Seusai pertemuan itu, Mas adam tak lagi menghubungiku. Ponsel yang beberapa hari penuh notif pesan darinya. Kini kosong. Untuk sekedar menyapa menanyakan kabarpun tidak. Aku semakin dibuat merasa bersalah karenanya. “Mbak Dijah, kenapa beberapa hari ini sering bengong?” tanya sa Dinda sambil berjalan perlahan ke arahku. Tangannya sudah tak lagi memegang tongkak penyangga, melainkan merambat ke dinding ketika kehilangan keseimbangan. “Tidak, Dek, mbak gak bengong kok,” ucapku sambil melipat pakaian yang kuambil dari jemuran. “Mbak ada masalah?”Aku menggeleng. Ia duduk di bibir ranjang, lalu berbaring di atas kasurku menatap langit-langit kamar. “Mbak dijah ingat almarhum mas ammar ya?” tanyanya lagi yang kujawab dengan senyuman. “Sehari setelah kalian menikah, Mas ammar mengantarkanku ke kos kan, Mbak? Ia terus menanyaiku tentang Mbak Dijah.” Wanita cantik itu tersenyum. “Aku pikir, ia sengaja membuatku cemburu karena kekesalannya. Ternyata aku salah. Mas Ammar mencintaimu di
“Apa mbak Dijah gak jatuh cinta dengan Mas Adam?”Aku terdiam, hingga detik kemudian lelaki berpakaian suamiku itu datang, dan membuatku terpana. “Mas Ammar,” ucapku lirih menatapnya.Suara deheman dari lelaki berparas mirip mas ammar itu membuatku sungkan. “Aku adam bukan ammar,” ucapnya.“Maaf, Mas.”Aku duduk di sofa panjang bersama Dinda, sedangkan mas adam kini duduk di kursi sofa depan kami. Ia melihat-lihat pakaian yang dikenakan,mungkin terasa aneh.“Mas Adam, silahkan diminum dulu kopinya. Mumpung masih hangat.”Ia tersenyum, lalu membuka penutup gelas hingga asap keluar dan mengudara. Bau kopi hitam pun menguar, menelusuk ke hidung. Ada rasa ingin mencicipnya. Namun, mengingat kehamilanku yang masih berumur muda. Aku takut mengkonsumsi kafein dari minuman tersebut.“Maaf ya, Mas. Adanya kopi hitam.”“Memangnya kenapa kalau kopi hitam?”“Kata almarhum mbak anita, mas adam gak terlalu suka.”Lelaki itu menarik sudut bibirnya. “Kamu masih mengingatnya?”Aku mengangguk.“Lalu ke
Pov Adam“Besok malam ikut ke keluarganya emak Dainah ya, Dam. Ajak istrimu juga,” ucap ibu dari panggilan suara. “Emak Dainah?”“Iya. Alhamdulillah, adikmu ammar sudah mau lamar gadis, anaknya emak Dainah itu.”“Khadijah, Bu?”“Ya iyalah, siapa lagi?”Aku meneguk salivaku yang terasa berat. Wanita yang selama ini masuk dalam hatiku, akan menjadi istri dari adikku. Apa aku sanggup, jika harus bertemunya menjadi ipar?“Dam, gimana? Bisa kan? Diajak ngomong orang tua kok gak dijawab.”“Iya, Bu. Insya Allah bisa. Nanti Adam ajak Anita.”Panggilan kututup dengan pikiran yang terus berkelana. “Abi , telfon dari siapa? Kenapa bengong?” tanya wanita yang gemar mengenakan jilbab panjang selutut. Ia tengah berdiri meladeni, mengambilkan sarapan. Dengan telatennya ia memasak dan menyuguhkan makanan yang enak. Meskipun aku tahu, kesehatannya sungguh mengkhawatirkan. Ya, pernikahan kami yang awalnya bahagia-bahagia saja, kini harus diterpa ombak oleh diagnosa dokter, yang menyatakan Anita mengi
“Ini ucapan maafmu yang kesekalian kalinya, Dijah. Apa selalu kalimat itu yang terus muncul darimu?”“Maksudnya, Mas?”“Aku teringat dengan wanita kecil yang berlarian di pasar dan menabrakku. Puluhan kalimat maaf terucap dari bibirnya, sama sepertimu.”Aku terdiam, entah kenapa bayangan itu tak asing untukku. Pernah suatu ketika, aku ke pasar dengan bapak dan dinda, hendak dibelikan baju lebaran . bapak yang tengah memilihkan baju untuk adikku itu, membuatnya tak sadar telah kehilanganku. Aku tertinggal, karena melihat sebuah gamis warna biru dengan pita di belakangnya, begitu kesukai. Sesaat setelah aku sadar kehilangan bapak dan Dinda, aku berlari mencarinya. Naas, aku menabrak seorang lelaki yang tengah membawa guci besar, benda itu lepas dari tangannya dan pecah. Aku yang ketakutan terus meminta maaf, karena tak mungkin punya uang menggantikan benda yang rusak tersebut. “Maaf ya,” ucapku menunduk. “Maaf,” imbuhku lagi. Dia terdiam, hanya menunduk. Membuatku semakin ketakutan.
Aku yang tak enak hati mengganggu hubungan mereka kini memilih bersembunyi di dapur menyibukkan diri. Sesekali kulap meja yang dari tadi sudah kubersihkan. Juga menata ulang bahan yang ada di kulkas. “Doorrr ....”Aku begitu terkejut, hingga tubuhku sedikit terpental ketika tiba-tiba ada suara melengking itu terdengar . Anas tertawa terbahak menatapku. Lalu di detik kemudian, ia terdiam dan meminta maaf kala dlihaitnya aku yang kesusahan untuk menjaga detak jantung.“Tante Dijah, Anas minta maaf,” ucapnya sambil menatapku takut. Jari jemariku masih menari di atas dada, seiring irama denyutan organ vitalku. Memompa darah begitu cepat. “Gak papa. Tante Dijah hanya kaget.”“Tante dipanggil oleh nenek, disuruh ikut makan.”“Tante dipanggil nenek?”“Iya, Tante. Ayo!” lelaki kecil itu menarik lenganku, menuju ruang makan. Dimana kini semua pasang mata tertuju padaku. Aku tertunduk ketika manik mata Mas Adam masuk dalam korneaku. “Nak Dijah, ayo duduk sini,” ucap ibu sambil menepuk kursi
Aku bangkit dan duduk di bibir ranjang, hingga melihat lelakiku itu keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang dibalut handuk di bagian bawahnya saja. Rambutnya pun basah, dengan air yang terlihat masih mengalir di bagian wajahnya. “A’ ....” teriaknya. “Mas Ammar,” ucapku lirih.Halusinasi tentang kekasihku itu memang biasa datang. Tapikali ini, terlihat begitu nyata. Alih-alih ia mendekat seperti inginku, yang ada ia berlari dan masuk kembali ke dalam kamar mandi.“Aku Adam, Dijah, bukan Ammar,” teriaknya dari dalam yang membuatku tersadar. Semua ini bukan halusinasiku.Aku menoleh ke arah samping, dimana cermin besar yang biasa kugunakan untuk berias dulu, kini memantulkan wajah wanita dengan pipi yangmemerah layaknya tomat siap panen.“Ya Allah, aku zina mata? Menatap sesuatu yang tidakseharusnya kulihat?” tanyaku sendiri kepada wajahku yang terpantul.‘Tapi, kenapa begitu indah? Sama persis seperti Mas Ammar,milikku.’‘Beda, Dijah. Dada Mas Ammar tak memiliki bulu halussedangkan
“wanita itu menabrakku dan memecahkan guci yang seharusnya kujadikan hadiah untuk ibu. Tabungan yang kusimpan beberapa bulan dari hasil sakuku. Pecah tak bersisa.” Ia tersenyum. “Tak sepeserpun ia ganti rugi, selain kata maaf yang keluar dari bibirnya. Aku begitu mencintai gadis itu,” ucapnya bersamaan dengan bunyi ‘tit’ kembali. Mas Adam mendekat ke arahku, dan membukakan pintu di sebelahku. “Turunlah! Kamu sudah sampai.”Aku masih tercengang. Tubuhku mengitu perintah itu begitu saja. Sedangkan pikiranku, berkelana dengan beberapa tahun silam ketika ke pasar bersama Dinda dan bapak. Lelaki itu Mas Adam? Apa ia bilang? Mencintaiku? Aku menoleh ke arahnya, sebelum pintu itu ditutup dengan sempurna. “Mas Adam.”“Ada apa, Dijah?”“Kamu gak mampir?” Entahlah, hati dan bibir tak sefrekuensi. Bukankah aku tak menerima tamu laki-laki? “Tidak usah, aku tak ingin terjadi fitnah untukmu,” ucapnya.Aku terdiam, jawabannya bagai kalimat sindiran untukku. Kuanggukan kepala perlahan, dan mul
“Ibu memang merestui hubungan kalian. Tapi tidak pegang-pegang sebelum nikah,” ucap wanita yang melahirkannya. “Siapa yang pegang-pegang, Bu? Lagian kamu tahu sendiri kan kalau calon menantumu itu enggan dekat-dekat aku.”Calon menantu? Aku mengernyitkan dahi menatap lelaki yang kini menyandarkan kepalanya di bahu wanita yang melahirkannya. “Mas, aku belum jawab iya. Kenapa sudah bilang calon?” protesku. Ibu terkekeh, juga Mas Adam yang wajahnya kini memerah. “Ucapan kan doa, bisa jadi Allah membukakan pintu hatimu.”Aku tersenyum kecut.“Sudah, Mas, ini teh mu diminum dulu. Sudah dingin dari tadi kamu anggurin.”Ketika Mas Adam mendekat, hendak mengambil gelas yang kusuguhkan di atas meja. Aku berdiri dan mempersilahkannya duduk, karena kursi di teras ini hanya 2, dengan 1 meja. “Mau kemana, Nak?” tanya ibu ketika aku melewatinya. Sedikit menundukkan badan, sebagai tanda hormat. “Nyiapin makan siang, Bu. Mas adam pasti capek dan lapar,” ucapku. Ya, dari tadi pagi ia berjibaku d
Seorang istri akan menjadi ratu ketika berjumpa dengan suami yang tepat. Ya, aku benar-benar meyakini pernyataan itu. Demi apapun, Mas Adam seorang lelaki yang terbaik dengan segala kekurangannya. Meskipun sejujurnya, tak nampak sedikitpun kekurangan itu di mataku. Dari awal kita menikah, hingga janin ini ada di rahimku. Ia adalah suami siaga, yang selalu ada dan emnerima semua kekuranganku. “Apa kita batalin pertemuannya saja, Sayang?” tanya Mas Adam yang memandangku lekat. Aku berbaring di ranjang kamar hotel, dengan dua bantal yang kuajdikan tumpuan belakang punggungku. Sedangkan minyak putih terus menguar dalam indra, berikut dengan sensasi panas di bawah hidung. Semenjak pulang dari praktik dokter tadi, aku sudah diresepkan obat dan vitamin. Namun, rasa mual itu tak pernah memberiku jeda untuk sekedar beristirahat. Hanya bisa berbaring dengan ember kecil yang di letakkan di bawah ranjang, supaya aku tak harus wira-wiri ke kamar mandi saat hendak mengeluarkan isi perutku kembal
“Dijah gak ngambek, mas. Dijah hanya ....”“Hanya apa? nesu ... atau mrengut ...?” tanyanya dengan bahas jawa medhok, membuatku terkekeh.“Hanya rindu.”Mas adam menarik sudut bibirnya, lalu mengusap lembut rambut panjangku. “Ijinkan ibu menghabiskan waktu untuk cucunya ya, sayang.”Aku mengangguk.Waktu terus berlalu. Namun kini bukan hanya sifat manjaku yang dominan, tapi ego dan mood ku yang berubah begitu cepat. Bahkan untuk kesalahan yang bagiku biasa saja, mampu menghadirkan emosi yang menggunung. Mas Adam yang melupakan handuk di kasur. Mas adam yang lupa mematikan air kran kamar mandi. Masalah spele begitu saja, membuatku mendiamkannya berjam-jam. Sebenarnya iba juga menatapnya, tapi entah kenapa bawaannya pengen emosi. Namun, di balik itu semua, bukan Mas adam namanya jika tak mampu lagi mengambil hatiku. Dengan telaten dan sabarnya, ia menghadirkan senyuman dan tawa kecil kembali.“Apa gak sebaiknya kamu di rumah saja, Sayang? Dua harian lagi juga aku pulang,” ucap Mas Adam
Waktu terus berlalu begitu cepat, detikan jam yang berjalan selalu kuisi dengan senyuman. Mas Adam terus memanjakanku, dengan segala perhatian dan kasih sayangnya nan hangat. Ia adalah sosok suami dan ayah yang siaga, yang terus telaten menghadapi sikapku yang mendadak manja dan selalu ingin menang sendiri. Ya, aku tak tahu bagaimana sikap ini muncul begitu saja. padahal dulunya, aku adalah seorang wanita yang mandiri. “Mas Adam, boleh Dijah meminta ....”“Boleh, Sayang,” ucapnya sambil mengembangkan senyum di paras tampannya. Tanpa menyelesaikan kalimatku, Mas Adam seakan tahu apa yang aku pikirkan.Lelaki yang baru saja masuk dengan tabung gas melon di tangannya itu langsung menuju ke dapur, dan memasangnya. Hal yang dulunya bisa kulakukan sendiri tanpa minta bantuan siapapun. “Ada lagi yang mau dibantu, Ratuku?” tanyanya yang membuatku terkekah. Diberi pertanyaan seperti itu membuatku malu sendiri, kalau aku sering merepotkan lelaki yang beberapa bulan ini menemani hariku. “Air
“Ada apa, Mas?” tanyaku. Alih-alih menjawab, lelaki dengan handuk kecil itu justru menenggelamkan diri ke dalam kamar. Aku beranjak, menuju sumber jeritan berasal. “Dek, ada apa?” tanyaku. Pipi yang biasa berwarna merah muda itu kini menjadi lebih merah dari biasanya. Tak kalah dari Mas Adam.“Dek, ada apa?” tanyaku lagi mengulang pertanyaan karena tak kunjung dijawab.“Mbak, ini Zahra. Dinda mau masuk kamar dulu,” ucapnya yang langsung mengangkat tubuh gemoy anakku.Akupun mengambil alih, sejurus kemudian wanita cantik dengan jilbab segi empat warna merah muda itu lari ke kamarnya, membuatku geleng kepala kebingungan.“Mas Adam, tolong ajak main Zahra ya. Dijah mau mandi,” ucapku masuk kamar menatap lelakiku yang duduk terpaku di bibir ranjang. Ia menoleh dan meringis, masih dengan wajah yang kemerah-merahan. “Mas, sebenarnya ada apa? kenapa mas adam dan dinda aneh?” tanyaku dengan dahi mengernyit. Kuletakkan tubuh gemoy anakku ke dalam pangkuannya.“Sumpah, Sayang. Sumpah bukan
Di dalam gedung yang dijadikan kelas anak-anak itu disiapkan panggung dengan spanduk besar yang menjangkau seluruh panggung kayu tersebut. Nama komunitas tertulis jelas, bersamaan dengan nama-nama para anggota. Termasuk nama almarhum Mas Ammar yang tertulis di bagian paling atas, karena sebelumnya beliau adalah ketuanya. Termasuk novel pertama dan terakhir yang menjadi karya terindah untukku, terpotret jelas di spanduk tersebut. Aku tersenyum, andai Mas Ammar masih ada, tentu ia akan begitu bangga dengan pencapaiannya yang luar biasa. Hingga aku tersadar dengan lamunanku ketika Mas Adam mengusap air mata yang membasahi pipiku dengan sapu tangan miliknya. “Sayang, yang kuat ya,” ucapnya dengan tangan kiri yang tak pernah lepas dari menggengam tanganku.Aku diminta duduk di bagian meja depan paling dekat dengan panggung. Juga dengan Mas adam yang selalu ada di sisiku. Sedangkan zahra kini asyik dengan tantenya dan beberapa panitia yang tergabung dari komunitas ciptaan Mas Ammar. Seora
“Mas, kamu sudah bangun?” tanyaku yang sedikit menjauh dari tubuhnya. Dengan cepat ia menahan tanganku, dan membawanya kembali ke dalam pucuk kepalanya. “kenapa berhenti? Aku suka diperlakukan seperti tadi. Apa aku harus terpejam lagi supaya kamu kembali melakukannya, Sayang?”“Mas, aku malu.”Lelaki itu terkekeh, dengan pelupuk mata yang kembali ditutup. “Malu kenapa? Aku saja terpejam seperti ini?”“Mas ....”Mas Adam melingkarkan lengannya ke perutku, hingga aku kembali dibuat hangat dan nyamana dalam dekapannya. “Mas, boleh Dijah tanya sesuatu?”“Apa, sayang?”“Sebenarnya Dijah penasaran dari beberapa bulan yang lalu, tapi malu untuk bertanya.”“Apa itu? Kok sampai ditahan beberapa bulan?”“Sebelum kita nikah ....”“Iya .”“Kenapa selalu ada untuk Dijah? Dari rumah bocor, lampu teras yang mati, selokan yang mampet?” Aku mengernyit, menatap lelakiku yang justru terkekeh.“Gak dijawab, malah ditertawakan?” tanyaku lagi.“Sampai sekarang tidak tahu?”Aku menggeleng.“Di teras kan ak
“Ya Allah, Dek, kenapa bilangnya mendadak sekali? kan kita belum ada persiapan apapun?” ucapku. “Mas Raffa juga bilangnya mendadak, Mbak. Sebenarnya sih Dinda maunya ketika Dinda sudah lulus, tapi keluarga Mas Raffa maunya sekarang.”“Kamu sudah yakin, Dek?”“Iya, Mbak. Dinda juga sudah salat istiharah sebelumnya tentang hubungan Dinda dan mas Raffa.”“Lalu?”“Ada mas Raffa dalam mimpi Dinda, Mbak. Lagian ia berjanji akan mengijinkan Dinda mengambil S2 nantinya kalau sudah menikah. Dinda gak akan merepotkan mbak lagi dengan semua biaya-biayanya.”Kupeluk tubuh semampai adikku. Entah mengapa, aku merasa gagal menjadi kakak yang baik untuknya. Selama ini ia terus berjuang sendiri untuk kehidupannya, tanpa campur tanganku.“Tolong restui hubungan kami ya, Mbak? Terlebih dengan semua kesalahan yang pernah Dinda dan Mas Raffa lakukan.”Aku mengangguk.**Sebuah senyum terbit kala menatap adikku yang semringah menatap cincin yang melingkar di jarinya. Keluarga Raffa sudah pergi sedangkan
“Kamu marah, Sayang?” tanya Mas Adam yang menarik sudut bibirnya. Aku menggeleng. Tak menjawab pertanyaan itu dengan kalimat.“Bagaimanapun Anita ada di bagian hatiku, sama seperti Ammar yang masih ada di hatimu. ”Aku mengangguk. Masih malas untuk memberikan jawaban. Kuhabiskan sisa makanan di depanku dengan cepat, dan langsung menuju kamar mandi.Kunyalakan kran hingga suara riuh dari air yang mengalir mengimbangi suara tangisku. Berikut dengan suara-suara rintihan hatiku, yang tak menentu. Aku tahu aku salah, aku tahu cemburuku berlebihan. Aku terlalu takut dengan pikiran-pikiran buruk yang terus menyapa. “Sayang, Zahra terbangun. Dia ingin asi,” ucap Mas Adam dengan ketukan pintu kamar mandi.Kuusap wajahku yang basah dengan air mata. “Iya, Mas. Sebentar.”Aku mempercepat mandiku, membasuh tubuhku mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu dengan cepat menutup tubuhku dengan haduk, dan keluar dari tempat ini. Baru saja aku buka pintu dan mengayunan langkah sekali. Sebuah pe
Mentari mulai turun dari paraduan, dan digantikan oleh rembulan yang mulai meninggi. Kuhabiskan waktu bersama Mas Adam dengan duduk di teras menatap langit yang tengah berkilau karena banyaknya bintang yang muncul. Sama seperti hatiku yang tengah berkilau dengan kebahagiaan demi kebahagiaan yang terus menyapaku. Janji Allah benar adanya, akan ada pelangi seusai hujan. Akan ada kebahgaiaan setelah beberpa hari terpendam dengan kesedihan. “Kamu gak ngantuk, Sayang?” tanya lelakiku yang menoleh ke arahku. Satu tangan kanannya dijadikan tumpuan bantal kepala zahra, sedang tangan kiri itu mengelus punggung tanganku dengan lembut.Aku menggeleng. ‘Ya Tuhan, disentuh oleh Mas Adam seperti ini saja mampu membuat jantungku berdetak tak karuan. Lalu apa jadinya ketika kita saling memberikan hak dan kewajiban?’“Zahra sudah tidur. Kasihan kalau terus-terusan kena angin malam. Ngobrolnya di kamar saja yuk!”Aku mengangguk. Dengan suasana hati yang semakin tak mampu kupahami. Berdetak begitu cep