Rayyan mengusap wajahnya dengan gusar, bagaimana kehidupannya nanti jika semua aset sudah Saras jual. Ada rasa menyesal karena pernah melakukan perjanjian pra-nikah, bukan itu saja. Tetapi hampir semua harta atau barang berharga miliknya memakai atas nama Saras. "Sebentar ada yang ingin aku kembalikan." Saras berlalu masuk ke dalam rumah, sementara Rayyan memilih untuk duduk di kursi yang ada di teras. Sesekali Rayyan memijit pelipisnya yang terasa begitu pusing. Selang beberapa menit Saras kembali, Rayyan meliriknya sekilas. Pria itu benar-benar kecewa dengan apa yang Saras lakukan, tetapi seorang istri tidak akan bertindak di luar batas jika suaminya tidak berulah. Mungkin ini karma untuk Rayyan yang sudah menyia-nyiakan Saras. "Aku cuma mau ngembaliin ini, Mas." Saras menyodorkan kartu ATM yang sempat ia ambil. Berhubung isinya sudah kosong, jadi Saras kembalikan. "Ini, jadi kamu yang ambil." Rayyan nampak terkejut saat melihat Saras mengembalikan kartu ATM yang beberapa hari i
"Ini tidak bisa dibiarkan, Saras tidak boleh membongkar rahasiaku. Jika mas Rayyan dan mama sampai tahu, bisa bahaya," batin Alexa. Ia akan mencari cara agar rahasianya aman, karena akan sangat berbahaya jika sampai suami dan ibu mertuanya tahu siapa dia yang sebenarnya. "Kamu lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan." Setelah mengatakan itu, Alexa memutuskan untuk pergi dari ruangan tersebut. Saras menghela napas, ia harus lebih cerdik dan juga bergerak cepat, karena Alexa tidak bisa diremehkan. Di dalam perjalanan, Alexa terus berpikir dari mana Saras tahu, karena selama ini ia sudah merahasiakannya. Alexa harus mencari cara agar bisa mengambil bukti yang sudah ada di tangan Saras. Akan sangat berbahaya jika Rayyan dan ibu mertuanya sampai tahu. "Apa yang harus aku lakukan, Saras benar-benar licik," gumamnya. Tiba-tiba saja ponsel Alexa berdering, khawatir ada yang penting ia langsung mengambil benda pipih miliknya itu, lalu menggeser tombol berwarna hijau. [Halo ini siapa ya]
"Apa mungkin ini karma untukku, Ma. Karena sudah menyia-nyiakan Saras, apa lagi pabrik itu aku bangun tanpa sepengetahuan darinya. Karena memang aku membangunnya untuk Alexa," gumamnya. Ada rasa menyesal karena sudah terlalu banyak kebohongan. "Hus, jangan ngomong seperti itu. Bisa saja ini ulah Saras, karena ingin menghancurkan kamu." Erika yakin jika pabrik terbakar karena ulah Saras. Mendengar itu Rayyan terdiam, apa mungkin dugaan ibunya itu benar, jika iya. Entah apa lagi yang akan terjadi nanti. "Tidak mungkin, Ma. Saras tidak akan berbuat hal seburuk itu," ujar Rayyan yang menolak akan dugaan ibunya. Karena Rayyan paham betul seperti apa sifat Saras. "Apanya yang tidak mungkin, buktinya dia menjual semua aset di perusahaan milik kamu, dia juga mengambil rumah yang sudah lama mama dan Alexa tempati. Jadi tidak mungkin Saras akan diam saja, dia pasti akan mencaritahu apa yang kamu miliki," ungkap Erika. Bahkan ia khawatir jika nanti Saras mengetahui rumah yang saat ini mereka
"Oh, itu ... anu, em. Itu ... itu anu." Alexa mati kutu saat mendapati ada foto dirinya saat pemotretan. Bukan itu saja, karena terdapat foto dirinya bersama Baron, ketika di hotel. Alexa tidak tahu dari mana suaminya itu mendapatkan foto-foto tersebut. "Jawab dengan jujur." Rayyan menatap istrinya dengan tatapan mata yang tajam. Bahkan sorot matanya menunjukkan kemarahan yang sudah tidak bisa dibendung lagi. "Itu bukan aku, Mas. Tapi saudara kembar aku, aku nggak mungkin kaya gitu lah," ujar Alexa. Dengan segala cara ia akan mengelabui Rayyan karena jika sampai terbongkar rahasianya akan sangat fatal dan berbahaya. Bisa-bisa Rayyan langsung menceraikannya, jika suaminya tahu yang sebenarnya. "Saudara kembar kamu, memangnya kamu punya saudara kembar?" tanya Rayyan, ia tidak begitu yakin jika istrinya memiliki saudara kembar. Karena selama ini baik Alexa dan ibu mertuanya tidak pernah bilang. "Iya, Mas. Maaf karena belum pernah cerita, soalnya mama udah ngusir dia gara-gara kelakua
"Apa kamu punya hutang, Mas?" tanya Alexa dengan penuh selidik. Bahkan wanita itu memicingkan matanya, berusaha untuk mencari kebenarannya. "Untuk apa aku berhutang, kurang kerjaan aja," ketusnya. Rayyan cukup kesal dengan tuduhan istrinya itu, disaat kepalanya pusing memikirkan banyak hal, tapi dengan mudah Alexa menuduhnya berhutang. "Aku kan cuma nanya, kenapa malah ngegas sih," ujar Alexa yang tidak terima jika suaminya berbicara dengan nada cukup tinggi. "Gimana aku nggak ngegas, aku pusing mikir nyari kerjaan. Tapi kamu malah nuduh yang nggak-nggak," sahut Rayyan. Istrinya itu benar-benar sedang menguji kesabarannya. Alexa mendengus kesal. "Makanya biar aku aja yang nyari kerja, kamu cukup jaga Seril saja di rumah.""Memangnya kamu mau kerja apa?" tanya Rayyan. Ia merasa jika istrinya itu tidak akan bisa berbuat apa-apa, wanita manja seperti Alexa hanya bisa duduk dan meminta. Pekerjaan rumah saja, Alexa tidak pernah becus, apa lagi pekerjaan yang lain. Rasanya Rayyan tidak
"Roby, astaga bagaimana ini. Kalau anak itu sampai ngadu sama mas Rayyan bagaimana, bisa mati aku," ujar Alexa dalam hati. Saat ini Alexa benar-benar dalam posisi bingung, bahkan otaknya terasa kosong tanpa ada ide yang muncul. "Alexa, ternyata apa yang Saras katakan benar adanya, kalau dia bekerja di sini. Awalnya aku memang tidak percaya, sebelum aku melihatnya sendiri secara langsung. Ok kita mulai sandiwaranya." Roby membatin. Pria berjaket hitam menghembuskan napasnya. Seolah-olah ia terkejut saat melihat Alexa yang akan Roby ambil fotonya. "Heh kenapa diam, ayo mulai pemotretannya," ujar Baron, seketika Alexa dan Roby terkejut mendengar suaranya. Roby hanya mengangguk dan segera memulai pekerjaannya itu, begitu juga dengan Alexa, walaupun terasa begitu canggung. "Sial banget sih, kenapa Roby harus bekerja dengan Baron. Ini sengaja atau ... ah, jadi canggung gini kan." Alexa menbatin, konsentrasinya benar-benar terganggu. Rasa takut terus membayanginya, Alexa khawatir jika nan
"Jadi kamu tidak mau mengaku." Rayyan menatap tajam wanita yang berdiri di hadapannya itu. Kesabarannya sudah cukup terkuras, karena akhir-akhir ini Alexa sering membuat ulah. "Untuk apa aku mengaku, kalau aku saja tidak tahu dan tidak pernah merasa membeli barang itu," ujar Alexa. Ia terus membela diri karena memang Alexa tidak pernah merasa membeli atau mempunyai barang yang suaminya itu temukan. "Ok, tapi ingat jika kamu terbukti bersalah, aku tidak segan-segan untuk memberi pelajaran untukmu." Setelah mengatakan itu, Rayyan memilih untuk keluar dari kamar. Rasanya ia benar-benar suntuk berada di rumah seharian, terlebih harus mengurus Seril. "Arrrrgght siap. Kenapa barang itu bisa ada di tas sih, siapa yang sudah menaruhnya. Apa mungkin ini kerjaan Roby, tapi untuk apa dia melakukan itu." Alexa mengerang frustasi. Setelah itu ia memutuskan untuk mengambil ponselnya. [Halo, Roby apa kamu yang menaruh tisu magic di tas milikku][Hah tisu magic, untuk apa aku menaruhnya. Atau jan
"Mas Rayyan, aduh bagaimana ini. Apa yang harus aku lakukan." Alexa panik saat melihat suaminya, ia bingung harus memberikan alasan apa. Sementara itu, Rayyan berjalan menghampiri istrinya, Sintia yang memang tidak tahu apa-apa memilih untuk diam. "Sedang apa kamu di sini, lalu dia siapa." Rayyan menunjuk pria yang bersama dengan istrinya itu, seketika Alexa terkejut. Sementara Baron masih diam, pria itu memandangi Rayyan dari atas sampai bawah. "Saya kekasihnya, memangnya kenapa." Baron menimpali. Detik itu juga mata Alexa melotot, niatnya untuk bersandiwara gagal. Di sini bukan hanya Alexa saja yang terkejut, tetapi juga Rayyan. Ia merasa telah dibohongi oleh istrinya sendiri. "Mas tolong dengerin dulu penjelasan dariku, ini tidak seperti yang .... " "Cukup, aku benar-benar kecewa. Jadi ini yang kamu lakukan di belakang aku, kamu bilang kerja di kantor tapi tidak tahunnya kerja seperti ini." Rayyan memotong ucapan istrinya itu, Alexa tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ingin marah
Waktu terus bergulir, kini usia kandungan Saras sudah memasuki bulan sembilan, mereka tinggal menunggu hari saja. Kini Bima tengah menikmati perannya sebagai seorang suami dan calon ayah, butuh ekstra kesabaran dalam menghadapi sikap istrinya yang berubah-ubah. Tak jarang, Bima harus mempunyai stok kesabaran yang cukup banyak. Seperti malam ini, saat Bima tengah sibuk dengan pekerjaannya. Saras terus saja mengganggunya, entah itu meminta di pijit kakinya, dan masih banyak lagi. Beruntung, Bima termasuk orang yang penyabar, tetapi orang juga mempunyai batas kesabaran. "Sudah ya, aku selesein kerjaan dulu, biar nanti tinggal nemenin kamu tidur," ujar Bima seraya bangkit dari duduknya. Jika terus berada di samping istrinya pekerjaan yang menumpuk tidak akan pernah selesai. "Tapi jangan lama-lama," sahut Saras. "Iya, nggak lama kok." Bima mencolek hidung istrinya. Setelah itu ia beranjak menuju meja kerjanya. Baru saja Bima menjatuhkan bobotnya di kursi, tiba-tiba Saras sudah memangg
"Itu suara mama," batin Bima."Kami di ruang makan, Ma." Bima berteriak, setelah itu ia melanjutkan niatnya untuk melihat hasil tes yang baru saja istrinya itu lakukan. Dengan hati berdebar, Bima membuka benda pipih yang di tangannya. "Dua garis, itu artinya Saras hamil. Sayang kamu hamil." Bima menatap wajah ayu istrinya itu. Saras hanya mengangguk, seketika Bima menarik tubuh istrinya dan memeluknya dengan erat. Bahkan Bima juga menghujani Saras dengan kecupan, tak lupa juga ucapan terima kasih. "Terima kasih ya, Sayang. Sebentar lagi kita akan jadi orang tua." Bima mencium kening Saras dengan lembut, setelah itu ia membingkai wajah istrinya, saat hendak mendekatkan bibirnya, tiba-tiba suara ibunya mengagetkan mereka. "Ehem, ehem, mentang-mentang udah sah." Rahma berdehem, mendengar itu reflek Bima melepaskan tangannya lalu menoleh. Sementara Saras menunduk karena malu. "Ish, Mama. Oya, Ma kami punya kejutan." Bima menyerahkan test peck tersebut kepada ibunya. Seketika Rahma men
"Ok, kalau begitu kita langsung datangi Dian dan juga tante Dyah, kita ajak mereka untuk ketemu lalu tunjukkan video ini," ungkap Bima. Ia ingin masalah itu cepat selesai, dengan begitu tidak ada lagi yang menggangu ketentraman mereka nantinya. "Sayang kamu ikut kan?" tanya Bima seraya menoleh ke arah istrinya, sementara itu Saras hanya mengangguk. "Ya sudah langsung sekarang saja atau kapan?" tanya Dody. Ia khawatir akan mengganggu pengantin baru. "Sekarang saja, lebih cepat jauh lebih baik," jawab Bima. Jika dibiarkan terlalu lama nanti mereka keburu membuat rencana lagi. Karena orang seperti Sintia tidak akan tinggal diam jika usahanya belum ada yang berhasil. "Ya sudah, kasihan kalian. Seharusnya lagi asyik mikirin mau honeymoon ke mana, eh ini malah ngurusin masalah," ujar Dody, mendengar itu Bima hanya tersenyum. Jujur, apa yang dikatakan Dody memang ada benarnya juga, itu sebabnya Bima ingin secepatnya masalah yang kini menimpanya segera selesai. Setelah itu mereka bergega
"Siapa perempuan ini, kenapa tiba-tiba datang ke sini," batin Bima. Ia sama sekali tidak mengenal perempuan yang kini sudah berdiri di hadapannya itu. Apa mungkin itu kerabat istrinya, Saras. Tapi rasanya tidak mungkin, karena karena Saras tidak pernah bercerita apapun. "Siapa kamu, dan ada urusan apa kamu datang ke sini?" tanya Rahma. Ia merasa jika wanita hamil itu tidak beres, karena setahu Rahma, putranya itu tidak pernah melakukan hal di luar batas. "Saya datang ke sini untuk meminta pertanggung jawaban dari anak, Tante." Wanita hamil itu berucap seraya menunjuk ke arah Bima. Seketika pandangan mereka tertuju pada Bima, begitu juga dengan Saras. Bima tetap diam dan bersikap tenang, karena memang apa yang dituduhkan padanya itu tidak benar. Kenal saja tidak, apa lagi sampai berbuat hal di luar batas, itu rasanya tidak mungkin. Bima melirik wanita yang baru saja sah menjadi istrinya, ada rasa khawatir jika sampai Saras termakan omongan yang tidak nyata itu. "Maaf, tapi saya tid
Satu jam kemudian, kini Saras sudah berada di ruang rawat, saat ini Irma dan Dila yang sedang menemaninya. Sementara Bima dan Roby tengah bersama dengan Rayyan, beruntung kondisi Rayyan sudah stabil, hanya butuh istirahat yang cukup agar segera pulih. "Rayyan terima kasih, aku tidak tahu harus ngomong apa lagi. Kamu sudah menyelamatkan hidup Saras," ucap Bima. Sementara Rayyan hanya mengangguk, ia merasa berguna, walaupun apa yang Rayyan lakukan tidak akan sebanding dengan luka yang pernah ditorehkan kepada Saras. "Tolong jaga Saras," ucap Rayyan dengan suara lemah. Sejujurnya ia ingin melihat Saras untuk yang terakhir kalinya, tapi Rayyan sudah bersumpah. Bahwa ia hanya akan melihat mantan istrinya itu saat menikah dengan Bima nanti. "Mas, apa kamu tidak ingin melihat Saras?" tanya Roby. Walaupun Rayyan pernah berbuat jahat, tapi Roby kini sudah memaafkannya. Begitu juga dengan yang lain, mereka telah memaafkan kesalahan Rayyan. Rayyan menggeleng. "Aku akan melihat Saras saat dia
"Bima, kenapa kamu diam saja." Dyah berjalan menghampiri Bima, ia cukup kesal saat melihat calon tunangan putrinya yang seperti tidak peduli terhadap Sintia. "Kalau Sintia memang tidak bersalah, pasti nanti akan dibebaskan. Jadi, Tante tidak perlu khawatir seperti itu, dan satu lagi. Sintia tidak akan berurusan dengan polisi kalau memang dia tidak bersalah," ungkap Bima. "Apa yang dikatakan Bima itu benar, lebih baik sekarang kita ke kantor polisi saja untuk mengetahui lebih lanjut." Rahma, ibunda Bima menimpali. Tanpa banyak bicara, kini mereka memutuskan untuk ke kantor polisi. "Sintia, apa yang kamu lakukan. Kamu tidak akan pernah berurusan dengan polisi kalau memang tidak membuat ulah." Bima membatin, kini mereka sudah dalam perjalanan menuju ke kantor polisi. Entah kenapa perasaan Bima biasa saja saat melihat Sintia ditangkap polisi. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih, kini mereka tiba di kantor polisi. Bahkan kini mereka sudah berada di dalam, polisi sedang
"Sekarang aku tanya pada kalian, kalian lebih percaya dia atau saya?" tanya Saras pada semua karyawan yang berkumpul. Mendadak suasana menjadi hening, para karyawan saling lirik dan berbisik. Sedetik kemudian mereka bersuara, jika mereka lebih percaya dengan Saras. "Kami lebih percaya dengan, Ibu Saras. Karena kami tahu betul pribadi, Ibu Saras seperti apa," ucap salah satu karyawan yang mungkin sudah bertahun-tahun bekerja di perusahaan milik Saras. "Benar, Ibu Saras tidak mungkin melakukan hal di luar batas," timpal seorang karyawan satunya. Mendengar itu, Sintia bertambah geram, usahanya benar-benar gagal. Malu itu yang kini Sintia rasakan, karena rencana untuk menjatuhkan Saras, justru berbalik pada dirinya. "Kamu dengar sendiri bukan, masih mau lanjut atau mundur pelan-pelan?" tanya Saras dengan senyum mengejek. Terlihat jelas jika Sintia bukan hanya menahan rasa malu, tapi juga rasa kesal serta amarah. "Baik, kali ini kamu boleh menang, tapi ingat satu hal. Mantan suamimu it
"Saras bangun, Saras." Dengan raut wajah panik, Rayyan terus berusaha untuk membangunkan mantan istrinya itu. Namun Saras sama sekali tidak meresponnya. Selang berapa menit, Dila datang. Wanita itu cukup terkejut saat melihat Rayyan, tetapi pandangan matanya beralih pada Saras yang tak sadarkan diri. Melihat itu, Dila menjadi panik, terlebih saat melihat hidung Saras yang kembali mengeluarkan darah. "Astagfirullah, Saras. Saras bangun, Rayyan Saras kenapa?" tanya Dila dengan panik, ia juga berusaha untuk membangunkan Saras, tetapi sahabatnya itu tetap tidak meresponnya. "Aku tidak tahu, tadi katanya kepalanya pusing," jawab Rayyan. Seketika Dila terdiam, ini bukan untuk yang pertama kali Saras mengeluh kepala pusing. Dila pernah menyarankan untuk ke dokter tetapi Saras menolaknya. "Rayyan kita bawa ke rumah sakit, ayo." Dila menyarankan untuk membawa Saras ke rumah sakit, dengan segera Rayyan mengangkat tubuh mantan istrinya itu dan membawanya ke mobil. Rayyan membaringkan tubuh
Kini Erika sudah dibawa ke rumah sakit, Rayyan yang mendengar kabar tersebut dengan segera menyusulnya. Kondisi Erika cukup parah, bahkan dokter mengatakan jika Erika mengalami lumpuh permanen, karena hampir semua saraf mati. Jujur, Rayyan sempat terkejut mendengar kenyataan itu. "Yang sabar ya, kamu harus kuat, ini ujian yang harus kamu dan tante Erika hadapi," ucap Roby seraya menepuk pundak Rayyan. Walaupun Roby tahu seperti apa kelakuan mereka, tetapi ia masih punya rasa kasihan. Terlebih mereka adalah saudara. "Terima kasih, maaf jika sering merepotkan kamu," sahut Rayyan. Ia benar-benar bingung, apa yang harus Rayyan lakukan untuk ke depannya. Untuk biaya rumah sakit saja Rayyan tidak tahu harus membayarnya dengan apa. "Bagaimana ini, aku sama sekali tidak ada uang untuk biaya rumah sakit mama." Rayyan membatin, otaknya berusaha untuk mencari solusi, tetapi justru bayang-bayang saat menodai Sintia yang terlintas. "Roby, aku mau keluar sebentar. Aku titip mama ya," ucap Rayya