Selepas dari rumah sakit, Mayra meminta untuk menyendiri. Meski, Amara dan Seon khawatir tapi tak bisa mencegah perangai wanita yang sedang berbadan dua itu.
"May, Mama ingin bertanya lebih banyak lagi, tapi karena kamu sedang tidak mood. Kita bicarakan semuanya setelah kamu membaik," kata Amara membelai rambut Mayra. "Terima kasih, kalian tidak memaksaku untuk berbicara sekarang," ujar Mayra memeluk sang Ibu sembari menangis."Jika, kau sudah tenang hubungi salah satu dari kami. Biar, Seon menjemputmu," kata Amara lagi seraya saling melepas pelukan.
Mayra mengangguk dan menghapus air matanya, ia turun di tengah jalan tanpa berkata apapun lagi. Dia begitu rapuh saat ini, kehamilan yang tak terduga setelah perceraiannya membuat ia putus asa sejenak.
Memikirkan nasib anaknya tanpa
"Mah, Kak!" Mayra memanggil orang tersayang saat tiba di rumah. Mereka terburu-buru menghampiri ibu hamil yang suaranya membuat orang khawatir."Ada apa, May?" tanya Amara khawatir."Kamu, ngga apa-apa kan?" Seon menghampiri Mayra, memeriksa tubuhnya."Ngga kok! Aku ingin bicara sama kalian, hal penting."Mayra memperlihatkan mimik serius, mereka duduk di ruang tamu. Amara dan Seon menanti dengan harap cemas.Mayra mengendus pelan napasnya, dalam perjalanan ke makam Bryan tadi. Dia telah memutuskan untuk meninggalkan kota Himalaya selamanya, hidup bahagia dengan anak dan keluarganya."Mah, Kak! Jika, aku mengambil keputusan untuk meninggalkan kota Himalaya selamanya, apa kalian akan setuju?" 
"Serra!?" teriak Nalan menggema saat tidak sengaja mendapati calon istrinya berciuman di sebuah Bar dengan seorang pria asing.Netranya menatap tajam Serra yang sedang asyik bercumbu mesra di atas pangkuan lelaki lain, hati Nalan seketika remuk mendapati hal yang tak disangka malam ini.Serra yang terlonjak segera bangkit dari pangkuan lelaki asing itu, memperbaiki bajunya yang sedikit berantakan."Kenapa berhenti, sayang?" tanya pria asing itu seraya memegangi jemari pasangannya.Nalan mendekati Serra yang sedang ketakutan, dadanya kembang kempis tatkala wanita yang paling disayanginya berbuat senonoh.Bug!Nalan meninju muka lelaki asing itu."Hei, Bung! Ada apa ini?" tanyanya kaget.
"Hans, aku ingin informasi tentang Serra dalam waktu satu jam," titah Nalan pada Hans melalui sambungan telepon."Baik, Bos!" ujarnya dari seberang telepon tanpa banyak bertanya.Malam telah menunjukkan pukul 21.00, jam tidur Marco. Namun, Nalan tak peduli, malam ini harus menyelesaikan semuanya. Dia tak ingin menunda lebih lama lagi, setelah 3 tahun semuanya tertutupi.Di saat seperti inilah, Nalan merindukan mantan istrinya. Dia ingin meminta maaf dan segera memeluk, jujur saja beberapa hari setelah perceraian itu. Ia tersadar, cintanya mulai tumbuh pada Mayra, tapi kehamilan Serra tak bisa membuatnya melepaskan sang Mantan.Kini, ia tak yakin jika Serra hamil anaknya. Mendengar penuturan pria yang tadi bercumbu dengannya, Nalan telah menebak sendiri.
"Ada apa lagi kau datang mencariku?" tanya Nalan geram. Melihat Serra yang berada di ruangan kantornya secara tiba-tiba, membuat emosi di pagi hari membuncak.Wanita ini tak tahu malu menapakkan diri, setelah kebusukan selama bertahun-tahun disimpan begitu rapat. Masih berani muncul dihadapan Nalan dengan ekspresi seakan-akan tak terjadi apapun.Serra mendekati Nalan hendak meraih lengan lelaki itu, tapi mundur beberapa langkah. Dia jijik setelah melihat video mesum dan percakapan kotor yang masih terus mendengung di telinga."Jangan seperti itu sayang, ayolah! Maafkan aku, ya! Kita lupakan semuanya dan menikah, hidup bertiga dengan calon bayi kita," bujuk Serra dengan wajah menggoda.Apa dia pikir Nalan bisa dibodohi kembali setelah bukti terungkap? Serra berpikir, kekasihnya itu akan menerima kembali. Jika, data
"Aaaarrrrrgggh! Ke mana perginya Mayra? Dia benar-benar sulit kutemukan, kali ini persembunyiannya benar-benar membuatku hampir gila!?" Nalan histeris di apartemen miliknya, kamar yang di tempati mereka berdua memadu kasih. Merindukan keharuman tubuh dan suaranya yang selalu terngiang tatkala mereka bersenggama."Mayra! Kembalilah," isak Nalan merobohkan tubuhnya di atas kasur. Bau mantan istri masih tercium jelas terhirup oleh indra penciumannya. "Maafkan, aku! Tolong jangan hukum aku seperti ini."Kini, Nalan merasakan apa yang dirasakan oleh Mayra dulu, di awal pernikahan membiarkan wanita itu seorang diri, meninggalkannya dalam kesedihan saat sang Istri membutuhkan dirinya."Aku benar-benar jatuh cinta padamu, kenapa kau sulit dihubungi?" Nalan mengambil benda pipih dalam saku celana, memandangi wallpaper foto Mayra yang dipampa
Beberapa bulan telah berlalu, Nalan masih pada obsesinya yang mencari terus Mayra tanpa kata Menyerah. Tidak putus asa, keyakinan dan harapan masih di pegang teguh."Apa sudah ada kabar tentang istriku?" tanya Nalan pada Hans yang baru saja masuk ke ruangannya."Belum, Bos!" Hans menggeleng lesu, karena sudah berbulan-bulan lamanya tak bisa menemukan Mayra. Dia merasa cukup gagal.Istri? Masih pantaskah sebutan itu untuk Mayra, mengingat mereka telah berpisah secara resmi. Bagi, Nalan status mereka tetaplah suami-istri, menolak setiap kali orang mengingatkan status yang sebenarnya.Dia tahu, jika dirinya memang sudah menduda. Namun, jauh dari lubuk hati terdalam masih menganggap Mayra adalah istrinya. Setiap orang yang dijumpai, sebutan itu akan keluar dari bibir tipis tersebut.Ketika ada orang yang mengingatkan
Nalan kembali ke apartemen dengan keadaan lelah, membaringkan tubuh di atas ranjang dengan terlentang menatap langit-langit kamar."Lelah," gumamnya.Lelah bukan karena urusan kantor, tapi pikiran dan hati yang cukup menguras untuk mencoba segala secara menemukan Mayra.Andai, Mayra ada di sisinya tentu tak akan selelah ini. Bisa bermanja-manja dalam pelukan mantan istri. Berbulan-bulan lamanya, menanti kabar yang tak kunjung ada hasil. Hanya selalu mendapat teror dari perempuan-perempuan yang tidak jelas, bahkan Serra masih saja terus mengganggu dan mengancam. Namun, Nalan tak peduli akan hal itu. Terpenting menemukan istri yang telah disia-siakan adalah hal utama dari pada meladeni wanita yang teramat dibenci.Ya! Nalan mengingat akan kata-kata Bryan yang pernah mengatakan hal tak membuatnya percaya, tapi ada hari d
Kabar membahagiakan bagi Amara dan Seon, setelah seminggu Mayra koma. Dia bisa bertemu dengan putranya."Akhirnya bisa ketemu kamu, sayang," ungkap Mayra mencium pipi mungil bayinya dengan penuh kerinduan. "Oh, iya apa kalian sudah memberi nama?" tanyanya menatap kakak dan mama secara bergantian."Tentu dong, di kasih nama sama Seon," jawab Amara bahagia."Oh, ya? Siapa namanya?"Seon menunduk sedikit ragu untuk menjawab, takut Mayra tidak setuju dengan nama yang diberikan olehnya."Malvin Sean," jawab Amara lagi. "Kamu ngga keberatan kan, soal pemberian nama dari kakakmu?"Mayra tersenyum melihat ke arah Seon yang sedikit takut, mendekati dan berkata, "Nama yang bagus, terima kasih telah memberi nama dan membantuku menjaganya." 
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.
"Saya permisi keluar dulu," pamit Hans secepat kilat.Mayra termangu di tempat, tak sanggup menahan gejolak dalam dirinya. Sehingga, menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Debaran di dada sangat sulit dikontrol, semakin cepat tatkala Nalan berjalan ke arahnya.Nalan mendekat secara pelan, ada bulir di matanya yang jatuh membasahi pipi. Betapa sangat tersiksa rindu yang tertahan beberapa tahun ini, wanita yang paling ingin di dekapnya telah muncul sekian lama pencarian.Nalan tepat berada di depannya, memegangi dagu Mayra agar bisa menatap dengan jarak dekat. Dia sangat bahagia setelah memastikan wanita tersebut adalah istri yang disia-siakan selama ini."Kau menangis?" tanya Nalan lembut.Mayra terhenyak, untuk pertama kali ia mendengar Nalan berkata lembut pa
"May!" Seon memanggil adiknya yang sedang merenung, menanti jawaban."Em, ya! Kakak tadi bilang apa?" tanya Mayra linglung."Tidak usah pikirkan, jangan melamun terus," tutur Seon mengulas senyum. Mayra mengangguk."Mah, Papa kandung Sean orangnya seperti apa? Dia jahat ngga? Aku takut ketemu," ujarnya dengan wajah cemas. Seon dan Mayra berbalik sejenak menatap bocah menggemaskan tersebut dengan heran.Mereka bertiga saling pandang, bingung untuk menjawab. Anak sekecil Sean memang sangat cepat memahami setelah dijelaskan beberapa hari lalu tentang Nalan."Bagaimana kalau Papa kandung, Sean tak menyukaiku? Kita pulang saja, tidak masalah Ayah Seon menjadi ayahku saja, sudah cukup, Mah, Nek." Sekali lagi ucapan kecil yang keluar dari mulutnya membuat ketiga orang itu terhenyak.&nbs
Tiga tahun kemudian...."Sean, ayo sini peluk Ayah Seon," panggilnya sambil melebarkan kedua tangan dan menyamai ukuran tubuh bocah berusia tiga tahun itu."Ayah sudah pulang." Sean menyambut penuh keceriaan sambil berlari menghampiri Seon.Bocah berperawakan menggemaskan tersebut melompat ke dalam dekapan lelaki yang amat disayanginya.Mayra yang melihat pemandangan indah keduanya menjadi sangat haru, Sean tidak kekurangan kasih sayang dari sosok ayah atas adanya Seon. Semua tercurah untuk bocah lelaki yang sudah dianggap anak kandung sendiri. Saking sayangnya, kadang sang Kakak kelewatan dalam memanjakan."Bagaimana hari ini? Apa Ayah lelah?" tanya Sean bertubi-tubi. Kini, tubuh kecilnya sudah berada dalam gendongan Seon."Mau tahu?" Seon bertanya balik semba