"Jadi kamu tidak mau mengaku." Rayyan menatap tajam wanita yang berdiri di hadapannya itu. Kesabarannya sudah cukup terkuras, karena akhir-akhir ini Alexa sering membuat ulah. "Untuk apa aku mengaku, kalau aku saja tidak tahu dan tidak pernah merasa membeli barang itu," ujar Alexa. Ia terus membela diri karena memang Alexa tidak pernah merasa membeli atau mempunyai barang yang suaminya itu temukan. "Ok, tapi ingat jika kamu terbukti bersalah, aku tidak segan-segan untuk memberi pelajaran untukmu." Setelah mengatakan itu, Rayyan memilih untuk keluar dari kamar. Rasanya ia benar-benar suntuk berada di rumah seharian, terlebih harus mengurus Seril. "Arrrrgght siap. Kenapa barang itu bisa ada di tas sih, siapa yang sudah menaruhnya. Apa mungkin ini kerjaan Roby, tapi untuk apa dia melakukan itu." Alexa mengerang frustasi. Setelah itu ia memutuskan untuk mengambil ponselnya. [Halo, Roby apa kamu yang menaruh tisu magic di tas milikku][Hah tisu magic, untuk apa aku menaruhnya. Atau jan
"Mas Rayyan, aduh bagaimana ini. Apa yang harus aku lakukan." Alexa panik saat melihat suaminya, ia bingung harus memberikan alasan apa. Sementara itu, Rayyan berjalan menghampiri istrinya, Sintia yang memang tidak tahu apa-apa memilih untuk diam. "Sedang apa kamu di sini, lalu dia siapa." Rayyan menunjuk pria yang bersama dengan istrinya itu, seketika Alexa terkejut. Sementara Baron masih diam, pria itu memandangi Rayyan dari atas sampai bawah. "Saya kekasihnya, memangnya kenapa." Baron menimpali. Detik itu juga mata Alexa melotot, niatnya untuk bersandiwara gagal. Di sini bukan hanya Alexa saja yang terkejut, tetapi juga Rayyan. Ia merasa telah dibohongi oleh istrinya sendiri. "Mas tolong dengerin dulu penjelasan dariku, ini tidak seperti yang .... " "Cukup, aku benar-benar kecewa. Jadi ini yang kamu lakukan di belakang aku, kamu bilang kerja di kantor tapi tidak tahunnya kerja seperti ini." Rayyan memotong ucapan istrinya itu, Alexa tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ingin marah
"Kalau aku mandul, lalu Seril anak siapa. Apa mungkin Alexa sudah." Pikiran Rayyan mendadak kacau, ia belum sepenuhnya percaya jika dirinya mandul. Tapi surat hasil tes itu menyatakan jika ia mandul, Rayyan memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa sangat pusing. "Mampus kamu, Mas. Sekarang kamu pasti bingung kan, ini adalah balasan untuk orang seperti kamu." Saras membatin, ia tersenyum puas melihat ekpresi wajah mantan suaminya. Saras tidak membayangi bagaimana nanti setelah Rayyan pulang, apakah akan terjadi perang dunia untuk kesekian kalinya. "Saras kamu yakin kalau hasil tes ini benar-benar akurat?" tanya Rayyan untuk memastikan. Ia khawatir jika semua itu hanya rencana mantan istrinya saja. "Untuk apa aku bohong, Mas. Kamu bisa tanyakan langsung ke dokter Alvan, nanti dia yang akan menjelaskannya," jawab Saras. Mendengar itu Rayyan memilih untuk diam, ia paham betul siapa Saras. Wanita yang sudah sepuluh tahun menjadi istrinya itu tidak mungkin berbohong, karena memang Saras
"Mama pasti bercanda kan, kalau rumah ini dijadikan jaminan. Lalu kita tinggal di mana, Ma?" tanya Rayyan, ia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Rumah satu-satunya yang kini mereka tinggali, terpaksa harus dilepas lantaran kesalahan yang sudah Erika perbuat. "Maafin, mama. Mama tidak bermaksud .... ""Jadi rumah ini benar-benar akan diambil, kalau begitu aku akan pergi saja. Percuma selama ini aku bertahan, tapi nggak tahunya tetep jatuh miskin." Alexa memotong ucapan ibu mertuanya itu, setelahnya Alexa beranjak masuk ke dalam kamar untuk mengambil pakaian miliknya dan juga milik putrinya. Selang beberapa menit, Alexa keluar dari kamar dengan membawa koper miliknya dan juga tas yang berisi baju milik Seril. Rayyan dan Erika hanya diam, mereka tak peduli lagi dengan Alexa. Justru Rayyan senang karena sudah terbebas dari wanita itu, wanita yang sudah membohongi dirinya. "Kamu nggak mau ngejar dia," sindir Erika, sementara itu Rayyan hanya menggeleng. Saat ini Rayyan mempunyai mangsa
"Mas Rayyan, apa aku tidak salah lihat," batin Saras. Ia cukup terkejut saat melihat mantan suaminya berdiri di hadapannya. Dan yang lebih mengejutkan, ternyata Rayyan yang menjadi tamu istimewa Sintia. "Rayyan, dari mana mereka bisa kenal. Sintia, Sintia, kenapa kamu bisa kenal dengan benalu dan penghianat ini sih. Kaya nggak ada laki-laki lain saja," batin Bima. Ia sangat terkejut saat tahu jika lelaki yang Sintia kenalkan itu adalah lelaki yang pernah menyakiti Saras. Enak kenapa Bima merasa tidak rela, jika Sintia kenal dan dekat degan Rayyan. Bukan karena cemburu, tetapi mengingat jika Rayyan bukan lelaki yang baik untuk Sintia. Saras saja memilih untuk melepaskannya, tapi kenapa Sintia justru memungutnya. Bima harus menyadarkan Sintia sebelum mantan kekasihnya itu terlalu jauh melangkah. "Loh kok pada diem." Suara Sintia mampu membuyarkan lamunan mereka, bahkan terlihat jika ketiga orang yang berdiri tak jauh darinya menjadi salah tingkah. Terlebih Rayyan, dari raut wajahnya
"Maaf kalau aku harus membatalkan semua ini, aku tidak menyangka kalau kamu ternyata bukan orang baik-baik. Perbuatanmu sangat menjijikkan, aku kecewa pernah percaya denganmu," ujar Sintia, ia benar-benar menyesal karena pernah menaruh rasa percaya terhadap Rayyan. Orang yang belum lama ini ia kenal. "Sintia aku .... ""Pak tolong bawa pria ini keluar dari sini," titah Sintia pada salah satu pegawainya untuk membawa Rayyan keluar. "Sintia tolong dengar penjelasan aku dulu, ini pasti ada yang .... ""Cepat pergi dari sini," potongnya seraya mendorong tubuh Rayyan agar segera pergi dari hotel tersebut. Dengan terpaksa Rayyan pergi, tapi ia berjanji akan mencari tahu siapa yang sudah menyebarkan video dirinya saat bersama Alexa di sebuah hotel. "Bima, iya, pasti ini ulah Bima. Awas saja kamu akan merasakan balasan yang setimpal," geramnya. Setelah itu Rayyan memutuskan untuk pulang, kecewa itu yang ia rasakan saat ini. Gara-gara video itu, Rayyan gagal untuk memanfaatkan Sintia. Rayy
Seminggu telah berlalu saat Saras memilih untuk sedikit menghindar dari Bima, karena Sintia pernah memberinya peringatan untuk tidak mendekati Bima. Jujur, Saras sendiri merasa tidak yakin dengan perasaan yang pernah Bima utarakan. Beruntung Saras tidak terburu-buru untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. "Ada apa lagi sih." Saras sedikit kesal saat melihat jika Sinta kembali menelpon, padahal baru saja mereka berbicara lewat sambungan telepon, dan sekarang sudah menelponnya lagi. [Assalamu'alaikum, halo ada apa][Wa'alaikumsalam, Saras apa kita bisa bertemu hari ini juga][Sintia maaf ya, tapi hari ini aku sibuk. Aku fi kantor banyak banget kerjaan][Jadi kamu tidak ada waktu sebentar untuk kita bertemu][Iya, maaf. Ya sudah aku masih banyak kerja, assalamu'alaikum]Tanpa menunggu jawaban dari Sintia, Saras langsung menutup sambungan teleponnya, perlahan Saras memijit pelipisnya yang sedikit pusing. Bukan hanya urusan kantor saja yang harus ia pikirkan tetapi juga dengan ur
Kini Erika sudah dibawa ke rumah sakit, Rayyan yang mendengar kabar tersebut dengan segera menyusulnya. Kondisi Erika cukup parah, bahkan dokter mengatakan jika Erika mengalami lumpuh permanen, karena hampir semua saraf mati. Jujur, Rayyan sempat terkejut mendengar kenyataan itu. "Yang sabar ya, kamu harus kuat, ini ujian yang harus kamu dan tante Erika hadapi," ucap Roby seraya menepuk pundak Rayyan. Walaupun Roby tahu seperti apa kelakuan mereka, tetapi ia masih punya rasa kasihan. Terlebih mereka adalah saudara. "Terima kasih, maaf jika sering merepotkan kamu," sahut Rayyan. Ia benar-benar bingung, apa yang harus Rayyan lakukan untuk ke depannya. Untuk biaya rumah sakit saja Rayyan tidak tahu harus membayarnya dengan apa. "Bagaimana ini, aku sama sekali tidak ada uang untuk biaya rumah sakit mama." Rayyan membatin, otaknya berusaha untuk mencari solusi, tetapi justru bayang-bayang saat menodai Sintia yang terlintas. "Roby, aku mau keluar sebentar. Aku titip mama ya," ucap Rayya
Waktu terus bergulir, kini usia kandungan Saras sudah memasuki bulan sembilan, mereka tinggal menunggu hari saja. Kini Bima tengah menikmati perannya sebagai seorang suami dan calon ayah, butuh ekstra kesabaran dalam menghadapi sikap istrinya yang berubah-ubah. Tak jarang, Bima harus mempunyai stok kesabaran yang cukup banyak. Seperti malam ini, saat Bima tengah sibuk dengan pekerjaannya. Saras terus saja mengganggunya, entah itu meminta di pijit kakinya, dan masih banyak lagi. Beruntung, Bima termasuk orang yang penyabar, tetapi orang juga mempunyai batas kesabaran. "Sudah ya, aku selesein kerjaan dulu, biar nanti tinggal nemenin kamu tidur," ujar Bima seraya bangkit dari duduknya. Jika terus berada di samping istrinya pekerjaan yang menumpuk tidak akan pernah selesai. "Tapi jangan lama-lama," sahut Saras. "Iya, nggak lama kok." Bima mencolek hidung istrinya. Setelah itu ia beranjak menuju meja kerjanya. Baru saja Bima menjatuhkan bobotnya di kursi, tiba-tiba Saras sudah memangg
"Itu suara mama," batin Bima."Kami di ruang makan, Ma." Bima berteriak, setelah itu ia melanjutkan niatnya untuk melihat hasil tes yang baru saja istrinya itu lakukan. Dengan hati berdebar, Bima membuka benda pipih yang di tangannya. "Dua garis, itu artinya Saras hamil. Sayang kamu hamil." Bima menatap wajah ayu istrinya itu. Saras hanya mengangguk, seketika Bima menarik tubuh istrinya dan memeluknya dengan erat. Bahkan Bima juga menghujani Saras dengan kecupan, tak lupa juga ucapan terima kasih. "Terima kasih ya, Sayang. Sebentar lagi kita akan jadi orang tua." Bima mencium kening Saras dengan lembut, setelah itu ia membingkai wajah istrinya, saat hendak mendekatkan bibirnya, tiba-tiba suara ibunya mengagetkan mereka. "Ehem, ehem, mentang-mentang udah sah." Rahma berdehem, mendengar itu reflek Bima melepaskan tangannya lalu menoleh. Sementara Saras menunduk karena malu. "Ish, Mama. Oya, Ma kami punya kejutan." Bima menyerahkan test peck tersebut kepada ibunya. Seketika Rahma men
"Ok, kalau begitu kita langsung datangi Dian dan juga tante Dyah, kita ajak mereka untuk ketemu lalu tunjukkan video ini," ungkap Bima. Ia ingin masalah itu cepat selesai, dengan begitu tidak ada lagi yang menggangu ketentraman mereka nantinya. "Sayang kamu ikut kan?" tanya Bima seraya menoleh ke arah istrinya, sementara itu Saras hanya mengangguk. "Ya sudah langsung sekarang saja atau kapan?" tanya Dody. Ia khawatir akan mengganggu pengantin baru. "Sekarang saja, lebih cepat jauh lebih baik," jawab Bima. Jika dibiarkan terlalu lama nanti mereka keburu membuat rencana lagi. Karena orang seperti Sintia tidak akan tinggal diam jika usahanya belum ada yang berhasil. "Ya sudah, kasihan kalian. Seharusnya lagi asyik mikirin mau honeymoon ke mana, eh ini malah ngurusin masalah," ujar Dody, mendengar itu Bima hanya tersenyum. Jujur, apa yang dikatakan Dody memang ada benarnya juga, itu sebabnya Bima ingin secepatnya masalah yang kini menimpanya segera selesai. Setelah itu mereka bergega
"Siapa perempuan ini, kenapa tiba-tiba datang ke sini," batin Bima. Ia sama sekali tidak mengenal perempuan yang kini sudah berdiri di hadapannya itu. Apa mungkin itu kerabat istrinya, Saras. Tapi rasanya tidak mungkin, karena karena Saras tidak pernah bercerita apapun. "Siapa kamu, dan ada urusan apa kamu datang ke sini?" tanya Rahma. Ia merasa jika wanita hamil itu tidak beres, karena setahu Rahma, putranya itu tidak pernah melakukan hal di luar batas. "Saya datang ke sini untuk meminta pertanggung jawaban dari anak, Tante." Wanita hamil itu berucap seraya menunjuk ke arah Bima. Seketika pandangan mereka tertuju pada Bima, begitu juga dengan Saras. Bima tetap diam dan bersikap tenang, karena memang apa yang dituduhkan padanya itu tidak benar. Kenal saja tidak, apa lagi sampai berbuat hal di luar batas, itu rasanya tidak mungkin. Bima melirik wanita yang baru saja sah menjadi istrinya, ada rasa khawatir jika sampai Saras termakan omongan yang tidak nyata itu. "Maaf, tapi saya tid
Satu jam kemudian, kini Saras sudah berada di ruang rawat, saat ini Irma dan Dila yang sedang menemaninya. Sementara Bima dan Roby tengah bersama dengan Rayyan, beruntung kondisi Rayyan sudah stabil, hanya butuh istirahat yang cukup agar segera pulih. "Rayyan terima kasih, aku tidak tahu harus ngomong apa lagi. Kamu sudah menyelamatkan hidup Saras," ucap Bima. Sementara Rayyan hanya mengangguk, ia merasa berguna, walaupun apa yang Rayyan lakukan tidak akan sebanding dengan luka yang pernah ditorehkan kepada Saras. "Tolong jaga Saras," ucap Rayyan dengan suara lemah. Sejujurnya ia ingin melihat Saras untuk yang terakhir kalinya, tapi Rayyan sudah bersumpah. Bahwa ia hanya akan melihat mantan istrinya itu saat menikah dengan Bima nanti. "Mas, apa kamu tidak ingin melihat Saras?" tanya Roby. Walaupun Rayyan pernah berbuat jahat, tapi Roby kini sudah memaafkannya. Begitu juga dengan yang lain, mereka telah memaafkan kesalahan Rayyan. Rayyan menggeleng. "Aku akan melihat Saras saat dia
"Bima, kenapa kamu diam saja." Dyah berjalan menghampiri Bima, ia cukup kesal saat melihat calon tunangan putrinya yang seperti tidak peduli terhadap Sintia. "Kalau Sintia memang tidak bersalah, pasti nanti akan dibebaskan. Jadi, Tante tidak perlu khawatir seperti itu, dan satu lagi. Sintia tidak akan berurusan dengan polisi kalau memang dia tidak bersalah," ungkap Bima. "Apa yang dikatakan Bima itu benar, lebih baik sekarang kita ke kantor polisi saja untuk mengetahui lebih lanjut." Rahma, ibunda Bima menimpali. Tanpa banyak bicara, kini mereka memutuskan untuk ke kantor polisi. "Sintia, apa yang kamu lakukan. Kamu tidak akan pernah berurusan dengan polisi kalau memang tidak membuat ulah." Bima membatin, kini mereka sudah dalam perjalanan menuju ke kantor polisi. Entah kenapa perasaan Bima biasa saja saat melihat Sintia ditangkap polisi. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih, kini mereka tiba di kantor polisi. Bahkan kini mereka sudah berada di dalam, polisi sedang
"Sekarang aku tanya pada kalian, kalian lebih percaya dia atau saya?" tanya Saras pada semua karyawan yang berkumpul. Mendadak suasana menjadi hening, para karyawan saling lirik dan berbisik. Sedetik kemudian mereka bersuara, jika mereka lebih percaya dengan Saras. "Kami lebih percaya dengan, Ibu Saras. Karena kami tahu betul pribadi, Ibu Saras seperti apa," ucap salah satu karyawan yang mungkin sudah bertahun-tahun bekerja di perusahaan milik Saras. "Benar, Ibu Saras tidak mungkin melakukan hal di luar batas," timpal seorang karyawan satunya. Mendengar itu, Sintia bertambah geram, usahanya benar-benar gagal. Malu itu yang kini Sintia rasakan, karena rencana untuk menjatuhkan Saras, justru berbalik pada dirinya. "Kamu dengar sendiri bukan, masih mau lanjut atau mundur pelan-pelan?" tanya Saras dengan senyum mengejek. Terlihat jelas jika Sintia bukan hanya menahan rasa malu, tapi juga rasa kesal serta amarah. "Baik, kali ini kamu boleh menang, tapi ingat satu hal. Mantan suamimu it
"Saras bangun, Saras." Dengan raut wajah panik, Rayyan terus berusaha untuk membangunkan mantan istrinya itu. Namun Saras sama sekali tidak meresponnya. Selang berapa menit, Dila datang. Wanita itu cukup terkejut saat melihat Rayyan, tetapi pandangan matanya beralih pada Saras yang tak sadarkan diri. Melihat itu, Dila menjadi panik, terlebih saat melihat hidung Saras yang kembali mengeluarkan darah. "Astagfirullah, Saras. Saras bangun, Rayyan Saras kenapa?" tanya Dila dengan panik, ia juga berusaha untuk membangunkan Saras, tetapi sahabatnya itu tetap tidak meresponnya. "Aku tidak tahu, tadi katanya kepalanya pusing," jawab Rayyan. Seketika Dila terdiam, ini bukan untuk yang pertama kali Saras mengeluh kepala pusing. Dila pernah menyarankan untuk ke dokter tetapi Saras menolaknya. "Rayyan kita bawa ke rumah sakit, ayo." Dila menyarankan untuk membawa Saras ke rumah sakit, dengan segera Rayyan mengangkat tubuh mantan istrinya itu dan membawanya ke mobil. Rayyan membaringkan tubuh
Kini Erika sudah dibawa ke rumah sakit, Rayyan yang mendengar kabar tersebut dengan segera menyusulnya. Kondisi Erika cukup parah, bahkan dokter mengatakan jika Erika mengalami lumpuh permanen, karena hampir semua saraf mati. Jujur, Rayyan sempat terkejut mendengar kenyataan itu. "Yang sabar ya, kamu harus kuat, ini ujian yang harus kamu dan tante Erika hadapi," ucap Roby seraya menepuk pundak Rayyan. Walaupun Roby tahu seperti apa kelakuan mereka, tetapi ia masih punya rasa kasihan. Terlebih mereka adalah saudara. "Terima kasih, maaf jika sering merepotkan kamu," sahut Rayyan. Ia benar-benar bingung, apa yang harus Rayyan lakukan untuk ke depannya. Untuk biaya rumah sakit saja Rayyan tidak tahu harus membayarnya dengan apa. "Bagaimana ini, aku sama sekali tidak ada uang untuk biaya rumah sakit mama." Rayyan membatin, otaknya berusaha untuk mencari solusi, tetapi justru bayang-bayang saat menodai Sintia yang terlintas. "Roby, aku mau keluar sebentar. Aku titip mama ya," ucap Rayya