Share

3. Bukan Perempuan Bodoh

Penulis: Meisya Jasmine
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

BAB 3

Bukan Perempuan Bodoh

              “Kurang ajar kamu, Fika! Dasar perempuan miskin! Nggak tahu diri!” Ibu berteriak nyaring. Wanita yang mengikat rambut hitamnya ke belakang itu mengejar ke arah tempatku berdiri.

              Tangan Ibu sudah terangkat tinggi. Mertuaku yang berkulit kuning langsat dan berwajah mirip dengan Mas Rian itu pun hendak menampar pipiku. Sayang, tangannya ditahan oleh Mas Rian yang tubuhnya telah penuh tumpahan nasi goreng.

              “Bu, cukup! Rian mohon, hentikan pertengkaran ini!” Suamiku berteriak di hadapa ibunya.

              Aku bergeser. Berusaha untuk keluar dari kepungan Mas Rian dan Ibu yang masih sibuk berkelahi. Namun, ruang yang mereka berikan begitu sempit hingga rasanya aku terjepit di antara tubuh keduanya.

              “Istrimu kurang ajar, Yan! Kamu itu lagian bodoh banget jadi laki-laki! Sudah disiram pakai nasi goreng begitu, masih aja kamu belain!” Ibu tampak sangat emosi.

              Tubuh ramping Ibu yang memang selalu dia jaga dengan rutin senam bersama gerombolan ibu-ibu komplek itu pun mencoba meringsek maju. Mas Rian membentengi agar aku tak kena jambakan dari tangan Ibu. Kucoba untuk mundur terus dan akhirnya aku berhasil meninggalkan meja makan.

              Ketika kutoleh ke arah Bapak yang tak bergeser sedikit pun dari pijakannya, mata Bapak begitu merah memandangiku. Mukanya pun sama. Sudah seperti cangkang kepiting yang direbus hidup-hidup.

              “Keluar kamu dari rumahku! Aku nggak butuh menantu sialan sepertimu, Fika!” hujat Bapak sambil menunjuk mukaku.

              “Aku juga tidak butuh mertua kurang ajar seperti kalian berdua. Lihat saja, Rian bakalan jadi duda selama-lamanya karena tidak ada perempuan yang bakalan mau hidup menderita di rumah jelek ini!”

              Sekalian saja kucaci maki Bapak dan Ibu. Mereka tidak pernah memikirkan perasaanku ternyata. Jadi, untuk apalagi aku menghormati keduanya?

              Kakiku gegas berlari menuju kamar yang selama setengah tahun ini kutempati bersama Mas Rian. Kamar itu berada di depan, persis berhadapan dengan ruang tamu. Kamar yang cukup sempit dan tak memiliki dipan, karena dipan seserahan nikahku malah dipakai oleh mertuaku dengan alasan dipan mereka sudah ambruk karena termakan usia.

              Bayangkan saja, betapa sudah mengalahnya aku selama ini. Dinikahi Mas Rian tanpa sebuah pesta seperti pengantin lainnya. Hanya akad nikah di KUA saja dan mahar sebentuk cincin emas.

              Mas Rian sebenarnya menghadiahiku dipan plus kasur pegasnya dan sebuah lemari berbahan PCV dua pintu. Dipannya diambil oleh mertua, sedangkan lemari pakaian itu tak bisa kupakai karena kamar kami yang cukup sempit dan sudah penuh dengan barang-barang milik Mas Rian. Jadi, lemari baru itu malah diberikan kepada adik iparku yang kamarnya berada di lantai dua.

              Padahal, adik iparku yang bernama Viona itu hanya pulang seminggu sekali ke rumah ini. Selebihnya dia mengekost karena jarak kampus yang cukup jauh dari sini. Ya Allah, kalau kupikir-pikir, ternyata aku sudah terlalu bodoh.

              Kukemasi pakaian-pakaianku yang ditata di dalam lemari plastik milik Mas Rian. Kutahan supaya tak setetes pun air mataku keluar. Tak sudi kutangisi keluarga Mas Rian yang begitu kejam di balik sikap diam mereka selama ini.

              Persetan hidupku mau dibawa ke mana. Aku tak peduli. Meski sudah yatim piatu, aku yakin kalau Allah akan memberikanku rejeki setelah keluar dari rumah suamiku.

              Terdengar suara ribut-ribut dari arah dapur sana. Cuek saja diriku. Tak mau ambil pusing lagi.

              Mulai sekarang, Mas Rian bukan urusanku. Terlebih kedua orangtuanya yang pemalas itu. Mentang-mentang anaknya sudah kerja, mereka yang seharusnya tetap bekerja di usia yang produktif, malah bermalas-malasan seperti sultan.

              Dulu, Ibu bekerja sebagai pedagang pakaian keliling. Pelanggannya juga sudah ramai dan sempat buka kios kecil-kecilan di depan rumah. Hanya karena alasan banyak yang sering berutang, dia pun menutup kiosnya dan kini mengandalkan Mas Rian seratus persen untuk makan minum sehari-hari.

              Sedangkan Bapak, beliau itu makelar kendaraan, baik motor maupun mobil. Namun, belakangan rejekinya seret. Bangunnya saja selalu siang, wajar kalau usahanya itu selalu saja gagal dan tidak menghasilkan.

              Orangtua terkutuk, pikirku. Hidup hanya mengandalkan anak. Padahal, anak lelakinya sudah punya istri dan kini wajib untuk dinafkahi.

              Eh, ternyata aku dinikahi hanya untuk diincar warisannya, toh? Apa jangan-jangan, ayahku meninggal dunia secara mendadak itu juga karena ulah mertuaku? Apa mereka mengirimkan guna-guna supaya ayahku lekas mati?

              Astaghfirullah! Pikiranku jadi picik dan kotor. Semua karena kelakuan keluarga Mas Rian yang di luar nalar.

              “Fika, kamu mau kemana?!” Mas Rian tiba-tiba masuk ke kamar. Pria itu membanting pintu dan menguncinya dari dalam.

              Suamiku terengah-engah. Wajah bersihnya kini penuh dengan peluh yang membanjiri. Lelaki tinggi kurus itu lalu menarik tanganku kasar.

              “Aku mau pulang kampung! Hidup di desa lebih terhormat, ketimbang menumpang di rumah orangtuamu!”

              Pria tangan belang sebab pekerjaannya yang wara wiri naik motor itu pun menatapku nyalang. Napasnya makin terengah. Kulihat di tubuhnya, masih tersisa beberapa butir nasi goreng yang belum sempat dia bersihkan.

              “Nggak! Kamu nggak bisa ke mana-mana. Kamu tetap di sini sama aku!”

              Aku? Tetap di sini? Maaf, Mas, aku ini bukan perempuan dungu yang bisa kalian ludahi harga dirinya.

              “Maaf, Mas! Aku bukan perempuan bodoh yang bisa kalian banting, cekik sampai lehernya bergeser, dan bisa kalian hina dina semaunya. Jangankan kalian hantam fisikku, sekadar kalian caci maki saja, aku tidak masalah jika harus menjanda hari ini juga!”

Bab terkait

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   4. Selamat Tinggal!

    BAB 4Selamat Tinggal! Mas Rian tak terima akan sikapku. Tangan pria yang menyembulkan urat-urat berwarna kehijauan itu pun mencengkeram lenganku erat. Tentu saja langsung kutepis kasar. “Lepas!” sergahku berang. “Nggak! Aku nggak mau ngelepas kamu!” bentaknya balik. Mata suamiku yang kerap menatap sendu, kini berubah garang. Manik hitamnya membeliak besar. Seakan aku ini musuh lamanya. “Kalau ternyata aku hanya dinikahi karena kalian mengincar harta warisan, itu nggak bakalan kalian dapat, Mas! Jadi, lepaskan aku sekarang dan biarkan aku pulang ke kampung halamanku!” Aku berteriak nyaring. Tak peduli akan sesakit apa tenggorokanku. Yang penting, beban di dada plong. Mas Rian mendengus. Mimik wajahnya jelas menerangkan betapa geramnya dia kepadaku. Jangan sampai dia main tangan seperti ibunya tadi, pikirku. Kalau sampai dia memainkan tangannya ke tubuhku, jangan salahkan aku

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   5. Sakit Jiwa

    BAB 5Sakit Jiwa “Tega kamu, Fika.” Suara Mas Rian gemetar. Tanpa dinyana, lelaki 24 tahun itu menitikkan air matanya. Meluncur begitu saja kristal bening itu ke pipinya yang mulus. Aku tersenyum. Bukan karena bahagia melihatnya menangis. Namun, ini adalah sebuah senyum yang sama penuh lukanya. “Jangan playing victim, Mas. Tangisanmu tidak akan mengubah apa pun,” desisku eneg. Mas Rian tak menyahut lagi. Buru-buru dia seka air mata di pipinya. Lelaki berkaus merah itu lalu menepis-nepis sisa nasi yang masih menyangkut di pakaian kerjanya. “Makasih sudah memfitnahku playing victim, Fi. Aku tahu kalau aku yang salah. Sedangkan kamu itu manusia suci yang tidak pernah punya salah, apalagi dosa.” Ucapan aneh yang Mas Rian katakan tadi hanyalah sebuah upaya untuk menekanku. Sarkasme dari bibir manismu itu tidak akan membuatku merasa bersalah. Sedikit pun aku tak berniat untuk memaafkan, terlebi

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   6. Dikejar Setan

    BAB 6Dikejar Setan Aku berlari sekuat tenaga dengan napas yang terengah-engah. Tak kupedulikan lagi tatapan heran orang-orang di sekitar lingkungan rumah mertuaku. Jalanan komplek yang cukup ramai pun, nekat kuterabas dengan sandal jepit yang tapaknya telah menipis. Sekitar lima puluh meter di depan sana, kulihat ada sesosok tukang ojeg berjaket hijau. Pria yang tengah menepi di bahu jalan itu, tampak tengah fokus memperhatikan ponsel di tangan kanannya. Aku berteriak, demi membuat bapak-bapak ojeg online itu menoleh. “Pak! Bapak! Saya mau naik!” pekikku heboh. “Mbak, kenapa lari-larian begitu?” Seseorang di sebelah kananku menegur.Kutoleh, ternyata ibu-ibu yang sering senam pagi Minggu dengan ibu mertuaku. Beliau yang mengendara motor matik dan memelankan laju kendaraannya itu, memperhatikan wajahku bingung. Seingatku, nama beliau adalah Bu Tari.Aku tak peduli. Kupelengosi muka ibu-ibu yang mengenakan daster hitam dan jilbab

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   7. Utang Suamiku

    “Neng, itu kenapa? Mas yang tadi jatoh?” Bapak ojeg bertanya denganku. Dari nada suara beliau, terdengar sangat resah dan cemas. Kami setali tiga uang. Sama-sama tak tenang, sebab bunyi gedubrak serta pekik jerit di belakang sana. “Nggak tahu, Pak! Nggak lihat. Pak, ayo buruan kabur aja!” pintaku mendesak bapak ojeg. “I-iya, Neng,” gagap bapak ojeg di tengah desauan angin dan hiruk pikuk jalanan yang mulai macet. Untung saja, tak ada yang mencegat kami. Aku pun tidak mampu untuk menoleh ke belakang. Mataku kini terpejam saking takutnya. “Neng, ini kita ke mana?” “Ke kantor JNR yang di jalan Senopati, Pak! Depan supermarket Hari Ini!” Kantor yang kumaksudkan adalah tempat bekerjanya Mas Rian. Pernah menjadi tempat bekerjaku juga. Pasti kalian bertanya-tanya, mengapa aku malah pergi ke sana. Aku ingin menemui Helena. Dia adalah satu-satunya sahabat karibku di kota ini. Kami be

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   8. Rahasia Besar Mas Rian

    “P-pak Hanan,” gumamku sambil memperhatikan wajah pria berkaus polo warna putih dengan garis-garis biru di bagian dadanya. Pria tinggi dengan potongan rambut caesar haircut itu menekan tombol kunci remotnya hingga terdengar suara ‘tin-tin’ dari mobil bagusnya. Tatapannya sekilas tajam ke arahku. Dia terus berjalan mendekat, membuatku sangat deg-degan. Pak Hanan adalah owner alias pemilik ekspedisi JNR cabang Senopati. Perusahaan JNR adalah perusahaan jasa di bidang pengiriman barang dari dalam dan luar kota, yang bisa dimiliki orang umum dengan membeli waralaba alias franchise-nya. Selain memiliki perusahaan ekspedisi ini, Pak Hanan juga pemilik minimarket franchise yang lokasinya hanya seratus meter dari sini. Lelaki berkulit putih dengan jambang dan jenggot tipis itu menatapku tanpa berkedip. Dia melirikku dari atas kepala hingga ke ujung kaki. Dari ekspresinya, kutebak mantan atasanku itu menganggap aneh terhadap penampilanku.

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   9. Celaka

    “Pak, tolong jangan bilang-bilang kalau saya di sini!” mohonku sambil mencengkeram lengan berbulu milik Pak Hanan. Mata Pak Hanan memicing sadis. Pria itu lalu mendelik dan memajukan dagunya ke depan. “Singkirkan tanganmu,” perintahnya cukup ketus. Refleks, aku melepaskan cengkeramanku pada lengannya. Suara dering ponsel milik Pak Hanan masih memekik keras di antara kami. Semakin was-was saja hatiku gara-gara dering nyaring tersebut. Pak Hanan lalu mengangkat telepon dari suamiku. Degupan jantungku langsung keras bertalu. Aku berdoa, semoga Mas Rian tidak apa-apa dan yang terjatuh tadi juga bukan orang lain. “Halo, Rian! Ngapain kamu nelepon saya? Bukannya segera masuk kantor, malah nelepon-nelepon nggak jelas begini!” geram Pak Hanan sampai bola matanya melotot besar. Kugenggam tangan Helena erat-erat. Kami berdua kini saling berpandangan. Sejurus kemudian, keluarlah sosok Dewangga dan Firman dari bilik yang berada

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   10. Utangmu Bukan Utangku

    “Pak, tapi saya nggak menikmati uang itu sama sekali!” Tanpa dapat dikontrol lagi, aku menjerit histeris di depan Pak Hanan. Lelaki yang memiliki tubuh dengan rambut-rambut yang cukup lebat itu tampak terkesiap. Helena yang masih standby di samping kananku pun langsung merangkul erat-erat. “Demi Allah, jangankan makan duit tiga puluh juta itu, Pak! Ngeliatnya aja saya nggak pernah!” tegasku dengan suara yang melengking. Dua klien yang sedang duduk di depan meja komputer itu pun lagi-lagi menoleh. Muka mereka terlihat tak nyaman. Aku sudah tidak memikirkan lagi akan tatapan aneh itu, yang penting masalah ini segera kelar. “Maksud saya ke sini adalah minta pertolongan Helena, Pak. Saya cuma mau pulang. Bukan mau mempertanggung jawabkan sebuah kesalahan yang bukan saya pelakunya!” tukasku terengah-engah. Kali ini, teleponku yang menginterupsi percakapan. Deringnya terdengar nyaring dari saku piyama lusuhku. Cepat kusek

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   11. Terkejut

    Tak ada yang sudi menolongku. Baik Helena, Dewangga, Firman, maupun pelanggan-pelanggan ekspedisi yang berdatangan lainnya. Rasanya sedih bukan main, diriku kini bak sampah yang tak dipedulikan oleh sesiapa pun. Akhirnya aku ikut bersama Pak Hanan. Masuk ke sedan BMW putih mentereng miliknya yang seingatku baru saja di beli sebulan sebelum aku dan Mas Rian menikah. Jangan tanya seperti apa banyaknya air mataku, yang pasti sangat sebak. “Nggak usah nangis kamu! Ngapain kamu nangis segala kaya orang ditinggal mati suami?!” Pak Hanan membentakku ketika dirinya tengah menyalakan mesin mobil. Aku kesal. Bukan main rasanya. Sudah jatuh, tertimpa tangga dan tai ayam lancung pula. Hidupku hari ini seolah tengah dipeluk oleh takdir sial yang enggan pergi meski hanya sejenak. Kuputuskan untuk diam. Percuma sekarang menangis pun, pikirku. Pak Hanan dengan segala ketegaannya, pasti akan membawaku pergi. Entah itu ke rumah sakit

Bab terbaru

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   37. Kejutan Sebenarnya

    BAB 37Kejutan SebenarnyaEND Kupikir, Mas Hanan akan kembali mengajakku untuk ‘bergulat’ ketika tubuhku ditepuknya beberapa kali di bagian pundak. Ternyata … dia hanya membangunkanku. Entah aku harus senang atau tidak, karena jujur saja, aku juga tidak keberatan kalau diajak melakukan ibadah sunnah tersebut hehe. “Sayang, bangun,” ucap Mas Hanan tepat di telingaku. “Hu um,” lirihku sambil mengucek mata. Aku kira, sekarang sudah Subuh. Betapa terkejutnya aku saat kulihat jam weker di atas nakas samping ranjang kami. Baru pukul tiga pagi! Mas Hanan sudah bangkit dari tidurnya. Lelaki yang hanya mengenakan kaus oblong putih dan celana boxer cokelat khaki itu tampak bangkit dari ranjang. Saat berdiri di sisi tempat tidur, suamiku merenggangkan kedua tangannya dan menggerak-gerakkan pundaknya ke kanan maupun ke kiri. “Mas, kita bangun sepagi ini mau ngapain?” tanyaku terheran-heran. “Mau pula

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   36. Kamu Adalah Pakaianku

    BAB 36Kamu Adalah Pakaianku Mas Hanan melepaskan pakaian yang kukenakan di atas ranjang. Tentu saja degupan jantungku makin-makin melesat kencang saja. Napasku terengah, sedangkan mataku spontan mengatup rapat sebab rasa malu yang begitu teramat sangat. Deru napas suamiku terasa mengembus di kulit wajah maupun leher. Di sela embusan napas itu, tiba-tiba terasa kembali sebuah kecupan manis yang tepat mengenai leherku. Kecupan itu kian turun dan malah berakhir di atas dadaku. Aku sontak berteriak. Kaget. Syok berat. “Sayang, jangan berteriak. Aku nggak akan kasar, kok. Kita main lembut, ya?” Mas Hanan membujukku dengan suaranya yang begitu pelan dan lembut. Kuberanikan diri untuk membuka kedua mata kembali. Lelaki itu masih berada di atas tubuhku. Kini kedua tangannya menggenggam kedua jemariku yang dia rentangkan lebar-lebar. Jemari kami saling bertautan. Kedua telapak tanganku kini tenggelam dalam tel

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   35. Gairah di Malam Pertama

    BAB 35Gairah di Malam Pertama Di kamar hotel tipe presidential suite yang Mas Hanan sewa, kami berdua akan melepaskan penat seusai pesta resepsi yang penuh kemewahan plus ingar bingar kebahagiaan tiada taranya. Di kamar dengan luas 200 meter persegi yang dilengkapi fasilitas super komplet nan megah itu, aku kini hanya berduaan saja bersama suamiku. Make up yang sempat menghiasi wajah pun telah dibersihkan di ruangn rias ballroom tadi. Pakaian pesta juga telah berganti menjadi gaun panjang berwarna magenta plus pasmina plisket warna putih terang. Saat pintu kamar hotel telah ditutup rapat oleh Mas Hanan, pria tampan yang sedari tadi terus menggandengku itu tiba-tiba menarik pelan tubuhku ke dalam pelukannya. Persis di depan pintu kamar yang terletak di lantai sembilan ini, suamiku mendekap sangat erat dan melayangkan kecupan di puncak kepala. Jangan tanya betapa gugupnya aku sekarang. Semua bagaikan mimpi! “Istriku sayang, gimana dengan tawara

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   34. Bahagia Tanpanya

    “Pak Hanan, Fika, selamat ya untuk pernikahan kalian. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.” Pria kurus dengan rambut ikal gantung sebahu itu datang dengan kemeja batik cokelatnya yang kedodoran. Celana jins hitam lusuh yang dia pakai itu tampak usang dan tak patut untuk dikenakan di sebuah pesta pernikahan mewah. Namun, sama sekali aku tak mempermasalahkan hal tersebut, malah timbul perasaan iba di hati tatkala melihatnya hadir dengan muka pucat serta dua mata yang berkantung hitam. Kulihat dengan ekor mataku, tangan kurusnya dengan kuku-kuku panjang tak terawat itu mengulur di hadapan suamiku. Ya, Mas Hanan telah mengucapkan ijab qabul di hadapan Paklek Karim, adik tertua almarhum Ayah yang bertindak sebagai waliku. Mas kawin yang Mas Hanan berikan untukku tak main-main, sesuai janjinya dulu yaitu sebuah rumah ruko dua lantai yang berdiri persis di depan kantor JNR. Dua lembar undangan memang kami layangkan untuk Rian dan

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   33. Setujumu Bahagiaku

    Makan siang kami berakhir. Ucapan penghiburan dari mulut Pak Hanan, kini mulai mengusik kepala. Segenap pikiranku jadi terhantui dan agak terganggu dengan janji manis yang dia lontarkan. Beliau tampak biasa-biasa saja setelah berjanji akan memberikan tanah maupun rumah untukku. Namun, sebaliknya dengan aku. Meskipun mencoba menepis harapan yang mulai mekar di dada, tetapi perasaan penuh asa itu malah tergantung tinggi di hati. Astaghfirullah, ucapku dalam hati. Aku tak boleh berharap pada manusia. Takut kecewa, batinku. Anggap saja beliau hanya bercanda atau basa basi belaka. Masalah takut berutang budi dan memimpikan agar beliau menjadi imam halalku pun, cepat kutepis sejauh mungkin. Ya Allah, buat aku selalu sadar diri tentang siapa diriku yang hina ini, meski Pak Hanan tadi sempat mengaku bahwa dia sudah menyukaiku sejak awal aku bekerja di JNR. Lepas makan siang, Katniss lantas mengajakku naik ke lantai dua. Dia bilang katany

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   32. Imam Halal

    Kami hampir saja melewatkan jam makan siang gara-gara insiden di halaman parkir supermarket. Saking larutnya dalam haru yang membiru, baik aku dan Pak Hanan jadi lupa waktu. Untung saja akhirnya beliau mengingatkan agar kami berdua segera pulang karena takutnya Katniss sudah menunggu di rumah. Sepanjang perjalanan menuju rumah Pak Hanan, aku tak banyak bicara. Hanya diam saja. Bahkan ketika Pak Hanan menyuruhku untuk mengambil empat buat cokelat di kantung plastik yang berada di dalam tumpukan buah di belakang pun, aku tak mengucapkan banyak kalimat, kecuali ‘terima kasih’. Jujur saja, bukan main malunya diriku sekarag kepada Pak Hanan. Yang pertama, isi hatiku sudah ketahuan oleh beliau. Yang kedua, perasaan tak pantas itu kembali muncul lagi. Mengapa dengan bodohnya aku nekat mengucapkan kata suka pada Pak Hanan, meskipun beliau sudah bilang duluan? Seharusnya aku sembunyikan saja semuanya, bukan? Pasti ke depannya sikap kami berdua bakalan

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   31. Satu Pinta

    Mobil yang Pak Hanan kendarai telah sampai tepat di parkiran gerai Indojuni miliknya. Aku mendadak tercenung sekaligus gelisah mengetahui bahwa Pak Hanan bukannya segera mematikan mesin, tetapi malah menatap ke arahku. Dari gerak geriknya, dia seperti menanti jawabanku akan pertanyaannya tadi. “Bapak taunya dia nggak suka emangnya dari mana?” Aku malah balik bertanya dengan perasaan gugup dan gemetar di kedua tungkai. Tatapan mata Pak Hanan tiba-tiba menajam. Kedua alisnya yang tersusun rapi bak untaian daun cemara di batang tulangnya itu kini saling bertaut. Dipandangi begitu, keringat dingin semakin membanjiri sekujur tubuhku. “Entah. Mungkin cuma perasaanku aja. Tapi, aku boleh tanya langsung ke kamu?” Di dalam dadaku seperti terdengar letup-letupan yang berdentum keras. Aku setengah limbung. Kesadaranku seperti melayang separuhnya. Ya Allah, Pak Hanan … kamu ini kenapa, Pak? Pertanyaanmu apakah sengaja ingin men

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   30. Maksud Terselubung

    “Aku nggak nyangka sih, kamu bisa bicara sekasar itu sama aku, Hel. Dulu kamu nggak gini. Sekejap mata kamu berubah ke aku, tanpa aku tahu alasannya apa.” Tegas kukatakan semuanya pada Helena. Gadis itu kini tampak terperangkap dalam situasi yang canggung. Bahkan, kedua mata Helena tak berani menatapku. Mukanya yang putih mengkilap itu kini berubah semerah udang rebus. “Sudah ya, Hel. Masalah utang-utangmu ke aku, aku akan cicil semua. Kamu nggak usah khawatir masalah itu. Aku akan digaji oleh Pak Hanan dan setelah gajian semua utang pulsa maupun kuota ke kamu bakal aku ganti!” Aku membalik badan. Berjalan dengan langkah tergesa, sembari meredam debar-debar kencang di dada. Sepertinya adrenalin dalam darahku telah melesat setinggi-tingginya. Helena tak memanggilku untuk kembali. Pun mencegat langkah kaki ini. Baguslah, sepertinya memang tidak ada yang perlu untuk dijelaskan lagi padanya. Aku pun masuk ke mobil Pak H

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   29. Tegang

    Pak Hanan sontak menoleh ke arahku. Tatapan beliau seakan-akan menyimpan jutaan tanya. Yang kutangkap, sepertinya beliau ingin tahu mengapa kiranya Helena sampai terkejut begitu. Mungkin, pikir Pak Hanan, sebagai sepasang sahabat karib, aku telah menceritakan banyak hal pada Helena. Termasuk tinggalnya diriku di satu atap yang sama dengan Pak Hanan. Namun, nyatanya, ketika aku hendak jujur bercerita, Helena malah menyangkal hal itu mentah-mentah. Wajar bukan, kalau aku akhirnya berbohong pada gadis cantik berkulit putih itu? Pagi ini, rasanya aku juga tak mau cerita banyak pada Helena. Biarlah dia sibuk menebak-nebak sendiri apa yang terjadi kepada aku dan Pak Hanan. Aku dan Pak Hanan lalu sama-sama berjalan mendatangi meja Helena. Kulihat sekilas, wajah Helena semakin pias. Rautnya begitu syok campur tak percaya tatkala aku telah berdiri di depannya. “Len, mana yang lain? Dewangga, Firman, Aris, dan Ferdy?” Pak Hanan bertanya de

DMCA.com Protection Status