POV: SYARIFAwan putih, terbentang sangat luas, seperti permadani yang amat indah, bernaung di bawah lengkungan langit yang biru cerah. Kutatap dari jendela pesawat dengan perasaan takjub, merasakan keindahan ciptaan Allah yang luar biasa. Air mataku menetes sebutir, merasakan keharuan yang menjalar ke seluruh rongga hatiku.Aku harus bersyukur atas semua ini, Kawan! Siapa menduga, pemuda kere sepertiku bisa naik pesawat. Gratis pula!"Biaya pelatihan dan transport kamu ditanggung oleh GIL pusat. Sumber dananya dari iuran anggota," Mas Farid memberi penjelasan, saat tadi aku bertanya padanya."Jadi aku dibiayai umat, dong, Mas?""Betul. Makanya kamu jaga amanah ini dengan baik, ya?""Siap! Insya Allah, Mas. Kalau biaya Mas Farid sendiri, gimana?""Tentu saja, ditanggung oleh panitia yang mengundang.""Termasuk biaya hotel buat nginap ya, Mas?""Betul. Itu juga ditanggung oleh panitia. Dan kamu numpang tidur di situ, gratis.""Hehehe..., asyik, ya."Aku merasa sangat bersyukur. Jika ta
Sore hari, acara pelatihan hari pertama berakhir. Aku kembali ke hotel untuk beristirahat. Selepas Isya, Mas Farid mengajakku jalan-jalan bersama para panitia acara seminarnya, menikmati suasana malam hari di Kota Pahlawan. Aku merasa sangat terhibur, rasa stres terlupakan sejenak. Terlebih karena aku mendapat banyak teman baru. Para panitia tersebut sangat baik dan ramah.Sekitar jam setengah sebelas malam, kami kembali ke hotel. Mas Farid langsung tidur, tapi aku tak bisa memejamkan mata.Kuraih handphone, dan segera berselancar di aplikasi Facebook. Kulihat Bang Dahian sedang online, membuatku tergoda untuk curhat padanya. Selama ini, dia adalah satu-satunya temanku di GIL yang asyik diajak curhat dan berbagi cerita.Kusapa dirinya. Kami pun terlibat obrolan seru. Kuceritakan masalah yang sedang kuhadapi, tentang Ryana yang keras kepala dan terlalu dominan. Di luar dugaan, Bang Dahlan justru membalas ceritaku dengan tulisan kapital semua:"HAHAHAHAHA....""Kenapa, Bang?""Satu lagi
Sepulang kantor, aku langsung ke rumah, mandi, makan malam, dan tetap tak ada obrolan apapun dengan Ryana. Aku mulai stres. Kuraih handphone, kujelajahi dunia maya, kubaca satu-persatu status teman-temanku di Facebook, kusimak kultwit Mas Farid di Twitter yang sedang membahas tentang perilaku orang-orang liberal yang makin mengancam aqidah umat.Dan tiba-tiba Ryana menghampiriku. Ditatapnya aku dengan ekspresi yang sangat ketus."Jadi seperti ini ya rasanya, punya suami yang super cuek! Sedang ada masalah besar, dia malah santai-santai main HP!Kutatap ia dengan heran, tanda tanya di hatiku makin besar."Emang ada masalah besar apa, Ryana? Sejak kemarin kamu diam saja. Bagaimana mungkin aku tahu apa masalah yang terjadi?"Jadi kalau aku diam saja, kamu tak akan pernah bertanya atau cari tahu? Begitu? Memang susah ya, punya suami yang super cuek!""Sudahlah! Lebih baik kamu jelaskan saja apa masalah besar tersebut."Ryana menarik nafas, terlihat seperti jengkel dan berusaha menahan emo
Suatu hari di perempatan lampu merah, aku mengamen di samping sebuah mobil. Kulihat yang duduk di depan stir adalah seorang pria yang wajahnya sepertinya tidak asing bagiku. Tapi siapa, ya? Aku belum ada gambaran apapun. Tiba-tiba jendela mobil itu terbuka. Sepertinya si pengendara hendak memberikan uang padaku. Saat dia menyodorkan uang itulah, saat tatapa mata kami beradu, seketika saya mengenali pria yang satu ini! "Bang Riki, ya?" Dia menatapku dengan heran. "Betul. Lu siapa?" "Gue Syarif, Bang. Masih ingat? Kita dulu kan tetangga." Seketika pria itu tersenyum cerah, menatapku dengan gembira. "Syarif? Ya ampun! Pangling gue. Penampilan lu berubah banget. Apa kabar?" Aku hendak menjawab, tapi lampu hijau keburu menyala. Tentu Riki harus kembali melajukan mobilnya. "Gue tunggu di depan situ, ya," ujarnya sambil menunjuk tepi jalan di seberang lampu merah. Ada yang mau gue omongin. Aku menurut, berlari menghampirinya yang sudah menepikan mobil. Riki turun dari kendaraannya,
Aku menangis. Aku diusir dari rumah yang telah kutempati sejak diriku masih bayi. Seluruh anggota keluarga menatapku dengan perasaan jijik, seolah aku adalah kotoran kambing yang sangat bau. Ingin kujelaskan bahwa itu bukan film p0rn0. Tapi mereka tak percaya. Mereka hanya melihat hasil akhir, "tertipu" oleh trik kamera, menyaksikan gambar demi gambar yang memperlihatkan pria dan wanita tanpa pakaian dan sedang bercumbu. Aku tak dapat menyalahkan persepsi mereka. Aku hanya bisa mengutuki diri sendiri atas kebodohanku. Kukemasi pakaian, segera kutinggalkan rumah itu, kuucapkan selamat tinggal pada orang-orang yang sebenarnya sangat kusayangi. Aku pergi, melangkahkan kaki, entah harus pergi ke mana. Kudatangi kantor Riki. Kucari dirinya. Begitu ketemu, langsung kukepalkan tangan, kutinju wajahnya, kupukuli tubuhnya. "Kurang ajar! Kenapa lu ingkar janji? Kenapa film itu lu jual?!" "Hei, siapa yang ingkar janji? Mana buktinya?" "Ucapan lu dulu itu! Gue masih ingat!" "Lu gak boleh s
Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan kokoh menarik tubuhku dengan sangat keras. Aku terjatuh, menindih tubuh seorang lelaki setengah baya yang berbaju koko, berkopiah, berjenggot pendek, dan wajahnya gusar menatapku penuh emosi. "Istighfarlah, Anak Muda! Jangan kamu lakukan perbuatan bodoh itu!" dia berteriak dan mengguncang-guncangkan tubuhku. Air mataku mengalir demikian deras. Aku baru saja kalah bertarung dengan kehidupan yang demikian pedih. Aku adalah layang-layang putus yang terbang tinggi, berkejar-kejaran dengan angin, melayang-layang tanpa tujuan yang pasti. "Kenapa Bapak menolong saya? Saya ingin mati!" "Kamu boleh mati kapan saja. Tapi pastikan dulu bekal kamu sudah cukup. Kamu paham maksudnya?" Aku menggeleng. "Sini ikut saya!" Lalu tanganku digamitnya, dituntunnya berjalan ke sebuah rumah yang cukup besar, berhalaman luas, ada dua mobil terparkir di garasi. Yang satu Alpard, satunya lagi Pajero Sport Dakkar. Sebuah kolam ikan menghiasi pojok kiri taman yang asri oleh
Maka sisa perjalanan itu pun terasa demikian lama, membuatku merasa tak berdaya, terpaksa pasrah menerima takdir yang tar terduga dan penuh misteri di depan sana. Namun ternyata, waktu yang kami butuhkan untuk melewati jalan tanpa aspal dan berbatu-batu itu hanya sekitar sepuluh menit. Di ujung perjalanan, kedua mobil belok kiri dan menuruni jalan setapak yang sempit, berada di tengah hutan yang sangat sepi. Setelah itu, aku pun takjub saat menyaksikan pemandangan tak terduga di depan mata! Di ujung jalan setapak yang menurun itu, di tengah lembah yang dilindungi oleh bukit kapur di depan dan persawahan di bagian belakang, berdiri sebuah masjid sederhana berwarna hijau, dan sejumlah bangunan di sekitarnya yang belakangan kuketahui bahwa itu komplek pesantren. Di halaman komplek pesantren itu, terparkir banyak sekali mobil. Ada mobil-mobil mewah seperti Pajero, Fortuner, dan Rubicon, juga ada mobil Terios, Mobilio. Avanza, dan masih banyak lagi. Perkiraanku jumlahnya sekitar seratus
“Ada apa, Pak?” aku bertanya penuh keheranan kepada panitia yang membangunkanku tadi. Dia tidak menjawabku, namun berteriak kepada semua orang yang ada di ruangan itu, "Ayo, bangun semuanya! Kalian ingin mendapat pertolongan Allah, kan? Kalian ingin terbebas dari masalah hidup, kan? Makanya, yuk bangun semua. Kita shalat malam, muhasabah, bertaubat, dan merengek-rengek kepada Allah, agar DIA menolong kita, agar DIA menyelesaikan masalah-masalah kita!" Duhai, suara terdengar tegas, namun ramah dan mengharukan, sehingga terdengar enak di telinga. Membuatku terharu. Tapi jika tengah malam begini harus shalat di masjid? Duhai! Aku belum pernah punya pengalaman seperti ini. Jangankan shalat tengah malam. Shalat fardlu pun masih sering bolong-bolong. Rasanya amat berat melawan rasa kantuk, tapi panitia menyuruh kami untuk segera mengambil wudhu dan berkumpul di masjid. Ruangan aula harus dikosongkan. Aku masih berusaha keras melawan rasa kantuk yang amat berat. Dengan ogah-ogahan, aku p
(Lanjutan orasi Farid) “Saudara-saudaraku seiman yang sangat kucintai karena Allah, Kita punya tugas mulia di gerakan dakwah ini. Kita hendak mengajak seluruh umat Islam untuk beragama secara lurus, tidak mudah terpengaruh oleh aliran sesat yang semakin gencar dikampanyekan oleh para musuh Islam. Kita tak boleh lengah, karena musuh-musuh Islam tak pernah tidur dan terus bekerja untuk menghancurkan aqidah kita. Jika kita mudah terpecah-belah hanya karena mengetahui aib masa lalu salah seorang saudara seperjuangan kita, bagaimana mungkin kita bisa sukses dalam perjuangan mulia di jalan dakwah? Justru para musuh akan semakin mudah memecah-belah dan menghancurkan kita. Justru cobaan seperti yang sedang kita hadapi ini, mari hadapi dengan penuh bijaksana. Kita harus menunjukkan pada dunia bahwa kita tetap solid, tetap bersatu dalam satu ukhuwah yang erat, tidak terpengaruh oleh fitnah keji yang sedang menghantam Gerakan Islam Lurus. Kita tak perlu
POV: SYARIF Kutinggalkan rumah Ryana dengan sangat berat hati. Kucoba merelakan bahwa dia kini bukan lagi istriku. Aku sudah kehilangannya, sebuah kehilangan yang terasa sangat menyakitkan bagiku. Tapi aku harus ikhlas menerima semuanya, karena ini terjadi akibat kesalahanku juga. Aku kini sadar bahwa cinta tak bisa dipaksakan. Cinta harus terjadi dengan cara yang alamiah. Kulangkahkan kaki dengan gontai, dengan perasaan yang hancur lebur. Jika Allah menghukumku atas semua dosaku selama ini, terutama dosa syirik yang telah kuperbuat, maka aku akan mencoba pasrah saja. Aku berjanji tak akan melakukan perbuatan terkutuk itu lagi. Aku taubat nashuha, dan berjanji akan mempelajari Islam secara lebih mendalam. Agar aku tidak sampai salah langkah lagi. Aku kembali pulang ke rumah orang tua angkatku, dan mencoba untuk memulai lagi hidup baru di sana. Sekitar lima hari setelah aku pulang ke rumah tersebut, secara tak terduga mas Farid menelep
Sungguh, Kawan! Aku sempat bingung, bahkan stres berat ketika memutar otak, berpikir dan mencari cara terbaik dan paling ampuh untuk mendapatkan cinta Ryana. Hingga suatu hari, aku bertemu lagi dengan seorang teman lama dari dunia anak jalanan. Tak perlu kusebut namanya, karena tidak penting. Aku bercerita padanya tentang niat dan tekad kuatku untuk mendapatkan cinta Ryana. Dan si teman ini pun menceritakan satu hal. “Di daerah kabupaten Bogor, ada seorang ustadz yang bisa membantumu. Ilmu dari dia terbukti tokcer, banyak yang berhasil.” “Ilmu apa? Bukan ilmu pelet, kan?” “Ya, tentu bukan. Dia seorang ustadz, lho. Yang dia gunakan juga ayat-ayat Al Quran, kok.” “O gitu?” “Iya.” Mendengar penjelasan seperti itu, maka aku pun tertarik untuk mendatangi pak ustadz tersebut. Berdua dengan si teman, kami pun naik motor boncengan ke sana. Jaraknya lumayan jauh. Badanku sampai pegal-pegal karena kelamaan dibonceng di at
POV: SYARIF Aku benar-benar tersudut! Serba salah! Bahkan salah tingkah dan mati gaya! Semuanya berawal dari kejadian malam itu, setelah aku bertemu Dika dan pulang ke rumah. Di dalam kamar, Ryana memegang secarik kertas yang diambil dari dompetku. “Ini kertas apa? Pakai tulisan Arab, tapi bahasanya kok aneh, ya?” Dan tidak berhenti sampai di situ. Berkali-kali dia menyebut istilah tukang pelet di depanku. Memang dia tidak menuduh apapun. Tapi aku tahu, pasti dia ingin mengutarakan sesuatu. Hal yang tidak berani dia sampaikan terang-terangan. Itulah situasi yang membuatku tersudut, merasa serba salah, bahkan salah tingkah dan mati gaya! Aku sebenarnya merasa berat untuk menceritakan semua ini, Kawan! Tapi karena posisiku sudah tersudut seperti itu, baiklah. Akan kuceritakan padamu. Tapi ingat, ya. Ini hanya kuceritakan padamu saja. Tidak akan kuceritakan pada Ryana, juga orang lain yang kukenal. * * *
Sepulang dari sekretariat GIL, aku langsung pulang ke rumah, menyetir mobil sambil memikirkan Rangga. Di satu sisi aku sangat kasihan padanya. Dulu dia kecewa padaku, karena aku menikah dengan Syarif pada saat sedang proses ta’aruf denganku. Dan kini, peristiwanya bahkan jauh lebih tragis. Jika aku berada pada posisi dia, mungkin sudah depresi karena tak kuat menahan derita jiwa. Aku pun berdoa, semoga Rangga tak pernah lagi menghadapi masalah besar seperti itu dalam perjuangannya menemukan jodoh. Dan di sisi lain, entah kenapa pikiranku jadi nakal, membayangkan bahwa masih ada kesempatan bagiku untuk bersatu dengan Rangga dalam ikatan suci pernikahan. Tempat paling istimewa di hatiku yang dulu dihuni oleh Syarif, kini dia sudah terusir dari sana. Dan Rangga hadir sebagai penggantinya. Rasa kagumku padanya yang sudah hadir sejak dulu, kini sudah berubah menjadi cinta. Ya, aku memang sudah bertekad untuk minta cerai pada Syarif, karena sudah ta
POV: RANGGA Memang, pernikahanku aneh banget. Tapi sebenarnya itu bukan pernikahan. Sebab yang duduk di pelaminan hanya aku dan kedua orang tuaku. Lalu di sebelah kami, dipajang Om dan Tante sebagai tameng aja. Supaya hadirin mengira bahwa merekalah orang tua dari pengantin wanita. Ke mana pengantin wanitanya? Jangan tanya padaku, karena aku sudah gak mau mikirin itu. Bahkan pikiranku sudah kukosongkan dari masalah tersebut. Sebab kalau kupikirkan, khawatir diri ini jadi gila. Ya, pria mana yang tidak shock, hampir pingsan, ketika jadwal pernikahan tinggal 1 hari lagi, ketika undangan sudah disebar semuanya, administrasi di KUA sudah selesai, biaya gedung resepsi sudah dibayar lunas, dekorasi ruangan sudah beres, konsumsi tinggal dimakan aja, tim dokumentasi dan wedding singer beserta group band-nya sudah siap semua, tapi justru pengantin wanitanya yang tidak muncul batang hidungnya! “Maaf, kami terpaksa membatalkan pernikaha
Kini aku duduk dan tertunduk pasrah di depan Dian, di sebuah kafe yang lumayan sepi. Cuaca agak mendung, dan tadi sempat turun gerimis tipis. “I am verry sorry,” ujarku dengan nada penuh penyesalan. "Dulu tak gak percaya sama kamu. Aku cuma heran, kok seorang aktivis dakwah dan aqidahnya lurus bisa melakukan perbuatan syirik seperti itu?” “Wallahualam, Say,” sahut Dian. “Terkadang kita sulit mengetahui isi hati orang lain, walau dia adalah pasangan kita sendiri, kan?” Aku tertegun, tiba-tiba menyadari bahwa selama ini aku ternyata belum mengenal Syarif dengan baik. Aku yang dulu merasa sangat dekat dan sangat kenal dengannya, terlebih setelah dia menjadi suamiku, hari ini sosoknya terasa demikian asing. Aku bahkan belum tahu banyak tentang masa lalunya. Ya, memang masa lalu tidak perlu dipermasalahkan. Yang penting adalah masa depan. Namun siapa sangka, ternyata ada masa lalu Syarif yang berhubungan dengan trauma masa laluku. “Aku sebenarnya malu, Dian,” ujarku. “Malu karena dulu
POV: RYANASaat pendarahan itu terjadi, saat dokter mengatakan bahwa janin di kandunganku kekurangan gizi dan perkembangannya terhambat, saat aku disuruh bedrest selama delapan minggu, sungguh penyesalan yang tak terkira mendekap hatiku dengan sangat erat. Aku bingung, merasa bahwa cobaan hidupku sudah demikian sempurna.Saat ini aku pun berada pada sebuah dilema tersendiri. Di satu sisi aku ingin bayiku selamat karena aku mencintainya, sehingga mau tidak mau aku tak boleh stres lagi, tak boleh lagi memikirkan masalahku dengan Syarif.Dan di satu sisi berikutnya, aku harus bertempur dengan sebuah situasi baru yang buruk, kondisi tubuhku yang teramat lemah dan harus bedrest selama delapan minggu.Duhai, penderitaan apa lagikah yang lebih berat dari semua ini? Mungkinkan ini merupakan balasan atas berbagai macam maksiat yang dulu sering kuperbuat? Jika ya, komohon kepada Allah untuk menguatkan fisik dan jiwaku agar mampu melewati semua cobaan ini. Dan semoga Allah mengampuni dosa-dosaku
Perawakannya tinggi tegap, wajahnya ganteng, kulitnya putih mulus, keren seperti artis, pintar bermain basket. Itulah Dika, seorang musuhku dari SMK Gradasi. Saat itu kami sama-sama kelas sebelas. Aku jatuh cinta pada seorang gadis, teman sekelas Dika. Tapi gadis itu justru terlihat sering jalan bersama Dika. Aku tentu sakit hati, cemburu, rasanya teramat pedih.Seorang teman berkata bahwa mereka bukan pacaran, hanya teman biasa. Tapi bagiku itu sama saja. Tak ada bedanya. Sama-sama bikin sakit hati.Suatu hari, seseorang tak dikenal mengirimiku pesan di WhatsApp. Isinya sungguh mengejutkan."Dika itu homo. Coba lihat foto-foto ini."Dan terpampanglah semuanya di depan mataku, gambar-gambar yang segera membuat perutku mual mau muntah. Dika terlihat bermesraan dengan sesama cowok, dalam keadaan bertelanjang dada!Aku merasa sangat jijik. Tapi sedetik kemudian aku tertawa terbahak-bahak. Merasa mendapat sebuah senjata andalan untuk memukul telak sainganku itu.Segera kucetak foto-foto i