Seketika aku kehilangan kekuatan untuk berdiri. Tubuhku ambruk. Lemas. Mbak Sri yang baru saja datang terlihat keheranan menatap kami. Ia membantuku untuk duduk dan bertopang ke dinding warna putih. Air mata turut runtuh, yang terus membasahi pipi dan mulai terjatuh ke tikar yang aku duduki.Masih teringat jelas senyuman Mas Ammar kala menatapku tadi. Pelukannya saja masih bisa kurasakan meskipun sudah bermenit-menit yang lalu ia pergi. Aku menggeleng, serasa tak menerima kenyataan ini.“Bu, ini hanya kabar burung. Mas Ammar baik-baik saja. Ia berjanji dengan Dijah akan pulang lebih cepat.” Aku tersenyum, mencoba menguatkan diri. Berharap semua ini hanya kabar yang salah. Keluarga Mas Ammar pernah salah melamar, bisa jadikan ini salah kabar berita juga?“Mas mu Adi sudah nyusul ke lokasi. Memastikan kalau korban tabrak lari itu suamimu. Memang benar itu Ammar, Dijah,” ucapnya yang kini merangkul tubuhku.Dipeluknya begitu erat, seraya tangannya mengelus punggungku.Ya Allah yaRobbi, c
Seusai magrib, ada acara kirim doa. Dimana keluarga besar Mas Ammar akan berkumpul bersama para tetangga. Mereka akan mengirimkan bacaan tahlil juga yasin untuk almarhum Mas Ammar. Keluarga inti dari ibu tak ada yang pulang. Mas Adam dan istrinya akan tidur di kamar sebelahku. Sedangkan Mas Adi dan Mbak Sri juga akan menginap di kamar lamanya dulu. Aku masih enggan bangun dari sujudku. Bahkan tiap lafal yang kuucapkan selalu berlinang air mata. Rakaatku kali ini jauh dari kata khusu’ dimana bayang-bayang Mas Ammar terus saja menghantui pikiran. Biasanya, kami berjamaah bersama. Dimana sajadahku akan dibentangkan oleh lelakiku ketika aku mengambil air wudhu. Mas Ammar akan tersenyum ketika aku datang dengan wajah yang basah. Lalu melafalkan niat ketika aku sudah siap dengan mekena yang kukenakan.“Mas Ammar,” ucapku lirih yang tak mungkin didengarnya. Biasanya, aku akan mencium punggung tangannya seusai salam. Lalu dilanjut sebuah kecupan di kening. Setelahnya ia akan bermurojaah
Pagi ini aku bangun kesiangan. Mungkin, karena semalam tidak bisa tidur, hingga mata ini terpejam setelah dini hari. Masih dengan mekena putih dengan ujung berenda yang menempel di tubuhku, seserahan yang diberikan Mas Ammar kala itu. Segera kuambil air wudhu dan kutunaikan rakaatku. Meskipun sesekali sosok Mas Ammar datang dan menjadi imam di depanku. Ya, aku benar-benar tak bisa menjalankan ibadah dengan khusu’. Mungkinkah ini sebagai teguran oleh Allah atas cintaku kepada ciptaannya yang melebihi dariNya? Entahlah, yang pasti aku benar-benar merasa kehilangan. Mentari mulai naik, dimana cahaya hangat itu mulai membias masuk melalui jendela kaca yang gordennya telah kusingkap. Kuikat benda bermotif bunga itu di sisi kanan dan kiri. Tak lupa juga rambut panjang yang tergerai inipun turut kuikat, lalu kututup dengan jilbab instan yang langsung melekat mengikuti bentuk muka. Aku turun ke dapur, dimana ruang tersebut telah berkumpul Mbak Sri dan juga Ibu. Mbak Anita pun turut hadir,
“Dari mana kamu tahu kalau Raffa yang menabrakMas Ammar?”Tubuhnya gemetar, berikut dengan bibir yang naikke atas dan ke bawah tampak ragu berucap.“Dari mana, Dinda?” tanyaku menuntut jawaban.“Aku semobil dengan Mas Raffa, Mbak,” ucapnya lirihbersamaan air mata yang kembali jatuh membasahi pipinya.Deg. Aku seakan dihujam oleh panah dan mengenai tepat di jantungku. Kurasakan ngilu di bagian dada sebelah kiri. Rasanya aku tak percayadengan kalimat yang baru saja kudengar.“Astagfirullah,” ucapku lirih.Aku menggeleng. “kamu bohongkan, Dek?” tanyaku.“Maafkan Dinda, Mbak. Dinda minta maaf,” ucapnya dengansesenggukan.Sebuah kecelakaan itu memang takdir, meskipun tetap saja menggoreskanluka. Tapi, mengingat kejadian tabrak lari itu, sungguh tak mampu kuterima. Seorangpelaku yang meninggalkan korbannya begitu saja tanpa peduli. Dan itu adikku.Dinda. Dia dibesarkan oleh kasih sayang. Rasanya tak mungkin ia berbuatdemikian.“Mbak, Dinda ....”Aku menghempaskan tangan berwarna putihnya ket
Seminggu sudah Mas Ammar meninggalkan dunia ini. aku terpenjara oleh sepi, terkekang rasa rindu. Bahkan dalam tiap detikku, tak pernah enyah dari melamunkan lelaki berlesung pipit itu. Kembali kubuka halaman buku, yang menjadi karya terakhirnya. Novel berjudul “khadijah” yang sekaan menjadi sebuah bukti kisah cinta kami yang bahagia.Malamku terbangun dengan suara lirih nan indah. Sepasang mata tengah mengembun di atas sajadah hitam favoritnya. Terbalut dengan mekena putih dengan ujung berenda. Namaku terus tersebut dalam doanya. Bukan harapan untuk aku membalas rasa sayang miliknya. Melainkan dengan kesehatan dan kebahagiaanku. Bagaimana aku tak jatuh cinta? Sedangkan namaku terus dilangitkan bersama untaian doa kepada RobNya?Aku tersenyum, membaca jejeran huruf nan rapi dari novel buatan suamiku. Kembali mengenang masa dimana Mas Ammar terlihat dingin namun nyatanya memendam rasa sayang. Kembali kubuka halaman lain, dan menyusuri kalimat-kalimat tersebut.Kubelai rambut hitam pan
Tangan melambai ke arah kendaraan roda empat yang berlalu, di mana mata Mbak Anita terlihat sendu namun dipaksakan untuk tersenyum. Beberapa detik kemudian tubuh ringkih itupun ambruk, bersamaan dengan mobil Mas Adam yang mulai tak terlihat.“Mbak Anita,” ucapku cepat sambil menyangga tubuhnya.Ia tersenyum. “Aku tak apa, cuman mendadak kehilangan keseimbangan.” Lagi-lagi wanita itu menutupi rasa sakitnya.Kupegangi tangan kurus itu, dan kupapah menuju kamar. Namun, ketika melewati pintu kamarku, langkah kakinya terhenti. Ia menoleh ke pintu kamarku yang masih tertutup rapat.“Boleh aku tidur bersamamu, Dijah,” ucapnya.Kulihat gelagat aneh dari raut wajahnya. Namun, akupun tak berani menolak ketika mbak anita meminta.“Boleh, Mbak, dengan senang hati.”Kubantu wanita cantik dengan tubuh pucat itu merebahkan diri di ranjang. Sengaja meninggikan bantalnya agar ia nyaman. Hitungan detik pun kudengar dering ponselku terdengar. Kuraih benda yang terletak di atas meja, dan mataku terperan
“Mas Adam,” ucapku lirih menatap wajah yang mirip suamiku. Lelaki berpakaian formal dengan kemeja dan celana panjang itu terlihat basah. Berdiri tegak dengan tangan kanan yang memegangi payung yang diarahkan ke aku. “Mas, kamu menepi saja,” ucapku setengah berteriak karena melawan derasnya air hujan. “Kamu basah kuyup. Kamu bisa sakit kalau terus-terusan disitu,” ucapku lagi. Lelaki itu tak bergeming, seakan tak mendengar apa yang kuucap. Lalu kutarik lengannya, dan sedikit berlari menuju tempat teduh. Suara riuh dari tetesan air yang jatuh mengenai atap usang saling beradu, memecah rasa sepi di antara kami. Tak ada pembicaraan, melainkan sama-sama menatap puluhan gundukan tanah yang basah dengan pikiran masing-masing. Kugesekkan kedua telapak tanganku, mencoba sedikit mencari kehangatan. Angin yang menyapa, lebih dari cukup untuk memberiku rasa dingin. “Sudah tahu dingin, kenapa harus hujan-hujanan?” ucapnya tanpa menoleh ke arahku.“Mas Adam kenapa nyusulin Dijah kesini? Dimi
“Mbak, Dijah gak ada hubungan apa-apa sama Mas Adam.”“Yakin?”“Iya, Mbak.”“Dua orang lawan jenis bersamaan dalam satu tempat. Setan di antara kalian.”“Kami di makam, Mbak.”“Maka dari itu, setannya banyak, Dijah. Aku tahu kamu orang baik, tapi yang namanya manusia gak ada yang tahu.”“Maaf, Mbak. Dijah gak akan mengulanginya kembali.”“Sebelumnya maaf ya, Dijah. Bukannya Mbak mau ikut campur dengan hidupmu. Tapi, Mbak mohon sekali, andaipun kalian memang ada rasa, tunggu sampai kakak iparmu itu menduda. Mbak belum bisa melihat Anita diduakan. Mbak tahu sekali, bagaimana cerita mereka dulu,” ucapnya.“Dijah juga gak pernah berpikiran untuk menjadi yang kedua, Mbak. Dijah juga belum berpikiran jauh kesana. Nama Mas Ammar masih terukir jelas di hati Dijah.”“Ya syukurlah, Dijah. Mbak Cuma kasihan sama Anita, dia sudah sakit cukup lama, dan mbak gak ingin dia juga merasakan sakitnya punya madu.”Aku tersenyum, meskipun kuyakin mbak Sri tak akan melihat senyumku di sebrang sana. “Dijah
Seorang istri akan menjadi ratu ketika berjumpa dengan suami yang tepat. Ya, aku benar-benar meyakini pernyataan itu. Demi apapun, Mas Adam seorang lelaki yang terbaik dengan segala kekurangannya. Meskipun sejujurnya, tak nampak sedikitpun kekurangan itu di mataku. Dari awal kita menikah, hingga janin ini ada di rahimku. Ia adalah suami siaga, yang selalu ada dan emnerima semua kekuranganku. “Apa kita batalin pertemuannya saja, Sayang?” tanya Mas Adam yang memandangku lekat. Aku berbaring di ranjang kamar hotel, dengan dua bantal yang kuajdikan tumpuan belakang punggungku. Sedangkan minyak putih terus menguar dalam indra, berikut dengan sensasi panas di bawah hidung. Semenjak pulang dari praktik dokter tadi, aku sudah diresepkan obat dan vitamin. Namun, rasa mual itu tak pernah memberiku jeda untuk sekedar beristirahat. Hanya bisa berbaring dengan ember kecil yang di letakkan di bawah ranjang, supaya aku tak harus wira-wiri ke kamar mandi saat hendak mengeluarkan isi perutku kembal
“Dijah gak ngambek, mas. Dijah hanya ....”“Hanya apa? nesu ... atau mrengut ...?” tanyanya dengan bahas jawa medhok, membuatku terkekeh.“Hanya rindu.”Mas adam menarik sudut bibirnya, lalu mengusap lembut rambut panjangku. “Ijinkan ibu menghabiskan waktu untuk cucunya ya, sayang.”Aku mengangguk.Waktu terus berlalu. Namun kini bukan hanya sifat manjaku yang dominan, tapi ego dan mood ku yang berubah begitu cepat. Bahkan untuk kesalahan yang bagiku biasa saja, mampu menghadirkan emosi yang menggunung. Mas Adam yang melupakan handuk di kasur. Mas adam yang lupa mematikan air kran kamar mandi. Masalah spele begitu saja, membuatku mendiamkannya berjam-jam. Sebenarnya iba juga menatapnya, tapi entah kenapa bawaannya pengen emosi. Namun, di balik itu semua, bukan Mas adam namanya jika tak mampu lagi mengambil hatiku. Dengan telaten dan sabarnya, ia menghadirkan senyuman dan tawa kecil kembali.“Apa gak sebaiknya kamu di rumah saja, Sayang? Dua harian lagi juga aku pulang,” ucap Mas Adam
Waktu terus berlalu begitu cepat, detikan jam yang berjalan selalu kuisi dengan senyuman. Mas Adam terus memanjakanku, dengan segala perhatian dan kasih sayangnya nan hangat. Ia adalah sosok suami dan ayah yang siaga, yang terus telaten menghadapi sikapku yang mendadak manja dan selalu ingin menang sendiri. Ya, aku tak tahu bagaimana sikap ini muncul begitu saja. padahal dulunya, aku adalah seorang wanita yang mandiri. “Mas Adam, boleh Dijah meminta ....”“Boleh, Sayang,” ucapnya sambil mengembangkan senyum di paras tampannya. Tanpa menyelesaikan kalimatku, Mas Adam seakan tahu apa yang aku pikirkan.Lelaki yang baru saja masuk dengan tabung gas melon di tangannya itu langsung menuju ke dapur, dan memasangnya. Hal yang dulunya bisa kulakukan sendiri tanpa minta bantuan siapapun. “Ada lagi yang mau dibantu, Ratuku?” tanyanya yang membuatku terkekah. Diberi pertanyaan seperti itu membuatku malu sendiri, kalau aku sering merepotkan lelaki yang beberapa bulan ini menemani hariku. “Air
“Ada apa, Mas?” tanyaku. Alih-alih menjawab, lelaki dengan handuk kecil itu justru menenggelamkan diri ke dalam kamar. Aku beranjak, menuju sumber jeritan berasal. “Dek, ada apa?” tanyaku. Pipi yang biasa berwarna merah muda itu kini menjadi lebih merah dari biasanya. Tak kalah dari Mas Adam.“Dek, ada apa?” tanyaku lagi mengulang pertanyaan karena tak kunjung dijawab.“Mbak, ini Zahra. Dinda mau masuk kamar dulu,” ucapnya yang langsung mengangkat tubuh gemoy anakku.Akupun mengambil alih, sejurus kemudian wanita cantik dengan jilbab segi empat warna merah muda itu lari ke kamarnya, membuatku geleng kepala kebingungan.“Mas Adam, tolong ajak main Zahra ya. Dijah mau mandi,” ucapku masuk kamar menatap lelakiku yang duduk terpaku di bibir ranjang. Ia menoleh dan meringis, masih dengan wajah yang kemerah-merahan. “Mas, sebenarnya ada apa? kenapa mas adam dan dinda aneh?” tanyaku dengan dahi mengernyit. Kuletakkan tubuh gemoy anakku ke dalam pangkuannya.“Sumpah, Sayang. Sumpah bukan
Di dalam gedung yang dijadikan kelas anak-anak itu disiapkan panggung dengan spanduk besar yang menjangkau seluruh panggung kayu tersebut. Nama komunitas tertulis jelas, bersamaan dengan nama-nama para anggota. Termasuk nama almarhum Mas Ammar yang tertulis di bagian paling atas, karena sebelumnya beliau adalah ketuanya. Termasuk novel pertama dan terakhir yang menjadi karya terindah untukku, terpotret jelas di spanduk tersebut. Aku tersenyum, andai Mas Ammar masih ada, tentu ia akan begitu bangga dengan pencapaiannya yang luar biasa. Hingga aku tersadar dengan lamunanku ketika Mas Adam mengusap air mata yang membasahi pipiku dengan sapu tangan miliknya. “Sayang, yang kuat ya,” ucapnya dengan tangan kiri yang tak pernah lepas dari menggengam tanganku.Aku diminta duduk di bagian meja depan paling dekat dengan panggung. Juga dengan Mas adam yang selalu ada di sisiku. Sedangkan zahra kini asyik dengan tantenya dan beberapa panitia yang tergabung dari komunitas ciptaan Mas Ammar. Seora
“Mas, kamu sudah bangun?” tanyaku yang sedikit menjauh dari tubuhnya. Dengan cepat ia menahan tanganku, dan membawanya kembali ke dalam pucuk kepalanya. “kenapa berhenti? Aku suka diperlakukan seperti tadi. Apa aku harus terpejam lagi supaya kamu kembali melakukannya, Sayang?”“Mas, aku malu.”Lelaki itu terkekeh, dengan pelupuk mata yang kembali ditutup. “Malu kenapa? Aku saja terpejam seperti ini?”“Mas ....”Mas Adam melingkarkan lengannya ke perutku, hingga aku kembali dibuat hangat dan nyamana dalam dekapannya. “Mas, boleh Dijah tanya sesuatu?”“Apa, sayang?”“Sebenarnya Dijah penasaran dari beberapa bulan yang lalu, tapi malu untuk bertanya.”“Apa itu? Kok sampai ditahan beberapa bulan?”“Sebelum kita nikah ....”“Iya .”“Kenapa selalu ada untuk Dijah? Dari rumah bocor, lampu teras yang mati, selokan yang mampet?” Aku mengernyit, menatap lelakiku yang justru terkekeh.“Gak dijawab, malah ditertawakan?” tanyaku lagi.“Sampai sekarang tidak tahu?”Aku menggeleng.“Di teras kan ak
“Ya Allah, Dek, kenapa bilangnya mendadak sekali? kan kita belum ada persiapan apapun?” ucapku. “Mas Raffa juga bilangnya mendadak, Mbak. Sebenarnya sih Dinda maunya ketika Dinda sudah lulus, tapi keluarga Mas Raffa maunya sekarang.”“Kamu sudah yakin, Dek?”“Iya, Mbak. Dinda juga sudah salat istiharah sebelumnya tentang hubungan Dinda dan mas Raffa.”“Lalu?”“Ada mas Raffa dalam mimpi Dinda, Mbak. Lagian ia berjanji akan mengijinkan Dinda mengambil S2 nantinya kalau sudah menikah. Dinda gak akan merepotkan mbak lagi dengan semua biaya-biayanya.”Kupeluk tubuh semampai adikku. Entah mengapa, aku merasa gagal menjadi kakak yang baik untuknya. Selama ini ia terus berjuang sendiri untuk kehidupannya, tanpa campur tanganku.“Tolong restui hubungan kami ya, Mbak? Terlebih dengan semua kesalahan yang pernah Dinda dan Mas Raffa lakukan.”Aku mengangguk.**Sebuah senyum terbit kala menatap adikku yang semringah menatap cincin yang melingkar di jarinya. Keluarga Raffa sudah pergi sedangkan
“Kamu marah, Sayang?” tanya Mas Adam yang menarik sudut bibirnya. Aku menggeleng. Tak menjawab pertanyaan itu dengan kalimat.“Bagaimanapun Anita ada di bagian hatiku, sama seperti Ammar yang masih ada di hatimu. ”Aku mengangguk. Masih malas untuk memberikan jawaban. Kuhabiskan sisa makanan di depanku dengan cepat, dan langsung menuju kamar mandi.Kunyalakan kran hingga suara riuh dari air yang mengalir mengimbangi suara tangisku. Berikut dengan suara-suara rintihan hatiku, yang tak menentu. Aku tahu aku salah, aku tahu cemburuku berlebihan. Aku terlalu takut dengan pikiran-pikiran buruk yang terus menyapa. “Sayang, Zahra terbangun. Dia ingin asi,” ucap Mas Adam dengan ketukan pintu kamar mandi.Kuusap wajahku yang basah dengan air mata. “Iya, Mas. Sebentar.”Aku mempercepat mandiku, membasuh tubuhku mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu dengan cepat menutup tubuhku dengan haduk, dan keluar dari tempat ini. Baru saja aku buka pintu dan mengayunan langkah sekali. Sebuah pe
Mentari mulai turun dari paraduan, dan digantikan oleh rembulan yang mulai meninggi. Kuhabiskan waktu bersama Mas Adam dengan duduk di teras menatap langit yang tengah berkilau karena banyaknya bintang yang muncul. Sama seperti hatiku yang tengah berkilau dengan kebahagiaan demi kebahagiaan yang terus menyapaku. Janji Allah benar adanya, akan ada pelangi seusai hujan. Akan ada kebahgaiaan setelah beberpa hari terpendam dengan kesedihan. “Kamu gak ngantuk, Sayang?” tanya lelakiku yang menoleh ke arahku. Satu tangan kanannya dijadikan tumpuan bantal kepala zahra, sedang tangan kiri itu mengelus punggung tanganku dengan lembut.Aku menggeleng. ‘Ya Tuhan, disentuh oleh Mas Adam seperti ini saja mampu membuat jantungku berdetak tak karuan. Lalu apa jadinya ketika kita saling memberikan hak dan kewajiban?’“Zahra sudah tidur. Kasihan kalau terus-terusan kena angin malam. Ngobrolnya di kamar saja yuk!”Aku mengangguk. Dengan suasana hati yang semakin tak mampu kupahami. Berdetak begitu cep