Pagi ini Rheyner sedang memanaskan motornya ketika ia melihat Nadira keluar dari rumah untuk membuang sampah lengkap dengan seragamnya, meski masih mengenakan sandal rumahan sebagai alas. Namun, tetap saja hal itu membuat Rheyner mengernyit heran.
Melihat Nadira ia jadi teringat kejadian kemarin dan sepertinya sikapnya sedikit keterlaluan. Jadi ia memutuskan untuk meminta maaf. Belum sempat Rheyner menghampiri dan menyapa, tetapi Nadira sudah berbalik. Rheyner segera mengejar Nadira dan membiarkan mesin motornya tetap menyala.
Begitu memasuki gerbang rumah Nadira, Rheyner bertemu dengan Rendra yang juga baru saja memanaskan mesin mobil.
“Pagi, Yah. Wah, tumben nih jam segini udah siap ngantor,” sapa Rheyner.
“Iya, Ayah ada pertemuan di luar kantor. Tempatnya agak jauh jadi harus berangkat pagi-pagi gini.”
Rheyner mengangguk-anggukkan kepala. “Ayah di kantor pusatnya lama ya?”
“Iya lumayan, tapi setelah itu harus langsung kembali ke Sulawesi.”
“Seenggaknya merasakan berkumpul sama keluarganya lebih lama, Yah, terutama sama Ibu.” Rheyner dan Rendra tertawa bersamaan.
“Kamu sama Dira bertengkar lagi?” tanya Rendra setelah tawanya reda.
Rheyner nyengir. “Iya dikit, Yah. Maaf, Rhey yang salah. Ini mau minta maaf sekalian minta sarapan, hehe...”
“Haha...ya sudah sana, keburu tambah ngambek adikmu dan keburu nasi goreng seafoodnya habis.”
“Wah, Ibu bikin nasi goreng special. Rheyner masuk duluan ya, Yah.” Rheyner antusias dan langsung berlari setelah mendapat anggukan dari Rendra.
Nadira duduk membelakangi arah Rheyner masuk membuat akal iseng Rheyner turn on. Rheyner yang awalnya berjalan cepat kontan memelankan langkahnya. Ia meletakan telunjuk di depan mulut saat Dewi melihat kedatangannya, ibu Nadira itu hanya tersenyum maklum dengan kelakuan ‘anak pertamanya’ ini. Ia kemudian kembali ke dapur untuk mengambil piring tambahan.
Diiringi senyum lebar Rheyner menarik ikat rambut Nadira. Ikatan rambut Nadira terlepas dan otomatis rambut sepunggungnya terurai. Tanpa rasa bersalah sedikit pun Rheyner duduk di depan Nadira. Nadira yang menyadari kehadiran Rheyner memperlihatkan muka paling sebal yang bisa ia tunjukkan. Namun, Rheyner bersikap seolah tidak melakukan kesalahan apa pun. Ia lupa tujuannya adalah untuk meminta maaf atas sikapnya kemarin bukan malah untuk menambah kesalahan baru. Begitulah Rheyner Aditya Effendi, jiwa kekanakannya selalu muncul setiap berada di dekat Nadira.
“Apa?” sentak Nadira pada Rheyner yang menatapnya dengan wajah jenaka.
“Enggak,” Rheyner menggeleng polos, “kamu semakin keliatan cewek banget. Udah pintar mainan make up gitu.”
“Kamu-kamu biasanya juga elo-eloan,” cibir Nadira.
“Ya ‘kan kalo ada orang tua kita aturannya aku-kamuan, Nad.” Rheyner masih bertahan dengan wajah polosnya. “Benaran deh, Nad, kamu dandan ya pagi ini?”
Pipi Nadira sedikit bersemu.
“Enggak! Sini balikin ikat rambut aku. Kamu tuh usil banget, nyebelin!” Nadira masih bertahan dengan sikap galaknya.
“Enggak mau, lebih cantik kalo digerai.”
“Nanti gerah.”
“Nggak papa gerah tahan dikit daripada ntar mata cowok sesekolahan jelalatan ngelihat leher l–kamu. Duh, lidah keseleo mulu kalo aku-kamuan.”
“Salah sendiri ganti-ganti kebiasaan.”
“Ya daripada uang jajan dipotong.”
“Ih, bukan gitu...maksud aku dulu ‘kan kebiasaan kamu juga ngomong pakai aku-kamu siapa suruh sekarang gue-eloan.”
“Lho, belum pada mulai sarapan?” Rendra datang bersamaan dengan Dewi yang keluar dari dapur membawa piring baru dan seduhan teh.
“Belum dong, Yah, kan nungguin Ayah,” jawab Rheyner.
“Lagian Ibu juga baru nyiapin piring buat Rheyner,” sahut Dewi.
“Apaan sih tiap hari sarapan di sini kayak nggak punya rumah aja,” Nadira mencemooh.
“Lha, ini kan rumah aku juga.” Rheyner menjulurkan lidah ke arah Nadira.
“Mbok sudah ta, dari tadi Ibu dengarkan kok debat terus kalian ini. Ayo, mulai sarapan,” lerai Dewi.
Nadira pun mengakhiri tatapan sinisnya pada Rheyner dan mulai menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. Begitu pula dengan Rheyner.
“Eh, Nad, berangkat sama gu–aku aja ya, kasian Ayah kalo ngedrop kamu ke sekolah dulu,” kata Rheyner di sela kunyahannya.
Nadira menatap Rheyner sebentar. “Iya,” jawabnya kalem tanpa nada ketus sedikitpun.
Rheyner kembali tersenyum lebar. Ia tahu sebenarnya Nadira tidak marah padanya perihal kemarin. Sikap Nadira tadi lebih ke sebal karena Rheyner mengusili. Ya, begitulah mereka. Berantem-baikan-berantem lagi-baikan lagi. Akur-musuhan-akur lagi-musuhan lagi. Selalu seperti itu siklus hubungan mereka.
Sebentar, kok seperti hubungan pacaran?
***
“Rhey, serius, sebenarnya itu cewek lo ‘kan?” todong Ina, teman sekelas Rheyner, begitu Rheyner masuk kelas.
“Apaan sih lo, udah ngegosip aja pagi-pagi,” jawab Rheyner seraya meletakkan ransel di kursi tempatnya biasa duduk.
“Heh, ini penting banget! Masa udah seminggu lo nggak konfirmasi juga sih,” gerutu Ina.
“Berita basi gitu apa pentingnya?” Rheyner menaikkan sebelah alisnya.
“Jadi benaran?” mata Ina berbinar seolah dirinya baru saja menemukan tiket liburan ke Paris bareng Lee Min Ho, idolanya.
“Apanya sih, Na, yang benaran?” Ina mencibir, tetapi kembali berbinar. “Emang gue mengiyakan?” tanya Rheyner lagi, kesel juga lama-lama.
“Udah jelas kok dari ucapan lo tadi,” ucap Ina berlalu.
“Heh, pacar gue itu Sherin bukan Nadira!” kata Rheyner setengah berteriak. Namun, Ina tidak menggubrisnya sama sekali. Sedangkan Sherin yang baru masuk kelas sontak jadi sorotan anak sekelas yang pagi ini sudah berangkat pagi demi tugas Biologi.
“Halah, settingan!” celetuk entah siapa.
“Iye, pasti akal-akalan si Rheyner doang biar kagak digosipin lagi. Iye pan, ngaku lu?” Asep si Betawi tulen menimpali.
“Elaah, tadi nanya siapa cewek gue, tapi setelah gue jawab benaran malah pada nggak percaya. Maunya gimana sih?” Rheyner gemas sendiri.
“Udah-udah, gue percaya kok yang lain pada nggak percaya nggak papa. Sekarang sini tugas Biologi lo, gue yakin lo udah ngerjain,” kata Panji.
Akhirnya meski dengan raut wajah dongkol Rheyner memberikan buku tugas biologinya. Buku itu sontak menjadi primadona murid laki-laki. Well, begitulah Rheyner pintar, tetapi tidak pelit kecuali waktu ujian. Sama aja ya?
“Rhey, lo udah ngerjain tugas biologi belum?” tanya Ina.
“Udah. Tapi kalo lo mau pinjam musti antre dulu,” jawab Rheyner songong.
“Najis. Gue mau pinjam buku paketnya doang kok,” kata Ina.
“Oh, kirain.” Rheyner terkekeh. “Nih.” Rheyner menyerahkan buku paket biologinya pada Ina.
“Rin, dapet nih bukunya.” Ina mengangkat buku paket pinjaman dari Rheyner, menunjukkan pada Sherin. Sherin menatap Ina sekaligus Rheyner yang ada di belakang Ina. Rheyner yang melihat hal itupun mengedipkan sebelah matanya.
“Eh, iya Rhey,” panggilan Asep mengalihkan pandangan Rheyner, “tadi gue lihat lo pakai motor matic deh. Motor sangar lo kemane, lo gadaiin?” Asep bertanya di sela kesibukannya nyalin tugas.
“Ya Allah, emang gue segitu ngenesnya sampe gadaiin motor kesayangan gue?” Rheyner memasang wajah terluka.
“Ye sapa tahu aje cewek lo itu matre terus lo gadaiin motor sangar lo buat nyenengin ntu cewek, lo pan paling anti minta duit ame ortu lo.”
“Sialan lo, Sep, jangan ngatain dia macam-macam depan gue lo! Itu gue pakai motor adik gue.” Mendengar jawaban Rheyner yang sedikit kesal membuat Asep tidak lagi bertanya-tanya. Rheyner serta murid laki-laki kelas itu pun mulai mengobrolkan hal-hal berbau otomotif dan melupakan tugas rumahan mereka.
“Halaman seratus berapa, Rin?” tanya Ina sembari membuka lembar demi lembar buku paket biologi milik Rheyner.
“Coba sini gue aja yang nyari, Na.” Sherin mengambil alih buku yang dibuka Ina.
“Apaan tuh yang jatuh, Rin?” tanya Ina saat melihat ada sesuatu yang jatuh dari dalam lembaran buku paket. Ina langsung mengambilnya. “Foto, Rin.”
Sherin mendekatkan badannya pada Ina yang tengah mengamati tiga lembar foto di tangannya. Mata Sherin terbelalak begitu melihat foto pertama yang menampilkan Rheyner memeluk Nadira dari belakang dengan selang air di tangan keduanya dan pakaian mereka pun terlihat basah. Foto kedua memperlihatkan Nadira yang meyuapi Rheyner. Foto terakhir menampilkan Rheyner dan Nadira yang tertawa lepas dengan pakaian yang sama seperti foto kedua. Semua foto ini terlihat diambil secara diam-diam. Sherin menggigit bibir bawahnya. Dada kirinya sedikit terasa nyeri.
“Tuh, kaaaan...si kampret bohong. Lo juga, Rin, mau-maunya bantuin dia bohong. Segala bilang Rheyner nggak pacaran sama ini adik kelas,” gerutu Ina menyadarkan Sherin.
“E..enggak gitu, Na—”
“Kita lihat si kampret Rheyner bakal jawab apa kalo gue liatin foto ini.” Ina memotong ucapan Sherin dan siap beranjak dari tempat duduknya.
“Eh, Na, jangan!” Sherin menahan lengan Ina
“Kenapa, Rin? lumayan lho kita bisa dapet PJ.” Ina mengernyit.
Sherin berpikir sejenak. “Na, kita ‘kan mau nyocokin tugas. Daripada ngurusin Rheyner mending ngurusin tugas.”
“Ah, ya, gue lupa.” Ina duduk kembali. “Ini fotonya gimana?”
“Ya udah taruh di dalem buku lagi aja. Kita pura-pura nggak tahu aja, Na.”
“Ya udahlah.” Ina mengangkat bahu tak acuh. Tak lama ia sudah tenggelam pada tugasnya. Sementara Sherin malah melamun dan melupakan tugasnya.
***
Rheyner mengemudikan motor matic-nya dengan kecepatan penuh. Pasalnya ia sudah terlambat mengajar hampir satu jam. Iya, mengajar. Rheyner yang menyandang gelar karateka terbaik tingkat provinsi itu memiliki pekerjaan sambilan sebagai pelatih karate di dojo tempatnya dulu berlatih. Tidak setiap hari Rheyner mengajar, seminggu dua kali. Tadi setelah mengantar Sherin pulang Rheyner langsung melesat ke tempatnya mengajar. Jangan tanya mengapa Rheyner tidak mengantar Nadira pulang, karena; 1) Nadira dijemput oleh Josaphat 2) Pacar Rheyner itu Sherin bukan Nadira. Eh, apa urutan alasannya terbalik ya?Memarkirkan motornya secara asal, berganti pakaian pun grusa-grusu. Akhirnya kini Rheyner berd
Nadira membalurkan sunblock ke seluruh bagian tubuh yang dapat dijangkaunya sebelum menggunakan pakaian yang sudah disiapkan sejak semalam. Tidak, Nadira tidak naked. Ia menggunakan tanktop dan celana pendek yang biasa ia pakai sebagai rangkapan. Ini memang masih pagi buta, tetapi Nadira sudah bersiap sejak tadi. Hari ini rencananya ia akan menghabiskan waktu dengan Josaphat. Dari pagi sampai nanti malam. Ya, istilah nge-date mungkin cocok untuk digunakan. Selesai meratakan
Rheyner merebahkan dirinya pada sofa panjang ruang tamu rumahnya. Ia merasa lelah, baik fisik maupun pikiran. Tangan kirinya ia gunakan sebagai bantalan sementara tangan kanannya ia letakkan di dahi. Mata Rheyner memang terpejam, tetapi ia tidak tidur. Indra pendengarnya menangkap langkah kaki memasuki rumahnya. Langkah kaki itu tidak terdengar lagi. Rheyner tahu ada yang berdiri beberapa langkah dari sofa tempatnya berbaring. Ia juga tahu kalau itu bukan mamanya, karena jika itu mamanya tidak mungkin hanya diam saja. Rheyner pun masih diam, ia enggan membuka mata.“Ehm, Mas .…” Rheyner hafal di luar kepala suara ini. Suara milik orang yang sudah bersamanya selama sekitar 13 tahun. Rheyner tak langsung menjawab.Akhirnya Rheyner berdeham sebagai jawaban. Posisinya masih sama, tidak berubah sedikit pun meski ia dapat merasakan bahwa Nadira ten
“Nggak usah, Rheyn. Jo jemput aku, kok,” Nadira menolak tawaran Rheyner untuk mengajaknya berangkat bersama.Rheyner menarik kembali tangannya yang mengulurkan helm Nadira. “Oh, ya udah.”“Lagian punya pacar kok kerjaannya ngantarin cewek lain, sih.” Nadira terkekeh.“Lo ‘kan bukan cewek lain. Lo itu adik gue.” Rheyner menekankan kata adik.“Tapi ‘kan kita udah sama-sama punya pacar.” Nadira tersenyum manis.Pertama kalinya Rheyner tidak suka dengan senyuman Nadira. “Terus kenapa? Apa itu bisa dijadikan alasan untuk nggak saling peduli?”Nadira terperanjat. “Maksudku bukan gitu,
Sore ini Rheyner dan Panji masih harus latihan basket untuk persiapan turnamen yang sudah di depan mata. Rheyner dan Panji akan bermain untuk terakhir kalinya sebelum ‘pensiun’. Mereka berdua memang merupakan pemain andalan di tim basket SMA Bakti Bangsa. Setelah berlatih dan berdiskusi tentang strategi apa yang akan digunakan dalam turnamen, pelatih memberi waktu istirahat. Rheyner menenggak minuman isotonik pemberian pacarnya. Panji yang duduk di sebelahnya melakukan hal yang sama, bedanya minuman yang ia minum bukan dari pacarnya. Teman satu tim mereka sudah menyebar di pinggir lapangan yang teduh. Bahkan ada yang dengan santainya tidur telentang bertelanjang dada. Sekitar lapangan basket memang sepi karena memang area olahraga terpisah dengan gedung pembelajaran. Arfa dan Erga berjalan ke arah Rheyner dan Panji. Rheyner menafsirkan mereka dari kanti
Rheyner menenggak kaleng coke-nya hingga tandas. Hal itu langsung mendapat decakan dari si Kembar, Damar dan Rama. Malam ini mereka sedang berkumpul di rumah—kamar—Rheyner, rutinitas setiap malam minggu. Akhir-akhir ini Rheyner terlihat lebih srampangan. Pintu balkon sudah dibuka sedari tadi. Pandangan Rheyner kerap kali mengarah keluar, ke seberang kamarnya. Hal tersebut tidak luput dari pengamatan si Kembar. Padahal pintu dan jendela balkon di seberang tertutup rapat. “Bro, lo ngapa, dah?” tanya Rama tidak tahan. “Gue?” Rheyner pura-pura tidak mengerti.
Hari ini adalah hari pertandingan terakhir Rheyner sebelum ‘pensiun’ dari jabatannya sebagai kapten tim basket SMA Bakti Bangsa. Rheyner keluar dari kamar dengan seragam basket kebanggan sekolahnya. Ketika akan menuruni tangga, mata hitamnya bertemu dengan sepasang mata bersorot lembut. Nadira Almira. Kedua sudut Rheyner terangkat. Ia mempercepat langkahnya menghampiri Nadira. “Vitamin kamu habis, ‘kan?” Nadira menyodorkan satu botol kaca berisi pil suplemen makanan. “Makasih.” Rheyner menerima dan mengacak rambut halus Nadira. “Harus menang, ya,” kata Nadira sembari menuruni tangga di rumah Rheyner. “Lo dateng, dong, biar gue semangat menangin pertandingan.” “Iya, ntar aku sama—”
Josaphat memarkirkan mobilnya asal di parkiran SMA Bakti Bangsa. Ia berlari kecil menuju bangunan utama Sbasa. Ia tidak tahu harus mencari ke mana sebenarnya. Ini pertama kalinya Josaphat masuk ke Sbasa. Di ujung koridor Josaphat melihat Rama, kembaran Damar—temannya. Ia tidak tahu bagaimana bisa Rama berada di sana. “Ram?” Josaphat menghampiri Rama. Rama menoleh dengan wajah kalut dan tangan memegang ponsel. “Hei, Jo! Lo udah ada clue ke mana Dira pergi?” Josaphat menggeleng. “Nggak sama sekali. Terakhir dia bilang mau nonton Rheyner tanding. Setelah itu dia nggak ada hubungin gue. Gue juga lagi sibuk latihan band.” “Tadi waktu Panji hubungin gue dan bilang kalau Dira hilang, gue
Rheyner tengah menautkan tali sepatu ketika Nadira menghampiri. Pagi ini adalah hari pertamanya masuk kuliah. Setelah menjalani serangkaian OSPEK akhirnya ia resmi menjadi mahasiswa. Rheyner begitu antusias menjalani hari ini. Saat ia bangun tadi energinya seolah berada di titik maksimal. Nadira meletakkan kotak makan di samping Rheyner. Gadis itu telah memakai seragam lengkap. Ia tidak bersuara. Seolah menunggu Rheyner mengakhiri aktivitasnya. Netra gadis itu tidak lepas dari sosok Rheyner. Rheyner mendongak seusai memakai sepatu. Tangannya mengambil kotak dari Nadira. Bibir pemuda itu tersenyum. Tentu saja senyumnya bersambut dengan senyum Nadira. "Semangat untuk hari pertama kuliahnya. Jangan bandel dulu." Akhirnya Nadira bersuara. “Iya,” jawab Rheyner kalem.
Nadira mengikuti ke mana pun langkah Rheyner. Rheyner baru saja selesai manggung di kafe milik ibu Nadira bersama Valensi. Kini mereka bukan kembali ke rumah masing-masing, tetapi pergi ke distro Valensi. Usaha clothingan yang dijalankan Valensi memang semakin ramai. Hingga terpaksa tutup beberapa hari karena stok habis. Pencapaian yang luar biasa. Sekarang mereka datang untuk membantu produksi.“Nadira Almira, bisa diam nggak?” Rheyner berbalik dan membuat Nadira terdiam. Cebikan Nadira muncul mendengar nada galak Rheyner.“Lo bukan piyik yang ngikutin induknya mulu, ‘kan? Duduk diam aja kenapa, sih? Bentar lagi gue antar balik, udah mau jam malam lo,” tegas Rheyner yang sedetik kemudian melanjutkan langkah ke ruang produksi.Panji menghampiri Nadira. Merangkul adiknya itu men
Minggu kedua liburan semester ganjil. Sherin hanya termenung di meja belajarnya. Ia pandangi layar ponsel yang tidak menampilkan satu pesan pun dari sang kekasih hati. Rheyner semakin berubah. Intensitas berkirim pesan semakin jarang, apalagi lantunan suara lewat panggilan telepon. Rheyner tidak akan menghubungi kalau bukan Sherin yang mengawali.Sherin mendesah. Sepasang netranya beralih memandang taman dari jendela di samping kanan meja. Tekadnya kali ini sudah bulat. Hubungannya dengan Rheyner sudah tidak ada harapan. Rheyner semakin jauh untuk dijangkau. Sikapnya ketika bertemu tidak berubah jauh, hanya saja Sherin bisa merasakan Rheyner kehilangan rasa nyaman. Dan tidak dapat dimungkiri bahwa Sherin juga tak lagi merasakan aman berada di dekat Rheyner. Semuanya terasa hambar dan tidak benar.Jika Rheyner tidak bisa memberi putusan, maka biarkan Sherin yang
Hubungan Rheyner dengan Nadira kembali baik. Rheyner menjelaskan semua tentang Josaphat, minus perasaan Josaphat terhadap Nadira. Josaphat melarang Rheyner dan Panji memberi tahu Nadira. Karena dia ingin Nadira melupakannya. Kalau bisa, Josaphat ingin Nadira membencinya. Rheyner menghormati keputusan Josaphat itu.Sayangnya, setelah mendengar cerita Rheyner juga Panji, Nadira justru jatuh iba pada Nanda dan Josaphat. Nadira bisa memahami Josaphat dan memaafkannya. Ia juga melarang Rheyner dan Panji untuk merasa bersalah padanya. Bahkan Nadira mengancam tidak akan menganggap mereka kakak kalau mereka tetap menjauhinya.“Mbak Dir!” Nadira menoleh dan suara kamera terdengar. Bima memotretnya.“Mbak Dira selalu cantik,” puji Bima.Rheyner menoyo
Libur semester sudah berjalan dua hari. Akan tetapi, yang dilakukan oleh Rheyner hanya tidur, tidur, dan tidur. Itu pun tidak dilakukan di rumahnya. Sejak kejadian di apartemen Josaphat, Rheyner belum pulang ke rumah. Alasan yang ia buat adalah ia ada project bersama Valensi. Orang tuanya tidak curiga meski Rheyner tidak pulang mengambil perlengkapan. Pasalnya hal tersebut sudah biasa terjadi. Apalagi sekarang libur sekolah. Padahal kalau saja mereka tahu, ketidakpulangan Rheyner adalah cara menyembunyikan wajah “hancur”-nya. Tidak lama setelah Josaphat memuntahkan segala hal tentang dendam dan perasaannya, Rama datang bersama Damar. Panji memang sempat mengirimkan lokasinya pada Rama. Rama dan Damar dibuat terkejut dengan keadaan Rheyner serta Josaphat. Wajah keduanya sama-sama babak belur. Tangan mereka sama-sama mema
Rheyner dan Panji mengikuti langkah Josaphat yang memasuki lift. Saat ini mereka berada di sebuah gedung apartemen. Rheyner dan Panji dibuat heran. Awalnya mereka pikir Josaphat akan membawa ke sebuah tempat terbuka atau apa pun itu yang jelas bukan suatu hunian. Lift berhenti di lantai 12.Josaphat belum mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan ketika dia membawa Rheyner dan Panji berhenti di depan unit nomor 1210. Josaphat memasukkan kode pintu dan menyuruh Rheyner serta Panji untuk masuk. Baik Rheyner maupun Panji tidak ingin repot-repot bertanya meski sebenarnya penasaran.Rheyner terpaku melihat siapa yang duduk di depan televisi. Begitu pula dengan Panji. Sementara Josaphat bertepu
Malam ini kebetulan band Josaphat akan manggung di salah satu cafe bar. Itu informasi yang Damar sampaikan. Maka setelah berkumpul di basecamp Valensi, Rheyner dan kawan-kawannya menuju cafe bar tersebut. Mereka rencananya akan melihat penampilan band Josapahat, lalu Rheyner akan menemui Josaphat setelah penampilannya berakhir.Rheyner bukan akan mengeroyok Josaphat. Karena jelas itu bukan tindakan gentleman. Rheyner juga bukan seorang pengecut seperti itu. Apa bedanya dia dengan orang-orang yang menyekap Nadira kalau Rheyner melakukan hal serupa? Rheyner hanya aka
Pagi ini SMA Bakti Bangsa terlihat ramai dengan kehadiran orang tua murid. Hari yang ditunggu oleh seluruh murid. Bukan karena mereka akan menerima hasil belajar selama satu semester, tetapi karena mereka akan libur panjang. Rheyner sudah duduk di salah satu bangku kantin. Ia duduk sendiri di bangku panjang menunggu Panji. Kantin lumayan sepi karena hampir semua pedagang sudah libur. Hanya ada satu konter yang buka, itu pun karena penjualnya adalah istri dari penjaga sekolah. Memang biasanya kalau hari-hari terakhir sebelum libur panjang sekolah sudah sepi. Jadi, tidak banyak pedagang kantin yang buka. Bahu Rheyner terasa ditepuk. Orang yang ditunggu sudah datang. Panji duduk di depannya. Sebuah kantung berlogo mini market ternama dia taruh di tengah meja. Tangannya mengambil dua kaleng kopi susu dan sebungkus besar keripik singkong. Rheyner hanya meman
Rheyner mencari Nadira dengan gusar. Perasaannya tidak enak. Rasanya seluruh mal ini sudah ia kelilingi, tetapi Nadira tidak ketemu juga. Nadira hanya pamit ingin ke toilet tadi. Sudah setengah jam dan gadis itu tidak kembali. Kemudian 10 menit lalu Nadira mengirim pesan minta dijemput. Nadira hanya bilang dia duduk di kursi umum di depan outlet pakaian. Namun, outlet pakaian di dalam mal ini ada banyak sekali. Menyebalkannya, Nadira tidak mau mengangkat panggilan dari Rheyner. Tangan kanan Rheyner merogoh ponsel di kantung celana. Satu pesan Nadira kembali masuk. Nadira mengatakan sudah menunggu di basement alias di tempat parkir. Rheyner yakin ada sesuatu yang terjadi pada Nadira. Tidak mungkin Nadira jadi seaneh ini. Tanpa menunggu lama Rheyner segera turun ke basement