“Mbak Fika, kalau mau protes langsung ke Tuan aja. Saya nggak tahu apa-apa.” Muka Mbak Lisa yang dihiasi kerutan halus itu terlihat keberatan. Aku mendecak kecil. Bukan tak bersyukur diberi baju bekas oleh Pak Hanan. Yang jadi masalahnya, kalau sampai Bu Jelita lihat, apa ini tidak bakalan jadi masalah? “Oke, Mbak. Makasih banyak, ya. Oh, ya, Bu Jelita ke mana ya, Mbak?” bisikku dengan ekspresi resah. Mbak Lisa yang lebih pendek tubuhnya dan kini telah bertukar pakaian menjadi daster batik selutut itu mengendikkan bahu. Perempuan yang rambutnya telah berhias uban itu berkata dengan acuh tak acuh, “Jangan tanya saya, Mbak. Saya nggak tahu apa-apa.” Mbak Lisa yang mengenakan bando hitam dan mengikat rambut sepundaknya dengan jedai plastik motif zebra itu pun balik badan. Dia turun ke lantai bawah, tanpa mengucapkan salam perpisahan padaku. Tentu saja diperlakukan begitu membuatku langsung merinding. “Duh, Mbak Lisa.
BAB 24Hilang Respek “Bukan. Masa aku simpanan Daddy-mu? Kurasa selera Daddy-mu pasti lebih berkelas daripada cewek kampung sepertiku.” Kujawab kata-kata Katniss dengan cukup sinis. Biarlah dikata merendahkan derajat sendiri. Biar anak itu puas. “Ya, betul juga, sih. Oke. Aku mau siap-siap dulu. Sekalian mau salat Ashar.” Katniss sambil memuntir-muntir rambut ikalnya, berbalik dan lari dari kamarku. Anak itu tidak menutup kembali pintu kamar yang kutempati. Melihat punggung si cantik itu lenyap dari pandangan, aku lega. Entah mengapa, Katniss malah seperti momok mengerikan di rumah ini. “Jangan sampai anak itu membuatku stroke,” gumamku sambil menghela napas dalam. Setelah Katniss pergi, aku langsung salat Ashar. Tadi sebenarnya setelah Zuhur, aku mau langsung melaksanakan salat Ashar, tapi sayangnya Mbak Lisa malah menggangguku dengan memberikan baju-baju yang katanya Katniss adalah baju untuk disumba
Kuabaikan sejenak panggilan dari Helena sampai ponselku henti bergetar. Namun, gadis itu tampaknya engga menyerah. Dia lagi-lagi meneleponku dan terpaksa harus kuangkat. “Halo, Hel. Sorry, masih di jalan,” jawabku malas. “Fika, kenapa kamu kirimin aku pulsa seratus ribu? Duit dari mana kamu, Fik? Buat ongkos aja kamu udah susah. Astaga!” Suara Helena terdengar khawatir di seberang sana. Semoga saja bukan pura-pura khawatir, pikirku. Ya Allah, aku jadi mudah suuzan pada perempuan cantik itu. Padahal, hubungan kami sebelum-sebelumnya sangat mesra layaknya adik kakak yang saling sayang. “Nggak apa-apa, Hel. Ambil aja. Aku terlalu banyak ngerepotin. Itu dikasih sama anaknya Pak Hanan tadi.” Aku tidak bisa berbohong. Sebab, di depanku ada Katniss. Sekecil apa pun suaraku, pasti Katniss bisa mendengar isi pembicaraanku kepada Helena. “Anaknya? Kok, sampai anaknya ngasih kamu pulsa segala, Fik? Ini kamu masih
Sore itu, Katniss menangis di dalam dekapanku cukup lama. Aku tak banyak bicara padanya. Hanya memeluk tubuhnya dengan sesekali mengusap rambut ikal milik Katniss yang harum. Akhirnya, gadis itu melepaskan pelukannya juga. Dia mengusap air mata yang membasahi pipi mulusnya. Tarikan napas Katniss terdengar berat dan penuh luka. “Kamu udah tenang?” tanyaku sembari menatap Katniss dalam. Katniss mengangguk. Dia duduk sambil bersandar lelah. Tatapannya tampak sedih dan kosong. Mobil masih dikendarai oleh Pak Bas dengan kecepatan sedang. Tanpa terasa, hari semakin senja dan kami hanya berputar-putar mengelilingi sudut kota. Langit di luar sana tampak memerah dengan hiasan senja yang membara. “Kita langsung mampir ke masjid aja, ya? Sebentar lagi Magrib,” kataku pada Katniss. Gadis itu mengangguk dalam lamunannya. Tatapan Katniss masih kosong. Aku bisa merasakan betapa sedih, malu, dan kecewanya dia.
Kami bertiga akhirnya tiba juga di restoran White House. Katniss dengan penuh kerendahan hati, tetap mengajak serta sopirnya untuk ikut masuk ke dalam. Pak Bas menurut dan kelihatan tak keberatan untuk mengikuti keinginan gadis remaja itu. “Pak Bas ayo kita turun. Kita harus makan bersama. Anak-anakmu nanti jangan lupa dibungkuskan juga, biar mereka jangan makan tahu tempe terus di rumah.” Begitu kalimat ajakan Katniss kepada Pak Bas yang hanya ditanggapi oleh senyam senyum kecil oleh beliau. Aku dan Katniss saling bergandengan tangan ketika memasuki restoran dua lantai dengan gedung berwarna putih tersebut. Bangunan restoran ini cukup unik. Atapnya berbentuk kubah dengan bagian depan yang dihiasi empat pilar, seperti bangunan rumah model dome klasik. Halaman parkir sudah terlihat hampir penuh kendaraan. Padahal, sekarang belum juga pukul tujuh malam. Memasuki bagian dalam restoran, untung saja tak sepenuh di halaman parkir karena ruangannya c
Pagi-pagi sekali aku bangun dari lelapnya tidur. Sumpah, malam tadi aku benar-benar merasa nyenyak. Tak sedikit pun gelisah, meski kamar ini adalah tempat baru yang benar-benar masih asing. Mungkin karena ketulusan Pak Hanan kepadaku. Sepanjang tidur, bahkan mimpiku begitu indah. Anehnya, semua tentang Pak Hanan dan Katniss yang sepanjang malam tadi menjadi begitu akrab, bahkan kami bertiga sampai bertualang keliling dunia segala dalam bunga tidurku. Setelah mandi dan salat Subuh, aku langsung mengenakan pakaian yang Pak Hanan belikan tadi malam di mal. Setelah makan di White House, Pak Hanan mengajak kami berbelanja ke mal dan tak lupa singgah membelikan makanan untuk keluarganya Pak Bas yang menunggu di rumah. Kupastikan bahwa Pak Hanan ini adalah bos paling peduli kepada semua karyawannya, tanpa terkecuali. Bukan hanya aku saja yang dibelikan banyak pakaian, tapi Mbak Lisa juga. Kata Pak Hanan, pembantu yang usianya ternyata sudah hampir 50
Pak Hanan sontak menoleh ke arahku. Tatapan beliau seakan-akan menyimpan jutaan tanya. Yang kutangkap, sepertinya beliau ingin tahu mengapa kiranya Helena sampai terkejut begitu. Mungkin, pikir Pak Hanan, sebagai sepasang sahabat karib, aku telah menceritakan banyak hal pada Helena. Termasuk tinggalnya diriku di satu atap yang sama dengan Pak Hanan. Namun, nyatanya, ketika aku hendak jujur bercerita, Helena malah menyangkal hal itu mentah-mentah. Wajar bukan, kalau aku akhirnya berbohong pada gadis cantik berkulit putih itu? Pagi ini, rasanya aku juga tak mau cerita banyak pada Helena. Biarlah dia sibuk menebak-nebak sendiri apa yang terjadi kepada aku dan Pak Hanan. Aku dan Pak Hanan lalu sama-sama berjalan mendatangi meja Helena. Kulihat sekilas, wajah Helena semakin pias. Rautnya begitu syok campur tak percaya tatkala aku telah berdiri di depannya. “Len, mana yang lain? Dewangga, Firman, Aris, dan Ferdy?” Pak Hanan bertanya de
“Aku nggak nyangka sih, kamu bisa bicara sekasar itu sama aku, Hel. Dulu kamu nggak gini. Sekejap mata kamu berubah ke aku, tanpa aku tahu alasannya apa.” Tegas kukatakan semuanya pada Helena. Gadis itu kini tampak terperangkap dalam situasi yang canggung. Bahkan, kedua mata Helena tak berani menatapku. Mukanya yang putih mengkilap itu kini berubah semerah udang rebus. “Sudah ya, Hel. Masalah utang-utangmu ke aku, aku akan cicil semua. Kamu nggak usah khawatir masalah itu. Aku akan digaji oleh Pak Hanan dan setelah gajian semua utang pulsa maupun kuota ke kamu bakal aku ganti!” Aku membalik badan. Berjalan dengan langkah tergesa, sembari meredam debar-debar kencang di dada. Sepertinya adrenalin dalam darahku telah melesat setinggi-tingginya. Helena tak memanggilku untuk kembali. Pun mencegat langkah kaki ini. Baguslah, sepertinya memang tidak ada yang perlu untuk dijelaskan lagi padanya. Aku pun masuk ke mobil Pak H