"Aaaarrrrrgggh! Ke mana perginya Mayra? Dia benar-benar sulit kutemukan, kali ini persembunyiannya benar-benar membuatku hampir gila!?" Nalan histeris di apartemen miliknya, kamar yang di tempati mereka berdua memadu kasih. Merindukan keharuman tubuh dan suaranya yang selalu terngiang tatkala mereka bersenggama.
"Mayra! Kembalilah," isak Nalan merobohkan tubuhnya di atas kasur. Bau mantan istri masih tercium jelas terhirup oleh indra penciumannya. "Maafkan, aku! Tolong jangan hukum aku seperti ini."
Kini, Nalan merasakan apa yang dirasakan oleh Mayra dulu, di awal pernikahan membiarkan wanita itu seorang diri, meninggalkannya dalam kesedihan saat sang Istri membutuhkan dirinya.
"Aku benar-benar jatuh cinta padamu, kenapa kau sulit dihubungi?" Nalan mengambil benda pipih dalam saku celana, memandangi wallpaper foto Mayra yang dipampa
Beberapa bulan telah berlalu, Nalan masih pada obsesinya yang mencari terus Mayra tanpa kata Menyerah. Tidak putus asa, keyakinan dan harapan masih di pegang teguh."Apa sudah ada kabar tentang istriku?" tanya Nalan pada Hans yang baru saja masuk ke ruangannya."Belum, Bos!" Hans menggeleng lesu, karena sudah berbulan-bulan lamanya tak bisa menemukan Mayra. Dia merasa cukup gagal.Istri? Masih pantaskah sebutan itu untuk Mayra, mengingat mereka telah berpisah secara resmi. Bagi, Nalan status mereka tetaplah suami-istri, menolak setiap kali orang mengingatkan status yang sebenarnya.Dia tahu, jika dirinya memang sudah menduda. Namun, jauh dari lubuk hati terdalam masih menganggap Mayra adalah istrinya. Setiap orang yang dijumpai, sebutan itu akan keluar dari bibir tipis tersebut.Ketika ada orang yang mengingatkan
Nalan kembali ke apartemen dengan keadaan lelah, membaringkan tubuh di atas ranjang dengan terlentang menatap langit-langit kamar."Lelah," gumamnya.Lelah bukan karena urusan kantor, tapi pikiran dan hati yang cukup menguras untuk mencoba segala secara menemukan Mayra.Andai, Mayra ada di sisinya tentu tak akan selelah ini. Bisa bermanja-manja dalam pelukan mantan istri. Berbulan-bulan lamanya, menanti kabar yang tak kunjung ada hasil. Hanya selalu mendapat teror dari perempuan-perempuan yang tidak jelas, bahkan Serra masih saja terus mengganggu dan mengancam. Namun, Nalan tak peduli akan hal itu. Terpenting menemukan istri yang telah disia-siakan adalah hal utama dari pada meladeni wanita yang teramat dibenci.Ya! Nalan mengingat akan kata-kata Bryan yang pernah mengatakan hal tak membuatnya percaya, tapi ada hari d
Kabar membahagiakan bagi Amara dan Seon, setelah seminggu Mayra koma. Dia bisa bertemu dengan putranya."Akhirnya bisa ketemu kamu, sayang," ungkap Mayra mencium pipi mungil bayinya dengan penuh kerinduan. "Oh, iya apa kalian sudah memberi nama?" tanyanya menatap kakak dan mama secara bergantian."Tentu dong, di kasih nama sama Seon," jawab Amara bahagia."Oh, ya? Siapa namanya?"Seon menunduk sedikit ragu untuk menjawab, takut Mayra tidak setuju dengan nama yang diberikan olehnya."Malvin Sean," jawab Amara lagi. "Kamu ngga keberatan kan, soal pemberian nama dari kakakmu?"Mayra tersenyum melihat ke arah Seon yang sedikit takut, mendekati dan berkata, "Nama yang bagus, terima kasih telah memberi nama dan membantuku menjaganya." 
Sebulan telah berlalu, Mayra memutuskan kembali ke kota Himalaya untuk menemui mantan suami, setelah benar-benar memastikan kondisinya pulih.Dia turun dari pesawat dengan cara yang elegan sambil menenteng koper, cuaca di kota Himalaya tak pernah berubah masih sama seperti dulu, sangat terik.Hampir setahun, Mayra baru menginjakkan kaki lagi di kota yang menyimpan kenangan pahit dalam hidupnya. Tak ada berubah sama sekali dengan bangunan, infrastruktur dan tentu hati pun ikut tak berubah.Hal pertama yang ingin dikunjungi Mayra adalah apartemen menjadi saksi kepahitan hidupnya selama berada di sana. Kembali mengenang semua terjadi, kilas balik sewaktu menjadi istri Nalan yang terus-terusan terluka.Tak terasa air matanya menetes, ada pikiran negatif merasuk. Bagaimana, jika kondisi apartemen dulu telah diisi oleh Serra dan anaknya? Sanggupka
Ketika tiba di apartemen, Nalan dikejutkan dengan kunci yang tertancap di luar dan pintu tidak terkunci."Kenapa kuncinya masih tertancap dan tidak terkunci?" pikirnya. Seingatnya sebelum menuju kantor, Nalan menutup rapat pintu dan menguncinya dengan baik, bahkan tidak pernah ia seteledor menaruh apapun meski dalam keadaan mendadak."Apa jangan-jangan ada menyamai kuncinya?"Nalan segera masuk ke dalam dan tidak ada apapun yang terjadi, semua masih nampak seperti semula saat meninggalkan apartemen."Tidak ada pencuri, terus siapa yang habis masuk? Serra?"Derap langkahpun menuju kamar pribadinya, "Terbuka?" Nalan semakin dibuat heran.Mengecek seluruh isi kamar, hanya menemukan bekas noda berwarna kecoklatan dengan tetesan kecil. Nalan mengecek sem
"Iya," jawab Serra."Siapa dia?""Apa kamu tidak mengenalnya? Dia bahkan mengenalmu dan mengatur alur hidupmu," terang Serra memicingkan mata. Nalan menggeleng.Mencoba mengingat nama itu, tapi setahu dirinya nama Eden adalah ayah Serra. Itupun di awal perkenalan namanya Redenes."Aku hanya tahu nama ayahmu itu Eden, lengkapnya Redenes. Jadi, siapa Mark Eden?" Nalan terus mencoba mengingat nama itu, seingatnya tak ada musuh atau rekan kerja yang punya nama tersebut."Redenes itu Mark Eden, Nalan. Redenes hanya nama samaran, aslinya Mark Eden. Dia bukan ayahku, tapi Daddy sugarku selama bertahun-tahun," jawab Serra berbicara jujur.Nalan terdiam terpaku di tempatnya berdiri, jawaban Serra tadi berhasil menyatukan setiap memori terdahulu yang dialami.
Tiga tahun kemudian...."Sean, ayo sini peluk Ayah Seon," panggilnya sambil melebarkan kedua tangan dan menyamai ukuran tubuh bocah berusia tiga tahun itu."Ayah sudah pulang." Sean menyambut penuh keceriaan sambil berlari menghampiri Seon.Bocah berperawakan menggemaskan tersebut melompat ke dalam dekapan lelaki yang amat disayanginya.Mayra yang melihat pemandangan indah keduanya menjadi sangat haru, Sean tidak kekurangan kasih sayang dari sosok ayah atas adanya Seon. Semua tercurah untuk bocah lelaki yang sudah dianggap anak kandung sendiri. Saking sayangnya, kadang sang Kakak kelewatan dalam memanjakan."Bagaimana hari ini? Apa Ayah lelah?" tanya Sean bertubi-tubi. Kini, tubuh kecilnya sudah berada dalam gendongan Seon."Mau tahu?" Seon bertanya balik semba
"May!" Seon memanggil adiknya yang sedang merenung, menanti jawaban."Em, ya! Kakak tadi bilang apa?" tanya Mayra linglung."Tidak usah pikirkan, jangan melamun terus," tutur Seon mengulas senyum. Mayra mengangguk."Mah, Papa kandung Sean orangnya seperti apa? Dia jahat ngga? Aku takut ketemu," ujarnya dengan wajah cemas. Seon dan Mayra berbalik sejenak menatap bocah menggemaskan tersebut dengan heran.Mereka bertiga saling pandang, bingung untuk menjawab. Anak sekecil Sean memang sangat cepat memahami setelah dijelaskan beberapa hari lalu tentang Nalan."Bagaimana kalau Papa kandung, Sean tak menyukaiku? Kita pulang saja, tidak masalah Ayah Seon menjadi ayahku saja, sudah cukup, Mah, Nek." Sekali lagi ucapan kecil yang keluar dari mulutnya membuat ketiga orang itu terhenyak.&nbs
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.
"Saya permisi keluar dulu," pamit Hans secepat kilat.Mayra termangu di tempat, tak sanggup menahan gejolak dalam dirinya. Sehingga, menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Debaran di dada sangat sulit dikontrol, semakin cepat tatkala Nalan berjalan ke arahnya.Nalan mendekat secara pelan, ada bulir di matanya yang jatuh membasahi pipi. Betapa sangat tersiksa rindu yang tertahan beberapa tahun ini, wanita yang paling ingin di dekapnya telah muncul sekian lama pencarian.Nalan tepat berada di depannya, memegangi dagu Mayra agar bisa menatap dengan jarak dekat. Dia sangat bahagia setelah memastikan wanita tersebut adalah istri yang disia-siakan selama ini."Kau menangis?" tanya Nalan lembut.Mayra terhenyak, untuk pertama kali ia mendengar Nalan berkata lembut pa
"May!" Seon memanggil adiknya yang sedang merenung, menanti jawaban."Em, ya! Kakak tadi bilang apa?" tanya Mayra linglung."Tidak usah pikirkan, jangan melamun terus," tutur Seon mengulas senyum. Mayra mengangguk."Mah, Papa kandung Sean orangnya seperti apa? Dia jahat ngga? Aku takut ketemu," ujarnya dengan wajah cemas. Seon dan Mayra berbalik sejenak menatap bocah menggemaskan tersebut dengan heran.Mereka bertiga saling pandang, bingung untuk menjawab. Anak sekecil Sean memang sangat cepat memahami setelah dijelaskan beberapa hari lalu tentang Nalan."Bagaimana kalau Papa kandung, Sean tak menyukaiku? Kita pulang saja, tidak masalah Ayah Seon menjadi ayahku saja, sudah cukup, Mah, Nek." Sekali lagi ucapan kecil yang keluar dari mulutnya membuat ketiga orang itu terhenyak.&nbs
Tiga tahun kemudian...."Sean, ayo sini peluk Ayah Seon," panggilnya sambil melebarkan kedua tangan dan menyamai ukuran tubuh bocah berusia tiga tahun itu."Ayah sudah pulang." Sean menyambut penuh keceriaan sambil berlari menghampiri Seon.Bocah berperawakan menggemaskan tersebut melompat ke dalam dekapan lelaki yang amat disayanginya.Mayra yang melihat pemandangan indah keduanya menjadi sangat haru, Sean tidak kekurangan kasih sayang dari sosok ayah atas adanya Seon. Semua tercurah untuk bocah lelaki yang sudah dianggap anak kandung sendiri. Saking sayangnya, kadang sang Kakak kelewatan dalam memanjakan."Bagaimana hari ini? Apa Ayah lelah?" tanya Sean bertubi-tubi. Kini, tubuh kecilnya sudah berada dalam gendongan Seon."Mau tahu?" Seon bertanya balik semba