Pov Alia"Iya, kamu pasti hamil, Al? Kapan terakhir datang bulan?" tanya Marcel sudah seperti dokter. Aku terdiam memikirkan pertanyaannya. Kapan aku terakhir haid? Ah, aku saja lupa, bagaimana bisa menjawab? Semenjak selalu kecewa ketika telat datang bulan, semenjak itu pula aku tak pernah mengingat kapan terakhir datang bulan. Aku takut terlalu berharap lalu akhirnya kecewa. Lelah, putus asa dan mulai menyerah, itu yang sempat kurasa. Hingga akhirnya aku memilih pasrah, mengikuti alur yang Tuhan tuliskan. "Aku lupa, aku bahkan tak pernah mau mengingat itu. Takut kecewa."Aku segera merogoh ponsel yang ada di dalam tas. Sepertinya aku harus kembali ke hotel. Takut Bisma kembali berulah dan merepotkan aku lagi. Dengan cepat jemariku menari di atas layar, memesan sebuah taksi melalui aplikasi online. "Aku antar sampai halaman hotel, Al. Wajah kamu pucat. Aku takut kamu muntah atau pingsan di jalan." Marcel menantapku lekat. "Aku sudah pesan taksi online.""Yakin?""Yakinlah, lebih
“Memangnya ada tampang penipu di wajah aku,Bang?” ucapku kesal.Sebagai mantan kakak dan suami harusnya dia tahu jika ucapanku itu benar. Mana mungkin aku berbohong bahkan memfitnah orang. Entah apa yang ada di kepala Bang Rizal hingga ia begitu percaya dengan parasit berkedok sahabat.“Bukan begitu,Alia. Setahuku Bisma tidak dekat dengan wanita mana pun,apa lagi Syasya. Kalau pun dekat dengan Syasya harusnya aku tahu,dong.”Aku menghembuskan napas kasar, ternyata susah meyakinkan orang tanpa bukti meski itu suamiku sendiri. Sepertinya aku harus mencari bukti agar memperkuat ucapanku. Ah, masalah Mas Alvan selesai tapi kini tumbuh masalah baru yang jauh lebih rumit. Dulu Bang Rizal membantuku tapi kali ini aku harus berusaha sendiri.“Abang yakin Bisma atau pun Kartika bisa dipercaya? Keluarga saja bisa menusuk dari belakang,apa lagi orang lain yang tidak memiliki ikatan apa pun. Harusnya masalahku dengan Mas Alvan bisa dijadikan pelajaran jika tak selamanya orang bisa dipercaya terma
"Jangan bercanda, Ma.""Mama yakin kamu hamil, Al. Sudah telat haidnya, kan?"Aku diam mencoba mengingat kapan terakhir aku datang bulan. Namun tetap saja aku sama sekali tidak ingat. "Alia lupa, Ma."Mama dan Bang Rizal menghembuskan napas kesal. Mau bagaimana lagi kalau aku benar-benar lupa. "Alia ke kamar dulu, Ma,capek."Aku melangkah meninggalkan Mama dan Bang Rizal yang menatapku. Aku tak menghiraukan, badanku terasa lelah. Ingin segera istirahat. Sebenarnya aku mengharap apa yang dikatakan Mama itu benar. Namun aku takut terlalu berharap lalu akhirnya kecewa. Bertahun-tahun aku menunggu hingga akhirnya memilih pasrah. Alasan ini pula yang membuat Mas Alvan meninggalkan aku. Aku merebahkan tubuh di atas ranjang. Merogoh ponsel yang ada di saku gamisku. Iseng kulihat aplikasi dengan logo F berwarna biru. Seketika aku beristigfar kala membaca berita yang muncul di berandaku. Dadaku bergemuruh, rasa marah hampir meledak saat membaca setiap kata yang tertulis di sana. Bagaiman
Perlahan muncul satu garis merah, aku memejamkan mata seraya menahan napas menanti garis merah selanjutnya. Dengan jantung berdebar kubuka mata,bulir bening nan hangat tiba-tiba jatuh membasahi pipi. Ya Allah....Ternyata rasa sakitnya masih sama. Harapan untuk merasakan adanya kehidupan di dalam kandungan sirna sudah. Aku memang sering merasakan hal ini, tapi entah kenapa kali ini rasanya jauh lebih sakit dan kecewa. "Sayang, bagaimana hasilnya?" Sebuah ketukan pintu menyadarkan aku dari tangisan dan kekecewaan ini. Perlahan aku atur napas seraya menenangkan hati. Tidak lupa kuhapus jejak air mata yang masih tertinggal di pipi. Mama dan Bang Rizal tak perlu tahu betapa hancur hati dan perasaanku. Cukup kutelan sendiri kekecewaan. Kreeek.... Sedikit ragu kutarik pintu hingga mereka bisa melihat dengan jelas keberadaanku. "Bagaimana hasilnya, Al? Positif, kan?" tanya Mama begitu antusias. Sungguh aku tidak sanggup melihat mendung dan hujan di wajahnya. "Sayang, kenapa diam?"T
Pov Rizal"Istri saya kenapa, Dok?" tanyaku lagi. "Selamat, istri Pak Rizal tengah mengandung."Aku terdiam, lalu menatap Alia yang kebingungan sama sepertiku. Bukankah tadi pagi kami melakukan tes dan hasilnya negatif. Namun kenapa dokter bilang Alia hamil? Tuhan... Ini mimpi atau halusinasi saja? "Kenapa Pak Rizal dan Bu Alia bengong? Kalian tidak senang?" tanya Dokter itu heran. "Dokter tidak sedang bercanda, kan?" tanya Alia. "Seorang dokter tidak boleh bercanda menyangkut kesehatan dan kondisi pasiennya.""Tapi tadi pagi kami melakukan cek urine tapi hasilnya negatif. Hanya satu garis berwarna merah yang nampak."Dokter muda itu tersenyum lalu menatap kaki bergantian. Perkataanku ini serius lho, kenapa wanita justru tersenyum? Hem. "Ada banyak faktor yang menyebabkan test pack tidak akurat, salah satunya alat uji kehamilan itu sudah kadaluwarsa. Bu Alia sudah melihat tanggal expired pada test pack?"Alia menggeleng. Bagaimana dia bisa tahu jika mengecek kehamilan saja masi
"Sudah pulang?" Mama menatap heran ke arah kami. Lebih tepatnya ke arah tangan kami yang bergandengan. "Iya, Ma," jawabku. "Lepas, Bang! Aku mau duduk!" ucapnya seraya menepis tangan ini. "Pelan-pelan, Sayang." Kubantu Alia duduk meski ia menghadiahiku tatapan tajam. Sebenarnya apa yang salah? Aku hanya ingin menjaga calon anak kami. "Astaga, Rizal... Alia bukan anak kecil, biarkan dia duduk sendiri. Lihat tu wajah istri kamu yang masam, sudah seperti jeruk yang belum matang," ledek Mama semakin membuat wajah Alia ditekuk. Ah, andai saja Mama tahu jika putrinya tengah mengandung, sudah pasti beliau memperlakukan Alia sama sepertiku memperlakukannya. "Mama beli test pack kapan?" tanya Alia. "Mama lupa, itu test pack saat kamu masih menjadi istri Alvan."Aku dan Alia saling beradu pandang. Pantas saja hasilnya negatif, test pack-nya saja sudah kadaluwarsa. Mama... Mama. Hem. "Kenapa kalian melihat Mama seperti itu? Ada yang salah?"Jelas salah Mama, itu yang membuat hasil tes u
Pov AliaAku membolak-balikkan badan, sesekali kulirik benda bulat yang menempel di dinding kamar. Sudah pukul setengah dua tapi Bang Rizal belum juga pulang. Ke mana sebenarnya suamiku itu? Membeli sate atau pergi ke bulan? Mengambil benda pipi, aku menghubungi nomor Bang Rizal. Suara merdu Judika mengalun indah memenuhi kamar. Ah, Bang Rizal tak membawa ponselnya. Rasa khawatir semakin menjadi, perlahan aku beranjak dari ranjang. Aku berjalan menuju ruang tamu, menunggu Bang Rizal. Berkali-kali aku menyibak gorden, berharap mobil yang kunanti berada di halaman rumah. Tapi sayang, mobil itu tak kunjung datang. Apa lagi sang pemilik yang kini berada entah di mana. Kakiku kesemutan karena berdiri terlalu lama. Akhirnya aku memilih menyandarkan tubuh di sofa. Perlahan rasa kantuk hadir hingga akhirnya aku kembali menjelajahi dunia mimpi. Tubuhku terbang melayang hingga menembus awas. Ah, mimpi ini seperti nyata. "Maaf, ya, karena menunggu Abang kamu jadi tidur di sofa."Samar terd
"Kenapa, Al?" tanya Bang Rizal kala melihatku diam sambil menatap layar ponsel. Kuberikan ponsel dengan layar masih menyala. Suamiku mengernyitkan dahi lalu mengembalikan ponsel itu padaku. "Dari nomor baru, kamu kenal?" tanyanya seraya menarik tubuhku. Kepalaku ia letakkan di atas pahanya hingga aku bisa melihat jelas betapa tampan suamiku ini. Ah, pantas saja Kartika terobsesi padanya. "Kenapa lihatin begitu? Abang ganteng, kan?" Aku mencebikkan bibir. Bisa-bisanya dia tahu isi pikiranku. "Soal pesan tadi tak usah kamu hiraukan, Al. Mungkin orang iseng. Jangan terlalu menanggapi pesan dari nomor baru. Abang takut kamu kenapa-napa."Aku mengangguk meski hati bertentangan dengan perkataan Bang Rizal. Pengirim pesan itu seolah kenal denganku. Dia bahkan memanggilku Mbak. Siapa sebenarnya yang sedang membutuhkan bantuanku? Kreek... Seketika aku dan Bang Rizal menoleh ke arah pintu. "Maaf, aku kira Bang Rizal masih di luar." Mia menggaruk kepala yang tak gatal."Masuk, sudah biasa
Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin
Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a
Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak
Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa
"Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me
Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera
Berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan tidaklah muda. Seperti itulah yang Bang Rizal rasakan. Dia tersiksa dengan rasa benci dan amarah. Semenjak pengakuanku, Bang Rizal memilih diam. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berbicara seperlunya, selebihnya dia memilih membisu. "Abang marah?" tanyaku saat kami berada di kamar. "Tidak."Menghela napas saat kudengar jawabannya. Singkat, padat dan datar. Sikapnya semakin dingin terhadapku. Apa aku benar-benar salah melakukan tes DNA itu? Aku hanya ingin memastikan. "Maaf jika sikapku lancang, Bang.""Aku lelah, Al. Bisakah kita bicara besok. Abang ingin tidur." Bang Rizal membalikkan badan, dia membelakangiku. Jarum seakan tak bergerak. Sikap dinginnya membuat aku tak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk yang sempat mendera hilang dalam sekejap mata. Mata semakin tak bisa terpejam saat hasrat makan seketika muncul, bahkan terasa menggebu. Aku beranjak dari ranjang. Perlahan kakiku melangkah menuju dapur. Semoga saja ma
"Siapa, Al? Kenapa syok begitu?" Bang Rizal menatapku penuh tanda tanya."Itu... Anu ...."Mulut ini mendadak kelu, apa kukatakan saja sekarang? Namun jika menimbulkan keributan bagaimana? "Alia sayang, kenapa diam? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku, kan?"Mungkin saatnya Bang Rizal mengetahui kenyataan ini. Entah bagaimana tanggapannya nanti. "Alia.""Nanti Alia jelaskan, tapi tidak di sini, Bang."Setelah cukup lama berbincang dengan Syasya dan Bu Nur, akhirnya kami berpamitan pulang. "Apa yang mau kamu katakan, Al?" tanyanya sambil mengemudikan mobil. "Jalan dulu, Bang! Nanti kuatur mau belok ke mana." Bang Rizal mengangguk lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku mulai mengarahkan ke mana mobil harus berjalan. Kadang belok kanan atau belok ke kiri. Bang Rizal menurut tanpa banyak protes. "Ini bukannya alamat ke rumah Mia, Al?""Iya, Bang. Kita akan ke rumah Mia." Bang Rizal menautkan dua alis tapi enggan bertanya lebih jauh lagi. Pintu kuketuk pelan, tak lama
"Bagaimana, Mia?""Aman, Mbak. Tinggal menunggu hasilnya."Aku bernapas lega. Langkah untuk mengetahui kebenaran sudah berada di depan mata. Semenjak mendengar perkataan Bu Nur, entah kenapa aku ingin memastikan apakah dia ibu kandung Bang Rizal atau bukan. Jujur mata Bu Nur begitu mirip dengan mata Bang Rizal. Itu yang membuatku yakin jika mereka memiliki ikatan darah. "Aku tunggu kabar baiknya.""Telepon siapa, Sayang?" tanya Bang Rizal setelah keluar dari kamar mandi. Bang Rizal berjalan mendekat, air dari rambutnya menetes hingga ke lantai."Mia telepon tadi.""Ngomongin apa sih? Kayaknya serius banget." Bang Rizal mendekat lalu memelukku dari belakang. Tetes demi tetes air menempel di pundakku. "Basah, Bang!" Aku lepas tangan yang melingkar di perutku. "Biarin, Abang lagi pengen kaya gini. Sudah lama kita sehangat ini, kan?"Aku diam, mendengarkan degup jantungnya begitu keras. Kuhirup aroma shampoo yang mengudara hingga menimbulkan rasa nyaman. Benar yang dikatakan Bang