“Bacot! Aku masih istrimu. Rumah ini juga sebenarnya adalah hakku!” pekik Bu Jelita dari dalam kamar. Suara pertengkaran mereka begitu menggema ke seluruh penjuru rumah yang membuat aku sebagai tamu auto merasa keder sendiri.“Hakmu? Hak kepala bapakmu! Kamu menikah denganku hanya bawa celana dalam dan kutangmu saja. Jangankan rumah, menghasilkan uang saj akamu tidak pernah!” Pak Hanan membalas ucapan sang istri dengan kalimat pedas nan tajam.Mendengar hujatan Pak Hanan, seketika kakiku gemetar. Trauma akan pertengkaran yang terjadi di antara aku dan mertuaku tadi pagi tiba-tiba mengantui lagi. Ditambah dengan pekik jerit Pak Hanan dan sang istri, rasanya mentalku langsung down.“Dasar perempuan tidak tahu diri! Sudah kupungut kamu dari dalam got, setelah merasa dirimu berharga seperti intan berlian, kamu malah jadi pengkhianat! Cepat keluar dari rumahku, perempuan jalang!” maki Pak Hanan sambil mendobrak pintu kamarnya.“Astaghfirullah,” gumamku sambil memejamkan mata.Tubuhku teras
“Dia hanya pembantu, kan? Bukan perempuan yang mau kamu gunakan untuk membalas dendam?”Bu Jelita bicara lagi. Sudah babak belur pun, kulihat keangkuhannya masih begitu paripurna. Dari nada bicara dan delikan matanya, jelas dia sedang merendahkanku.Kuhapus cepat air mataku yang membasahi pipi. Rasanya tidak perlu lagi aku mengasihani Bu Jelita. Perempuan kasar dan sombong itu sepertinya memang pantas mendapatkan ‘hadiah’ baku hantam dari suaminya.“Apa urusanmu, Lita? Kamu tidak ada hak lagi untuk menanyakan tentang apa yang akan kuperbuat. Sekarang, tinggalkan rumahku!” hardik Pak Hanan sambil berjalan ke arahnya.Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat jelas bahwa kaki Pak Hanan menendang pelan ke betis mulus milik Bu Jelita yang memang mengenakan mini dress berwarna salem tersebut. Bu Jelita pun langsung menyibak rambut panjangnya yang sudah acak-acakkan dan hampir menutupi wajah cantiknya yang kini biru-biru karena tamparan. Perempuan itu mendongak sambil memperhatikan Pak Hanan pe
Aku putuskan untuk segera mandi agar Pak Hanan tidak terlalu lama menunggu di bawah. Tentu sebagai pembantu baru, aku tak mau mengecewakan beliau. Perlu kuingat bahwa sekarang aku tak punya tempat tinggal untuk bernaung, selain rumah Pak Hanan ini. Saat masuk ke kamar mandinya yang cukup mewah untuk ukuran orang susah sepertiku, aku dibuat takjub kala menemukan pemanas air. Kalau tidak salah namanya water heater. Jadi, di kamar mandi plus toilet ini terdapat shower air panas dan air dingin. Masyaallah, gumamku dalam hati. Ternyata tak seperti yang kuduga sebelumnya. Hidupku tak melulu sengsara, meski kini harus ikut dengan Pak Hanan yang agak tempramental tersebut. Di bilik mandi yang disekat dengan kaca tebal itu aku mandi dengan kucuran air hangat. Kepalaku yang lengket karena belum keramas tiga hari pun langsung terasa segar luar biasa. Aku baru sadar akan kebenaran protes dari Pak Hanan. Wajar kalau majikanku itu bilang ada b
“T-tapi … saya nggak mungkin numpang di sini tanpa ngapa-ngapain, Pak. Saya nggak mau jadi benalu di rumah Bapak. Lagipula … saya juga bukan saudara Bapak.” Aku begitu gamang mendapati kenyataan ini. Di satu sisi, aku sudah langsung kerasan tinggal di rumah Pak Hanan, meski di awal harus melihat pertengkaran hebat di antara beliau dan istrinya. Namun, di sisi lain, aku cukup tahu diri dan enggan jika harus menumpang tanpa bekerja untuknya. “Kamu ini cerewet, ya!” keluh Pak Hanan sambil menyambar cangkir tehnya. Terdengar suara seruputan dari arah depan sana. Nikmat sekali Pak Hanan menyeruput teh buatan Mbak Lisa yang kutengok juga tak dibubuhinya gula tersebut. Apa tidak ketawaran, ya? “B-bukan begitu, Pak. Nggak enak juga sama … i-istri Bapak,” sahutku sambil memperhatikan gerak gerik Pak Hanan. “Istri? Istri yang mana? Jelita, maksudmu?” Pak Hanan buru-buru menaruh cangkir dan tatakannya ke atas meja.
“Nanti Tante Fika tolong kamu ajarkan cara berpakaian yang baik dan benar, ya. Maklum, beliau ini dari desa terpencil. Katniss pasti ingat sama Tante Fika, kan? Dia ini dulu juga pernah kerja di perusahaan ekspedisinya, Daddy,” jelas Pak Hanan sambil menatap lekat anak perempuannya. “Oh dari desa, ya? Pantesan!” celetuk Katniss sinis. “Aku nggak ingat, Dad! Ingatanku cuma buat hal-hal yang penting aja!” Katniss lalu memandangiku dengan tatapan yang sangat meremehkan. Ucapan Katniss benar-benar penuh dengan sarkas yang menyayat hati. Sabar, pikirku. Anak ini masih kecil, mungkin masih perlu penataran khusus untuk bibir tipisnya yang lentur itu. Gadis cantik bertubuh tinggi semampai dengan rambut ikal kecokelatan itu pun berjalan dengan kaus kaki yang masih menempel di kaki mulusnya. Entah terhasut setan mana, Katniss malah sengaja menubruk pundakku saat berjalan ke arah meja makan sana. Aku ternganga saja dengan tingkahnya yang su
“Sebaik-baiknya Pak Hanan, mana mungkin mau ngasih tinggal orang asing ke rumah, Fik. Orang kita mau silaturahmi tiap lebaran aja dia nggak ngebolehin, kok. Pasti halal bihalalnya juga dibikin di kantor.” Helena meneruskan ucapannya dengan nada yang cukup sinis. “Hmm, benar juga katamu, Hel,” jawabku mulai kehilangan selera untuk bicara panjang lebar dengannya. “Jadi, sekarang kamu di mana? Betulan di rumahnya Pak Hanan, Fik?” “Nggak, Hel. Aku bohong. Hehe.” Aku pura-pura tertawa, padahal hatiku sebenarnya tengah menyimpan perasaan yang cukup aneh kepada Helena. “Tuh, kan! Kamu tuh, senang banget bikin aku syok! Sekarang kamu di mana? Biar aku samperin kalau memang masih di kota.” Helena seperti mendesakku. “Aku udah di bis, Hel. Sekitar dua jam lagi sampai kampung. Diongkosin Pak Hanan.” Terpaksa aku membohongi Helena. Percuma jujur pun. Sepertinya Helena malah tidak terima kenyataan jik
“Mbak Fika, kalau mau protes langsung ke Tuan aja. Saya nggak tahu apa-apa.” Muka Mbak Lisa yang dihiasi kerutan halus itu terlihat keberatan. Aku mendecak kecil. Bukan tak bersyukur diberi baju bekas oleh Pak Hanan. Yang jadi masalahnya, kalau sampai Bu Jelita lihat, apa ini tidak bakalan jadi masalah? “Oke, Mbak. Makasih banyak, ya. Oh, ya, Bu Jelita ke mana ya, Mbak?” bisikku dengan ekspresi resah. Mbak Lisa yang lebih pendek tubuhnya dan kini telah bertukar pakaian menjadi daster batik selutut itu mengendikkan bahu. Perempuan yang rambutnya telah berhias uban itu berkata dengan acuh tak acuh, “Jangan tanya saya, Mbak. Saya nggak tahu apa-apa.” Mbak Lisa yang mengenakan bando hitam dan mengikat rambut sepundaknya dengan jedai plastik motif zebra itu pun balik badan. Dia turun ke lantai bawah, tanpa mengucapkan salam perpisahan padaku. Tentu saja diperlakukan begitu membuatku langsung merinding. “Duh, Mbak Lisa.
BAB 24Hilang Respek “Bukan. Masa aku simpanan Daddy-mu? Kurasa selera Daddy-mu pasti lebih berkelas daripada cewek kampung sepertiku.” Kujawab kata-kata Katniss dengan cukup sinis. Biarlah dikata merendahkan derajat sendiri. Biar anak itu puas. “Ya, betul juga, sih. Oke. Aku mau siap-siap dulu. Sekalian mau salat Ashar.” Katniss sambil memuntir-muntir rambut ikalnya, berbalik dan lari dari kamarku. Anak itu tidak menutup kembali pintu kamar yang kutempati. Melihat punggung si cantik itu lenyap dari pandangan, aku lega. Entah mengapa, Katniss malah seperti momok mengerikan di rumah ini. “Jangan sampai anak itu membuatku stroke,” gumamku sambil menghela napas dalam. Setelah Katniss pergi, aku langsung salat Ashar. Tadi sebenarnya setelah Zuhur, aku mau langsung melaksanakan salat Ashar, tapi sayangnya Mbak Lisa malah menggangguku dengan memberikan baju-baju yang katanya Katniss adalah baju untuk disumba
BAB 37Kejutan SebenarnyaEND Kupikir, Mas Hanan akan kembali mengajakku untuk ‘bergulat’ ketika tubuhku ditepuknya beberapa kali di bagian pundak. Ternyata … dia hanya membangunkanku. Entah aku harus senang atau tidak, karena jujur saja, aku juga tidak keberatan kalau diajak melakukan ibadah sunnah tersebut hehe. “Sayang, bangun,” ucap Mas Hanan tepat di telingaku. “Hu um,” lirihku sambil mengucek mata. Aku kira, sekarang sudah Subuh. Betapa terkejutnya aku saat kulihat jam weker di atas nakas samping ranjang kami. Baru pukul tiga pagi! Mas Hanan sudah bangkit dari tidurnya. Lelaki yang hanya mengenakan kaus oblong putih dan celana boxer cokelat khaki itu tampak bangkit dari ranjang. Saat berdiri di sisi tempat tidur, suamiku merenggangkan kedua tangannya dan menggerak-gerakkan pundaknya ke kanan maupun ke kiri. “Mas, kita bangun sepagi ini mau ngapain?” tanyaku terheran-heran. “Mau pula
BAB 36Kamu Adalah Pakaianku Mas Hanan melepaskan pakaian yang kukenakan di atas ranjang. Tentu saja degupan jantungku makin-makin melesat kencang saja. Napasku terengah, sedangkan mataku spontan mengatup rapat sebab rasa malu yang begitu teramat sangat. Deru napas suamiku terasa mengembus di kulit wajah maupun leher. Di sela embusan napas itu, tiba-tiba terasa kembali sebuah kecupan manis yang tepat mengenai leherku. Kecupan itu kian turun dan malah berakhir di atas dadaku. Aku sontak berteriak. Kaget. Syok berat. “Sayang, jangan berteriak. Aku nggak akan kasar, kok. Kita main lembut, ya?” Mas Hanan membujukku dengan suaranya yang begitu pelan dan lembut. Kuberanikan diri untuk membuka kedua mata kembali. Lelaki itu masih berada di atas tubuhku. Kini kedua tangannya menggenggam kedua jemariku yang dia rentangkan lebar-lebar. Jemari kami saling bertautan. Kedua telapak tanganku kini tenggelam dalam tel
BAB 35Gairah di Malam Pertama Di kamar hotel tipe presidential suite yang Mas Hanan sewa, kami berdua akan melepaskan penat seusai pesta resepsi yang penuh kemewahan plus ingar bingar kebahagiaan tiada taranya. Di kamar dengan luas 200 meter persegi yang dilengkapi fasilitas super komplet nan megah itu, aku kini hanya berduaan saja bersama suamiku. Make up yang sempat menghiasi wajah pun telah dibersihkan di ruangn rias ballroom tadi. Pakaian pesta juga telah berganti menjadi gaun panjang berwarna magenta plus pasmina plisket warna putih terang. Saat pintu kamar hotel telah ditutup rapat oleh Mas Hanan, pria tampan yang sedari tadi terus menggandengku itu tiba-tiba menarik pelan tubuhku ke dalam pelukannya. Persis di depan pintu kamar yang terletak di lantai sembilan ini, suamiku mendekap sangat erat dan melayangkan kecupan di puncak kepala. Jangan tanya betapa gugupnya aku sekarang. Semua bagaikan mimpi! “Istriku sayang, gimana dengan tawara
“Pak Hanan, Fika, selamat ya untuk pernikahan kalian. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.” Pria kurus dengan rambut ikal gantung sebahu itu datang dengan kemeja batik cokelatnya yang kedodoran. Celana jins hitam lusuh yang dia pakai itu tampak usang dan tak patut untuk dikenakan di sebuah pesta pernikahan mewah. Namun, sama sekali aku tak mempermasalahkan hal tersebut, malah timbul perasaan iba di hati tatkala melihatnya hadir dengan muka pucat serta dua mata yang berkantung hitam. Kulihat dengan ekor mataku, tangan kurusnya dengan kuku-kuku panjang tak terawat itu mengulur di hadapan suamiku. Ya, Mas Hanan telah mengucapkan ijab qabul di hadapan Paklek Karim, adik tertua almarhum Ayah yang bertindak sebagai waliku. Mas kawin yang Mas Hanan berikan untukku tak main-main, sesuai janjinya dulu yaitu sebuah rumah ruko dua lantai yang berdiri persis di depan kantor JNR. Dua lembar undangan memang kami layangkan untuk Rian dan
Makan siang kami berakhir. Ucapan penghiburan dari mulut Pak Hanan, kini mulai mengusik kepala. Segenap pikiranku jadi terhantui dan agak terganggu dengan janji manis yang dia lontarkan. Beliau tampak biasa-biasa saja setelah berjanji akan memberikan tanah maupun rumah untukku. Namun, sebaliknya dengan aku. Meskipun mencoba menepis harapan yang mulai mekar di dada, tetapi perasaan penuh asa itu malah tergantung tinggi di hati. Astaghfirullah, ucapku dalam hati. Aku tak boleh berharap pada manusia. Takut kecewa, batinku. Anggap saja beliau hanya bercanda atau basa basi belaka. Masalah takut berutang budi dan memimpikan agar beliau menjadi imam halalku pun, cepat kutepis sejauh mungkin. Ya Allah, buat aku selalu sadar diri tentang siapa diriku yang hina ini, meski Pak Hanan tadi sempat mengaku bahwa dia sudah menyukaiku sejak awal aku bekerja di JNR. Lepas makan siang, Katniss lantas mengajakku naik ke lantai dua. Dia bilang katany
Kami hampir saja melewatkan jam makan siang gara-gara insiden di halaman parkir supermarket. Saking larutnya dalam haru yang membiru, baik aku dan Pak Hanan jadi lupa waktu. Untung saja akhirnya beliau mengingatkan agar kami berdua segera pulang karena takutnya Katniss sudah menunggu di rumah. Sepanjang perjalanan menuju rumah Pak Hanan, aku tak banyak bicara. Hanya diam saja. Bahkan ketika Pak Hanan menyuruhku untuk mengambil empat buat cokelat di kantung plastik yang berada di dalam tumpukan buah di belakang pun, aku tak mengucapkan banyak kalimat, kecuali ‘terima kasih’. Jujur saja, bukan main malunya diriku sekarag kepada Pak Hanan. Yang pertama, isi hatiku sudah ketahuan oleh beliau. Yang kedua, perasaan tak pantas itu kembali muncul lagi. Mengapa dengan bodohnya aku nekat mengucapkan kata suka pada Pak Hanan, meskipun beliau sudah bilang duluan? Seharusnya aku sembunyikan saja semuanya, bukan? Pasti ke depannya sikap kami berdua bakalan
Mobil yang Pak Hanan kendarai telah sampai tepat di parkiran gerai Indojuni miliknya. Aku mendadak tercenung sekaligus gelisah mengetahui bahwa Pak Hanan bukannya segera mematikan mesin, tetapi malah menatap ke arahku. Dari gerak geriknya, dia seperti menanti jawabanku akan pertanyaannya tadi. “Bapak taunya dia nggak suka emangnya dari mana?” Aku malah balik bertanya dengan perasaan gugup dan gemetar di kedua tungkai. Tatapan mata Pak Hanan tiba-tiba menajam. Kedua alisnya yang tersusun rapi bak untaian daun cemara di batang tulangnya itu kini saling bertaut. Dipandangi begitu, keringat dingin semakin membanjiri sekujur tubuhku. “Entah. Mungkin cuma perasaanku aja. Tapi, aku boleh tanya langsung ke kamu?” Di dalam dadaku seperti terdengar letup-letupan yang berdentum keras. Aku setengah limbung. Kesadaranku seperti melayang separuhnya. Ya Allah, Pak Hanan … kamu ini kenapa, Pak? Pertanyaanmu apakah sengaja ingin men
“Aku nggak nyangka sih, kamu bisa bicara sekasar itu sama aku, Hel. Dulu kamu nggak gini. Sekejap mata kamu berubah ke aku, tanpa aku tahu alasannya apa.” Tegas kukatakan semuanya pada Helena. Gadis itu kini tampak terperangkap dalam situasi yang canggung. Bahkan, kedua mata Helena tak berani menatapku. Mukanya yang putih mengkilap itu kini berubah semerah udang rebus. “Sudah ya, Hel. Masalah utang-utangmu ke aku, aku akan cicil semua. Kamu nggak usah khawatir masalah itu. Aku akan digaji oleh Pak Hanan dan setelah gajian semua utang pulsa maupun kuota ke kamu bakal aku ganti!” Aku membalik badan. Berjalan dengan langkah tergesa, sembari meredam debar-debar kencang di dada. Sepertinya adrenalin dalam darahku telah melesat setinggi-tingginya. Helena tak memanggilku untuk kembali. Pun mencegat langkah kaki ini. Baguslah, sepertinya memang tidak ada yang perlu untuk dijelaskan lagi padanya. Aku pun masuk ke mobil Pak H
Pak Hanan sontak menoleh ke arahku. Tatapan beliau seakan-akan menyimpan jutaan tanya. Yang kutangkap, sepertinya beliau ingin tahu mengapa kiranya Helena sampai terkejut begitu. Mungkin, pikir Pak Hanan, sebagai sepasang sahabat karib, aku telah menceritakan banyak hal pada Helena. Termasuk tinggalnya diriku di satu atap yang sama dengan Pak Hanan. Namun, nyatanya, ketika aku hendak jujur bercerita, Helena malah menyangkal hal itu mentah-mentah. Wajar bukan, kalau aku akhirnya berbohong pada gadis cantik berkulit putih itu? Pagi ini, rasanya aku juga tak mau cerita banyak pada Helena. Biarlah dia sibuk menebak-nebak sendiri apa yang terjadi kepada aku dan Pak Hanan. Aku dan Pak Hanan lalu sama-sama berjalan mendatangi meja Helena. Kulihat sekilas, wajah Helena semakin pias. Rautnya begitu syok campur tak percaya tatkala aku telah berdiri di depannya. “Len, mana yang lain? Dewangga, Firman, Aris, dan Ferdy?” Pak Hanan bertanya de