"Sudah pulang?" Mama menatap heran ke arah kami. Lebih tepatnya ke arah tangan kami yang bergandengan. "Iya, Ma," jawabku. "Lepas, Bang! Aku mau duduk!" ucapnya seraya menepis tangan ini. "Pelan-pelan, Sayang." Kubantu Alia duduk meski ia menghadiahiku tatapan tajam. Sebenarnya apa yang salah? Aku hanya ingin menjaga calon anak kami. "Astaga, Rizal... Alia bukan anak kecil, biarkan dia duduk sendiri. Lihat tu wajah istri kamu yang masam, sudah seperti jeruk yang belum matang," ledek Mama semakin membuat wajah Alia ditekuk. Ah, andai saja Mama tahu jika putrinya tengah mengandung, sudah pasti beliau memperlakukan Alia sama sepertiku memperlakukannya. "Mama beli test pack kapan?" tanya Alia. "Mama lupa, itu test pack saat kamu masih menjadi istri Alvan."Aku dan Alia saling beradu pandang. Pantas saja hasilnya negatif, test pack-nya saja sudah kadaluwarsa. Mama... Mama. Hem. "Kenapa kalian melihat Mama seperti itu? Ada yang salah?"Jelas salah Mama, itu yang membuat hasil tes u
Pov AliaAku membolak-balikkan badan, sesekali kulirik benda bulat yang menempel di dinding kamar. Sudah pukul setengah dua tapi Bang Rizal belum juga pulang. Ke mana sebenarnya suamiku itu? Membeli sate atau pergi ke bulan? Mengambil benda pipi, aku menghubungi nomor Bang Rizal. Suara merdu Judika mengalun indah memenuhi kamar. Ah, Bang Rizal tak membawa ponselnya. Rasa khawatir semakin menjadi, perlahan aku beranjak dari ranjang. Aku berjalan menuju ruang tamu, menunggu Bang Rizal. Berkali-kali aku menyibak gorden, berharap mobil yang kunanti berada di halaman rumah. Tapi sayang, mobil itu tak kunjung datang. Apa lagi sang pemilik yang kini berada entah di mana. Kakiku kesemutan karena berdiri terlalu lama. Akhirnya aku memilih menyandarkan tubuh di sofa. Perlahan rasa kantuk hadir hingga akhirnya aku kembali menjelajahi dunia mimpi. Tubuhku terbang melayang hingga menembus awas. Ah, mimpi ini seperti nyata. "Maaf, ya, karena menunggu Abang kamu jadi tidur di sofa."Samar terd
"Kenapa, Al?" tanya Bang Rizal kala melihatku diam sambil menatap layar ponsel. Kuberikan ponsel dengan layar masih menyala. Suamiku mengernyitkan dahi lalu mengembalikan ponsel itu padaku. "Dari nomor baru, kamu kenal?" tanyanya seraya menarik tubuhku. Kepalaku ia letakkan di atas pahanya hingga aku bisa melihat jelas betapa tampan suamiku ini. Ah, pantas saja Kartika terobsesi padanya. "Kenapa lihatin begitu? Abang ganteng, kan?" Aku mencebikkan bibir. Bisa-bisanya dia tahu isi pikiranku. "Soal pesan tadi tak usah kamu hiraukan, Al. Mungkin orang iseng. Jangan terlalu menanggapi pesan dari nomor baru. Abang takut kamu kenapa-napa."Aku mengangguk meski hati bertentangan dengan perkataan Bang Rizal. Pengirim pesan itu seolah kenal denganku. Dia bahkan memanggilku Mbak. Siapa sebenarnya yang sedang membutuhkan bantuanku? Kreek... Seketika aku dan Bang Rizal menoleh ke arah pintu. "Maaf, aku kira Bang Rizal masih di luar." Mia menggaruk kepala yang tak gatal."Masuk, sudah biasa
"Hallo, Bu Alia masih mendengarkan saya?""Baik, saya segera ke sana."Ponsel segera kumatikan. Sebuah tanda tanya kembali memenuhi isi kepalaku, siapa tahanan yang ingin melarikan diri itu? Apa Baim? Ya Tuhan... Kenapa masalahku dengan lelaki itu belum juga selesai? "Siapa?" tanya Bang Rizal sambil mengunyah bakso. "Aku mau ke Lapas, Abang mau ikut tidak?" tanyaku seraya beranjak berdiri. "Apa!" Uhuk... Uhuk.... Bang Rizal tersedak kunyahan bakso yang belum sempurna. Aku menghentikan langkah, kuambilkan air putih yang ada di atas meja. Dengan cepat Bang Rizal meminumnya hingga habis tak tersisa."Lain kali makan hati-hati, Bang!" "Gara-gara dengar Lapas abang jadi begini. Mau apa lagi ke Lapas? Baim pengen minta maaf?" tanyanya ketus. Aku mengangkat bahu, sipir saja belum menjelaskan secara detail. Lalu bagaimana aku bisa tahu? "Mau ikut tidak?"Tanpa menjawab Bang Rizal beranjak dari sofa, tangannya segera menggandengku. Kami melangkah menuju mobil yang terparkir di halaman
Aku dan Bang Rizal saling pandang. Dengan cepat suamiku menggelengkan kepala. Jelas dia melarang aku mencabut tuntutan pada Mas Alvan."Tolong bebaskan aku, Alia, Bang Rizal. Bagaimana aku bisa mencari Aira dan Syasya jika aku masih berada di sini?" ucap Mas Alvan mengiba. Jujur saja aku tidak tega melihat wajahnya. Namun apa yang ia katakan benar? Apa mereka benar-benar hilang? Bukan akal bulus Mas Alvan agar bisa keluar dari jeruji besi. Kenapa aku menjadi sulit mempercayai ucapan lelaki yang dulu mengiri relung hati? "Dari mama kamu tahu Syasya dan anakmu menghilang, Mas?"Aku tak ingin salah mengambil keputusan hingga berakibat fatal bahkan menimbulkan penyesalan. "Syasya datang kemari, Al. Syasya bercerita jika Bapak membuang Aira ke panti asuhan karena... Karena ...." Mas Alvan tak melanjutkan kata-katanya. Perlahan air bah jatuh membasahi pipi lelaki itu. Baru kali ini kulihat Mas Alvan menangis seperti itu. Dulu saat kami resmi berpisah, dia memang sempat menangis tapi tid
Aku menelan ludah dengan susah payah. Sejak kapan Bang Rizal di rumah. Bukankah dia sudah berangkat dari setengah jam yang lalu? "A-abang kenapa pulang lagi?""Ada file yang tertinggal," ucapnya lalu melangkah ke arahku. "Ponsel kamu jatuh, Sayang." Dia jongkok lalu memunguti ponsel yang telah pecah menjadi dua bagian itu. "Iya, a-aku kaget melihat kamu tiba-tiba muncul, Sayang," ucapku terbata. Setengah mati kuhilangkan rasa gugup yang mendera. Namun justru semakin tampak. Tidak pandai berbohong membuat rasa gugup semakin menjadi. Ya Tuhan, jangan sampai Bang Rizal mengetahuinya. "Kenapa gugup begitu?" Bang Rizal memberikan benda pipih yang sudah hancur menjadi dua bagian. Benar dugaanku, Bang Rizal pasti tahu aku tengah menyembunyikan sesuatu. Dia begitu peka, apa kali ini dia akan tahu pembicaraanku dengan Pak Yusuf barusan? "Ti-tidak apa-apa, Bang.""Tadi telepon dengan siapa? Kenapa harus merahasiakannya dariku?"Diam, aku tak tahu harus menjawab apa? Apa yang harus kukatak
"Marcel."Aku menggelengkan kepala, tak percaya jika lelaki itu yang ada di kursi kemudi. Astaga, kenapa aku sampai salah masuk mobil Marcel? "Iya, kenapa? Kamu terkejut?" Dia tersenyum tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Kenapa kamu bisa di sini?""Harusnya aku yang bertanya, kenapa kamu bisa menganggapku driver taksi online?"Aku meringis, lalu menggelengkan kepala. Aku sendiri tak tahu kenapa bisa duduk di mobil ini, apa lagi dia? "Sekarang mau ke mana?" tanya lelaki itu sambil melirikku dari balik kaca spion yang ada di dalam mobil. Apa aku meminta bantuan pada Marcel? Namun jika mulutnya ember bagaimana? Ah, jadi serba salah. "Kenapa, kamu terburu-buru, kan? Masih sungkan dengan mantan pengemar rahasia?" Aku mencebikkan bibir, lelaki itu sungguh menyebalkan."Hallo, Mbak saya bagaimana?" Suara driver taksi online menghentikan perdebatan di antara kami. Ya Allah, bisa-bisa aku lupa pada driver taksi online itu. Kasihan dia sudah menungguku terlalu lama. "Maaf, saya cancel s
Pov AlvanAku hirup dalam-dalam udara yang ada di pinggir jalan ini. Beberapa bulan mendekam di jeruji besi membuatku merindukan udara yang bercampur dengan bau kenalpot, solar atau limbah sekali pun. Bagi kebanyakan orang ketiga bau itu sangat dibenci. Tetapi tidak denganku, bau ini menandakan aku telah bebas dan bisa hidup seperti orang normal lainnya. Hingga detik ini aku masih tak percaya jika Alia akan membebaskan aku. Kupikir kesalahan masa lalu tak akan pernah dimaafkan. Namun aku salah Alia tetap wanita berhati lembut dan suka mengulurkan tangan untuk menolong sesama termasuk aku. Rasa sesal masih saja hadir di hati. Jika aku menuruti ego dan nafsu,mungkin saat ini aku akan hidup bahagia dengan Alia. Ah, sudahlah semua yang sudah terjadi tak mungkin bisa ku ulang kembali. Kini aku hanya bisa memperbaiki diri agar kejadian itu tak akan kembali. "Tolong jangan berkeliaran tanpa masker. Untuk sementara Mas harus menjauh dari keramaian. Karena sampai saat ini Bang Rizal belum
Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin
Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a
Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak
Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa
"Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me
Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera
Berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan tidaklah muda. Seperti itulah yang Bang Rizal rasakan. Dia tersiksa dengan rasa benci dan amarah. Semenjak pengakuanku, Bang Rizal memilih diam. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berbicara seperlunya, selebihnya dia memilih membisu. "Abang marah?" tanyaku saat kami berada di kamar. "Tidak."Menghela napas saat kudengar jawabannya. Singkat, padat dan datar. Sikapnya semakin dingin terhadapku. Apa aku benar-benar salah melakukan tes DNA itu? Aku hanya ingin memastikan. "Maaf jika sikapku lancang, Bang.""Aku lelah, Al. Bisakah kita bicara besok. Abang ingin tidur." Bang Rizal membalikkan badan, dia membelakangiku. Jarum seakan tak bergerak. Sikap dinginnya membuat aku tak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk yang sempat mendera hilang dalam sekejap mata. Mata semakin tak bisa terpejam saat hasrat makan seketika muncul, bahkan terasa menggebu. Aku beranjak dari ranjang. Perlahan kakiku melangkah menuju dapur. Semoga saja ma
"Siapa, Al? Kenapa syok begitu?" Bang Rizal menatapku penuh tanda tanya."Itu... Anu ...."Mulut ini mendadak kelu, apa kukatakan saja sekarang? Namun jika menimbulkan keributan bagaimana? "Alia sayang, kenapa diam? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku, kan?"Mungkin saatnya Bang Rizal mengetahui kenyataan ini. Entah bagaimana tanggapannya nanti. "Alia.""Nanti Alia jelaskan, tapi tidak di sini, Bang."Setelah cukup lama berbincang dengan Syasya dan Bu Nur, akhirnya kami berpamitan pulang. "Apa yang mau kamu katakan, Al?" tanyanya sambil mengemudikan mobil. "Jalan dulu, Bang! Nanti kuatur mau belok ke mana." Bang Rizal mengangguk lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku mulai mengarahkan ke mana mobil harus berjalan. Kadang belok kanan atau belok ke kiri. Bang Rizal menurut tanpa banyak protes. "Ini bukannya alamat ke rumah Mia, Al?""Iya, Bang. Kita akan ke rumah Mia." Bang Rizal menautkan dua alis tapi enggan bertanya lebih jauh lagi. Pintu kuketuk pelan, tak lama
"Bagaimana, Mia?""Aman, Mbak. Tinggal menunggu hasilnya."Aku bernapas lega. Langkah untuk mengetahui kebenaran sudah berada di depan mata. Semenjak mendengar perkataan Bu Nur, entah kenapa aku ingin memastikan apakah dia ibu kandung Bang Rizal atau bukan. Jujur mata Bu Nur begitu mirip dengan mata Bang Rizal. Itu yang membuatku yakin jika mereka memiliki ikatan darah. "Aku tunggu kabar baiknya.""Telepon siapa, Sayang?" tanya Bang Rizal setelah keluar dari kamar mandi. Bang Rizal berjalan mendekat, air dari rambutnya menetes hingga ke lantai."Mia telepon tadi.""Ngomongin apa sih? Kayaknya serius banget." Bang Rizal mendekat lalu memelukku dari belakang. Tetes demi tetes air menempel di pundakku. "Basah, Bang!" Aku lepas tangan yang melingkar di perutku. "Biarin, Abang lagi pengen kaya gini. Sudah lama kita sehangat ini, kan?"Aku diam, mendengarkan degup jantungnya begitu keras. Kuhirup aroma shampoo yang mengudara hingga menimbulkan rasa nyaman. Benar yang dikatakan Bang