Bu Tari bersama Pak Tono berlari-lari kecil menyusuri lorong rumah sakit. Gurat lelah dan cemas tercetak jelas di wajah sepasang suami istri itu. Ya, Hendra memberi kabar dini hari tadi, sehingga baru pagi ini bisa datang menjenguk Laila karena jarak yang lumayan jauh. Hendra membawa Laila ke rumah sakit terdekat. Namun, masih jauh dari rumah mereka.Hendra juga telah memberi kabar pada Bu Hambar. Namun, ekspetasi lelaki itu tidak sesuai realita. Ibu Laila itu memberi banyak alasan yang menyebabkan dirinya tidak bisa datang menjenguk, apa lagi merawat anaknya. "Buk, pelan-pelan aja, toh. Kaki Bapak linu," ujar Pak Tono seraya menyamakan langkah. Sesekali lelaki tua itu memegang lututnya. Tubuh bugar, tetapi tetap saja usia tidak bisa bohong. "Udah jangan berisik, Pak. Ikut aja, mantuku sakit nggak ada yang jaga. Hendra bilang dia sendirian, kasian. Ayo cepat, Pak." Akhirnya Pak Tono tidak lagi bersuara. Lelakit tua itu paham bagaimana perasaan istrinya yang dilanda kekhawatiran me
Lelaki yang pakaiannya tidak lagi rapi menyandarkan tubuh di sandaran sofa. Kepalanya sedikit menggantung, mengadah ke atas. Rambut acak-acakan dan pipi merah bekas tamparan dari istrinya sangat jelas di kulit putihnya. Ya, setelah reaksi obat penenang habis Laila bangun dan mengamuk lagi. Hendra, Pak Tono dan Bu Tari sempat kewalahan hingga meminta dokter untuk memberikan obat lagi, tetapi dokter tidak mau. Sebab, akan membahayakan janin dalam kandungan.Akhirnya Dokter mampu menenangkan Laila dengan kalimat peyemangat dan menjanjikan setelah melahirkan akan membantu menurunkan berat badannya, tetapi saat ini Laila lebih banyak diam, hanya sesekali saja mau bicara.Hendra memijit kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing mengingat bagaimana terpukulnya Bu Tari setelah Laila kembali tenang."Kenapa Laila sampai kayak gitu, Ndra? Kenapa dia nggak mau punya anak? Kamu apakan anak orang, Hendra?" Bu Tari mencecar berbagai pertanyaan diiringi isak tangis. "Laila nggak mau tubuhnya rusak, Bu
"Mas janji bakal dampingi kamu selama kehamilan ini. Setelah lahir pun kalau kamu nggak mau mengurus anak kita, Mas akan sewa babysitter. Kamu tenang aja."Sampai begitu Hendra membujuk istrinya agar mau menerima kehamilan itu. Lelaki itu takut jika Laila sampai mengamuk lagi dan akan membahayakan diri sendiri serta janin yang baru saja dia ketahui kehadirannya."Mau aku tolak juga dia udah di sini dan mau nggak mau ya di terima. Tapi, aku nggak suka kamu dekat-dekat," ujar Laila, lalu berbaring dan menutup tubuh dengan selimut. Tidak ada sapaan Mas lagi Laila gunakan untuk memanggil Hendra. Jika mengingat kehamilan emosi dalam diri seakan ingin meledak.Tiba-tiba saja terlintas ide untuk memanfaatkan keadaan. Di mana dia menjadikan kehamilan untuk sedikit menjaga jarak dengan Hendra.Hendra tersenyum tipis mendengar kalimat yang keluar dari mulut Laila. Terselip bahagia dan sedikit kecewa. Sebab, permintaan sang istri yang sulit diwujudkan, tetapi demi anak dia akan berusahan untuk t
Dua hari berlalu, kini Laila telah berada di rumah setelah dua hari mendapat perawatan. Laila diperbolehkan pulang, tetapi harus istirahat total, sebab kandungan yang sedikit lemah. Apalagi Laila terus saja muntah, hampir sepanjang hari. Sudah dua hari juga Bu Tari menginap membantu Hendra merawat istrinya. Pasalnya, lelaki itu bingung apa yang harus dilakukan saat Laila muntah dengan hebatnya. Ini merupakan hal baru dan tentu saja yang pertama, tentu saja membuat dia kewalahan.Dibantu Bu Tari, wanita berambut panjang itu menuruni tangga. Dia ingin bersantai di taman, begitu katanya saat di kamar tadi."Aduh! pelan-pelan, dong, Buk." Kakinya terbentur tangga."Hati-hati, Nduk." Bu Tari mengeratkan pegangan di tangan sang menantu."Hati-hati, Ibuk yang nggak bejus," gerutu Laila seraya menuruni tangga dengan sedikit kasar.Bukan Bu Tari yang lalai, tetapi Laila sengaja agar mertuanya itu tidak betah di rumahnya. Sejak Bu Tari datang, Laila tidak bisa bebas melakukan apapun yang dia m
Tidak ada bantahan ataupun suara dari Hendra, membuat kening Bu Tari berkerut dalam. Beliau tidak tahu anaknya itu membela atau malah menyalahkan dirinya. Andai saja semua ini bukan permintaan Hendra, mungkin Bu Tari sudah pulang ke rumah. Membiarkan suaminya sendiri, tetapi dengan menantu sendiri tidak di hargai.Derap langkah dari lantai atas terdengar semakin dekat menuju tangga. Bu Tari yang sedari tadi mencuri dengar segera pergi menuju dapur. Takut jika itu Laila.Di ujung tangga Hendra tersenyum mendapati ibunya tengah mencuci piring. Ruang tengah dan dapur saling terhubung sehingga dari ujung tangga pun bisa langsung melihat aktivitas di dapur."Sini, biar Hendra aja yang cuci. Ibuk istirahat aja." Hendra ingin mengambil alih spons di tangan Bu Tari.Namun, Bu Tari segera menepisnya."Udah, nggak apa, Le. Kamu aja yang istirahat. Baru pulang kerja pasti capek kan." Wanita setengah baya itu terus melanjutkan mencuci piring tidak dibiarkannya Hendra memegang piring kotor yang
"Nggak, kalian nggak salah apa-apa. Cuma Ibuk kasian sama Bapak sendirian di rumah, apalagi orderan baju juga banyak, Ibuk mau bantu-bantu Bapak. Ibuk lihat Laila udah lebih baik, cuma pagi aja muntahnya. Nggak apa kan Ibuk pulang?"Panjang lebar Bu Tari menjelaskan agar tidak ada salah paham nantinya. Namun, nampak wajah Hendra belum rela."Rumah kita dekat, Ibuk bisa nanti sering ke sini atau Laila yang datang ke rumah," lanjut Bu Tari menyakinkan."Padahal aku senang Ibuk di sini," ucap Laila seolah melupakan segala tingkahnya jika Hendra tidak di rumah.Namun, Bu Tari hanya membalas dengan anggukan.Tidak terasa waktu zuhur sudah tiba, kini Bu Tari bersiap untuk pulang. Setelah pembicaraan tadi Hendra-lah yang akan mengantar sekalian pergi ke bengkel."Jaga kesehatan ya, Nduk. Banyak makan buah biar mualnya hilang." Pesan Bu Tari sebelum pergi."Iya, Buk," ucap Laila dengan malas."Kalau butuh apa-apa kabari Mas ya, Sayang." Laila mengangguk. Kemudian Hendra melajukan motor denga
Menangis, hanya itu yang bisa Laila lakukan. Berulang kali menghubungi Doni, tetapi tidak mendapat jawaban. Dilihat sekeliling semua berantakan. Dia menghapus air mata dengan kasar dan menyusut ingus menggunakan ujung kerudung, lalu dia bangkit mengambil sapu. Sebelum Hendra pulang semuanya harus tertata seperti semula, Laila tidak ingin semua terbongkar. Dibereskan dengan sisah tenaga yang dia punya. Kemarahan Doni tadi membuat Laila lemas serta pusing.Selesai membersikan dapur dia masuk ke kamar. Kemudian menghubungi Doni kembali. Sekali, dua kali yang terdengar hanya operator, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Begitu suara operator nyaring membuat Laila geram. Namun, ingin marah pada siapa? Laila tidak tahu."Kamu salah paham, By. Kenapa jadi begini?" Laila bergumam sembari membenamkan wajah di atas bantal, lalu diangkatnya kembali. [By, ada yang mau aku bicarakan. Aku punya rencana untuk anak dalam kandunganku. Kalau kamu udah nggak marah bisa hubungi aku.]Tidak ada pil
"Jadi begini. Hm .... Aku mau minta warisan untuk anak ini dan semoga aja nanti pas lahir laki-laki. Keluarga mertuaku belum punya cucu laki-laki. Dan, kamu bisa bangun dunia game yang kamu impikan," ujar Laila penuh ambisi.Ya, sejak keluar dari rumah sakit, Laila sudah memikirkan rencana itu. Melihat mertuanya memiliki kebun yang lumayan banyak. Seketika niat itu muncul begitu saja. "Memangnya di kasih?" Doni belum yakin."Kamu kan tau mertuaku gimana. Orang tuamu 'kan berteman sama mereka, taulah gimana sifatnya. Aku yakin apapun yang aku minta pasti di kasih. Lihat motor itu." Laila menunjuk motor berwarna merah yang terparkir di pelataran kafe. "Itu di kasih pas baru aja nikah. Langsung atas namaku.""Tapi-"Pelayan datang membawakan pesanan Laila, setelah itu barulah Doni melanjutkan ucapannya."Tapi, aku belum bisa percaya.""By, percaya sama aku. Cinta ini cuma untuk kamu." Laila meraih tangan Doni dan di genggam erat.Saat ini tugas Laila hanya satu menyakinkan Doni agar tet
"Apa-apaan ini, Mas?" "Rasakan! Buat malu. Bukannya untung malah dapat malu nikahin kamu. Cantik-cantik murahan. Cuih!" Lelaki bertubuh tambun serta rambut putih memenuhi kepalanya itu berkacak pinggang setelah mendorong istrinya hingga terjerembap. Tidak puas sampai di situ dia pun membuka ikat pinggang, lalu diayunkan hingga mengenai punggung wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Tidak ada belas kasihan karena emosi membakar hati.Plak! Plak!"Ampun, Mas ...." rintih Laila.Ya, wanita itu adalah Laila yang sudah menikah dengan juragan tanah di kampung satu tahun lalu ...."Mak, apa-apaan ini? Aku nggak mau nikah sama dia. Udah tua!" kata Laila kala baru tiba di rumah."Tapi kaya, dari pada kau kejar terus Hendra itu nggak dapet-dapet. Jamuran aku nunggu kaya. Sekarang rumah ini hasil dari juragan Seno. Mau nggak mau kau harus nikah sama dia.""Nggak!"Para tamu undangan saling pandang melihat perdebatan ibu dan anak itu. Begitu juga Juragan Seno merasa di permalukan karena m
Sudah satu jam Hendra bersama yang lainnya mencari Ahmad, tetapi belum juga mendapatkan titik terang.Pikiran semakin kalut kala melihat awan mulai berubah warna kuning keemasan, sebentar lagi waktu magrib tiba. "Gimana Ndra, udah ketemu belum, Le?" tanya Bu Tari di seberang telepon.Wanita paruh paya itu menunggu di rumah harap-harap cemas, tidak bisa ikut mencari karena sejak Ahmad hilang tubuhnya tiba-tiba lemas tak bertenaga dan tidak berhenti menangis. "Belum Buk, ini Saka, Hendra masih fokus ke jalanan.""Kalau udah ketemu langsung kabari Ibuk, ya," kata Bu Tari dengan suara parau. Setelah mengiyakan lantas sambungan telepon terputus."Gimana ini Ndra, belum ketemu juga?" tanya Saka yang mengemudi menyusuri jalanan.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hendra. Pandangan tidak lepas sepanjang jalan, dengan teliti mencoba mencari Ahmad di tengah padatnya jejeran rumah hingga tepi jalan raya. Bibirnya tidak berhenti melapaskan nama Allah agar hati lebih tenang, meski situasi
Beberapa kali Laila mencoba menemui Ahmad di luar hanya mendapat kegagalan. Padahal dia ingin sekali menggunakan Ahmad sebagai alat agar uang terus mengalir ke dompetnya. Namun, ada saja halangannya. Kini, dia kembali mencoba, tetapi di rumah Bu Tari. Berharap Ahmad bermain di luar.Baru percobaan pertama mendapat penolakan dari penjaga rumah. Dia kekeuh ingin masuk hingga memancing amarah. Tanpa rasa hormat penjaga tersebut menyeret Laila hingga jauh dari rumah majikkannya."Lebih baik, Mbak pergi dari sini.""Huuu, dasar pembantu kurang ajar," makinya kesal sembari berjalan menjauh.Wanita itu tidak menyerah, dia mencari tempat sembunyi menunggu Hendra keluar rumah, baru menemuinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Laila tersenyum lebar saat melihat mobil Hendra keluar. Cepat dia menghadang.Decitan ban mobil dan jalan memekakan telinga. Terpaksa ngerem mendadak. Lantas Hendra dan Saka saling pandang melihat wanita berdiri merentangkan tangan."Laila," gumam Hendra tak percaya dengan p
Berkat bantuan ibunya kini Laila benar-benar terlepas dari Arman, lelaki yang diperjuangkan, tetapi penuh perjuangan pula saat ingin lepas darinya. Laila mengancam akan membunuh jika Arman tidak pergi. Mau tidak mau, setelah terucapnya talak Arman pergi dari kampung, membawa amarah terpendam.Sekarang dengan tekat yang kuat, Laila akan berangkat ke tempat di mana dia selalu di jadikan ratu. Cukup sudah penderitaannya yang dia rasakan. Berbekal uang hasil kerja keras menjadi buruh dia pergi menggunakan bus. Dia duduk gelisah, tidak sabar menemui lelaki yang selalu berada dalam benaknya. Berharap dalam hati sang pujaan hati belum memiliki tambatan hati baru.Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Laila sampai di terminal."Akhirnya .... Aku datang, Mas ...." ucapnya sembari menghirup udara kota yang sudah lama tidak dirasakan. Bibirnya tidak henti tersenyum.Rindu kian menggebu kala mengingat semua kenangan manis bersama Hendra berputar bak karet. Padahal dulu Laila menganggap
"Paket .... Paket ....""Iya, paket dari siapa, Mas?" tanya Laila pada kurir. Merasa heran tidak biasanya ada paket."Ada alamatnya di situ, Kak, bisa dilihat sendiri."Wanita yang mengenakan kerudung instant itu mendengkus. Tentu dia tahu, hanya saja malas membaca siapa pengirimnya. Bertanya lebih mudah, begitu menurut Laila.Setelah membubuhkan tanda tangan, kurir segera pergi meninggalkan Laila yang wajahnya berubah masam."Apa sih, ini?" Dibaca alamat yang tertera. Betapa senangnya Laila tahu jika pngirimnya adalah Hendra. Tanpa sadar dia senyum-senyum sendiri membayangkan isinya. Sebab, teringat ibunya yang menelepon meminta uang pada mantan suaminya itu."Apa uang, ya. Tapi, ringan. Apa surat rumah?" Laila menerka-nerka seraya membuka bungkusan itu. Tidak sabar mengetahui isinya. Jika benar dugaanya, betapa senang hidupnya."Eh, apaan tuh, La? Tumben banget dapet paket?" tanya Wak Ijah yang lewat seketika Laila menghentikan aktivitasnya."Bukan urusan Uwak, paket-paketku juga."
"Kenapa uangnya cuma segini!" bentak Arman karena Laila membawa pulang uang hanya lima puluh ribu saja."Memang adanya segitu. Lihat ini tanganku melepuh kerja dari pagi sampai jam segini. Pulang-pulang malah dapet amukan. Kita cerai aja!" teriak Laila tidak kalah kuat. Mencoba untuk tidak kalah. Lantas melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah Arman mencekal tangannya.Plak! Plak!"Apa katamu? Cerai? Enak aja. Atau mau aku viralkan video kita?" tanya Arman sembari menunjuk-nunjuk wajah wanita yang baru sehari menjadi istrinya.Serangan yang tiba-tiba membuat Laila terduduk di lantai, tak kuasa menahan tangis. Bukan karena sakitnya tamparan, tetapi tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan tekanan lelaki yang kini menatap nyalang ke arahnya. "Nangis? Gitu aja nangis?" teriak Arman. Urat lehernya sampai terlihat karena terlalu emosi."Kalian ini kenapa sih, ribut terus. Lihat itu, semua ketakutan." Bu Hambar menunjuk anak-anaknya yang mengintip di balik pintu kamar.Sepasang suami
"Nah, ini Pak RT dia bawa laki-laki masuk ke rumah ini," ujar Wak Ijah sembari menunjuk wajah Laila."Usir aja! Usir!"Iya usir dari kampung kita!"Mengerti maksud wanita di hadapannya, seketika Laila panik. Apalagi terdengar sahutan dari beberapa warga yang meminta dirinya di usir. Belum hilang rasa sakit dipukul sang ibu, kini harus menghadapi kenyataan bahwa warga sudah tahu keberadaan Arman. Dia melihat ibunya serta lelaki yang sama paniknya dengan dirinya. Bingung harus berbuat apa. Sedangkan Arman segera menjauh tahu situasi tidak aman, sebelum warga menyadari keberadaannya."Ada apa ini Pak? Kenapa ribut di rumah saya?" tanya Bu Hambar yang baru beranjak dari duduknya seraya mengerutkan alis bingung. Sebab, pelataran rumah penuh dengan warga dan tatapan sinis terasa menusuk.Belum lagi dia melihat kumpulan geng gibah ikut serta. Mereka tersenyum remeh, membuat Bu Hambar geram."Begini Buk, ibu-ibu di sini heboh karena melihat Laila bawa laki-laki selain suaminya masuk ke rumah
"Tumben pulang? Ada angin apa?" tanya Bu Hambar. Terkejut melihat putrinya pagi-pagi sudah berdiri di depan pintu dengan dua koper di bertengger cantik di belakangnya."Aku laper mau makan." Tanpa memperdulikan tatapan protes dari sang ibu, Laila menerobos masuk.Tubuhnya lelah minta istirahat setelah melakukan perjalanan cukup panjang. Ya, tadi malam Arman berhasil mencari bus tercepat menuju desa hingga pagi-pagi buta telah sampai di rumah ibunya. Meski harus bertaruh nyawa karena supir bus yang ugal-ugalan.Dia langsung menuju dapur mencari makanan, lalu setelahnya memeriksa baju-bajunya agar terlihat sibuk, tidak ingin mendapat pertanyaan yang tentu sulit di jawab. Sementara itu Bu Hambar yang akan pergi ke sawah mengurungkan niatnya. Menatap penuh curiga gelagat putrinya yang tidak biasa. Menjadi orang sok sibuk. Tahu betul anaknya tidak pernah serajin dan tanpa ada sebab pulang begitu saja. "Kenapa pulang sendiri? Mana Hendra?"Pertanyaan itu menghentikan aktivitas Laila. Dili
Sudah seminggu sejak Laila memutuskan meninggalkan rumah. Sejak itu pula Ahmad tidak berhenti menangis mencari ibunya.Selalu menanyakan di mana ibunya, kenapa belum kembali. Tidak satu pun Hendra jawab, hanya mencoba mengalihkan perhatiannya. Namun, hanya bertahan sebentar saja karena setelahnya Ahmad kembali menangis."Amad berhentilah nangis, Nak." Hendra mulai frustasi menghadapi anaknya yang menangis sejak bagun pagi.Tadi Hendra di bantu Saka, hanya diam sebentar lalu menangis lagi. Hingga akhirnya Hendra meminta sahabatnya itu untuk pergi menggantikan dirinya di bengkel. Mau sepercaya apapun pada kariyawan bengkel tidak bisa di tinggal begitu saja.Sudah beberapa hari ini Hendra tidak bekerja, harinya habis untuk bermain dan menenangkan Ahmad saat menangis mencari Laila hingga penampilannya kacau. Tubuh wangi serta baju rapi tidak ada lagi, hanya ada kantung mata hitam karena terlalu sering bergadang."Amad mau Bubu, Ayah .... Bubu kemana nggak pulang-pulang?" tanya anak kecil