Setelah keributan di halaman depan ketika Freesia baru tiba di rumah Allen tadi, ia diantarkan ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Allen, sementara kamar Lily ada di sebelah kamar Allen yang lainnya. Freesia berusaha menenangkan diri dengan berendam air hangat. Ia berpikir panjang sembari berendam.
Pertama, Allen mungkin tidak seperti yang ia pikir. Ia tidak sekadar dari keluarga kaya. Mengingat orang-orang yang ia sebut karyawannya tadi tidak tampak seperti bodyguard yang biasanya mengawal Freesia.
Meski, pria itu tinggal di rumah yang besar dan mewah ini, dengan banyak pelayan, sama seperti di rumah nenek Freesia, tapi Freesia merasa … rumah ini berbeda. Ada aura yang berbeda di sini. Neneknya juga mengerikan dan selalu bersikap tegas pada semua pelayan. Namun, aura di tempat ini berbeda.
Semua orang tampak takut pada Allen, tapi juga menghormatinya. Rasanya seolah semua orang di rumah ini siap untuk berlutut di depan Allen. Tak ada yang berani menatap mata Allen. Tempat ini … terasa berbahaya.
Jika bukan karena keberadaan Lily, mungkin Freesia sudah berusaha melarikan diri. Namun, karena ia ada di sini untuk membalas bantuan Allen, dengan menjadi pengasuh Lily, dia akan bersikap profesional. Terlebih, Allen akan memberinya tempat tinggal sampai berapa lama pun, jadi Freesia bisa bersembunyi dari neneknya dan menghemat tabungannya. Pria itu bahkan sedang menyiapkan kontrak untuk Freesia tandatangani nanti.
Kedua, meski tempat ini terasa berbahaya dan mengerikan, tapi sosok Lily bagai lampu yang mengusir setiap bahaya itu. Ketika mereka masuk ke dalam rumah tadi, Lily menyapa semua orang yang dilewatinya dan membuat mereka tersenyum. Dan Freesia bisa merasakannya. Rasa sayang semua orang di rumah ini pada Lily.
Jadi, selama Freesia berada di samping Lily, dia tidak akan berada dalam bahaya. Gadis kecil itu mungkin begitu mahir mengumpat, tapi dia tetaplah anak berumur tiga tahun. Dan entah kenapa … Freesia seolah melihat dirinya di dalam diri Lily. Mengenai hal mengumpat, maksudnya.
Ketiga, Freesia sebaiknya tidak berusaha melarikan diri. Meski ia belum bisa tahu pasti apa yang dilakukan Allen, apa pekerjaannya, dan siapa orang-orang yang ia sebut karyawannya itu, tapi Freesia tidak bodoh dan setidaknya bisa menebak jika melarikan diri hanya akan membawanya dalam bahaya.
Bahkan meski Freesia memanggil polisi kemari, lalu apa? Terlebih, ini adalah satu-satunya tempat persembunyian Freesia. Dan Allen memberinya keamanan yang ia butuhkan di sini. Untuk apa Freesia kabur dari sini?
Maka, Freesia memutuskan, dia akan menjadi pengasuh Lily. Dia toh suka bermain dengan anak-anak. Dia akan bersahabat baik dengan Lily dan menikmati hidup di sini sembari bersembunyi dari neneknya. Lagipula, sejauh ini Allen memperlakukan Freesia dengan baik.
Ada banyak kesempatan di mana pria itu bisa mencelakai Freesia, tapi dia tak melakukan apa pun. Di mobil tadi, ketika Freesia tertidur, pria itu juga tak melakukan apa pun pada Freesia. Dia bahkan berbaik hati berhenti dan keluar dari mobil untuk bicara di telepon agar tak mengganggu tidur Freesia.
Ya. Tak ada yang perlu Freesia lakukan. Dia aman di sini. Dia pasti aman di sini. Dia yakin itu. Dia akan aman di si–
“Whoaaa!” Freesia berteriak kaget ketika pintu kamar mandi terbuka dan Allen muncul bersama Lily yang menarik tangannya.
“Fleesia! Kau baik-baik saja? Kau membuatku cemas! Kupikil sesuatu teljadi padamu!” seru Lily sembari berlari ke arah bath tub.
Sementara, Allen berhenti di pintu dan memalingkan wajah. “Maaf. Lily berkata jika dia sudah setengah jam mengetuk pintu kamarmu, tapi kau tidak keluar juga. Dia memintaku membuka pintunya dan menyeretku kemari.”
“Bi-bisakah kita bicara di luar? Aku setidaknya harus berpakaian …”
“Ya.” Allen lantas menutup pintu kamar mandi itu.
Freesia menghela napas lega dan menatap Lily yang sudah memainkan tangannya di air bath tub.
“Lily, kau tak bisa menyeret Allen kemari ketika aku sedang ada di sini,” tegur Freesia.
“Kenapa?” tanya Lily. “Allen juga seling mengecekku jika aku mandi sambil belmain tellalu lama di kamal mandi. Sekalang aku bisa mengelti kenapa Allen cemas.”
Freesia mendengus tak percaya. Jadi, karena itu anak berumur tiga tahun ini bisa mengucapkan kalimat seperti ‘kau membuatku cemas’? Karena dia sering mendengarnya dari Allen? Tak bisa Freesia bayangkan, berapa kali Allen harus mengucapkan kalimat seperti itu karena sepertinya Lily suka bermain-main seperti itu.
“Dan kenapa menurutmu Allen cemas?” tanya Freesia.
“Kalena dia pikil aku tidak mau beltemu dengannya,” jawab Lily. “Aku juga tadi belpikir sepelti itu ketika kau tak mau membuka pintunya untukku.”
Ah … anak ini. Dia tampak kuat, tapi juga tampak rapuh di sisi lain.
“Kalau begitu, sebaiknya kita segera keluar sebelum Allen cemas,” ajak Freesia.
Lily mengangguk, tapi tangannya masih bermain di air. Uh, menggemaskan sekali anak ini …
Tidak. Freesia harus fokus. Ia segera berdiri dan keluar dari bath tub, membilas tubuhnya sebentar di bawah shower, lalu memakai jubah mandinya dan keluar dengan menggandeng tangan Lily.
Freesia terkejut mendapati Allen menunggu di samping pintu, bersandar di tembok. Pria itu menunduk untuk mengecek Lily.
“Kau sudah memastikan keadaan Freesia, jadi ayo pergi tidur. Ini sudah sangat larut,” ajak Allen.
“No f***ing way!” tolak Lily. “Aku akan tidul dengan Fleesia malam ini.”
“Tidak, Lily. Freesia harus istirahat agar besok dia bisa menemanimu bermain,” ucap Allen.
“Tapi, aku ingin Fleesia membacakan dongeng sebelum tidulku.” Lily menunduk kecewa.
“Lily …”
“Aku akan membacakannya,” Freesia memutuskan. “Toh, aku memang di sini untuk itu. Aku pengasuh Lily, kan?”
Allen menghela napas. “Kau yakin tentang ini?” tanyanya.
Freesia mengangguk. “Tapi, apakah ada pakaian ganti yang bisa kupakai?” tanya Freesia.
Allen menatap jubah mandi Freesia. “Aku hanya punya kaus dan kemeja yang akan kebesaran untuk kau pakai. Oh, ada piyama tidur juga. Kau bisa memakai atasannya saja, kurasa itu akan cukup panjang,” ucap Allen.
Freesia mengerjap. “Lalu, pakaian dalamku …”
Allen berdehem. “Aku akan memastikan pakaian gantimu ada di sini besok pagi, jadi untuk malam ini … ehm, maaf …”
Freesia menghela napas. “Baiklah. Toh, aku hanya akan tidur.”
Allen mengangguk. “Aku akan mengambil piyamaku.”
Freesia mengangguk.
“Fleesia, aku akan mengambil buku dongengku,” ucap Lily riang.
Anak itu lantas berlari ke arah pintu dan Allen bergegas menyusulnya. Freesia menatap ayah dan anak itu dan mau tak mau berpikir. Di mana ibu Lily?
***
Setelah memberikan beberapa piyama agar Freesia bisa memilih sendiri tadi, Allen keluar. Ia sudah akan pergi tidur, tapi ingat jika Freesia tadi tidak makan apa pun ketika makan malam dengan pria yang dijodohkan dengannya. Namun, ini sudah larut. Mungkin, Allen akan mengambilkan buah dan kue kering saja.
Allen pergi ke dapur dan meminta dua makanan itu pada pelayannya. Ketika mereka akan mengantarkan ke kamar Freesia, Allen mengambil alih. Ia sekalian ingin mengecek apakah Lily sudah tidur.
Allen mengetuk pintu kamar Freesia, tapi tak ada jawaban. Allen memutar kenop pintunya. Tidak dikunci. Allen mendorong pintu itu dan ia masuk ke ruangan itu hanya untuk melihat Lily tertidur di lengan Freesia, sementara buku dongeng Lily jatuh tertelungkup di perut Freesia yang juga sudah tertidur. Selimut hanya menutupi tubuh Freesia hingga pinggang.
Allen meletakkan nampan makanan yang dibawanya ke meja samping tempat tidur. Ia mengulurkan tangan hendak menaikkan selimut ketika menyadari sesuatu. Freesia memakai kemejanya. Lengan kemeja itu tampak begitu panjang hingga menenggelamkan tangan gadis itu.
Allen tersenyum geli melihat itu. Namun, ketika ia menaikkan selimut untuk menutupi tubuh Freesia dan Lily hingga atas, Allen teringat bahwa Freesia tak memakai apa pun di tubuh bawahnya, di balik selimut itu.
Allen tak tahu kenapa mendadak tubuhnya terasa panas karena pikiran aneh itu. Allen segera menarik tangannya dan mundur. Allen menunduk menatap tubuh bawahnya dan menghela napas.
Allen benar-benar sudah gila.
***
Freesia terbangun karena ciuman di pipinya. Freesia panik selama sesaat, tapi suasana hatinya langsung membaik ketika menyadari siapa yang barusan mencium pipinya. Lily dengan senyum cerianya menyambut pagi Freesia bagai sinar mentari yang begitu hangat.“It’s fleaking molning, Fleesia. Waktunya bangun dan belmain!” seru Lily riang.“Selamat pagi, Lily,” sapa Freesia. “Itu yang harus kau ucapkan ketika bangun di pagi hari.”“Kenapa?” tanya Lily.“Karena mendengar orang menyapamu setiap pagi tentu terasa menyenangkan,” jawab Freesia.“Begitukah?” Mata Lily berbinar. “Baiklah. Selamat pagi, Fleesia.” Lily tersenyum lebar.“Good girl,” puji Freesia sembari menepuk lembut kepala Lily.“Fleesia, ayo mandi belsama. Aku ingin belendam denganmu,” ucap Lily.Freesia mengangguk. “Baiklah. Aku akan menyiapkan air hangatnya.”Lily bersorak dan berusaha turun dari tempat tidur. Freesia membantunya.“Aku akan memanggil Allen untuk mandi belsama kita,” ucap Lily sembari berlari ke pintu.Fressia sek
Freesia tidak tahu bagaimana akhirnya dia bisa mandi sendiri di kamar mandi kamarnya, tanpa Lily maupun Allen, untungnya. Ia tidak tahu apa yang dikatakan Allen untuk membujuk putri kecilnya itu hingga dia tidak lagi memaksa mereka bertiga mandi bersama.Namun, ketika Freesia dipanggil dan disuruh turun untuk sarapan, dia melihat sebuntal … tidak, sesosok lebah, yang tampak begitu bulat, terutama bagian pantatnya. Freesia tak bisa menahan tawa ketika akhirnya melihat wajah Lily yang tampak begitu bulat karena rambutnya terbuntel kepala lebah.Meski begitu, Freesia segera menghentikan tawa karena setidaknya ada belasan pria berjas hitam bertubuh besar yang menatapnya tajam, sementara Lily tampak merengut. Allen yang sudah duduk di kursinya dan menikmati sarapannya tak sedikit pun tampak peduli.Freesia berdehem dan mendekati Lily. “Kenapa kau tiba-tiba menjadi lebah?” tanya Freesia penasaran.“Cause Allen so f***ing stupid idiot!” maki Lily kesal.Seperti tadi, Allen tak bereaksi dan d
Freesia tak tahu apa yang membuat Lily begitu takut berenang karena ketika dia masuk ke kolam renang bersama Freesia, dia tampak baik-baik saja, meski tangan kecilnya sejak tadi terus berpegangan di kaus Freesia. Allen memang menepati kata-katanya bahwa pagi ini dia sudah menyiapkan pakaian ganti untuk Freesia, tapi tidak ada baju renang di sana. Jadi, Freesia mengenakan kaus dan celana pendek untuk menemani Lily berenang. Yang membuat Freesia heran, tidak ada bagian kolam untuk tinggi anak kecil seperti Lily di kolam renang itu. Bagian kolam paling rendah adalah sepinggang Freesia. Tentu saja, itu masih lebih tinggi dari Lily. Karena itu juga, Freesia masih menggendong Lily sejak mereka turun ke kolam itu tadi. Freesia lalu memperhatikan jika tidak ada pelampung untuk Lily. Freesia menoleh pada Allen yang duduk dengan santainya di kursi santai di tepi kolam renang, di bawah naungan payung besar di samping kursi itu. “Apa kau tidak punya pelampung untuk Lily?” tanya Freesia. “Tid
Allen memperhatikan bagaimana Lily tertawa dan tampak bersenang-senang ketika belajar berenang dengan Freesia. Meski, Allen tidak tahu butuh waktu berapa lama dia bisa berenang nantinya. Masih banyak hal yang harus dia pelajari. Namun, setidaknya untuk saat ini, melihat Lily tampak bersenang-senang, itu sudah cukup. Namun, Allen lebih terkejut melihat bagaimana reaksi Freesia tadi. Bahkan di bawah belasan senjata api, dia masih bisa dengan berani melawan Allen. Apa yang gadis itu pikirkan? Tadinya, Allen tak berencana menunjukkan hal-hal berbahaya di depan gadis itu karena tak ingin membuatnya kabur ketakutan. Ia sudah menyelidiki latar belakang keluarga gadis itu dan menyadari jika dirinya menemukan harta karunnya. Tidak. Atau … bisakah ia menyebutnya kotak Pandora? Gadis itu mungkin tak tahu apa pun, tapi … itu tidaklah penting. Karena Allen tahu segalanya. Dan sekarang ia punya alasan untuk menahan gadis itu di sampingnya. Karena … bukankah itu sudah tradisi keluarga mereka ber
Freesia tersentak bangun dan langsung memanggil satu nama, “Lily …” “Fleesia!” Seruan itu datang dari samping Freesia. Freesia menoleh ke sana dan melihat Lily ada di sana. Tidak hanya Lily, tampak Allen yang sepertinya tadi tidur dalam posisi telungkup di tempat tidur di sebelahnya, kini membuka matanya. “Lily, jangan melompat ke arahnya, jangan menyentuhnya, dan jangan berteriak-teriak,” Allen memperingatkan Lily. “Turun dari tempat tidur tanpa melompat, lalu panggil Val.” Lily mengangguk patuh, lalu turun dari tempat tidur dengan cara memerosotkan tubuhnya yang menghadap tempat tidur. Lalu, gadis itu berlari ke pintu kamar dan berjinjit-jinjit, mencoba membuka pintu. Dia baru berhasil membuka pintu berkat seseorang yang membukakan pintu dari luar. Beberapa pengawal dan pelayan tampak sudah menunggu di luar pintu. “Aku akan pelgi memanggil Doktel Val,” Lily mengumumkan. “Fleesia sudah bangun. Aku tidak boleh menyentuhnya sampai dia diperiksa Doktel Val.” Pintu kamar itu kemba
“Kau benar-benar tidak akan ikut berlatih?” tanya Val setelah dia membangungkan paksa Allen yang melanjutkan tidur di kamar Freesia tadi. “Latihan apa?” tanya Allen. “Latihan menikah,” jawab Val. “Apa?” Allen tidak salah dengar, kan? “Putrimu berkeras untuk melakukan latihan upacara pernikahan atau semacamnya dengan calon ibu tirinya,” urai Val. “Dan kudengar, mereka sedang sibuk mencari pengganti untuk mempelai prianya.” Allen mendengus tak percaya. Lihat ke mana kekacauan gadis itu membawanya. “Apa kau benar-benar akan menikah dengannya?” tanya Val, dengan nada serius kali ini. “Seolah itu mungkin,” dengus Allen. “Kau tahu hubungan keluarga kami.” “Tapi, Lily …” “Gadis itu akan tinggal di sini hanya sampai Lily bosan,” tukas Allen. “Dia bisa sekalian mengajarkan beberapa hal berguna pada Lily.” “Jangan mengentengkan masalah ini,” sengit Val. “Kau lihat sendiri bagaimana reaksi Lily kemarin.” Allen mengernyit. “Itu hanya karena dia merasa dekat. Itu tidak akan bertahan lam
Allen tak tahu bagaimana Freesia bisa mengikuti jadwal bersenang-senang Lily yang seolah tak ada habisnya itu. Setelah mereka masuk tadi, Allen memerintahkan ada pesta dadakan dan berbagai makanan disiapkan. Ada kue, es krim, dan camilan kesukaan Lily. Dan dua orang yang paling menikmati pesta itu adalah Lily dan Freesia. Lily, bisa dimaklumi, tapi Freesia? Apa yang gadis itu pikirkan? Namun, mengingat alasan gadis itu kabur dari neneknya demi mengejar kebebasan, seharusnya Allen tak bertanya. Bukankah sudah jelas kenapa dia berekasi sama persis seperti Lily? Itu adalah kehidupan yang dia inginkan. Sejak dia berada di bawah pengasuhan neneknya, dia hanya boleh berteman dengan orang-orang yang dipilih neneknya. Mulai dari A hingga Z, hidupnya diatur oleh neneknya. Meski, Allen tak bisa menyalahkan wanita tua itu. Tentu saja dia ketakutan setelah kehilangan orang tua Freesia. Itu adalah kecelakaan yang mengerikan dan Freesia bahkan menjadi korban juga dalam kecelakaan itu. Meski kab
Sore itu, Allen mendapat laporan jika orang yang harus dihukumnya berulah di penjara basemen. Sepertinya, Allen terlalu lama menunda hukumannya hingga dia tak sabar untuk dihukum. Apa boleh buat? Allen mendadak mendapat kejutan kecil di pelukannya. Dan kejutan kecil itu … di mana dia sekarang? Sore Allen yang begitu tenang itu pasti karena Lily sedang bersama gadis itu. Ketika Allen keluar dari kamarnya, pengawal kepercayaannya, Sean, sudah ada di sana. Setelah dia menangkap target yang seharusnya dibunuh Allen di malam dia bertemu dengan Freesia itu, Allen menugaskannya untuk mengawasi gerak-gerik nenek Freesia. “Ada pergerakan?” tanya Allen. “Mereka masih belum bisa melacak kita,” jawab Sean. “Dan saya sudah mengirim orang untuk mengurus teman gadis itu yang tahu posisi gadis itu.” Allen mendengus pelan. Karena malam itu Allen keluar untuk membunuh, tentu dia membawa kendaraan yang tidak akan bisa dilacak dengan mudah. Dia juga melewati banyak jalur tanpa kamera CCTV. Menemuka
Beberapa minggu kemudian …“Mama!” Lily berlari masuk ke rumah dengan membawa selembar kertas di tangannya.Freesia yang menunggu di ruang tamu seperti biasanya, meski kali ini tanpa Leon yang masih tidur, tersenyum menyambut kepulangan putrinya itu.“Bagaimana sekolahmu tadi, Kakak Lily?” tanya Freesia ketika Lily mencium pipinya.“Mama, lihat ini!” Lily mengangkat selembar kertas yang dibawanya tadi dan Freesia bisa melihat gambar di sana.Freesia ternganga takjub melihat gambar dirinya di sana. Freesia yang duduk di kursi santai di tepi kolam renang rumah Allen. Dan itu adalah gambar Freesia yang sedang tertawa. Dari semua fiture Freesia di gambar itu, ekspresi Freesia tampak begitu jelas. Kebahagiaan yang dirasakan Freesia tergambar dengan baik di sana.“Aku dan Reyn menggambar ini bersama-sama,” Lily berkata.Ah … jadi ini ekspresi yang disukai anak-anak ini dari Freesia? Freesia memeluk Lily.“Terima kasih, Sayang,” ucap Freesia sungguh-sungguh.Lily terkekeh bangga. “Reyn bilan
“You’re impressive,” Brand berkomentar sembari mengawasi Lily dan anak-anak panti asuhan Alia bermain di kolam renang dari balkon lantai dua. Ah, ada satu lagi, anak yang menjadi sumber keresahan Allen saat ini. Anak seusia Lily yang bernama Reyn.“Yeah, indeed,” timpal Val. “Aku takjub Freesia masih menerimamu sebagai suaminya.”“Huh! Kalian belum merasakan saja jika kalian punya anak perempuan,” cibir Allen. “Anak itu bahkan sudah berani menggandeng tangan Lily …”“Kudengar, Lily yang menggandeng tangannya dulu. Jangan memutarbalikkan fakta dan membuat anak orang lain menjadi kriminal,” tegur Brand.“Jika Lily menggandeng tangannya lebih dulu, bukankah seharusnya dia melepaskan tangan Lily jika dia memang seorang gentleman?” balas Allen.“Freesia benar,” tukas Val. “Kau tak masuk akal. He’s a baby, Dude! A freaking baby!” Val terdengar frustasi.“Allen, jika kau terus bersikap seperti itu, kau akan merepotkan Freesia.”Brand, Allen, dan Val menoleh ke sumber suara yang berada di pin
Sejak dia bangun tadi, Lily tampak sangat bahagia. Tidak, lebih tepatnya, sejak Allen mengatakan jika dia akan mengajak Freesia dan Leon mengantarkan Lily ke sekolah. Allen sudah memberitahukan Freesia tentang situasi Reyn dan dia ingin Freesia menemui Reyn agar anak itu tidak terlalu waspada pada orang dewasa.Mungkin karena perlakuan orang-orang panti asuhan, anak itu terlalu waspada pada orang dewasa. Karena itu, dia selalu menolak bantuan guru-guru sekolahnya. Dia pertama kali membuka diri pada Lily yang berkeras menemaninya seharian kemarin.Ketika mereka tiba di sekolah Lily, Leon tertidur. Kepala sekolah Lily yang sudah dihubungi Allen dan menyambut mereka di gerbang, mengantarkan Freesia ke ruang kesehatan agar Leon bisa tidur dengan nyenyak di sana. Freesia memercayakan Leon pada dua pengasuh dan dua pengawal sebelum dia pergi ke tempat Lily dan Reyn berada. Sementara, Allen pergi ke ruang kepala sekolah untuk membicarakan masalah panti asuhan Reyn dengan pihak sekolah.Salah
Lily baru masuk ke ruang kelasnya ketika melihat salah satu teman sekelasnya didorong temannya yang lain hingga jatuh terjengkang ke belakang.“Jangan dekat-dekat! Bajumu jelek!” hardik Lucy yang mendorong teman sekelas Lily yang lainnya tadi.Lily bergegas menghampiri Reyn, anak laki-laki yang didorong Lucy hingga jatuh tadi. Reyn adalah anak yang baru masuk beberapa hari terakhir ini. Dia adalah anak dari panti asuhan. Dia masuk ke sekolah ini sebagai murid beasiswa. Lily dengar, salah satu guru kesenian di sekolahnya melihat kemampuan menggambar Reyn dan menawarkan beasiswa untuk Reyn.“Kenapa kalian jahat sekali pada Reyn?!” tegur Lily.“Lily, kau jangan dekat-dekat dengan dia! Kau tidak lihat bajunya? Jelek dan kotor. Bajumu bisa ikut kotor!” Lucy heboh.Memang yang dikatakan Lucy tidak salah tentang baju seragam Reyn yang jelek karena warnanya pudar dan kotor karena noda yang tidak hilang meski telah dicuci. Sepertinya itu seragam bekas. Namun, dia tidak harus mengatakannya deng
Beberapa bulan kemudian …Pintu kamar tidur Allen dan Freesia terbuka lebar dan Lily yang sudah memakai seragam sekolah, menghambur masuk sembari berseru,“Selamat pagi, Mama, Papa, Leon!”“Selamat pagi, Kakak Lily,” Freesia yang duduk bersandar di kepala tempat tidur sembari menyusui putranya, Leon, membalas sembari tersenyum.“Lily, jangan ganggu adikmu,” Allen mengingatkan Lily.“Papa, kapan aku mengganggu Leon?” protes Lily sembari melepas sepatu sekolahnya dan naik ke tempat tidur.Bahkan setelah dia memprotes peringatan Allen, dia langsung menciumi pipi Leon yang sedang menyusu. Akhirnya, seperti biasa, Leon mulai risih dan merengek.“Lihat itu, kau mengganggunya!” tuding Allen.“Aku hanya memberinya ciuman selamat pagi,” Lily beralasan sembari mundur.Freesia hanya tersenyum geli sembari menenangkan Leon. “Leon sepertinya masih mengantuk. Nanti setelah dia tidur, kita sarapan bersama, ya, Kakak Lily?”“Ya, Mama,” jawab Lily riang.Setelah Leon tertidur, Allen memindahkan Leon k
“Mama masih sedih?” tanya Lily dengan nada sedih.Freesia tersenyum dan menggeleng. “Maaf, Mama membuatmu khawatir,” sesalnya.Lily menggeleng. “Mama jangan sedih lagi. Kan, Mama sudah bilang sendili, aku bisa belmain ke lumah itu lagi kapan pun aku ingin. Itu belalti, Mama juga bisa pelgi ke sana kapan pun Mama ingin.”Freesia tersenyum sendu dan mengangguk. Padahal ia yang mengatakan itu pada Lily, tapi justru Freesia yang bereaksi seperti ini. Lily bahkan tak menangis ketika berpisah dengan orang-orang rumah Allen tadi. Namun, justru Freesia yang menangis. Val bahkan menertawakan Freesia hingga Lily mengomelinya dan mereka berdebat sampai detik terakhir perpisahan mereka tadi.“Lily benar, Freesia,” ucap Allen sembari merangkul Freesia. Pria itu duduk di sebelah kanan Freesia. “Aku tak tahu apa yang membuatmu sesedih itu ketika rumah itu penuh dengan aturan yang tak bisa memberi kau atau Lily kebebasan.”“Tapi, itu adalah rumahmu, Allen,” Freesia berkata. “Aku tahu, kau punya banya
“Aku akan mendukung rencana kalian mengambil alih perusahaan keluarga Martin,” Brand berkata. “Dan kurasa, Mary juga pasti tidak akan keberatan dengan itu. Well, jika itu untuk cucunya, dia akan memberikan apa pun.”“Kau … mengenal nenekku?” Freesia tampak terkejut.Brand tersenyum. “Aku banyak belajar dari Mary tentang bisnis.”“Oh …”“Dia juga pernah memintaku untuk membantu cucunya jika suatu saat dia tertarik dengan bisnis keluarganya,” lanjut Brand.Freesia tersenyum sendu. “Aku benar-benar … sudah tidak adil pada nenekku,” ucapnya. “Aku selama ini selalu berpikir jika dia hanya memaksaku melakukan hal yang tak kuinginkan. Tapi, aku sekarang sadar, dia melakukan semua itu benar-benar untukku. Karena seandainya orang tuaku masih ada … dia hanya ingin aku melakukan apa yang kuinginkan.”Brand mengangguk. “Nenekmu punya impian untuk menghabiskan waktu tuanya bermain denganmu,” Brand berkata.Freesia mengernyit dan tampak akan menangis.“Aku tahu kau sudah salah paham tentang nenekmu
Ketika Lily tidur setelah makan siang, Allen mengajak Freesia ke ruang kerjanya karena Brand ingin bicara dengan mereka. Freesia tidak tahu banyak tentang Brand selain jika dia adalah kakak sulung Allen dan dia adalah bos di rumah ini sebelum Allen.Tunggu. Bagaimana jika Brand tak menyetujui hubungan Freesia dengan Allen? Dia mungkin akan memberi Freesia uang untuk meninggalkan Allen. Tidak, tidak. Dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Freesia juga sedang hamil anak Allen.Jika bukan itu … apa dia akan memarahi Freesia? Itu masuk akal. Mengingat bagaimana tadi pagi mereka semua berjemur di tepi kolam renang sambil mendengarkan lagu anak-anak. Meski ayah Allen sepertinya tak keberatan dan menikmati waktu bersantai mereka tadi, tapi Freesia tak tahu bagaimana reaksi Brand. Pria itu juga tak banyak bicara sepanjang pagi tadi.“Um … Allen,” panggil Freesia dalam perjalanan ke ruang kerja pria itu.“Kenapa, Freesia?” tanya pria itu.“Kakakmu itu … dia orang yang bagaimana?” tanya F
Freesia terkejut ketika melihat seorang pria yang tak dikenalinya ada di ruang makan saat ia masuk ke sana bersama Allen dan Lily untuk sarapan. Pria itu memakai topeng setengah wajah yang menutupi bagian mata kanan hingga pipinya. Lily yang juga tampaknya terkejut, menarik-narik ujung baju Freesia.Freesia menoleh dan mendapat Lily sudah bersembunyi di belakangnya. Reaksinya nyaris sama dengan saat ia bertemu ayah Allen. Freesia sudah akan menggendong Lily, tapi lagi-lagi Allen bergerak cepat dan menggendong anak itu lebih dulu.“Itu Brand,” Allen menyebutkan.Brand? Brand, kakak Allen? Namun, bukankah dia sudah …?“Bland?” tanya Lily.“Ya,” jawab Allen. “Dia kakakku. Jadi, dia adalah ommu.”“Om?” Lily mengerutkan kening. “Apa dia … kelualgaku?”Allen tersenyum kecil. “Ya. Dia keluargamu.”“Whoaaa …” Lily ternganga takjub. “Kelualgaku beltambah lagi. Setelah nenek, kakek, sekalang aku punya om!” Lily terkekeh.Freesia memperhatikan ekspresi sendu Brand yang tertuju pada Lily. Jadi …