Sepulang ke Jakarta, kuajak keluarga angkatku bicara. "Sebentar lagi aku lulus SMA," ujarku dengan nada yang amat perlahan. "Ini akan jadi yang terakhir kalinya Ayah dan Ibu mnembiayai aku. Setelah lulus, aku akan cari uang sendiri, membiayai hidupku sendiri. Sudah cukup pengorbanan dan kebaikan kalian selama ini. Aku sama sekali tak pernah berbakti, tak pernah membalas budi. Aku justru durhaka pada keluarga yang sangat baik padaku." "Syarif," Ibu meraih pundakku. "Kami masih sanggup dan bersedia membiayai sekolahmu hingga sarjana." "Gunakan uang itu untuk keperluan yang lebih penting. Ibu dan Ayah sejak lama ingin naik haji, kan? Aku sudah tak mau membebani dan merepotkan keluarga ini. Keputusanku bulat. Tolong jangan rayu aku." Bahkan impian untuk kuliah pun harus kukubur dalam-dalam. Kulupakan selupa-lupanya. Padahal aku ingin sekali mendapat gelar sarjana. Aku memang masih tinggal di rumah itu, sekadar numpang makan dan berteduh. Aku sebenarnya ingin ngontrak atau kos, tapi b
Tapi cinta memang benar-benar ajaib, Kawan! Gadis pujaanku itu justru meneleponku dan berkata dengan suaranya yang sangat merdu, "Syarif, aku tetap ingin menikah denganmu. Aku tak peduli pada status keluargamu." "Alhamdulillah," betapa bahagianya aku ketika mendengar ucapannya itu. "Terima kasih, Ryana. Tapi bagaimana dengan keluargamu?" "Jangan khawatir. Aku akan meyakinkan mereka. Kamu percaya saja padaku, ya. Selama ini aku lebih sering menang jika berunding dengan keluarga." * * * POV: RIANA Malam ini, pria idamanku, Syarif, telah hadir di ruang tamu rumahku. Ia berpakaian demikian rapi, baju batik warna cokelat, rambut disisir rapi dan diberi gel yang wanginya bercampur dengan parfum yang tadi mungkin disemprotkan ke badannya. Dia duduk persis di depan Mama, menunduk dengan amat sopan, sikapnya terlihat sedikit kaku. "Jadi kamu yang bernama Syarif?" "Betul, Tante." "Panggil Ibu saja. Saya tak suka dipanggil tante." "Eh....maaf. Baik, Bu." Lalu Mama pun bertanya banyak
Walau sedang diliputi perasaan bahagia yang tiada tara, diriku tak mau terlena dan melupakan seorang pria yang masih setia menungguku. Rangga.Ya, dia pasti masih mengharapkanku. Tapi aku telah menerima lamaran pria lain. Dia pasti kecewa, patah hati, bahkan mungkin marah padaku.Tapi aku tidak ingin jika hubungan kami renggang, lalu berpengaruh terhadap kerjasama tim kami di Gerakan Islam Lurus. Aku sangat mencintai kegiadan dakwah di GIL. Bagiku, kami semua para pengurusnya harus tetap kompak, agar bisa sukses bersinergi menjalankan misi yang sangat mulia.Maka suatu hari, aku pun datang ke rumah Mbak Sinta. Di sana, aku bertemu dengan beliau, pak Ishadi, dan juga Rangga."Saya mohon maaf sebesar-besarnya," ujarku . Kucoba merangkai kata sebaik mungkin, agar tidak sampai ada hati yang terluka. "Setelah mempertimbangkan banyak hal, saya akhirnya memilih pria lain sebagai imam saya. Bukan berarti dia lebih baik dari Rangga. Mungkin Rangga jauh lebih baik dari pria tersebut. Tapi saya
Dua hari setelah bulan madu, kami pulang ke rumah Mama. Aku dan Syarif sepakat untuk tinggal di sana sebelum memiliki rumah sendiri.Suatu malam, saat aku nonton siaran teve di ruang tengah, Syarif mendatangiku, membawa laptop kesayangannya, dan menunjukkannya padaku."Coba lihat ini," ujarnya.Aku menurut. Kutatap layar laptopnya. Betapa terkejutnya aku saat melihat sebuah foto close up yang belum pernah kulihat sebelumnya."Masya Allah.... Ini foto aku, ya?""Iya, hehehe...," Syarif tertawa. "Maaf ya, Ryana. Aku diam-diam memotret kamu di acara santunan yatim piatu dulu.""Waduh, kamu ini ternyata nakal juga," aku tergelak dan mencubit lengan Syarif. Ia meringis kesakitan dan kembali tertawa"Kalau gak nakal, bukan cowok namanya.""Jadi semua cowok memang nakal, ya?""Hehehe..., iya kali! Tapi foto-foto ini hanya kusimpan untuk koleksi pribadi, kok. Aku juga memahami privasi kamu yang mungkin tak suka foto ini dilihat oleh banyak orang.""O, gitu. Thanks ya, atas pengertian kamu. Me
Untungnya, ada juga konflik yang berakhir bahagia. Kejadiannya bermula pada bulan pertama pernikahan kami, saat aku gajian dan berkata pada Syarif bahwa gajiku akan dipakai untuk membantunya memeu memenuhi kebutuhan kami. Ternyata suamiku ini sangat tidak setuju. "Gaji kamu disimpan aja, ditabung. Mencari nafkah itu tugasku. Aku tak mau kamu ikut menafkahi keluarga kita." "Tapi apa salahnya aku membantu?" "Aku tak setuju, Sayang." "Kenapa?" "Kan udah kubilang, mencari nafkah itu tugasku." "Okay, fine. Aku setuju. Tapi jika aku juga berpenghasilan, apa salahnya ikut membantu?" "Gajimu dipakai untuk keperluan kamu saja. Beli buku, atau apapun itu yang bukan kebutuhan pokok kita. Untuk kebutuhan pokok, itu kewajiban suami." "Termasuk untuk nabung biaya beli rumah kita nanti?" "Iya. Itu tanggung jawabku. Kamu tak perlu mikirin." "Apa gaji kamu cukup?" "Cukup atau tidak, itu urusanku!" "Sayang, kita ini suami istri. Tentu semua masalah harus kita selesaikan bersama, kan?" "Ini
"Tuh, kamu mengejekku, kan?" Syarif malah sewot. Sepertinya dia tersinggung."Hehehe..., maaf, Yang. Aku tak bermaksud begitu," kurangkul pundaknya, agar dia tahu bahwa aku mendukung dirinya sepenuhnya. "Kamu akan ke Surabaya untuk mendapatkan ilmu dan pengalaman baru yang belum pernah kamu temukan di sini. Resikonya adalah naik pesawat. Jika kamu menghindari resiko, artinya kamu kehilangan kesempatan untuk mendapatkan ilmu dan pengalaman tersebut. Coba pikirkan seperti itu, Yang. Tak perlu khawatir. Nanti kalau sudah di dalam pesawat, insya Allah kamu bisa tenang. kok. Percaya sama aku."Syarif menatapku, lalu tersenyum cerah. "Terima kasih, Ryana. Aku jadi tenang."Aku mengangguk dan tersenyum. Baru kusadari, Syarif seumur hidup memang belum pernah pergi jauh. Kota yang pernah dia datangi baru Bandung, Cipanas (sewaktu kami berbulan madu), Bogor, dan Pekalongan. Yang kusebut terakhir adalah kampung halaman orang tuanya. * * *Pada jadwal yang telah dijadwalkan, Syarif pun berangkat
Mungkin karena kekurangan kasih sayang Papa sejak kecil, aku tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat mudah jatuh cinta. Baru pertama kali melihat seorang cowok ganteng yang baik hati, aku langsung naksir, langsung ingin jadi pacarnya.Maka sejak memasuki usia pubertas, entah sudah berapa belas cowok yang menjadi pacarku.Adalah Andi, cowok ganteng anak basket, yang pertama kali mengajariku bermaksiat. Sepertinya dia sudah sangat berpengalaman. Aku yang ketika itu masih sangat lugu, terhanyut dan menuruti saja semua yang dia minta. Untungnya, aku masih bisa mempertahankan kesucianku.Setelah Andi, masih ada sejumlah cowok yang sempat jadi pacarku. Bersama mereka, aku terhanyut dalam gelora asmara yang bercampur-aduk dengan birahi yang tak terkendali.Entah kenapa, aku selalu berpacaran dengan cowok yang sudah berpengalaman. Bahkan suatu ketika, kecelakaan itu nyaris terjadi.Yuda, pacarku yang entah keberapa, mengajakku main ke rumahnya, di sebuah perkampungan kumuh di tengah kota Jak
POV: SYARIFAwan putih, terbentang sangat luas, seperti permadani yang amat indah, bernaung di bawah lengkungan langit yang biru cerah. Kutatap dari jendela pesawat dengan perasaan takjub, merasakan keindahan ciptaan Allah yang luar biasa. Air mataku menetes sebutir, merasakan keharuan yang menjalar ke seluruh rongga hatiku.Aku harus bersyukur atas semua ini, Kawan! Siapa menduga, pemuda kere sepertiku bisa naik pesawat. Gratis pula!"Biaya pelatihan dan transport kamu ditanggung oleh GIL pusat. Sumber dananya dari iuran anggota," Mas Farid memberi penjelasan, saat tadi aku bertanya padanya."Jadi aku dibiayai umat, dong, Mas?""Betul. Makanya kamu jaga amanah ini dengan baik, ya?""Siap! Insya Allah, Mas. Kalau biaya Mas Farid sendiri, gimana?""Tentu saja, ditanggung oleh panitia yang mengundang.""Termasuk biaya hotel buat nginap ya, Mas?""Betul. Itu juga ditanggung oleh panitia. Dan kamu numpang tidur di situ, gratis.""Hehehe..., asyik, ya."Aku merasa sangat bersyukur. Jika ta
(Lanjutan orasi Farid) “Saudara-saudaraku seiman yang sangat kucintai karena Allah, Kita punya tugas mulia di gerakan dakwah ini. Kita hendak mengajak seluruh umat Islam untuk beragama secara lurus, tidak mudah terpengaruh oleh aliran sesat yang semakin gencar dikampanyekan oleh para musuh Islam. Kita tak boleh lengah, karena musuh-musuh Islam tak pernah tidur dan terus bekerja untuk menghancurkan aqidah kita. Jika kita mudah terpecah-belah hanya karena mengetahui aib masa lalu salah seorang saudara seperjuangan kita, bagaimana mungkin kita bisa sukses dalam perjuangan mulia di jalan dakwah? Justru para musuh akan semakin mudah memecah-belah dan menghancurkan kita. Justru cobaan seperti yang sedang kita hadapi ini, mari hadapi dengan penuh bijaksana. Kita harus menunjukkan pada dunia bahwa kita tetap solid, tetap bersatu dalam satu ukhuwah yang erat, tidak terpengaruh oleh fitnah keji yang sedang menghantam Gerakan Islam Lurus. Kita tak perlu
POV: SYARIF Kutinggalkan rumah Ryana dengan sangat berat hati. Kucoba merelakan bahwa dia kini bukan lagi istriku. Aku sudah kehilangannya, sebuah kehilangan yang terasa sangat menyakitkan bagiku. Tapi aku harus ikhlas menerima semuanya, karena ini terjadi akibat kesalahanku juga. Aku kini sadar bahwa cinta tak bisa dipaksakan. Cinta harus terjadi dengan cara yang alamiah. Kulangkahkan kaki dengan gontai, dengan perasaan yang hancur lebur. Jika Allah menghukumku atas semua dosaku selama ini, terutama dosa syirik yang telah kuperbuat, maka aku akan mencoba pasrah saja. Aku berjanji tak akan melakukan perbuatan terkutuk itu lagi. Aku taubat nashuha, dan berjanji akan mempelajari Islam secara lebih mendalam. Agar aku tidak sampai salah langkah lagi. Aku kembali pulang ke rumah orang tua angkatku, dan mencoba untuk memulai lagi hidup baru di sana. Sekitar lima hari setelah aku pulang ke rumah tersebut, secara tak terduga mas Farid menelep
Sungguh, Kawan! Aku sempat bingung, bahkan stres berat ketika memutar otak, berpikir dan mencari cara terbaik dan paling ampuh untuk mendapatkan cinta Ryana. Hingga suatu hari, aku bertemu lagi dengan seorang teman lama dari dunia anak jalanan. Tak perlu kusebut namanya, karena tidak penting. Aku bercerita padanya tentang niat dan tekad kuatku untuk mendapatkan cinta Ryana. Dan si teman ini pun menceritakan satu hal. “Di daerah kabupaten Bogor, ada seorang ustadz yang bisa membantumu. Ilmu dari dia terbukti tokcer, banyak yang berhasil.” “Ilmu apa? Bukan ilmu pelet, kan?” “Ya, tentu bukan. Dia seorang ustadz, lho. Yang dia gunakan juga ayat-ayat Al Quran, kok.” “O gitu?” “Iya.” Mendengar penjelasan seperti itu, maka aku pun tertarik untuk mendatangi pak ustadz tersebut. Berdua dengan si teman, kami pun naik motor boncengan ke sana. Jaraknya lumayan jauh. Badanku sampai pegal-pegal karena kelamaan dibonceng di at
POV: SYARIF Aku benar-benar tersudut! Serba salah! Bahkan salah tingkah dan mati gaya! Semuanya berawal dari kejadian malam itu, setelah aku bertemu Dika dan pulang ke rumah. Di dalam kamar, Ryana memegang secarik kertas yang diambil dari dompetku. “Ini kertas apa? Pakai tulisan Arab, tapi bahasanya kok aneh, ya?” Dan tidak berhenti sampai di situ. Berkali-kali dia menyebut istilah tukang pelet di depanku. Memang dia tidak menuduh apapun. Tapi aku tahu, pasti dia ingin mengutarakan sesuatu. Hal yang tidak berani dia sampaikan terang-terangan. Itulah situasi yang membuatku tersudut, merasa serba salah, bahkan salah tingkah dan mati gaya! Aku sebenarnya merasa berat untuk menceritakan semua ini, Kawan! Tapi karena posisiku sudah tersudut seperti itu, baiklah. Akan kuceritakan padamu. Tapi ingat, ya. Ini hanya kuceritakan padamu saja. Tidak akan kuceritakan pada Ryana, juga orang lain yang kukenal. * * *
Sepulang dari sekretariat GIL, aku langsung pulang ke rumah, menyetir mobil sambil memikirkan Rangga. Di satu sisi aku sangat kasihan padanya. Dulu dia kecewa padaku, karena aku menikah dengan Syarif pada saat sedang proses ta’aruf denganku. Dan kini, peristiwanya bahkan jauh lebih tragis. Jika aku berada pada posisi dia, mungkin sudah depresi karena tak kuat menahan derita jiwa. Aku pun berdoa, semoga Rangga tak pernah lagi menghadapi masalah besar seperti itu dalam perjuangannya menemukan jodoh. Dan di sisi lain, entah kenapa pikiranku jadi nakal, membayangkan bahwa masih ada kesempatan bagiku untuk bersatu dengan Rangga dalam ikatan suci pernikahan. Tempat paling istimewa di hatiku yang dulu dihuni oleh Syarif, kini dia sudah terusir dari sana. Dan Rangga hadir sebagai penggantinya. Rasa kagumku padanya yang sudah hadir sejak dulu, kini sudah berubah menjadi cinta. Ya, aku memang sudah bertekad untuk minta cerai pada Syarif, karena sudah ta
POV: RANGGA Memang, pernikahanku aneh banget. Tapi sebenarnya itu bukan pernikahan. Sebab yang duduk di pelaminan hanya aku dan kedua orang tuaku. Lalu di sebelah kami, dipajang Om dan Tante sebagai tameng aja. Supaya hadirin mengira bahwa merekalah orang tua dari pengantin wanita. Ke mana pengantin wanitanya? Jangan tanya padaku, karena aku sudah gak mau mikirin itu. Bahkan pikiranku sudah kukosongkan dari masalah tersebut. Sebab kalau kupikirkan, khawatir diri ini jadi gila. Ya, pria mana yang tidak shock, hampir pingsan, ketika jadwal pernikahan tinggal 1 hari lagi, ketika undangan sudah disebar semuanya, administrasi di KUA sudah selesai, biaya gedung resepsi sudah dibayar lunas, dekorasi ruangan sudah beres, konsumsi tinggal dimakan aja, tim dokumentasi dan wedding singer beserta group band-nya sudah siap semua, tapi justru pengantin wanitanya yang tidak muncul batang hidungnya! “Maaf, kami terpaksa membatalkan pernikaha
Kini aku duduk dan tertunduk pasrah di depan Dian, di sebuah kafe yang lumayan sepi. Cuaca agak mendung, dan tadi sempat turun gerimis tipis. “I am verry sorry,” ujarku dengan nada penuh penyesalan. "Dulu tak gak percaya sama kamu. Aku cuma heran, kok seorang aktivis dakwah dan aqidahnya lurus bisa melakukan perbuatan syirik seperti itu?” “Wallahualam, Say,” sahut Dian. “Terkadang kita sulit mengetahui isi hati orang lain, walau dia adalah pasangan kita sendiri, kan?” Aku tertegun, tiba-tiba menyadari bahwa selama ini aku ternyata belum mengenal Syarif dengan baik. Aku yang dulu merasa sangat dekat dan sangat kenal dengannya, terlebih setelah dia menjadi suamiku, hari ini sosoknya terasa demikian asing. Aku bahkan belum tahu banyak tentang masa lalunya. Ya, memang masa lalu tidak perlu dipermasalahkan. Yang penting adalah masa depan. Namun siapa sangka, ternyata ada masa lalu Syarif yang berhubungan dengan trauma masa laluku. “Aku sebenarnya malu, Dian,” ujarku. “Malu karena dulu
POV: RYANASaat pendarahan itu terjadi, saat dokter mengatakan bahwa janin di kandunganku kekurangan gizi dan perkembangannya terhambat, saat aku disuruh bedrest selama delapan minggu, sungguh penyesalan yang tak terkira mendekap hatiku dengan sangat erat. Aku bingung, merasa bahwa cobaan hidupku sudah demikian sempurna.Saat ini aku pun berada pada sebuah dilema tersendiri. Di satu sisi aku ingin bayiku selamat karena aku mencintainya, sehingga mau tidak mau aku tak boleh stres lagi, tak boleh lagi memikirkan masalahku dengan Syarif.Dan di satu sisi berikutnya, aku harus bertempur dengan sebuah situasi baru yang buruk, kondisi tubuhku yang teramat lemah dan harus bedrest selama delapan minggu.Duhai, penderitaan apa lagikah yang lebih berat dari semua ini? Mungkinkan ini merupakan balasan atas berbagai macam maksiat yang dulu sering kuperbuat? Jika ya, komohon kepada Allah untuk menguatkan fisik dan jiwaku agar mampu melewati semua cobaan ini. Dan semoga Allah mengampuni dosa-dosaku
Perawakannya tinggi tegap, wajahnya ganteng, kulitnya putih mulus, keren seperti artis, pintar bermain basket. Itulah Dika, seorang musuhku dari SMK Gradasi. Saat itu kami sama-sama kelas sebelas. Aku jatuh cinta pada seorang gadis, teman sekelas Dika. Tapi gadis itu justru terlihat sering jalan bersama Dika. Aku tentu sakit hati, cemburu, rasanya teramat pedih.Seorang teman berkata bahwa mereka bukan pacaran, hanya teman biasa. Tapi bagiku itu sama saja. Tak ada bedanya. Sama-sama bikin sakit hati.Suatu hari, seseorang tak dikenal mengirimiku pesan di WhatsApp. Isinya sungguh mengejutkan."Dika itu homo. Coba lihat foto-foto ini."Dan terpampanglah semuanya di depan mataku, gambar-gambar yang segera membuat perutku mual mau muntah. Dika terlihat bermesraan dengan sesama cowok, dalam keadaan bertelanjang dada!Aku merasa sangat jijik. Tapi sedetik kemudian aku tertawa terbahak-bahak. Merasa mendapat sebuah senjata andalan untuk memukul telak sainganku itu.Segera kucetak foto-foto i