“Lalu, apa yang kau inginkan?” tanya Freesia.
“Kau.”
Jawaban Allen itu membuat Freesia melotot marah. “Kau … jangan kau pikir kau bisa merendahkanku hanya karena kau sudah membantuku! Aku tidak sudi …”
Kata-kata Freesia terhenti oleh suara denting lift yang sudah tiba di lobi. Pintu lift terbuka dan Freesia melihat orang-orang neneknya menunggu di lobi. Sial!
Freesia menekan tombol menutup, membuat pintu lift kembali tertutup. Lalu, Freesia menekan tombol lantai teratas gedung itu. Lift kembali bergerak ke atas dan Freesia bergerak ke belakang hingga punggungnya bersandar di dinding lift. Saat itulah, sesuatu jatuh dari bahunya.
Freesia menunduk dan melihat jaket kulit yang tadi disampirkan Allen di bahunya mendarat di lantai. Ketika Allen tiba-tiba membungkuk ke arahnya, Freesia refleks memukul kepala pria itu ketika mendapati wajah pria itu berada tepat di depan pahanya.
“Apa yang kau lakukan?! Dasar Mesum!” maki Freesia.
Allen tidak lantas berdiri dan berlutut dengan satu kaki di samping Freesia, menghadap ke arah Freesia. Pria itu perlahan mendongak ke arah Freesia.
“Kau … berani memukulku?” Suara pria itu terdengar berat, berbeda dengan sebelumnya.
Freesia berusaha mundur, tapi punggungnya sudah menempel di dinding lift.
“I-itu karena kau … tiba-tiba melihat pahaku …” Kalimat Freesia terhenti ketika pria itu tiba-tiba melingkarkan jaketnya yang tadi jatuh, ke pinggang Freesia, mengikatnya di sana, sekaligus menutupi paha Freesia.
“Aku tidak melihat pahamu,” ucap pria itu. “Aku hanya mengambil jaketku dan sekarang kau bisa menggunakannya untuk menutupi pahamu. Meski aku tak mengerti kenapa kau memakai celana sependek ini di luar rumah.”
Freesia berdehem dan menguatkan ikatan jaket di pinggangnya. “Ini pakaian paling nyaman untuk kabur dan berlari,” Freesia berkata. “Untuk jaga-jaga.”
“Jadi, kau sudah berniat untuk kabur dan berlari? Karena itu kau akan pergi ke lantai teratas? Kau berencana kabur dengan cara bagaimana dari sana? Melompat?” Pria itu kembali berdiri dan ikut menyandarkan punggung di dinding lift di samping Freesia.
Freesia menghela napas. “Aku akan memikirkannya setelah aku berada di sana nanti,” jawab Freesia. “Dan maaf karena sudah menuduhmu, tapi kau yang membuatku berpikir seperti itu.” Freesia melirik pria itu. “Bukankah kau menginginkan tubuhku sebagai bayaran untuk apa yang kau lakukan untukku tadi di restoran?”
Pria itu tersenyum geli. “Kau sepertinya salah paham, Nona,” ucapnya. “Maksudku, aku membutuhkanmu untuk menjadi pengasuh. Apa kau terbiasa dengan anak-anak?”
Freesia mengerutkan kening. “Apa? Pengasuh?”
Allen mengangguk. “Aku butuh seorang pengasuh yang bisa bermain dengan anak-anak, bukan hanya menyiapkan makan, baju, dan keperluannya yang lain, tapi juga bisa menemaninya bermain.” Allen menoleh pada Freesia. “Jika kau bisa melakukan itu, kau mungkin bisa menyimpan tabunganmu dan mendapat tempat bersembunyi dari nenekmu selama lebih dari satu atau dua bulan. Dengan begitu, nenekmu pasti akan menyerah dan kau akan menjadi pemenangnya, kan?”
Mata Freesia seketika berbinar mendengar itu. “Ya, ya! Aku mau! Aku bisa bermain dengan anak-anak! Aku suka bermain dengan anak-anak! Meski … um …” Freesia sedikit ragu, “aku tidak begitu bagus dalam hal menyiapkan makan, baju, dan lainnya, karena aku sendiri tak pernah melakukan hal seperti itu sendiri, tapi … aku percaya diri dengan menemani anak-anak bermain.” Freesia menatap Allen dengan penuh tekad.
Sejujurnya, ada satu tempat bermain yang menjadi impian Freesia. Taman bermain anak-anak yang memiliki segala macam mainan dan halang rintang, trampolin, kolam mandi bola yang besar, istana balon …. Sejak kecil, Freesia ingin semua itu, tapi tak diizinkan karena itu terlalu berbahaya dan seorang lady tidak seharusnya melompat-lompat di atas trampolin sambil berteriak-teriak atau melompat ke kolam bola hingga roknya tersibak.
Freesia akan menggunakan kesempatan ini untuk memaksa neneknya menyerah, sekaligus memuaskan keinginan masa kecilnya yang tak terpenuhi.
“Baiklah,” jawab pria itu. “Kita bisa pergi ke rumahku dulu, membuat kontrak, dan kau bisa mulai bekerja besok.”
Freesia menatap Allen dari atas ke bawah setelah mendengar itu. “Tapi … bagaimana aku bisa percaya jika kau benar-benar menginginkanku untuk menjadi pengasuh anak, dan bukannya akan menjualku?”
Bagaimanapun, Freesia tetap harus curiga. Dia tidak bodoh.
Namun, Allen kemudian tersenyum. “Kau bisa mengirimkan lokasimu pada orang yang kau percaya sepanjang perjalanan kita nanti,” Allen berkata. “Bagaimana?”
Freesia berpikir tentang usulan pria itu. Namun, siapa yang bisa Freesia percaya tentang hal seperti ini? Dia bahkan tak punya sahabat atau teman dekat.
“Tapi, kau harus berhati-hati memilih orang. Jika tidak, mereka akan mengkhianatimu dan melaporkanmu pada nenekmu,” Allen mengingatkan.
Freesia mengecek kontak di ponselnya, lalu menoleh pada Allen. “Deal.”
Suara denting lift yang sudah membawa mereka ke lantai teratas menutup kesepakatan mereka.
***
Gadis ini … apa dia sama sekali tidak merasakan aura berbahaya Allen?
Mungkin ketika di restoran tadi, Allen menyembunyikan aura berbahayanya. Seperti yang dikatakan gadis itu, Allen berakting dengan sempurna. Namun, detik ketika Allen menyebutkan apa yang ia inginkan dari gadis itu tadi, ia tak lagi menyembunyikan aura berbahayanya.
Gadis itu mungkin sempat merasakannya sesaat, karena itu dia mencoba menolak Allen. Namun, itu tak bertahan lama sampai dia kembali menutup pintu lift dan membawa mereka naik ke lantai paling atas gedung itu. Dia bahkan tanpa curiga menerima penawaran Allen untuk ikut ke rumahnya.
Gadis ini mungkin tak sadar, bantuan yang dia minta dari Allen tadi, kemungkinan harus dia bayar dengan nyawanya sendiri. Meski, Allen menikmati situasi ini. Sepertinya, ia menangkap satu peliharaan yang akan sangat berguna nantinya.
Dan peliharaan barunya itu, saat ini duduk di sebelah Allen di mobil yang disetiri Allen, dengan tangan memegangi erat ponsel dan tatapan tajam keluar jendela, seolah berusaha mengingat jalan. Meski, Allen tak yakin dia bisa mengingat jalan yang mereka lewati dengan jelas karena gelap.
“Omong-omong,” Allen angkat bicara, untuk memecah suasana sunyi, “tidakkah kau pernah diajari untuk tidak mengikuti orang asing sembarangan? Terutama, di malam hari.”
“Karena itu, aku mengirim lokasiku pada salah satu teman kuliahku dan memintanya menghubungi polisi jika tiba-tiba lokasiku tak bisa dilacak,” ucap gadis itu, masih dengan usahanya menghafal jalan di luar. Usaha yang sia-sia.
“Apa kau dekat dengan temanmu itu?” tanya Allen.
“Tidak,” jawab gadis itu. “Tapi, dia cukup bisa dipercaya. Dia tidak akan mengkhianatiku karena dia tidak menyukai nenekku dan keluarganya tidak dekat dengan keluargaku. Nenekku pernah mencelanya tidak sopan dan tak tahu aturan ketika mereka bertemu.”
Itu berarti, temannya yang malang itu aman untuk dibunuh.
“Tapi, apa kau tidak takut padaku?” tanya Allen, kali ini benar-benar penasaran.
Freesia akhirnya menoleh pada Allen dan Allen bisa merasakan tatapan gadis itu dari atas ke bawah. Allen berdehem.
“Kurasa, apa yang kau lakukan barusan … termasuk sedikit tidak sopan?” singgung Allen.
“Kau yang bertanya padaku, jadi aku setidaknya harus mencari alasan jika ingin menjawab itu,” jawab Freesia.
“Lalu, apa jawaban dan alasanmu?” tanya Allen.
“Kupikir, kau bukan orang jahat, karena kau mau membantuku. Kau juga sopan dan looks like you have pretty good manner. Kau juga memberikan jaketmu untuk menutupi tubuhku,” urai gadis itu.
“Dan itu menjadi alasan kenapa kau tidak takut padaku?” Allen tak bisa menahan senyum gelinya.
“Mungkin,” jawab Freesia. “Tapi, jika kau benar-benar berniat jahat padaku, kau akan tahu sendiri akibatnya.”
“Akibat seperti apa, misalnya?” tanya Allen sembari berusaha menahan senyum geli.
“Meski aku kabur dari rumah, tapi aku tetaplah cucu tunggal nenekku. Aku satu-satunya keluarga nenekku. Meski aku tidak akan bisa menjadi ahli waris perusahaan, tapi aku tetap darah dagingnya, jadi dia akan melakukan hal mengerikan padamu jika kau melakukan sesuatu yang buruk padaku,” ucap Freesia penuh percaya diri.
“Kau cucu tunggal dan satu-satunya ahli waris nenekmu?” Allen memastikan.
“Ya,” jawab Freesia. “Karena itu, nenekku sampai harus mengirimku ke luar negeri untuk belajar manajemen perusahaan di tempat yang menurutnya terbaik. Meski, aku berhasil kabur.” Gadis itu tersenyum bangga.
Allen tak mengerti jalan pikiran gadis ini. Sungguh menakjubkan.
“Lalu, kenapa nenekmu mengirimmu ke luar negeri? Tidakkah seharusnya dia mengurungmu di rumah dan memastikan keamananmu di atas segalanya?” sebut Allen.
“Itu yang terjadi padaku selama ini. Bahkan, ketika aku sekolah di luar negeri, selalu ada orang-orang yang mengawalku,” Freesia berkata. “Aku hanya bebas dari mereka ketika aku berada di lingkungan sekolah. Ck, they’re f***ing annoying.”
“Kurasa, nenekmu juga tidak tahu kebiasaan mengumpatmu itu,” singgung Allen.
“Jika nenekku tahu, aku pasti akan langsung dikurung dan harus belajar tata krama dan etika dari awal.” Freesia menghela napas dramatis.
Allen tersenyum geli. “Lalu, bagaimana akhirnya kau tertangkap dan berakhir dengan perjodohan di restoran hotel itu?”
“Ha ha!” Freesia tertawa kering. “Mereka sudah menungguku di bandara dan menyeretku ke hotel itu. Karena itu, aku tak punya persiapan apa pun. Tapi, untungnya aku bertemu denganmu.” Freesia melempar senyum pada Allen.
Ah, jadi karena gadis ini sudah menyerah untuk menjadi ahli waris di perusahaan, dia akan digunakan untuk tumbal dalam bentuk pernikahan, di mana calon suaminya yang akan mengurus perusahaan untuknya?
Satu-satunya keluarga yang dimiliki gadis ini … benar-benar menggelikan.
***
Freesia tersentak ketika menyadari dirinya tertidur. Ia menatap sekeliling. Gelap. Sekelilingnya gelap. Freesia menoleh ke samping, tapi tak ada orang di sana. Di mana Allen?Jangan bilang … dia meninggalkan Freesia di sini? Tidak. Jangan bilang, ini tempat pertemuan pria itu dengan orang yang akan membeli Freesia? Apa dia benar-benar akan menjual Freesia?Suara ketukan dari kaca jendela depan membuat Freesia menatap ke depan dan ia bisa melihat Allen yang melambaikan tangan sembari tersenyum padanya. Pria itu lantas menunjuk telepon yang menempel di telinganya.Freesia membuka pintu mobil dan turun. Didengarnya Allen berkata,“Ya. Karena ini situasi tak terduga, kalian lanjutkan untuk plan B-nya.”Lalu, Allen menutup telepon dan menghampiri Freesia.“Kenapa kau keluar? Di sini dingin dan kau hanya memakai kaus tipis,” ucap pria itu.“Aku yang seharusnya bertanya,” balas Freesia. “Kenapa kau keluar? Kau bahkan tidak membangunkanku ketika aku tertidur. Apa aku sudah lama tertidur?”“S
Setelah keributan di halaman depan ketika Freesia baru tiba di rumah Allen tadi, ia diantarkan ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Allen, sementara kamar Lily ada di sebelah kamar Allen yang lainnya. Freesia berusaha menenangkan diri dengan berendam air hangat. Ia berpikir panjang sembari berendam.Pertama, Allen mungkin tidak seperti yang ia pikir. Ia tidak sekadar dari keluarga kaya. Mengingat orang-orang yang ia sebut karyawannya tadi tidak tampak seperti bodyguard yang biasanya mengawal Freesia.Meski, pria itu tinggal di rumah yang besar dan mewah ini, dengan banyak pelayan, sama seperti di rumah nenek Freesia, tapi Freesia merasa … rumah ini berbeda. Ada aura yang berbeda di sini. Neneknya juga mengerikan dan selalu bersikap tegas pada semua pelayan. Namun, aura di tempat ini berbeda.Semua orang tampak takut pada Allen, tapi juga menghormatinya. Rasanya seolah semua orang di rumah ini siap untuk berlutut di depan Allen. Tak ada yang berani menatap mata Allen. Tempat ini
Freesia terbangun karena ciuman di pipinya. Freesia panik selama sesaat, tapi suasana hatinya langsung membaik ketika menyadari siapa yang barusan mencium pipinya. Lily dengan senyum cerianya menyambut pagi Freesia bagai sinar mentari yang begitu hangat.“It’s fleaking molning, Fleesia. Waktunya bangun dan belmain!” seru Lily riang.“Selamat pagi, Lily,” sapa Freesia. “Itu yang harus kau ucapkan ketika bangun di pagi hari.”“Kenapa?” tanya Lily.“Karena mendengar orang menyapamu setiap pagi tentu terasa menyenangkan,” jawab Freesia.“Begitukah?” Mata Lily berbinar. “Baiklah. Selamat pagi, Fleesia.” Lily tersenyum lebar.“Good girl,” puji Freesia sembari menepuk lembut kepala Lily.“Fleesia, ayo mandi belsama. Aku ingin belendam denganmu,” ucap Lily.Freesia mengangguk. “Baiklah. Aku akan menyiapkan air hangatnya.”Lily bersorak dan berusaha turun dari tempat tidur. Freesia membantunya.“Aku akan memanggil Allen untuk mandi belsama kita,” ucap Lily sembari berlari ke pintu.Fressia sek
Freesia tidak tahu bagaimana akhirnya dia bisa mandi sendiri di kamar mandi kamarnya, tanpa Lily maupun Allen, untungnya. Ia tidak tahu apa yang dikatakan Allen untuk membujuk putri kecilnya itu hingga dia tidak lagi memaksa mereka bertiga mandi bersama.Namun, ketika Freesia dipanggil dan disuruh turun untuk sarapan, dia melihat sebuntal … tidak, sesosok lebah, yang tampak begitu bulat, terutama bagian pantatnya. Freesia tak bisa menahan tawa ketika akhirnya melihat wajah Lily yang tampak begitu bulat karena rambutnya terbuntel kepala lebah.Meski begitu, Freesia segera menghentikan tawa karena setidaknya ada belasan pria berjas hitam bertubuh besar yang menatapnya tajam, sementara Lily tampak merengut. Allen yang sudah duduk di kursinya dan menikmati sarapannya tak sedikit pun tampak peduli.Freesia berdehem dan mendekati Lily. “Kenapa kau tiba-tiba menjadi lebah?” tanya Freesia penasaran.“Cause Allen so f***ing stupid idiot!” maki Lily kesal.Seperti tadi, Allen tak bereaksi dan d
Freesia tak tahu apa yang membuat Lily begitu takut berenang karena ketika dia masuk ke kolam renang bersama Freesia, dia tampak baik-baik saja, meski tangan kecilnya sejak tadi terus berpegangan di kaus Freesia. Allen memang menepati kata-katanya bahwa pagi ini dia sudah menyiapkan pakaian ganti untuk Freesia, tapi tidak ada baju renang di sana. Jadi, Freesia mengenakan kaus dan celana pendek untuk menemani Lily berenang. Yang membuat Freesia heran, tidak ada bagian kolam untuk tinggi anak kecil seperti Lily di kolam renang itu. Bagian kolam paling rendah adalah sepinggang Freesia. Tentu saja, itu masih lebih tinggi dari Lily. Karena itu juga, Freesia masih menggendong Lily sejak mereka turun ke kolam itu tadi. Freesia lalu memperhatikan jika tidak ada pelampung untuk Lily. Freesia menoleh pada Allen yang duduk dengan santainya di kursi santai di tepi kolam renang, di bawah naungan payung besar di samping kursi itu. “Apa kau tidak punya pelampung untuk Lily?” tanya Freesia. “Tid
Allen memperhatikan bagaimana Lily tertawa dan tampak bersenang-senang ketika belajar berenang dengan Freesia. Meski, Allen tidak tahu butuh waktu berapa lama dia bisa berenang nantinya. Masih banyak hal yang harus dia pelajari. Namun, setidaknya untuk saat ini, melihat Lily tampak bersenang-senang, itu sudah cukup. Namun, Allen lebih terkejut melihat bagaimana reaksi Freesia tadi. Bahkan di bawah belasan senjata api, dia masih bisa dengan berani melawan Allen. Apa yang gadis itu pikirkan? Tadinya, Allen tak berencana menunjukkan hal-hal berbahaya di depan gadis itu karena tak ingin membuatnya kabur ketakutan. Ia sudah menyelidiki latar belakang keluarga gadis itu dan menyadari jika dirinya menemukan harta karunnya. Tidak. Atau … bisakah ia menyebutnya kotak Pandora? Gadis itu mungkin tak tahu apa pun, tapi … itu tidaklah penting. Karena Allen tahu segalanya. Dan sekarang ia punya alasan untuk menahan gadis itu di sampingnya. Karena … bukankah itu sudah tradisi keluarga mereka ber
Freesia tersentak bangun dan langsung memanggil satu nama, “Lily …” “Fleesia!” Seruan itu datang dari samping Freesia. Freesia menoleh ke sana dan melihat Lily ada di sana. Tidak hanya Lily, tampak Allen yang sepertinya tadi tidur dalam posisi telungkup di tempat tidur di sebelahnya, kini membuka matanya. “Lily, jangan melompat ke arahnya, jangan menyentuhnya, dan jangan berteriak-teriak,” Allen memperingatkan Lily. “Turun dari tempat tidur tanpa melompat, lalu panggil Val.” Lily mengangguk patuh, lalu turun dari tempat tidur dengan cara memerosotkan tubuhnya yang menghadap tempat tidur. Lalu, gadis itu berlari ke pintu kamar dan berjinjit-jinjit, mencoba membuka pintu. Dia baru berhasil membuka pintu berkat seseorang yang membukakan pintu dari luar. Beberapa pengawal dan pelayan tampak sudah menunggu di luar pintu. “Aku akan pelgi memanggil Doktel Val,” Lily mengumumkan. “Fleesia sudah bangun. Aku tidak boleh menyentuhnya sampai dia diperiksa Doktel Val.” Pintu kamar itu kemba
“Kau benar-benar tidak akan ikut berlatih?” tanya Val setelah dia membangungkan paksa Allen yang melanjutkan tidur di kamar Freesia tadi. “Latihan apa?” tanya Allen. “Latihan menikah,” jawab Val. “Apa?” Allen tidak salah dengar, kan? “Putrimu berkeras untuk melakukan latihan upacara pernikahan atau semacamnya dengan calon ibu tirinya,” urai Val. “Dan kudengar, mereka sedang sibuk mencari pengganti untuk mempelai prianya.” Allen mendengus tak percaya. Lihat ke mana kekacauan gadis itu membawanya. “Apa kau benar-benar akan menikah dengannya?” tanya Val, dengan nada serius kali ini. “Seolah itu mungkin,” dengus Allen. “Kau tahu hubungan keluarga kami.” “Tapi, Lily …” “Gadis itu akan tinggal di sini hanya sampai Lily bosan,” tukas Allen. “Dia bisa sekalian mengajarkan beberapa hal berguna pada Lily.” “Jangan mengentengkan masalah ini,” sengit Val. “Kau lihat sendiri bagaimana reaksi Lily kemarin.” Allen mengernyit. “Itu hanya karena dia merasa dekat. Itu tidak akan bertahan lam
Beberapa minggu kemudian …“Mama!” Lily berlari masuk ke rumah dengan membawa selembar kertas di tangannya.Freesia yang menunggu di ruang tamu seperti biasanya, meski kali ini tanpa Leon yang masih tidur, tersenyum menyambut kepulangan putrinya itu.“Bagaimana sekolahmu tadi, Kakak Lily?” tanya Freesia ketika Lily mencium pipinya.“Mama, lihat ini!” Lily mengangkat selembar kertas yang dibawanya tadi dan Freesia bisa melihat gambar di sana.Freesia ternganga takjub melihat gambar dirinya di sana. Freesia yang duduk di kursi santai di tepi kolam renang rumah Allen. Dan itu adalah gambar Freesia yang sedang tertawa. Dari semua fiture Freesia di gambar itu, ekspresi Freesia tampak begitu jelas. Kebahagiaan yang dirasakan Freesia tergambar dengan baik di sana.“Aku dan Reyn menggambar ini bersama-sama,” Lily berkata.Ah … jadi ini ekspresi yang disukai anak-anak ini dari Freesia? Freesia memeluk Lily.“Terima kasih, Sayang,” ucap Freesia sungguh-sungguh.Lily terkekeh bangga. “Reyn bilan
“You’re impressive,” Brand berkomentar sembari mengawasi Lily dan anak-anak panti asuhan Alia bermain di kolam renang dari balkon lantai dua. Ah, ada satu lagi, anak yang menjadi sumber keresahan Allen saat ini. Anak seusia Lily yang bernama Reyn.“Yeah, indeed,” timpal Val. “Aku takjub Freesia masih menerimamu sebagai suaminya.”“Huh! Kalian belum merasakan saja jika kalian punya anak perempuan,” cibir Allen. “Anak itu bahkan sudah berani menggandeng tangan Lily …”“Kudengar, Lily yang menggandeng tangannya dulu. Jangan memutarbalikkan fakta dan membuat anak orang lain menjadi kriminal,” tegur Brand.“Jika Lily menggandeng tangannya lebih dulu, bukankah seharusnya dia melepaskan tangan Lily jika dia memang seorang gentleman?” balas Allen.“Freesia benar,” tukas Val. “Kau tak masuk akal. He’s a baby, Dude! A freaking baby!” Val terdengar frustasi.“Allen, jika kau terus bersikap seperti itu, kau akan merepotkan Freesia.”Brand, Allen, dan Val menoleh ke sumber suara yang berada di pin
Sejak dia bangun tadi, Lily tampak sangat bahagia. Tidak, lebih tepatnya, sejak Allen mengatakan jika dia akan mengajak Freesia dan Leon mengantarkan Lily ke sekolah. Allen sudah memberitahukan Freesia tentang situasi Reyn dan dia ingin Freesia menemui Reyn agar anak itu tidak terlalu waspada pada orang dewasa.Mungkin karena perlakuan orang-orang panti asuhan, anak itu terlalu waspada pada orang dewasa. Karena itu, dia selalu menolak bantuan guru-guru sekolahnya. Dia pertama kali membuka diri pada Lily yang berkeras menemaninya seharian kemarin.Ketika mereka tiba di sekolah Lily, Leon tertidur. Kepala sekolah Lily yang sudah dihubungi Allen dan menyambut mereka di gerbang, mengantarkan Freesia ke ruang kesehatan agar Leon bisa tidur dengan nyenyak di sana. Freesia memercayakan Leon pada dua pengasuh dan dua pengawal sebelum dia pergi ke tempat Lily dan Reyn berada. Sementara, Allen pergi ke ruang kepala sekolah untuk membicarakan masalah panti asuhan Reyn dengan pihak sekolah.Salah
Lily baru masuk ke ruang kelasnya ketika melihat salah satu teman sekelasnya didorong temannya yang lain hingga jatuh terjengkang ke belakang.“Jangan dekat-dekat! Bajumu jelek!” hardik Lucy yang mendorong teman sekelas Lily yang lainnya tadi.Lily bergegas menghampiri Reyn, anak laki-laki yang didorong Lucy hingga jatuh tadi. Reyn adalah anak yang baru masuk beberapa hari terakhir ini. Dia adalah anak dari panti asuhan. Dia masuk ke sekolah ini sebagai murid beasiswa. Lily dengar, salah satu guru kesenian di sekolahnya melihat kemampuan menggambar Reyn dan menawarkan beasiswa untuk Reyn.“Kenapa kalian jahat sekali pada Reyn?!” tegur Lily.“Lily, kau jangan dekat-dekat dengan dia! Kau tidak lihat bajunya? Jelek dan kotor. Bajumu bisa ikut kotor!” Lucy heboh.Memang yang dikatakan Lucy tidak salah tentang baju seragam Reyn yang jelek karena warnanya pudar dan kotor karena noda yang tidak hilang meski telah dicuci. Sepertinya itu seragam bekas. Namun, dia tidak harus mengatakannya deng
Beberapa bulan kemudian …Pintu kamar tidur Allen dan Freesia terbuka lebar dan Lily yang sudah memakai seragam sekolah, menghambur masuk sembari berseru,“Selamat pagi, Mama, Papa, Leon!”“Selamat pagi, Kakak Lily,” Freesia yang duduk bersandar di kepala tempat tidur sembari menyusui putranya, Leon, membalas sembari tersenyum.“Lily, jangan ganggu adikmu,” Allen mengingatkan Lily.“Papa, kapan aku mengganggu Leon?” protes Lily sembari melepas sepatu sekolahnya dan naik ke tempat tidur.Bahkan setelah dia memprotes peringatan Allen, dia langsung menciumi pipi Leon yang sedang menyusu. Akhirnya, seperti biasa, Leon mulai risih dan merengek.“Lihat itu, kau mengganggunya!” tuding Allen.“Aku hanya memberinya ciuman selamat pagi,” Lily beralasan sembari mundur.Freesia hanya tersenyum geli sembari menenangkan Leon. “Leon sepertinya masih mengantuk. Nanti setelah dia tidur, kita sarapan bersama, ya, Kakak Lily?”“Ya, Mama,” jawab Lily riang.Setelah Leon tertidur, Allen memindahkan Leon k
“Mama masih sedih?” tanya Lily dengan nada sedih.Freesia tersenyum dan menggeleng. “Maaf, Mama membuatmu khawatir,” sesalnya.Lily menggeleng. “Mama jangan sedih lagi. Kan, Mama sudah bilang sendili, aku bisa belmain ke lumah itu lagi kapan pun aku ingin. Itu belalti, Mama juga bisa pelgi ke sana kapan pun Mama ingin.”Freesia tersenyum sendu dan mengangguk. Padahal ia yang mengatakan itu pada Lily, tapi justru Freesia yang bereaksi seperti ini. Lily bahkan tak menangis ketika berpisah dengan orang-orang rumah Allen tadi. Namun, justru Freesia yang menangis. Val bahkan menertawakan Freesia hingga Lily mengomelinya dan mereka berdebat sampai detik terakhir perpisahan mereka tadi.“Lily benar, Freesia,” ucap Allen sembari merangkul Freesia. Pria itu duduk di sebelah kanan Freesia. “Aku tak tahu apa yang membuatmu sesedih itu ketika rumah itu penuh dengan aturan yang tak bisa memberi kau atau Lily kebebasan.”“Tapi, itu adalah rumahmu, Allen,” Freesia berkata. “Aku tahu, kau punya banya
“Aku akan mendukung rencana kalian mengambil alih perusahaan keluarga Martin,” Brand berkata. “Dan kurasa, Mary juga pasti tidak akan keberatan dengan itu. Well, jika itu untuk cucunya, dia akan memberikan apa pun.”“Kau … mengenal nenekku?” Freesia tampak terkejut.Brand tersenyum. “Aku banyak belajar dari Mary tentang bisnis.”“Oh …”“Dia juga pernah memintaku untuk membantu cucunya jika suatu saat dia tertarik dengan bisnis keluarganya,” lanjut Brand.Freesia tersenyum sendu. “Aku benar-benar … sudah tidak adil pada nenekku,” ucapnya. “Aku selama ini selalu berpikir jika dia hanya memaksaku melakukan hal yang tak kuinginkan. Tapi, aku sekarang sadar, dia melakukan semua itu benar-benar untukku. Karena seandainya orang tuaku masih ada … dia hanya ingin aku melakukan apa yang kuinginkan.”Brand mengangguk. “Nenekmu punya impian untuk menghabiskan waktu tuanya bermain denganmu,” Brand berkata.Freesia mengernyit dan tampak akan menangis.“Aku tahu kau sudah salah paham tentang nenekmu
Ketika Lily tidur setelah makan siang, Allen mengajak Freesia ke ruang kerjanya karena Brand ingin bicara dengan mereka. Freesia tidak tahu banyak tentang Brand selain jika dia adalah kakak sulung Allen dan dia adalah bos di rumah ini sebelum Allen.Tunggu. Bagaimana jika Brand tak menyetujui hubungan Freesia dengan Allen? Dia mungkin akan memberi Freesia uang untuk meninggalkan Allen. Tidak, tidak. Dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Freesia juga sedang hamil anak Allen.Jika bukan itu … apa dia akan memarahi Freesia? Itu masuk akal. Mengingat bagaimana tadi pagi mereka semua berjemur di tepi kolam renang sambil mendengarkan lagu anak-anak. Meski ayah Allen sepertinya tak keberatan dan menikmati waktu bersantai mereka tadi, tapi Freesia tak tahu bagaimana reaksi Brand. Pria itu juga tak banyak bicara sepanjang pagi tadi.“Um … Allen,” panggil Freesia dalam perjalanan ke ruang kerja pria itu.“Kenapa, Freesia?” tanya pria itu.“Kakakmu itu … dia orang yang bagaimana?” tanya F
Freesia terkejut ketika melihat seorang pria yang tak dikenalinya ada di ruang makan saat ia masuk ke sana bersama Allen dan Lily untuk sarapan. Pria itu memakai topeng setengah wajah yang menutupi bagian mata kanan hingga pipinya. Lily yang juga tampaknya terkejut, menarik-narik ujung baju Freesia.Freesia menoleh dan mendapat Lily sudah bersembunyi di belakangnya. Reaksinya nyaris sama dengan saat ia bertemu ayah Allen. Freesia sudah akan menggendong Lily, tapi lagi-lagi Allen bergerak cepat dan menggendong anak itu lebih dulu.“Itu Brand,” Allen menyebutkan.Brand? Brand, kakak Allen? Namun, bukankah dia sudah …?“Bland?” tanya Lily.“Ya,” jawab Allen. “Dia kakakku. Jadi, dia adalah ommu.”“Om?” Lily mengerutkan kening. “Apa dia … kelualgaku?”Allen tersenyum kecil. “Ya. Dia keluargamu.”“Whoaaa …” Lily ternganga takjub. “Kelualgaku beltambah lagi. Setelah nenek, kakek, sekalang aku punya om!” Lily terkekeh.Freesia memperhatikan ekspresi sendu Brand yang tertuju pada Lily. Jadi …