“T-tapi … saya nggak mungkin numpang di sini tanpa ngapa-ngapain, Pak. Saya nggak mau jadi benalu di rumah Bapak. Lagipula … saya juga bukan saudara Bapak.” Aku begitu gamang mendapati kenyataan ini. Di satu sisi, aku sudah langsung kerasan tinggal di rumah Pak Hanan, meski di awal harus melihat pertengkaran hebat di antara beliau dan istrinya. Namun, di sisi lain, aku cukup tahu diri dan enggan jika harus menumpang tanpa bekerja untuknya. “Kamu ini cerewet, ya!” keluh Pak Hanan sambil menyambar cangkir tehnya. Terdengar suara seruputan dari arah depan sana. Nikmat sekali Pak Hanan menyeruput teh buatan Mbak Lisa yang kutengok juga tak dibubuhinya gula tersebut. Apa tidak ketawaran, ya? “B-bukan begitu, Pak. Nggak enak juga sama … i-istri Bapak,” sahutku sambil memperhatikan gerak gerik Pak Hanan. “Istri? Istri yang mana? Jelita, maksudmu?” Pak Hanan buru-buru menaruh cangkir dan tatakannya ke atas meja.
“Nanti Tante Fika tolong kamu ajarkan cara berpakaian yang baik dan benar, ya. Maklum, beliau ini dari desa terpencil. Katniss pasti ingat sama Tante Fika, kan? Dia ini dulu juga pernah kerja di perusahaan ekspedisinya, Daddy,” jelas Pak Hanan sambil menatap lekat anak perempuannya. “Oh dari desa, ya? Pantesan!” celetuk Katniss sinis. “Aku nggak ingat, Dad! Ingatanku cuma buat hal-hal yang penting aja!” Katniss lalu memandangiku dengan tatapan yang sangat meremehkan. Ucapan Katniss benar-benar penuh dengan sarkas yang menyayat hati. Sabar, pikirku. Anak ini masih kecil, mungkin masih perlu penataran khusus untuk bibir tipisnya yang lentur itu. Gadis cantik bertubuh tinggi semampai dengan rambut ikal kecokelatan itu pun berjalan dengan kaus kaki yang masih menempel di kaki mulusnya. Entah terhasut setan mana, Katniss malah sengaja menubruk pundakku saat berjalan ke arah meja makan sana. Aku ternganga saja dengan tingkahnya yang su
“Sebaik-baiknya Pak Hanan, mana mungkin mau ngasih tinggal orang asing ke rumah, Fik. Orang kita mau silaturahmi tiap lebaran aja dia nggak ngebolehin, kok. Pasti halal bihalalnya juga dibikin di kantor.” Helena meneruskan ucapannya dengan nada yang cukup sinis. “Hmm, benar juga katamu, Hel,” jawabku mulai kehilangan selera untuk bicara panjang lebar dengannya. “Jadi, sekarang kamu di mana? Betulan di rumahnya Pak Hanan, Fik?” “Nggak, Hel. Aku bohong. Hehe.” Aku pura-pura tertawa, padahal hatiku sebenarnya tengah menyimpan perasaan yang cukup aneh kepada Helena. “Tuh, kan! Kamu tuh, senang banget bikin aku syok! Sekarang kamu di mana? Biar aku samperin kalau memang masih di kota.” Helena seperti mendesakku. “Aku udah di bis, Hel. Sekitar dua jam lagi sampai kampung. Diongkosin Pak Hanan.” Terpaksa aku membohongi Helena. Percuma jujur pun. Sepertinya Helena malah tidak terima kenyataan jik
“Mbak Fika, kalau mau protes langsung ke Tuan aja. Saya nggak tahu apa-apa.” Muka Mbak Lisa yang dihiasi kerutan halus itu terlihat keberatan. Aku mendecak kecil. Bukan tak bersyukur diberi baju bekas oleh Pak Hanan. Yang jadi masalahnya, kalau sampai Bu Jelita lihat, apa ini tidak bakalan jadi masalah? “Oke, Mbak. Makasih banyak, ya. Oh, ya, Bu Jelita ke mana ya, Mbak?” bisikku dengan ekspresi resah. Mbak Lisa yang lebih pendek tubuhnya dan kini telah bertukar pakaian menjadi daster batik selutut itu mengendikkan bahu. Perempuan yang rambutnya telah berhias uban itu berkata dengan acuh tak acuh, “Jangan tanya saya, Mbak. Saya nggak tahu apa-apa.” Mbak Lisa yang mengenakan bando hitam dan mengikat rambut sepundaknya dengan jedai plastik motif zebra itu pun balik badan. Dia turun ke lantai bawah, tanpa mengucapkan salam perpisahan padaku. Tentu saja diperlakukan begitu membuatku langsung merinding. “Duh, Mbak Lisa.
BAB 24Hilang Respek “Bukan. Masa aku simpanan Daddy-mu? Kurasa selera Daddy-mu pasti lebih berkelas daripada cewek kampung sepertiku.” Kujawab kata-kata Katniss dengan cukup sinis. Biarlah dikata merendahkan derajat sendiri. Biar anak itu puas. “Ya, betul juga, sih. Oke. Aku mau siap-siap dulu. Sekalian mau salat Ashar.” Katniss sambil memuntir-muntir rambut ikalnya, berbalik dan lari dari kamarku. Anak itu tidak menutup kembali pintu kamar yang kutempati. Melihat punggung si cantik itu lenyap dari pandangan, aku lega. Entah mengapa, Katniss malah seperti momok mengerikan di rumah ini. “Jangan sampai anak itu membuatku stroke,” gumamku sambil menghela napas dalam. Setelah Katniss pergi, aku langsung salat Ashar. Tadi sebenarnya setelah Zuhur, aku mau langsung melaksanakan salat Ashar, tapi sayangnya Mbak Lisa malah menggangguku dengan memberikan baju-baju yang katanya Katniss adalah baju untuk disumba
Kuabaikan sejenak panggilan dari Helena sampai ponselku henti bergetar. Namun, gadis itu tampaknya engga menyerah. Dia lagi-lagi meneleponku dan terpaksa harus kuangkat. “Halo, Hel. Sorry, masih di jalan,” jawabku malas. “Fika, kenapa kamu kirimin aku pulsa seratus ribu? Duit dari mana kamu, Fik? Buat ongkos aja kamu udah susah. Astaga!” Suara Helena terdengar khawatir di seberang sana. Semoga saja bukan pura-pura khawatir, pikirku. Ya Allah, aku jadi mudah suuzan pada perempuan cantik itu. Padahal, hubungan kami sebelum-sebelumnya sangat mesra layaknya adik kakak yang saling sayang. “Nggak apa-apa, Hel. Ambil aja. Aku terlalu banyak ngerepotin. Itu dikasih sama anaknya Pak Hanan tadi.” Aku tidak bisa berbohong. Sebab, di depanku ada Katniss. Sekecil apa pun suaraku, pasti Katniss bisa mendengar isi pembicaraanku kepada Helena. “Anaknya? Kok, sampai anaknya ngasih kamu pulsa segala, Fik? Ini kamu masih
Sore itu, Katniss menangis di dalam dekapanku cukup lama. Aku tak banyak bicara padanya. Hanya memeluk tubuhnya dengan sesekali mengusap rambut ikal milik Katniss yang harum. Akhirnya, gadis itu melepaskan pelukannya juga. Dia mengusap air mata yang membasahi pipi mulusnya. Tarikan napas Katniss terdengar berat dan penuh luka. “Kamu udah tenang?” tanyaku sembari menatap Katniss dalam. Katniss mengangguk. Dia duduk sambil bersandar lelah. Tatapannya tampak sedih dan kosong. Mobil masih dikendarai oleh Pak Bas dengan kecepatan sedang. Tanpa terasa, hari semakin senja dan kami hanya berputar-putar mengelilingi sudut kota. Langit di luar sana tampak memerah dengan hiasan senja yang membara. “Kita langsung mampir ke masjid aja, ya? Sebentar lagi Magrib,” kataku pada Katniss. Gadis itu mengangguk dalam lamunannya. Tatapan Katniss masih kosong. Aku bisa merasakan betapa sedih, malu, dan kecewanya dia.
Kami bertiga akhirnya tiba juga di restoran White House. Katniss dengan penuh kerendahan hati, tetap mengajak serta sopirnya untuk ikut masuk ke dalam. Pak Bas menurut dan kelihatan tak keberatan untuk mengikuti keinginan gadis remaja itu. “Pak Bas ayo kita turun. Kita harus makan bersama. Anak-anakmu nanti jangan lupa dibungkuskan juga, biar mereka jangan makan tahu tempe terus di rumah.” Begitu kalimat ajakan Katniss kepada Pak Bas yang hanya ditanggapi oleh senyam senyum kecil oleh beliau. Aku dan Katniss saling bergandengan tangan ketika memasuki restoran dua lantai dengan gedung berwarna putih tersebut. Bangunan restoran ini cukup unik. Atapnya berbentuk kubah dengan bagian depan yang dihiasi empat pilar, seperti bangunan rumah model dome klasik. Halaman parkir sudah terlihat hampir penuh kendaraan. Padahal, sekarang belum juga pukul tujuh malam. Memasuki bagian dalam restoran, untung saja tak sepenuh di halaman parkir karena ruangannya c