiba seseorang melarang Elang yang henda
Kini Alya sudah berada di ruang PICU. Sebuah ruang perawatan intensif untuk anak usia satu bulan sampai enam belas tahun. Terdapat berbagai alat yang dipasangkan ke tubuh Alya dan terhubung dengan layar monitor untuk mengawasi tanda-tanda vitalnya.Setelah beberapa jam pasca operasi, seharusnya Alya sudah sadar sewaktu di ruang pemulihan. Namun, ia belum memerlihatkan tanda-tanda akan bangun. Hanya sempat siuman persekian detik. Dokter pun telah member nilai yang disesuaikan dengan Skala Koma Glasgow (GCS) untuk menentukan tingkat kesadaran Alya. Hasilnya jauh di bawah angka 15 dan dinyatakan koma.Saat dokter sampaikan perihal ini, Kanaya histeris dan memukuli dada Elang. Karena takut mengganggu ketenangan pasien lain, Anna segera membawa dan menenangkan mamanya. “Ann, sebaiknya kamu pulang dulu ke rumah. Biar Mama anterin.”“Aku mau di sini saja, Mah.”“Ada papa yang jagain Alya kalau ada apa-apa. Kamu harus mandi, ganti baju dan makan. Jangan sampai kamu nanti ikut-ikutan sa
Sewaktu Kamila pulang ke Bandung.Setiba di rumahnya, Kamila marah-marah karena mendapati ruangan hampir kosong. Barang-barang seperti sofa, kulkas, AC dan sebagainya ternyata sudah dilelang oleh suaminya.“Aish … dasar kurang aj*r! Sudah meras, masih saja jualin barang-barang. Kenapa aku enggak gugat cerai dari dulu, sih?” Kamila mendumbel sendiri.Namun setelah lelah perjalanan ia tidak bisa rehat begitu saja. Karena ia harus kerja dan hari ini kebagian shif malam. Seperti biasa penampilannya selalu cetar meski hanya seorang resepsionis hotel. Kemungkinan nanti ia tidak bisa sekeren dan semodis ini lagi, sebab Kanaya sudah tak sudi membantu keungannya. Elang juga sama, sudah benar-benar membuang dirinya.Sesampai di tempat kerja, ia juga malah kena semprot atasan gara-gara kemarin bolos kerja.“Pak, tapi saya sudah izin,” kilahnya.“Iya, kamu izin hanya dua hari. Nyatanya kamu enggak masuk kerja berapa hari, hah?”“Saya kan sakit.”“Alasan. Pokoknya tidak bisa. Enak saja kam
Bukannya Bima tidak berani membalas, ia mampu melakukan lebih dari yang Beni lakukan. Namun hal tersebut hanya akan terus memperkeruh keadaan. Maka dari itu ia putuskan untuk meredam gejolak amarah dan pergi lagi meninggalkan rumah.“Dasar cemen, lu!” ejek Beni.Bima yang sempat mendengar tidak peduli. Ia melanjutkan langkah dan masuk ke mobilnya lagi. Meski belum tahu mau kemana, tetap roda empatnya dikemudikan.Sementara Beni sedang menatap lekat Melinda.“Honey, ada apa? Kenapa melihatku seperti itu?”“Baby, apa kamu masih mencintai Bima?” tanya Beni tiba-tiba.Sontak Melinda terlonjak hingga mengikis jarak. “Kenapa bertanya seperti itu Honey?”“Aku hanya ingin tahu saja.” Beni berujar masih dengan menatap Melinda.Melihat suaminya seperti itu, ia merasa gusar. Lantaran perasaannya untuk Bima jangankan padam, malah semakin menyala setelah bertemu kembali.“Honey, kamu kan tahu aku bahkan lebih memilihmu padahal sudah bertunangan dengan dia. Itu artinya kamu teramat istimewa,” tutur
“Awas kau!”Kanaya gegas pergi ke rumah Mira. Benar ternyata acara pengajian baru saja selesai. Ibu-ibu kompleks yang hadir tengah bersantai menikmati kue-kue yang Mira suguhkan sambil mengobrol.Saat Kanaya membaca salam, semua mata menoleh ke sumber suara.“Eh, Mbak Naya.” Ibu-ibu menyapa.Kanaya tersenyum dan duduk di tengah tamu yang hadir. Ia juga mengucapkan terima kasih. Sementara Kamila menunduk dalam tak berani melirik kakaknya. Rasa bersalah dan ketakutan bercampur aduk di hatinya.Ini adalah kesempatan Kanaya mempermalukan wanita murahan tersebut. Bukannya ia mau membuka aib rumah tangga sendiri, tetapi sudah terlanjur memalukan. Anak-anak pun sudah tahu, jadi tidak masalah kalau ibu komplek sini tahu juga. Cepat lambat status janda akan disandang Kanaya. Orang-orang pasti mempertanyakan apa yang sebabkan perceraian. Intinya sekarang atau nanti, mereka akan tahu. Kanaya hanya memprecepat jalannya.“Eh, kamu Mila? Kakak pikir ibu komplek,” sapa Kanaya so terkejut.Kam
Beberapa bulan yang lalu setelah tiga minggu koma, akhirnya Alya siuman. Itu adalah sebuah momen yang sangat disyukuri oleh orang-orang yang mencintainya. Perlahan ia pun pulih dari segala rasa sakitnya. Termasuk rasa sakit yang papanya torehkan. Alya memilih memaafkan. Bukan tanpa sebab.Selama koma, meski ia tak bisa terbangun apalagi bergerak, alam bawah sadarnya seperti terus mendengar suara tangis juga penyesalan dari Elang. Ya, Alya percaya akan janji papanya yang tak akan berkhianat lagi.Kepulangan Alya dari rumah sakit membuat rumah kediaman mereka terasa hangat. Semua demi kesembuhan dan demi senyuman Alya kembali. Suasana rumah diciptakan semenyenangkan mungkin. Secara tidak sadar energi negatif dari kemarahan, kebencian serta kesedihan terkikis oleh hati yang lapang. Pelan-pelan tergeser oleh hati yang ikhlas, meski tidak akan sepenuhnya normal. Termasuk keputusan Kanaya yang menanti putusan sidang perceraian.Memaafkan bukan berarti akan menyambung kembali tali ikatan
Kedua mata yang dalam bak telaga sedikit memicing melihat gambar hati merah muda milik wanita yang mengejar kertasnya. Hah. Kenapa Bos songong itu datang ke sini? Tanya Kanaya dalam hati. Degh! Jadi gambar ini milik istri Elang? Eh, mantan istri. Batin Bima. Bima merasakan wajahnya menghangat karena dihantarkan desiran darah yang melaju lebih cepat di pembuluh. Sebuah rasa yang selalu ia berusaha sangkal datang setiap kali melihat wujud Kanaya. Namun ia dengan cepat bisa mengendalikan diri serta emosi sehingga terlihat biasa saja. Tatapan dingin, wajar datar tanpa ekpresi yang berarti dipasangnya kembali. Kenapa Kanaya ada di sini? Tanyanya lalu dalam hati. Ih menyebalkan. Lihat tampangnya, sama sekali tak ada keramahan selayaknya orang yang sudah saling kenal. Sombong sekali! Batin Kanaya kembali. “Pak Dewa,” panggil anak-anak kompak dan berlarian menyambut kedatangan Bima. Seketika menyadarkan dua manusia yang tengah mematung dan sibuk dengan bahasa hatinya masing-masing. “Ha
Risma pun mengekor Bosnya masuk ke dalam panti untuk meminta bantuan. Sedangkan di luar sana sepasang mata mengecek hasil foto yang baru saja diambilnya tanpa Kanaya dan Bima sadari. Sepasang mata yang selalu ikut hadir hampir kemana pun Kanaya pergi. Keringat mengucur deras dari sela rambut Elang. Permainan golf di bawah sinar matahari yang lagi terik memang cukup membakar. Dret … ponsel bergetar. Klik Sang Empunya lekas menggeser ikon hijau. “Hallo Bos, saya sudah kirim fotonya,” lapor sepasang mata yang telah diperintahkannya. “Ok.” Tut … sambungan langsung diakhiri Elang untuk membuka media yang sudah diterimanya. “Ay ….” Ada ketidakrelaan dalam lirihan Elang. Elang menatap foto di layar ponsel dengan tangan mengepal sehingga buku-buku jarinya memutih. Mantan terindah yang tidak pernah bisa membuat tidurnya nyenyak. Akhir-akhir ini sering terciduk akrab dengan sahabatnya sendiri. Bahkan dilihat dari foto yang mata-kirim, Kanaya sedang tertawa lepas. Sebuah tawa yang sangat E
SSN 75Semua berjalan sebagaimana mestinya. Akhirnya setelah melewati rasa perih pengkhianatan Kanaya bisa menemukan kebahagiaan lagi. Bersama Bima, ia merasa hidup berjalan normal. Meski yang namanya rumah tangga tidak lepas dari ujian. Hanya saja, selama ujian itu bukan kehadiran wanita lain, Kanaya akan selalu sanggup menjalaninya."Happy birthday to you, happy birthday Narain "Lagu ulang tahun mengantarkan Narain untuk meniup lilin dengan angka 5. Ya, buah hati Bima dan Kanaya tidak terasa sudah berusia lima tahun. Acara ulang tahun diselenggarakan sederhana. Hanya dihadiri keluarga dan kerabat dekat saja."Ayo sekarang potong kuenya!" Ucap Anna.Kanaya lekas membantu memotongkan."Suapan pertama buat siapa, Dek?" tanya Alya."Buat Ayah.""Kok, nggak buat mama dulu?""Ayah dulu. Mama itu suka celewet, kadang galak.""Ih, kok Rain gitu sama mama," protes Kanaya."Haha ...." Orang-orang malah nertawain Kanaya."Anak ayah yang Soleh, kue pertama harus buat mama ya. Soalnya mama lah
“Iya istriku, katakan saja hal apa yang sudah membuatmu marah, agar saya bisa memeprbaikinya.” “Ok. Pertama kamu kegatelan sama cewek muda waktu di taman. Alya sudah cerita semuanya. Bahkan kamu mau kasih nomer kan sama tuh cewek? Untung saja kamu enggak hapal. Coba kalau hapal, pasti sudah berkirim pesan sekarang juga.” “Cinta, kamu cemburu?” “Ini bukan perkara cemburu, Bim. Kamu sudah jelas suka dengan daun muda,” sengit Kanaya. “Eh Cinta, dengarkan dulu. Siapa bilang saya tidak hapal nomer Hp sendiri? Ya hapalah. Untuk apa coba saya pura-pura bilang enggak hapal? Itu karena saya sangat menjaga hati. Lagian buat apa juga tertarik sama bocah? Cantikan mama-nya Narain lah.” “Ehm … udah jangan bohong. Ngaku saja!” Bima pun menyebutkan nomer Hp-nya dan benar saja dia hapal, malah sangat hapal. Berarti alasan bilang tidak hapal memang karena tidak mau saja kasih nomer kepada cewek itu. “Gimana, masih mau bilang saya kegatelan? Emang benar sih, saya tuh udah gatel banget. Yang di ba
SSN-73Setelah mencoba mengingat, Bima tak kunjung menemukan kesalahannya sendiri. Pria kadang memang tidak peka.“Aduh, mama kalian tuh emang suka mendadak kayak gitu. Ayah jadi bingung.”“Ayo susul mama, Yah!” saran Alya.“Iya nanti saja. Sekarang tanggung, Ayah laper.”Mereka kembali melanjutkan aktifitas sarapannya dan tak lama Alya yang memang sudah sarapan sejak tadi merasa kenyang.“Aku dah selesai. Duluan ya Kak, Yah,” izin Alya.“Sayang tunggu, Ayah boleh minta tolong?”“Apa itu?”“Bawain sarapan buat mama. Mama pasti masih lapar. Kan tadi berhenti gara-gara marah sama ayah.”“Ok.”Alya segera membawa sepiring sarapan dan mencari mamanya. Ternyata Kanaya sedang duduk di balkon lantai dua.“Hey Mah.”“Bawa apa Sayang?”“Sarapan. Kata ayah, Mama harus sarapan banyak. Kan netein adek Narain.”“Terima kasih, Sayang.”Kanaya yang memang lapar langsung mengambil alih piring dari tangan Alya. Alya ikut menemani dengan duduk di samping mamanya.“Mah, tadi waktu jogging
Setelah baby Narain terbangun oleh suara bebek mainan, ia enggan terlelap lagi. Kanaya sampai terus nguap-nguap dan matanya berair menahan ngantuk.“Ya, udah tidur saja.”“Kan Narain belum bobo.”“Tidak apa-apa, biar saya yang jagain. Mungkin ia juga kangen, pengen gadang sama ayahnya.”“Enggak ah, aku juga mau di sini saja nemenin kamu.”Bima terus mengajak main anaknya. Sesekali ia pun menguap, tetapi terus ditahannya. Bima gegas membuat secangkir kopi untuk mengusir rasa kantuknya. Sekembali membuat kopi, rupanya Kanaya yang menunggu Narain sudah tertidur.“Mamanya sudah bobo ya? Tunggu, ayah minum dulu kopinya. Eum ….” Bima menghirup aromanya. Lalu ia seruput sedikit demi sedikit. Perlahan kantuknya pun hilang.Narain sama sekali tak rewel. Ia begitu asik bermain malam-malam bersama sang ayah. Tak terasa jarum jam sudah menunjuk angka 12. Berbagai nyanyian, solawat, doa-doa, tepuk-tepuk sampai ngoceh apa aja Bima lakuin agar si Buah hati tidur kembali. Usahanya tidak sia-s
Kanaya sulit terpejam. Ia terus menatap suami yang sudah terlelap kurang dari dua jam lamanya. Suami yang ditatap menggeliat. Kanaya menoleh pada jam yang nongkrong di meja samping bed. “Jam 00.00?” gumamnya. Biasanya di jam ini, Bima akan terbangun untuk buang air kecil. Mendadak Kanaya ingin memberi sedikit pelajaran dengan mengerjainya. Ia buru-buru bersembunyi di walk-in closet. “Ya ….” Terdengar Bima memanggil. Tidak lama terdengar juga langkahnya yang ke sana ke mari mencari. Lalu langkahnya kian menjauh dari ruang kamar. Kanaya keluar dari walk-in closet pelan-pelan. Ia mengintip dan mengendap seperti maling untuk menyaksikan kepanikan Bima di luar kamar. Tampak Bima berlari-lari kecil dari ruang ke ruang lainnya. Kanaya cekikikan sendiri sambil ditangkupnya mulut agar tidak kelepasan tertawa. Suaminya terdengar berteriak, untung saja anak-anak tidak terbangun. Lalu menyalakan semua lampu penerangan, terlihat napasnya terengah-engah. Raut penyesalan tampak jelas tergambar.
Bima menjemput Anna pulang sekolah. Sepanjang perjalanan ada yang dirasakan berbeda dalam diri Anna. Tak seperti biasanya mengoceh dan bercerita tentang harinya yang menyenangkan ataupun sebaliknya.“Ann, kamu kenapa?”“Tidak apa-apa.”“Tidak mau cerita sama Ayah?”“Tidak.”Suasana hening kembali sampai tiba di istina mereka. Kanaya sudah menyambut kepulangan putri sululungnya. Sementara Alya sudah lebih dahulu pulang.Anna masuk rumah begitu saja tanpa salam. Bahkan mamanya yang di ambang pintu ia lewati begitu saja. Ia pun langsung naik ke lantai dua dan terdengar membanting pintu kamar. “Bim, kenapa Anna?”“Anna tidak mau cerita.”“Apa Anna punya pacar?” selidik Bima. Meski mereka terbilang akrab, tetapi untuk urusan cinta, Anna enggan membagi kepada ayah sambungnya.“Iya. Dia jadian sama anak yang bernama Rangga itu, lho.”“Oh.”Kanaya sudah paham, walau suaminya hanya bilang ‘oh’, ia pasti akan melakukan sesuatu.“Aku mau temui Anna dulu, ya!”“Iya. Saya juga mau
Bima membawa istri untuk memeriksakan kehamilannya kembali. Sekalian mereka mau konsul tentang rencana babymoon-nya. Hasil pemeriksaan sejauh ini baik-baik saja, tetapi Indra sebagai dokter menyarankan agar mereka berangkat babymoon sekitar dua mingguan lagi. Untuk melihat sejauh mana kondisi Kanaya yang baru saja melewati fase mual muntah. Selagi ada waktu dua minggu, pasangan suami istri tersebut mempersiapkan segalanya. Mereka juga membujuk Anna dan Alya agar mau ditinggal selama seminggu. Bukan hal yang mudah tentunya, mengingat putri-putri Kanaya tidak pernah ditinggal lama. Akhirnya mereka semua mencapai mupakat setelah berdiskusi alot. Anna dan Alya mengizinkan hanya untuk lima hari. Destinasinya hanya Lombok, tidak boleh keliling ke tempat lain. Karena kalau keliling, mereka harus ikut turut serta. Setiap hari mereka juga harus video call untuk saling mengabari. Selama Bima dan Kanaya pergi, Mira juga diminta untuk menginap.** Wirawan sudah terlihat sangat sehat dan s
Depresi Kamila tidak kunjung membaik. Mira memasukkannya ke Rumah Sakit Jiwa karena kewalahan. Di rumah sakit, keadaan Kamila lebih terkontrol dan stabil. Sesekali ia mengunjungi Kanaya dan cucu-cucunya.“Nay, kenapa kamu jadi malas mandi begini sih?”“Enggak tahu, Bu. Rasanya mual kalau masuk kamar mandi itu.”“Padahal dulu waktu hamil Alya, kamu tuh rajin banget mandi. Sampai sehari lima kali, lho.”“Oh iya, hehe.”“Iya, Bu. Naya malas mandi tuh. Deket-deket saya juga, dia tidak mau,” timbrung Bima yang baru muncul.“Emang begitu Nak Bima bawaan orang hamil itu beda-beda. Yang sabar ya!”“Iya, Bu. Pasti.”“Tahu ah, kamu acara ngadu segala sama ibu,” ketus Kanaya.“Ya tak apa-apa Nay. Ibu malah senang kalau Nak Bima itu bisa akrab sama ibu. Lagian kamu juga aneh, justru lagi hamil itu harus deket-deket sama suami. Kamu juga dulu waktu hamil Anna, nempel banget sama suami. Sampai suamimu kamu larang masuk kantor. Jauh sedikit saja, kamu merajuk,” tutur Mira panjang tanpa sada
“Wah selamat, bentar lagi jadi dady, nih.”“Ngapain gue ganti nama jadi Dedi?”“Haha, enggak lucu lu!”“Engga lucu, ketawa.”“Haha … aduh Nyonya Anggara terima kasih banget karena Anda, hidup sahabat saya jadi berwarna. Padahal dulu hidupnya lempeng aja, mana bisa dia guyon.”“Begitulah. Waktu pertama kali bertemu juga, dia itu songong dan arogan.”“Eit, malah gunjingin suami,” seloroh Bima.“Hehe,” kekeh Kanaya.“Jadi beneran kan istri gue hamil?” ulang Bima memastikan lagi.“Beneran lah, masih aja lu nanya.”“Ya Tuhan, terima kasih.”Bima menangkup kedua pipi istri dengan gemas dan menghujaninya dengan kecupan.“Eh, eh, tolong kondisikan Pak Bima Anggara. Istri saya kebetulan lagi di LN, masih lama pulangnya,” sewot Indra.“Itu derita lu.”“Tega bener.”“Oya Dok, soal hubungan badan di trisemester pertama ini bagaimana?” tanya Kanaya.“Berhubung keadaan ibu dan janin sehat, jadi masih bisa dilakukan. Amanlah. Malah bisa menambah booster buat ibunya.”“Nambah booste