POV: RYANASaat pendarahan itu terjadi, saat dokter mengatakan bahwa janin di kandunganku kekurangan gizi dan perkembangannya terhambat, saat aku disuruh bedrest selama delapan minggu, sungguh penyesalan yang tak terkira mendekap hatiku dengan sangat erat. Aku bingung, merasa bahwa cobaan hidupku sudah demikian sempurna.Saat ini aku pun berada pada sebuah dilema tersendiri. Di satu sisi aku ingin bayiku selamat karena aku mencintainya, sehingga mau tidak mau aku tak boleh stres lagi, tak boleh lagi memikirkan masalahku dengan Syarif.Dan di satu sisi berikutnya, aku harus bertempur dengan sebuah situasi baru yang buruk, kondisi tubuhku yang teramat lemah dan harus bedrest selama delapan minggu.Duhai, penderitaan apa lagikah yang lebih berat dari semua ini? Mungkinkan ini merupakan balasan atas berbagai macam maksiat yang dulu sering kuperbuat? Jika ya, komohon kepada Allah untuk menguatkan fisik dan jiwaku agar mampu melewati semua cobaan ini. Dan semoga Allah mengampuni dosa-dosaku
Kini aku duduk dan tertunduk pasrah di depan Dian, di sebuah kafe yang lumayan sepi. Cuaca agak mendung, dan tadi sempat turun gerimis tipis. “I am verry sorry,” ujarku dengan nada penuh penyesalan. "Dulu tak gak percaya sama kamu. Aku cuma heran, kok seorang aktivis dakwah dan aqidahnya lurus bisa melakukan perbuatan syirik seperti itu?” “Wallahualam, Say,” sahut Dian. “Terkadang kita sulit mengetahui isi hati orang lain, walau dia adalah pasangan kita sendiri, kan?” Aku tertegun, tiba-tiba menyadari bahwa selama ini aku ternyata belum mengenal Syarif dengan baik. Aku yang dulu merasa sangat dekat dan sangat kenal dengannya, terlebih setelah dia menjadi suamiku, hari ini sosoknya terasa demikian asing. Aku bahkan belum tahu banyak tentang masa lalunya. Ya, memang masa lalu tidak perlu dipermasalahkan. Yang penting adalah masa depan. Namun siapa sangka, ternyata ada masa lalu Syarif yang berhubungan dengan trauma masa laluku. “Aku sebenarnya malu, Dian,” ujarku. “Malu karena dulu
POV: RANGGA Memang, pernikahanku aneh banget. Tapi sebenarnya itu bukan pernikahan. Sebab yang duduk di pelaminan hanya aku dan kedua orang tuaku. Lalu di sebelah kami, dipajang Om dan Tante sebagai tameng aja. Supaya hadirin mengira bahwa merekalah orang tua dari pengantin wanita. Ke mana pengantin wanitanya? Jangan tanya padaku, karena aku sudah gak mau mikirin itu. Bahkan pikiranku sudah kukosongkan dari masalah tersebut. Sebab kalau kupikirkan, khawatir diri ini jadi gila. Ya, pria mana yang tidak shock, hampir pingsan, ketika jadwal pernikahan tinggal 1 hari lagi, ketika undangan sudah disebar semuanya, administrasi di KUA sudah selesai, biaya gedung resepsi sudah dibayar lunas, dekorasi ruangan sudah beres, konsumsi tinggal dimakan aja, tim dokumentasi dan wedding singer beserta group band-nya sudah siap semua, tapi justru pengantin wanitanya yang tidak muncul batang hidungnya! “Maaf, kami terpaksa membatalkan pernikaha
Sepulang dari sekretariat GIL, aku langsung pulang ke rumah, menyetir mobil sambil memikirkan Rangga. Di satu sisi aku sangat kasihan padanya. Dulu dia kecewa padaku, karena aku menikah dengan Syarif pada saat sedang proses ta’aruf denganku. Dan kini, peristiwanya bahkan jauh lebih tragis. Jika aku berada pada posisi dia, mungkin sudah depresi karena tak kuat menahan derita jiwa. Aku pun berdoa, semoga Rangga tak pernah lagi menghadapi masalah besar seperti itu dalam perjuangannya menemukan jodoh. Dan di sisi lain, entah kenapa pikiranku jadi nakal, membayangkan bahwa masih ada kesempatan bagiku untuk bersatu dengan Rangga dalam ikatan suci pernikahan. Tempat paling istimewa di hatiku yang dulu dihuni oleh Syarif, kini dia sudah terusir dari sana. Dan Rangga hadir sebagai penggantinya. Rasa kagumku padanya yang sudah hadir sejak dulu, kini sudah berubah menjadi cinta. Ya, aku memang sudah bertekad untuk minta cerai pada Syarif, karena sudah ta
POV: SYARIF Aku benar-benar tersudut! Serba salah! Bahkan salah tingkah dan mati gaya! Semuanya berawal dari kejadian malam itu, setelah aku bertemu Dika dan pulang ke rumah. Di dalam kamar, Ryana memegang secarik kertas yang diambil dari dompetku. “Ini kertas apa? Pakai tulisan Arab, tapi bahasanya kok aneh, ya?” Dan tidak berhenti sampai di situ. Berkali-kali dia menyebut istilah tukang pelet di depanku. Memang dia tidak menuduh apapun. Tapi aku tahu, pasti dia ingin mengutarakan sesuatu. Hal yang tidak berani dia sampaikan terang-terangan. Itulah situasi yang membuatku tersudut, merasa serba salah, bahkan salah tingkah dan mati gaya! Aku sebenarnya merasa berat untuk menceritakan semua ini, Kawan! Tapi karena posisiku sudah tersudut seperti itu, baiklah. Akan kuceritakan padamu. Tapi ingat, ya. Ini hanya kuceritakan padamu saja. Tidak akan kuceritakan pada Ryana, juga orang lain yang kukenal. * * *
Sungguh, Kawan! Aku sempat bingung, bahkan stres berat ketika memutar otak, berpikir dan mencari cara terbaik dan paling ampuh untuk mendapatkan cinta Ryana. Hingga suatu hari, aku bertemu lagi dengan seorang teman lama dari dunia anak jalanan. Tak perlu kusebut namanya, karena tidak penting. Aku bercerita padanya tentang niat dan tekad kuatku untuk mendapatkan cinta Ryana. Dan si teman ini pun menceritakan satu hal. “Di daerah kabupaten Bogor, ada seorang ustadz yang bisa membantumu. Ilmu dari dia terbukti tokcer, banyak yang berhasil.” “Ilmu apa? Bukan ilmu pelet, kan?” “Ya, tentu bukan. Dia seorang ustadz, lho. Yang dia gunakan juga ayat-ayat Al Quran, kok.” “O gitu?” “Iya.” Mendengar penjelasan seperti itu, maka aku pun tertarik untuk mendatangi pak ustadz tersebut. Berdua dengan si teman, kami pun naik motor boncengan ke sana. Jaraknya lumayan jauh. Badanku sampai pegal-pegal karena kelamaan dibonceng di at
POV: SYARIF Kutinggalkan rumah Ryana dengan sangat berat hati. Kucoba merelakan bahwa dia kini bukan lagi istriku. Aku sudah kehilangannya, sebuah kehilangan yang terasa sangat menyakitkan bagiku. Tapi aku harus ikhlas menerima semuanya, karena ini terjadi akibat kesalahanku juga. Aku kini sadar bahwa cinta tak bisa dipaksakan. Cinta harus terjadi dengan cara yang alamiah. Kulangkahkan kaki dengan gontai, dengan perasaan yang hancur lebur. Jika Allah menghukumku atas semua dosaku selama ini, terutama dosa syirik yang telah kuperbuat, maka aku akan mencoba pasrah saja. Aku berjanji tak akan melakukan perbuatan terkutuk itu lagi. Aku taubat nashuha, dan berjanji akan mempelajari Islam secara lebih mendalam. Agar aku tidak sampai salah langkah lagi. Aku kembali pulang ke rumah orang tua angkatku, dan mencoba untuk memulai lagi hidup baru di sana. Sekitar lima hari setelah aku pulang ke rumah tersebut, secara tak terduga mas Farid menelep
(Lanjutan orasi Farid) “Saudara-saudaraku seiman yang sangat kucintai karena Allah, Kita punya tugas mulia di gerakan dakwah ini. Kita hendak mengajak seluruh umat Islam untuk beragama secara lurus, tidak mudah terpengaruh oleh aliran sesat yang semakin gencar dikampanyekan oleh para musuh Islam. Kita tak boleh lengah, karena musuh-musuh Islam tak pernah tidur dan terus bekerja untuk menghancurkan aqidah kita. Jika kita mudah terpecah-belah hanya karena mengetahui aib masa lalu salah seorang saudara seperjuangan kita, bagaimana mungkin kita bisa sukses dalam perjuangan mulia di jalan dakwah? Justru para musuh akan semakin mudah memecah-belah dan menghancurkan kita. Justru cobaan seperti yang sedang kita hadapi ini, mari hadapi dengan penuh bijaksana. Kita harus menunjukkan pada dunia bahwa kita tetap solid, tetap bersatu dalam satu ukhuwah yang erat, tidak terpengaruh oleh fitnah keji yang sedang menghantam Gerakan Islam Lurus. Kita tak perlu
(Lanjutan orasi Farid) “Saudara-saudaraku seiman yang sangat kucintai karena Allah, Kita punya tugas mulia di gerakan dakwah ini. Kita hendak mengajak seluruh umat Islam untuk beragama secara lurus, tidak mudah terpengaruh oleh aliran sesat yang semakin gencar dikampanyekan oleh para musuh Islam. Kita tak boleh lengah, karena musuh-musuh Islam tak pernah tidur dan terus bekerja untuk menghancurkan aqidah kita. Jika kita mudah terpecah-belah hanya karena mengetahui aib masa lalu salah seorang saudara seperjuangan kita, bagaimana mungkin kita bisa sukses dalam perjuangan mulia di jalan dakwah? Justru para musuh akan semakin mudah memecah-belah dan menghancurkan kita. Justru cobaan seperti yang sedang kita hadapi ini, mari hadapi dengan penuh bijaksana. Kita harus menunjukkan pada dunia bahwa kita tetap solid, tetap bersatu dalam satu ukhuwah yang erat, tidak terpengaruh oleh fitnah keji yang sedang menghantam Gerakan Islam Lurus. Kita tak perlu
POV: SYARIF Kutinggalkan rumah Ryana dengan sangat berat hati. Kucoba merelakan bahwa dia kini bukan lagi istriku. Aku sudah kehilangannya, sebuah kehilangan yang terasa sangat menyakitkan bagiku. Tapi aku harus ikhlas menerima semuanya, karena ini terjadi akibat kesalahanku juga. Aku kini sadar bahwa cinta tak bisa dipaksakan. Cinta harus terjadi dengan cara yang alamiah. Kulangkahkan kaki dengan gontai, dengan perasaan yang hancur lebur. Jika Allah menghukumku atas semua dosaku selama ini, terutama dosa syirik yang telah kuperbuat, maka aku akan mencoba pasrah saja. Aku berjanji tak akan melakukan perbuatan terkutuk itu lagi. Aku taubat nashuha, dan berjanji akan mempelajari Islam secara lebih mendalam. Agar aku tidak sampai salah langkah lagi. Aku kembali pulang ke rumah orang tua angkatku, dan mencoba untuk memulai lagi hidup baru di sana. Sekitar lima hari setelah aku pulang ke rumah tersebut, secara tak terduga mas Farid menelep
Sungguh, Kawan! Aku sempat bingung, bahkan stres berat ketika memutar otak, berpikir dan mencari cara terbaik dan paling ampuh untuk mendapatkan cinta Ryana. Hingga suatu hari, aku bertemu lagi dengan seorang teman lama dari dunia anak jalanan. Tak perlu kusebut namanya, karena tidak penting. Aku bercerita padanya tentang niat dan tekad kuatku untuk mendapatkan cinta Ryana. Dan si teman ini pun menceritakan satu hal. “Di daerah kabupaten Bogor, ada seorang ustadz yang bisa membantumu. Ilmu dari dia terbukti tokcer, banyak yang berhasil.” “Ilmu apa? Bukan ilmu pelet, kan?” “Ya, tentu bukan. Dia seorang ustadz, lho. Yang dia gunakan juga ayat-ayat Al Quran, kok.” “O gitu?” “Iya.” Mendengar penjelasan seperti itu, maka aku pun tertarik untuk mendatangi pak ustadz tersebut. Berdua dengan si teman, kami pun naik motor boncengan ke sana. Jaraknya lumayan jauh. Badanku sampai pegal-pegal karena kelamaan dibonceng di at
POV: SYARIF Aku benar-benar tersudut! Serba salah! Bahkan salah tingkah dan mati gaya! Semuanya berawal dari kejadian malam itu, setelah aku bertemu Dika dan pulang ke rumah. Di dalam kamar, Ryana memegang secarik kertas yang diambil dari dompetku. “Ini kertas apa? Pakai tulisan Arab, tapi bahasanya kok aneh, ya?” Dan tidak berhenti sampai di situ. Berkali-kali dia menyebut istilah tukang pelet di depanku. Memang dia tidak menuduh apapun. Tapi aku tahu, pasti dia ingin mengutarakan sesuatu. Hal yang tidak berani dia sampaikan terang-terangan. Itulah situasi yang membuatku tersudut, merasa serba salah, bahkan salah tingkah dan mati gaya! Aku sebenarnya merasa berat untuk menceritakan semua ini, Kawan! Tapi karena posisiku sudah tersudut seperti itu, baiklah. Akan kuceritakan padamu. Tapi ingat, ya. Ini hanya kuceritakan padamu saja. Tidak akan kuceritakan pada Ryana, juga orang lain yang kukenal. * * *
Sepulang dari sekretariat GIL, aku langsung pulang ke rumah, menyetir mobil sambil memikirkan Rangga. Di satu sisi aku sangat kasihan padanya. Dulu dia kecewa padaku, karena aku menikah dengan Syarif pada saat sedang proses ta’aruf denganku. Dan kini, peristiwanya bahkan jauh lebih tragis. Jika aku berada pada posisi dia, mungkin sudah depresi karena tak kuat menahan derita jiwa. Aku pun berdoa, semoga Rangga tak pernah lagi menghadapi masalah besar seperti itu dalam perjuangannya menemukan jodoh. Dan di sisi lain, entah kenapa pikiranku jadi nakal, membayangkan bahwa masih ada kesempatan bagiku untuk bersatu dengan Rangga dalam ikatan suci pernikahan. Tempat paling istimewa di hatiku yang dulu dihuni oleh Syarif, kini dia sudah terusir dari sana. Dan Rangga hadir sebagai penggantinya. Rasa kagumku padanya yang sudah hadir sejak dulu, kini sudah berubah menjadi cinta. Ya, aku memang sudah bertekad untuk minta cerai pada Syarif, karena sudah ta
POV: RANGGA Memang, pernikahanku aneh banget. Tapi sebenarnya itu bukan pernikahan. Sebab yang duduk di pelaminan hanya aku dan kedua orang tuaku. Lalu di sebelah kami, dipajang Om dan Tante sebagai tameng aja. Supaya hadirin mengira bahwa merekalah orang tua dari pengantin wanita. Ke mana pengantin wanitanya? Jangan tanya padaku, karena aku sudah gak mau mikirin itu. Bahkan pikiranku sudah kukosongkan dari masalah tersebut. Sebab kalau kupikirkan, khawatir diri ini jadi gila. Ya, pria mana yang tidak shock, hampir pingsan, ketika jadwal pernikahan tinggal 1 hari lagi, ketika undangan sudah disebar semuanya, administrasi di KUA sudah selesai, biaya gedung resepsi sudah dibayar lunas, dekorasi ruangan sudah beres, konsumsi tinggal dimakan aja, tim dokumentasi dan wedding singer beserta group band-nya sudah siap semua, tapi justru pengantin wanitanya yang tidak muncul batang hidungnya! “Maaf, kami terpaksa membatalkan pernikaha
Kini aku duduk dan tertunduk pasrah di depan Dian, di sebuah kafe yang lumayan sepi. Cuaca agak mendung, dan tadi sempat turun gerimis tipis. “I am verry sorry,” ujarku dengan nada penuh penyesalan. "Dulu tak gak percaya sama kamu. Aku cuma heran, kok seorang aktivis dakwah dan aqidahnya lurus bisa melakukan perbuatan syirik seperti itu?” “Wallahualam, Say,” sahut Dian. “Terkadang kita sulit mengetahui isi hati orang lain, walau dia adalah pasangan kita sendiri, kan?” Aku tertegun, tiba-tiba menyadari bahwa selama ini aku ternyata belum mengenal Syarif dengan baik. Aku yang dulu merasa sangat dekat dan sangat kenal dengannya, terlebih setelah dia menjadi suamiku, hari ini sosoknya terasa demikian asing. Aku bahkan belum tahu banyak tentang masa lalunya. Ya, memang masa lalu tidak perlu dipermasalahkan. Yang penting adalah masa depan. Namun siapa sangka, ternyata ada masa lalu Syarif yang berhubungan dengan trauma masa laluku. “Aku sebenarnya malu, Dian,” ujarku. “Malu karena dulu
POV: RYANASaat pendarahan itu terjadi, saat dokter mengatakan bahwa janin di kandunganku kekurangan gizi dan perkembangannya terhambat, saat aku disuruh bedrest selama delapan minggu, sungguh penyesalan yang tak terkira mendekap hatiku dengan sangat erat. Aku bingung, merasa bahwa cobaan hidupku sudah demikian sempurna.Saat ini aku pun berada pada sebuah dilema tersendiri. Di satu sisi aku ingin bayiku selamat karena aku mencintainya, sehingga mau tidak mau aku tak boleh stres lagi, tak boleh lagi memikirkan masalahku dengan Syarif.Dan di satu sisi berikutnya, aku harus bertempur dengan sebuah situasi baru yang buruk, kondisi tubuhku yang teramat lemah dan harus bedrest selama delapan minggu.Duhai, penderitaan apa lagikah yang lebih berat dari semua ini? Mungkinkan ini merupakan balasan atas berbagai macam maksiat yang dulu sering kuperbuat? Jika ya, komohon kepada Allah untuk menguatkan fisik dan jiwaku agar mampu melewati semua cobaan ini. Dan semoga Allah mengampuni dosa-dosaku
Perawakannya tinggi tegap, wajahnya ganteng, kulitnya putih mulus, keren seperti artis, pintar bermain basket. Itulah Dika, seorang musuhku dari SMK Gradasi. Saat itu kami sama-sama kelas sebelas. Aku jatuh cinta pada seorang gadis, teman sekelas Dika. Tapi gadis itu justru terlihat sering jalan bersama Dika. Aku tentu sakit hati, cemburu, rasanya teramat pedih.Seorang teman berkata bahwa mereka bukan pacaran, hanya teman biasa. Tapi bagiku itu sama saja. Tak ada bedanya. Sama-sama bikin sakit hati.Suatu hari, seseorang tak dikenal mengirimiku pesan di WhatsApp. Isinya sungguh mengejutkan."Dika itu homo. Coba lihat foto-foto ini."Dan terpampanglah semuanya di depan mataku, gambar-gambar yang segera membuat perutku mual mau muntah. Dika terlihat bermesraan dengan sesama cowok, dalam keadaan bertelanjang dada!Aku merasa sangat jijik. Tapi sedetik kemudian aku tertawa terbahak-bahak. Merasa mendapat sebuah senjata andalan untuk memukul telak sainganku itu.Segera kucetak foto-foto i