“Ada apa, Pak?” aku bertanya penuh keheranan kepada panitia yang membangunkanku tadi. Dia tidak menjawabku, namun berteriak kepada semua orang yang ada di ruangan itu, "Ayo, bangun semuanya! Kalian ingin mendapat pertolongan Allah, kan? Kalian ingin terbebas dari masalah hidup, kan? Makanya, yuk bangun semua. Kita shalat malam, muhasabah, bertaubat, dan merengek-rengek kepada Allah, agar DIA menolong kita, agar DIA menyelesaikan masalah-masalah kita!" Duhai, suara terdengar tegas, namun ramah dan mengharukan, sehingga terdengar enak di telinga. Membuatku terharu. Tapi jika tengah malam begini harus shalat di masjid? Duhai! Aku belum pernah punya pengalaman seperti ini. Jangankan shalat tengah malam. Shalat fardlu pun masih sering bolong-bolong. Rasanya amat berat melawan rasa kantuk, tapi panitia menyuruh kami untuk segera mengambil wudhu dan berkumpul di masjid. Ruangan aula harus dikosongkan. Aku masih berusaha keras melawan rasa kantuk yang amat berat. Dengan ogah-ogahan, aku p
POV: RYANAMungkin aku terlalu bodoh, tapi kenangan yang teramat pahit di masa lalu itu terus membayang-bayangi hati dan pikiranku. Masih kuingat dengan jelas, betapa marahnya Mama saat melihat rekaman foto m3sum Papa di handphonenya yang tertinggal di rumah. Perang dunia ketiga pun tak terhindarkan. Aku dan kedua adikku menjadi korban keributan yang tak terkendali.Sejak saat itu, aku jadi sangat benci terhadap segala jenis rekaman yang berisi adegan m3sum. Walau bukan film atau gambar p0rn0, walau hanya adegan bermesraan biasa, aku tetap benci dam merasa sangat muak.Sejujurnya, sejak tragedi di rumahku tersebut, rasa benci yang luar biasa terhadap hal-hal yang berbau m3sum atau p0rn0grafi merajai pikiranku, membuatku sama sekali tak bisa bertoleransi terhadap segala sesuatu yang seperti itu.Aku bahkan sempat berkata di dalam hati, 'Jangan sampai nanti aku menikah dengan pemain film p0rn0!'Sungguh sangat tak terduga, kini aku bersuamikan seorang mantan bintang film p0rn0!'Ya Alla
POV: RANGGA Mungkin Ryana tak tahu kalau dirinya jadi primadona di sekretariat GIL pusat. Soalnya dia memang cantik banget, bikin perhatian semua cowok langsung tertuju sama dia. Wajahnya bulat telur, alis matanya sangat lentik, suaranya merdu namun tegas, tubuhnya semampai, ia hampir selalu mengenakan pakaian warna pink atau ungu, atau kombinasi keduanya. Itu membuatnya terlihat makin cantik. Sewaktu aku ngumpul bareng teman-teman sesama pria di markas GIL, salah satu pembicaraan favorit adalah gadis cantik yang tegas, cerdas, dan suka bicara pakai bahasa Inggris itu. "Ryana tuh jatah gue," ujar Edwin, cowok kurus yang hobi bermain musik dan belum berhasil berhenti merokok, padahal dia pengen banget segera bebas dari batang dan asap jahannam itu. Edwin juga agak urakan. Dia masih sering bicara kasar, berburuk sangka pada seseorang. Namun di sisi lain dia juga sangat semangat berjuang di jalan dakwah. Sebuah kontradiksi yang membuatku heran. "Enak aja. Akhwat secantik dia cocoknya
Pak Ustadz pada pengajian tersebut bercerita tentang tujuan hidup kita di muka bumi ini. "..... Untuk kembali pulang ke kampung akhirat. Karena kampung asli kita memang di surga. Dulu Nabi Adam dan Siti Hawa berasal dari sana, kan? Karena itu, mari siapkan bekal dengan cara banyak beribadah, bersedekah, memberi manfaat bagi banyak orang." Hatiku tersentuh mendengar ceramah itu, yang disampaikan dengan cara yang sangat enak didengar. Aku meneteskan air mata. Ternyata inilah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini bikin aku gelisah. Kenapa aku harus repot-repot mencari sampai ke Sydney dan Paris? Sejak saat itu, aku mulai rajin shalat, belajar sedekah, mendekatkan diri pada Allah. Dan itulah awal keterlibatanku di Gerakan Islam Lurus. Aku bahagia banget karena bisa ikut berdakwah di sana, terlebih karena teman-teman memberiku kepercayaan untuk mendokumentasikan kegiatan-kegiatan GIL dalam bentuk foto dan video. Aku juga bahagia banget, karena di gerakan dakwah yang luar
Dan malam itu, aku pamit dari rumah, menelepon Doni sahabatku, mengajaknya pergi ke masjid At-Tien. "Ngapain Ga, malam-malam gini ke masjid?" "Iseng aja." "Lu pasti lagi stres, ya? Ada masalah?" "Iya, nih." "Masalah apa?" "Ada, deh. Lu mau nemenin gue, gak?" "Pasti, dong. Entar kalo lu sendirian ke situ lalu bunuh diri, kan gue juga yang repot." "Ngaco lo! Siapa juga yang mau bunuh diri?" "Kekeke... siapa tahu?" "Udah ah, cepetan lu ke sini. Gue tunggu, ya." "Oke, Bro!" Aku bahagia karena punya sahabat setia seperti Doni. Dia adalah seorang penghibur yang bikin aku selalu gembira. Canda dan humor segarnya selalu meramaikan suasana. Kami pun berangkat ke At-Tien malam itu. Cuma bawa pakaian seadanya, sajadah, dan perlengkapan mandi. Sesampai di masjid yang letaknya di kompleks Taman Mini Indonesia Indah itu, aku dan Doni ngobrol tentang banyak hal, bercanda dan tertawa-tawa. Tapi aku merasa berat untuk cerita sama dia soal Ryana. "Jadi apa yang bikin lu stres?" Doni menat
Esok harinya, aku datang ke kantor Pak Ishadi. Kami makan siang bareng di sebuah restoran. Aku yang mentraktirnya. Kuceritakan semua uneg-uneg di hatiku. Di luar dugaan, Pak Ishadi malah tersenyum dan menatapku dengan bijaksana. "Ryana bukan ta'aruf dengan dua pria sekaligus," ujar beliau. "Tapi ketika sedang proses ta'aruf dengan kamu, dia kenalan dengan pria lain dan jatuh cinta. Mereka sama sekali belum ta'aruf. Tapi entah kenapa, saya juga sebenarnya heran dan bingung, Ryana yakin sekali bahwa pria itulah jodohnya. Ryana saat itu tak bisa langsung menghentikan proses ta'aruf dengan kamu, sebab dia belum tahu apakah pria tersebut ingin menikah dengannya atau tidak. Dulu Ryana sempat minta pending, karena dia sedang menunggu kepastian dari pria tersebut. Setelah si pria melamarnya, barulah Ryana memutuskan untuk menolak lamaran kamu. Begitulah ceritanya, Rangga." "O, gitu ya, Pak?" "Betul. Jadi hapuskan buruk sangkamu itu, ya. Ryana seorang akhwat yang sangat baik. Dia tidak m
Malam hari sekitar jam sembilan, saat aku tiduran di dalam kamar, Syarif masuk dan langsung tidur di sebelahku. Kutatap ia dengan ekspresi dingin. "Gimana? Kapan kita cerai?" Syarif mendesah, tatapannya tertuju ke langit-langit kamar. "Aku sama sekali tidak merasa bersalah, Ryana. Film itu adalah masa laluku, dan aku sudah taubat. Aku tak punya alasan untuk menceraikan kamu." "Tapi aku sudah tak betah hidup bersama kamu!" "Kamu memang keras kepala dan egois, ya?" Syarif tiba-tiba bangun dan duduk di tepi ranjang. "Kamu tak pernah mau mendengarkan penjelasanku. Kamu bahkan tak pernah mau mengerti bahwa aku sudah taubat, tak akan mengulangi lagi perbuatan bodoh itu. Terus terang, aku merasa sangat dizalimi oleh kamu." "Apa? Kamu merasa dizalimi? Bukannya kebalik? Akulah yang kamu zalimi! Kenapa kamu tak pernah bercerita tentang film itu sebelum kita menikah?" "Dulu aku sudah menceritakan masa laluku. Tapi kamu memotong pembicaraanku. Kamu bilang, semua masa laluku telah dimaafkan.
Di rumah sakit, aku dan Dian duduk di depan dokter kandungan yang menatapku dengan perasaan iba."Bu Ryana mengalami pendarahan. Maaf, saya bukan menakut-nakuti, tapi kondisi Ibu tidaklah terlalu baik. Janin di perut Ibu kekurangan gizi dan perkembangannya terhambat, karena asupan makanan sangat kurang. Tekanan darah ibu tinggi, dan itu sangat rentan terhadap keselamatan si bayi. Suami Ibu di mana?""Kami tadi berangkat dari kantor, Dokter. Suami saya ada di kantornya."Dokter itu mengangguk. "Begini, Bu," ujarnya. "Anda tak boleh stres. Resikonya bisa fatal terhadap kandungan Ibu. Apalagi sepertinya jarang makan. Kasihan si janin ini. Bu Ryana mencintainya, kan?"Aku mengangguk, merasa amat pedih di dalam hati."Bu Ryana harus bedrest sampai kondisi kembali pulih. Perkiran saya delapan minggu. Tapi bisa lebih cepat atau lebih lama, tergantung perkembangan nanti. Obatnya harus diminum dengan disiplin. Makan harus banyak dan gizinya harus cukup. Bu Ryana tak boleh stres lagi. Turuti sa
(Lanjutan orasi Farid) “Saudara-saudaraku seiman yang sangat kucintai karena Allah, Kita punya tugas mulia di gerakan dakwah ini. Kita hendak mengajak seluruh umat Islam untuk beragama secara lurus, tidak mudah terpengaruh oleh aliran sesat yang semakin gencar dikampanyekan oleh para musuh Islam. Kita tak boleh lengah, karena musuh-musuh Islam tak pernah tidur dan terus bekerja untuk menghancurkan aqidah kita. Jika kita mudah terpecah-belah hanya karena mengetahui aib masa lalu salah seorang saudara seperjuangan kita, bagaimana mungkin kita bisa sukses dalam perjuangan mulia di jalan dakwah? Justru para musuh akan semakin mudah memecah-belah dan menghancurkan kita. Justru cobaan seperti yang sedang kita hadapi ini, mari hadapi dengan penuh bijaksana. Kita harus menunjukkan pada dunia bahwa kita tetap solid, tetap bersatu dalam satu ukhuwah yang erat, tidak terpengaruh oleh fitnah keji yang sedang menghantam Gerakan Islam Lurus. Kita tak perlu
POV: SYARIF Kutinggalkan rumah Ryana dengan sangat berat hati. Kucoba merelakan bahwa dia kini bukan lagi istriku. Aku sudah kehilangannya, sebuah kehilangan yang terasa sangat menyakitkan bagiku. Tapi aku harus ikhlas menerima semuanya, karena ini terjadi akibat kesalahanku juga. Aku kini sadar bahwa cinta tak bisa dipaksakan. Cinta harus terjadi dengan cara yang alamiah. Kulangkahkan kaki dengan gontai, dengan perasaan yang hancur lebur. Jika Allah menghukumku atas semua dosaku selama ini, terutama dosa syirik yang telah kuperbuat, maka aku akan mencoba pasrah saja. Aku berjanji tak akan melakukan perbuatan terkutuk itu lagi. Aku taubat nashuha, dan berjanji akan mempelajari Islam secara lebih mendalam. Agar aku tidak sampai salah langkah lagi. Aku kembali pulang ke rumah orang tua angkatku, dan mencoba untuk memulai lagi hidup baru di sana. Sekitar lima hari setelah aku pulang ke rumah tersebut, secara tak terduga mas Farid menelep
Sungguh, Kawan! Aku sempat bingung, bahkan stres berat ketika memutar otak, berpikir dan mencari cara terbaik dan paling ampuh untuk mendapatkan cinta Ryana. Hingga suatu hari, aku bertemu lagi dengan seorang teman lama dari dunia anak jalanan. Tak perlu kusebut namanya, karena tidak penting. Aku bercerita padanya tentang niat dan tekad kuatku untuk mendapatkan cinta Ryana. Dan si teman ini pun menceritakan satu hal. “Di daerah kabupaten Bogor, ada seorang ustadz yang bisa membantumu. Ilmu dari dia terbukti tokcer, banyak yang berhasil.” “Ilmu apa? Bukan ilmu pelet, kan?” “Ya, tentu bukan. Dia seorang ustadz, lho. Yang dia gunakan juga ayat-ayat Al Quran, kok.” “O gitu?” “Iya.” Mendengar penjelasan seperti itu, maka aku pun tertarik untuk mendatangi pak ustadz tersebut. Berdua dengan si teman, kami pun naik motor boncengan ke sana. Jaraknya lumayan jauh. Badanku sampai pegal-pegal karena kelamaan dibonceng di at
POV: SYARIF Aku benar-benar tersudut! Serba salah! Bahkan salah tingkah dan mati gaya! Semuanya berawal dari kejadian malam itu, setelah aku bertemu Dika dan pulang ke rumah. Di dalam kamar, Ryana memegang secarik kertas yang diambil dari dompetku. “Ini kertas apa? Pakai tulisan Arab, tapi bahasanya kok aneh, ya?” Dan tidak berhenti sampai di situ. Berkali-kali dia menyebut istilah tukang pelet di depanku. Memang dia tidak menuduh apapun. Tapi aku tahu, pasti dia ingin mengutarakan sesuatu. Hal yang tidak berani dia sampaikan terang-terangan. Itulah situasi yang membuatku tersudut, merasa serba salah, bahkan salah tingkah dan mati gaya! Aku sebenarnya merasa berat untuk menceritakan semua ini, Kawan! Tapi karena posisiku sudah tersudut seperti itu, baiklah. Akan kuceritakan padamu. Tapi ingat, ya. Ini hanya kuceritakan padamu saja. Tidak akan kuceritakan pada Ryana, juga orang lain yang kukenal. * * *
Sepulang dari sekretariat GIL, aku langsung pulang ke rumah, menyetir mobil sambil memikirkan Rangga. Di satu sisi aku sangat kasihan padanya. Dulu dia kecewa padaku, karena aku menikah dengan Syarif pada saat sedang proses ta’aruf denganku. Dan kini, peristiwanya bahkan jauh lebih tragis. Jika aku berada pada posisi dia, mungkin sudah depresi karena tak kuat menahan derita jiwa. Aku pun berdoa, semoga Rangga tak pernah lagi menghadapi masalah besar seperti itu dalam perjuangannya menemukan jodoh. Dan di sisi lain, entah kenapa pikiranku jadi nakal, membayangkan bahwa masih ada kesempatan bagiku untuk bersatu dengan Rangga dalam ikatan suci pernikahan. Tempat paling istimewa di hatiku yang dulu dihuni oleh Syarif, kini dia sudah terusir dari sana. Dan Rangga hadir sebagai penggantinya. Rasa kagumku padanya yang sudah hadir sejak dulu, kini sudah berubah menjadi cinta. Ya, aku memang sudah bertekad untuk minta cerai pada Syarif, karena sudah ta
POV: RANGGA Memang, pernikahanku aneh banget. Tapi sebenarnya itu bukan pernikahan. Sebab yang duduk di pelaminan hanya aku dan kedua orang tuaku. Lalu di sebelah kami, dipajang Om dan Tante sebagai tameng aja. Supaya hadirin mengira bahwa merekalah orang tua dari pengantin wanita. Ke mana pengantin wanitanya? Jangan tanya padaku, karena aku sudah gak mau mikirin itu. Bahkan pikiranku sudah kukosongkan dari masalah tersebut. Sebab kalau kupikirkan, khawatir diri ini jadi gila. Ya, pria mana yang tidak shock, hampir pingsan, ketika jadwal pernikahan tinggal 1 hari lagi, ketika undangan sudah disebar semuanya, administrasi di KUA sudah selesai, biaya gedung resepsi sudah dibayar lunas, dekorasi ruangan sudah beres, konsumsi tinggal dimakan aja, tim dokumentasi dan wedding singer beserta group band-nya sudah siap semua, tapi justru pengantin wanitanya yang tidak muncul batang hidungnya! “Maaf, kami terpaksa membatalkan pernikaha
Kini aku duduk dan tertunduk pasrah di depan Dian, di sebuah kafe yang lumayan sepi. Cuaca agak mendung, dan tadi sempat turun gerimis tipis. “I am verry sorry,” ujarku dengan nada penuh penyesalan. "Dulu tak gak percaya sama kamu. Aku cuma heran, kok seorang aktivis dakwah dan aqidahnya lurus bisa melakukan perbuatan syirik seperti itu?” “Wallahualam, Say,” sahut Dian. “Terkadang kita sulit mengetahui isi hati orang lain, walau dia adalah pasangan kita sendiri, kan?” Aku tertegun, tiba-tiba menyadari bahwa selama ini aku ternyata belum mengenal Syarif dengan baik. Aku yang dulu merasa sangat dekat dan sangat kenal dengannya, terlebih setelah dia menjadi suamiku, hari ini sosoknya terasa demikian asing. Aku bahkan belum tahu banyak tentang masa lalunya. Ya, memang masa lalu tidak perlu dipermasalahkan. Yang penting adalah masa depan. Namun siapa sangka, ternyata ada masa lalu Syarif yang berhubungan dengan trauma masa laluku. “Aku sebenarnya malu, Dian,” ujarku. “Malu karena dulu
POV: RYANASaat pendarahan itu terjadi, saat dokter mengatakan bahwa janin di kandunganku kekurangan gizi dan perkembangannya terhambat, saat aku disuruh bedrest selama delapan minggu, sungguh penyesalan yang tak terkira mendekap hatiku dengan sangat erat. Aku bingung, merasa bahwa cobaan hidupku sudah demikian sempurna.Saat ini aku pun berada pada sebuah dilema tersendiri. Di satu sisi aku ingin bayiku selamat karena aku mencintainya, sehingga mau tidak mau aku tak boleh stres lagi, tak boleh lagi memikirkan masalahku dengan Syarif.Dan di satu sisi berikutnya, aku harus bertempur dengan sebuah situasi baru yang buruk, kondisi tubuhku yang teramat lemah dan harus bedrest selama delapan minggu.Duhai, penderitaan apa lagikah yang lebih berat dari semua ini? Mungkinkan ini merupakan balasan atas berbagai macam maksiat yang dulu sering kuperbuat? Jika ya, komohon kepada Allah untuk menguatkan fisik dan jiwaku agar mampu melewati semua cobaan ini. Dan semoga Allah mengampuni dosa-dosaku
Perawakannya tinggi tegap, wajahnya ganteng, kulitnya putih mulus, keren seperti artis, pintar bermain basket. Itulah Dika, seorang musuhku dari SMK Gradasi. Saat itu kami sama-sama kelas sebelas. Aku jatuh cinta pada seorang gadis, teman sekelas Dika. Tapi gadis itu justru terlihat sering jalan bersama Dika. Aku tentu sakit hati, cemburu, rasanya teramat pedih.Seorang teman berkata bahwa mereka bukan pacaran, hanya teman biasa. Tapi bagiku itu sama saja. Tak ada bedanya. Sama-sama bikin sakit hati.Suatu hari, seseorang tak dikenal mengirimiku pesan di WhatsApp. Isinya sungguh mengejutkan."Dika itu homo. Coba lihat foto-foto ini."Dan terpampanglah semuanya di depan mataku, gambar-gambar yang segera membuat perutku mual mau muntah. Dika terlihat bermesraan dengan sesama cowok, dalam keadaan bertelanjang dada!Aku merasa sangat jijik. Tapi sedetik kemudian aku tertawa terbahak-bahak. Merasa mendapat sebuah senjata andalan untuk memukul telak sainganku itu.Segera kucetak foto-foto i